PART : 4

Deru napasku seirama dengan deru jantung yang berdetak tak menentu setelah tiba-tiba menangkap suara tembakan demi tembakan terlepas dari sarangnya. Aku berlari berusaha menjauh dengan rasa takut tak terkira saat suara hentak langkah kaki terus mengejar dan datang.

Saking ketakutannya, kini kurasakan napasku mulai sesak, keringat pun bercucuran membasahi pakaian. Sempat kuedarkan pandangan ke sekeliling, ini adalah hutan pinus yang menjulang. Redup cahaya menambah rasa takutku semakin mencekam.

Mereka, kenapa mereka mengejarku? Apa salahku? Mereka itu siapa? Aku di mana?

Tidak mau putus asa, langkah kaki ini terus berlari, sementara suara tembakan itu terus datang bersama teriakan bagai aku ini adalah binatang buruan. Memasuki padang ilalang, tiba-tiba langkah kaki terpenggal hingga sedikit terpental saat tanpa sengaja menabrak sesosok tubuh tinggi tegap berpakaian gelap dengan sniper di tangan.

Tersengal-sengal, rasa takutku kini semakin menjadi.

Sekuat tenaga aku mundur beberapa hasta, terhenti saat ujung sniper perlahan naik menunjuk lurus tepat ke arahku. Tak tahu lagi harus apa, mataku kini mulai terpejam, pasrah pada keadaan. Tamat lah riwayatku di sini.

Tiba-tiba saja, bagai kilat, suara larian kuda mendekat bersama suara tembakan yang sahut menyahut.

Terkejut, mataku terbuka lebar, detik itu, seekor kuda putih nan gagah yang kulihat dikendarai seseorang berpakaian hitam sudah mendekat. Tiba-tiba, pemuda itu merunduk dan meraih pinggangku dengan luwesnya, hingga kini tubuh ini terasa terbang dan terduduk mendarat di atas kuda bersamanya. Suara tembakan masih terdengar memburu kami yang menjauh, perlahan samar dan menghilang.

Saat di atas kuda putih itu, sempat sengaja kutatap wajah sang pemuda separuhnya tertutup masker berwarna senada. Hanya sorot mata yang kini mampu kutangkap. Kamu ... siapa?

"Kak, Yas! Kak Yas! Are you okay?" Kurasakan ada tepukan dan goncangan di tubuh dan wajah. "Kak Yas! Wake up!"

Tiba-tiba suara itu mengembalikanku dari disorientasi, kemudian spontan terduduk dengan mata yang mengerjap-ngerjap kaget. Napasku yang masih tersengal menjadi tanda sisa-sisa kejadian tadi yang terasa begitu nyata. Kuedar pandangan, ternyata aku di tenda, ada Fika dan Desy di samping kanan kiriku.

"Kak Yas mimpi buruk?" tanya Desy sembari menyodorkan sebotol air mineral. Perlahan kuteguk air itu dan mengembus lega.

"Udah lega?" tanya Fika. "Mimpi apa, Kak, sampe keringetan dan gelisah gitu tidurnya?"

"Mimpi dikejar-kejar orang. Lari-lari sampe ngos-ngosan," jawabku bersama senyum kecut.

"Oalah ...!" Fika dan Desy merespon jenaka bersamaan.

"Kalau mimpi dikejar-kejar orang, emang kayak nyata lho. Capek kita dibuatnya!" Desy tertawa.

"He-em." Aku mengiyakan lemas sambil tersenyum berterima kasih pada mereka.

Ingatanku mencoba mengulang kembali potongan mimpi barusan. Sorot mata di balik masker itu, membuat aku kian spenasaran. Sebab, mimpi seperti ini bukan hanya datang sekali ini. Kadang aku ingat sorot mata pemuda di atas kuda putih itu. Namun, Kadang aku bisa lupa semuanya. Di, diaa ... siapa?

Senyumku sedikit terkulum bersama rasa hati yang berbunga. Rasanya indah juga ditolong pemuda berkuda putih nan gagah meski wajahnya tak kukenali. Serasa jadi cinderella ditolong pangeran! Hahaha. Ah, itu pasti hanya bunga tidur saja.

Desy dan Fika sudah kembali berbaring. Akupun berniat untuk ikut mereka mengambil posisi tidur kembali di balik tenda kami.

"Dokter! Seorang dokter. Kami butuh dokter!"

Suara seseorang terdengar dari luar tenda. Fika yang ternyata masih terjaga kini segera duduk lagi.

"Kak Yasmin," gumam Fika pelan. Lewat sorot matanya ia bertanya apa kami akan keluar. Perlahan aku bangkit menuju depan tenda. Di luar, ternyata gerimis kecil mulai berjatuhan.

"Ya," jawabku pelan.

"Dokter, bisa ikut sebentar?" pinta laki-laki yang kulihat berpakaian loreng. Bersamanya ada dua orang berseragam yang sama.

"Ke mana?" tanyaku.

"Ke bagian sana. Ada pasien terluka parah. Tolong lihat kondisinya."

"Baik," kataku sambil bergegas mengambil tas perlengkapan medis.

"Fika, ikut, yuk!" ajakku pada Fika. Ia menurut dan bergegas juga.

Kami mengikuti ke mana langkah tiga pemuda tadi. Hingga sampai di samping gedung runtuh, ada sekelompok orang sedang berjaga mengelilingi seorang lelaki yang sedang bersandar di dekat batu. Tak jauh dari sana, ada seorang laki-laki sedang berada dalam pegangan dua orang berseragam loreng.

"Kapten! Dokternya."

Seorang lelaki yang dipanggil Kapten mendekat padaku. Karena cahaya yang tak memadai, aku tidak bisa melihat keseluruhan wajah-wajah mereka. Namun dari bayangannya, mereka semua bersenjata.

Ya Tuhan. Kondisi apa yang akan aku hadapi menit-menit ke depan?

"Dokter. Ada luka tembak di dekat bahunya. Tolong ambil pelurunya, dan serahkan padaku," kata laki-laki yang barusan mendekat.

"Peluru? Bagaimana peluru bisa tertanam di dalam bahunya dalam kondisi begini?" tanyaku polos.

"Jangan banyak tanya. Lakukan saja, Dokter!"

Suara keras dari seorang pemuda dalam cengkeraman dua pria berseragam loreng. Mereka lalu menyepak kakinya, mungkin agar dia diam. Lalu diikuti suara raungan lelaki tadi.

Jantungku tersentak, kemudian berdegup kencang. Rasanya aku sedang dalam situasi yang tidak menguntungkan.

Tangan Fika terasa menggenggam tanganku pelan. Sepertinya ia ketakutan. Bagaimana tidak, dalam malam gelap begini, di sudut bumi yang luluh lantak dan mencekam, dua orang wanita berada dalam sekumpulan pria-pria bersenjata yang entah siapa. Apa senapan-senapan itu bisa saja melepaskan pelurunya secara tiba-tiba?

Mama ... maafin Yasmin yang nggak ngasi kabar kalau kini aku di sini.

Tiba-tiba hatiku menyesal dengan kelakuanku sendiri. Bagaimana kalau nyawaku tamat sampai di sini. Lalu pulang hanya tinggal nama saja. Pemuda yang mendekat tadi lalu mempersilakan kami memeriksa kondisi korban.

"Hallo Dokter. Selamat terlibat dalam permainan," bisik pemuda yang akan kuobati pelan.

Tiba-tiba, suara kokangan senapan terdengar cepat lalu ujung senapan itu mendarat dekat kepala korban. Jantungku berpacu hebat.

"Diam!" bentak lelaki pemegang senapan.

Pemuda yang akan kuobati malah tertawa senang. Masih berdebar, aku mengecek kondisinya. Dinginnya malam, terasa menusuk ke tulang. Membuat suasana jadi kian mencekam. Dengan penlight, kulihat bahunya. Peluru itu menancap lumayan dalam.

"Ini tidak bisa dilakukan di sini. Harusnya ia dibawa ke rumah sakit terdekat," kataku menjelaskan.

"Lakukan saja!" bentak seorang laki-laki yang dipegang oleh dua orang bersenjata tadi.

"Diam!"

DOR!

Suara tembakan lepas dari salah satu senapan.

"Aaa!" Fika histeris. Aku tersentak dan terdiam seketika.

Mataku terpejam dalam deru ritme napas dan dentum jantung yang cepat. Kulihat Fika sedang menutup kedua telinga dengan tangannya. Suara senapan tadi ternyata terbang ke udara.

"Jangan banyak omong! Kalian sudah tertangkap. Pemberontak!" Suara seseorang berseragam loreng keras, pada lelaki yang dipegang dua orang berseragam sama.

"Kak Yas ...." Fika beralih ke dekatku yang masih bergeming sebab dentuman jantung yang tidak siap dengan kejadian barusan.

"Dokter, bisakah kau lakukan saja?" tanya seorang pemuda berseragam yang tadi menyambutku saat sampai ke sini.

Tunggu, tunggu. Suara itu? Sepertinya aku pernah mendengarnya. Tapi ... tapi di mana?

"Nggak bisa. Saya bukan dokter bedah!" kataku tegas. "Bawa dia ke rumah sakit terdekat untuk dilakukan bedah di sana. Rumah sakit punya alat lebih lengkap."

"Dokter, apa kau pikir kondisi begini masih memungkinkan? Ini genting," bisik seorang lelaki berseragam lainnya.

Ya Tuhan. Sebenarnya mereka ini siapa? Kelompok bersenjata tertentu atau bagaimana? Dua orang ini, apakah tahanan mereka?

"Dokter, ikutlah denganku," ajak lelaki yang tadi seakan aku kenali suaranya. Aku menghela napas dan menurut mengikuti jejak langkahnya.

"Ya."

"Dengarkan. Aku dan mereka yang berseragam loreng itu adalah prajurit negara. Kami mengabdi untuk negara ini. Karena kejadian gempa tsunami kemarin, kami ditugaskan untuk membantu di sini. Jangan khawatir. Kami berpihak padamu. Dua orang yang kami tahan itu, diduga adalah pemberontak. Mereka anggota kelompok bersenjata yang ada di wilayah Meulaya ini. Sepertinya mereka punya misi. Mereka datang menyerang kami dalam kondisi peluru yang sudah terbenam di badan. Ada banyak kemungkinan yang jadi tujuan mereka. Ambil peluru yang ada di pundaknya. Serahkan padaku. Itu saja. Aku jamin kau dan temanmu aman selama melakukan tugas. Kita bisa saja membiarkan mereka mati. Tapi itu di luar perintah. Bukan itu tugas kita di sini."

Ya Tuhan. Kenapa aku harus terlibat dalam kondisi rumit ini?

"Tapi aku bukan dokter bedah. Aku tidak punya izin untuk melakukannya. Bawa saja dia ke rumah sakit agar bisa ditangani." Dengan tegas aku hendak melangkah.

"Dokter Yasmin!"

Deg! Seketika langkah ini terhenti. Jelas ia menyebut namaku. Pria ini, bagaimana dia bisa tahu?

"Membawa mereka ke rumah sakit, apa kau tau seberapa jauh rumah sakit bisa dijangkau? Kondisi porak poranda begini, itu sulit. Jika mereka tetap hidup, bisa jadi negara bisa melacak persembunyiannya. Dalam kondisi gawat darurat begini, sebagai seorang dokter, apa yang harus kau lakukan? Sementara tidak ada waktu lagi. Membiarkan pasienmu kehabisan darah dan kehilangan nyawa tanpa mendapat bantuan, atau tolong dia semampu yang kamu bisa?"

Laki-laki ini ....

"AAAAGGH!" Tiba-tiba suara teriakan terdengar dari tahanan mereka. Ia berhasil melepaskan diri dan meraih pistol yang tergantung di pinggang salah satu prajurit.

Dengan gerakan cepat juga ia meraih Fika yang tengah terpaku dan menodongkan benda itu ke kepalanya.

"FIKA!" teriakku kuat.

"Berhenti!" Laki-laki yang menodongkan pistol itu menyentak keras. Membuatku terdiam dengan degup jantung tak kalah keras.

"Lambat! Lakukan saja, Dokter, atau sahabatmu yang mati?" ancamnya. Fika terlihat menangis dan ketakutan.

"Letakkan senjata kalian!" perintahnya lagi pada prajurit bersenjata.

Namun, para prajurit itu malah menodongkan senapan mereka ke arah Fika dan pria yang diduga pemberontak tadi.

"NO!" sentakku kaget.

"Dokter, kamu lihat? Ini akibat kau terlalu lama berpikir! Lakukan sekarang!"

"Aku bukan dokter bedah. Apa kau mau temanmu dibedah dengan yang bukan ahlinya?"

"Stupid! Lakukan sekarang!"
sergahnya lagi. Fika histeris dalam tangisnya yang bergetar.

Melihat pemandangan itu, memicu darahku mendidih. Mataku menoleh ke arah lelaki yang melakukan negosiasi damai tadi.

"Jangan sampai temanku jadi korban!" kataku ketus.

Namun dengan tenang dia mendekat dan berbisik.

"Tadi, aku melakukan negosiasi baik-baik padamu. Tapi sepertinya kau lebih suka negosiasi keras seperti yang dilakukan pria ini?"

Kalimat itu jelas tertangkap telinga. Ya Tuhan. Laki-laki ini? Hatiku mencari pembenaran tentang dia yang kini masih berdiri di sampingku. Saat bersamaan otakku berpikir cepat. Ya Allah. Aku harus bagaimana?

"Lakukan saja semampu yang kau bisa. Maka kau dan sahabatmu akan selamat. Percayalah padaku," bisiknya lagi. Darahku berdesir seketika saat mendengar kembali ucapannya.

Masih dengan Fika yang ditodong, dan senapan-senapan prajurit loreng yang terpaku pada sang pemuda penodong itu, aku melangkah mendekat pada lelaki asal pertengkaran. Ia sudah terlihat lemah sekarang.

"Aku butuh penerangan memadai," kataku pelan.

Beberapa prajurit mendekat dan menyediakan penerangan dekat pasien tadi. Sedikit berdebar, otakku mencoba mengingat memori saat aku pernah melihat Profesor Hams melakukan praktek bedah pada hewan berkaki empat yang tertusuk besi. Dokter Kevin juga pernah sedikit memberi pengetahuan tentang ilmu bedah padaku. Namun, jujur, ini yang perdana kulakukan. Pria-pria bersenjata ini memaksa, ya sudah. Aku lakukan saja.

"Berikan peluru itu padaku!" kata lelaki yang menodong Fika saat peluru berhasil keluar.

Tanganku seketika terhenti. Suara senapan terhentak, kini malah bagai dayu yang tak kunjung sirna. Ya Tuhan. Bagaimana nasibku dan Fika selanjutnya?

"DOKTER ...!"

DOR!

"ALLAHU AKBAR!" ucapku refleks sembari memegang dada.

Sebuah peluru lepas dari magazen diikuti suara tembakan. Aku menoleh ke Fika. Namun, saat bersamaan, bagai slow motion, lelaki yang dipanggil kapten tadi secepat kilat kini melompat roling dari arah belakang dan menghentak tangan pria itu hingga menjatuhkan pistolnya. Tak lama, tangan lelaki penodong itu sudah terpelintir hingga ia mengaduh. Berakhir dengan ia tersungkur keras jatuh ke tanah dengan posisi telungkup.

Para prajurit lain lalu meringkuknya dan mengamankan Fika. Ya Tuhan. Aku seperti sedang menonton film action secara live. Tidak. Bukan live. Ini bahkan asli di depan mata.

"Fika, kamu nggak papa?" tanyaku takut. Fika mengangguk cepat dengan tangis yang masih berkelebat. Ia terduduk lemah dengan sisa-sisa napas yang terengah-engah. Aku pun lalu menyelesaikan tugas dengan segera.

♕♕♕

"Terima kasih, Dokter," ucap pemuda sang kapten tentara, saat aku menyerahkan peluru yang berhasil dikeluarkan tadi padanya.

"It's okay. Aku berdoa jangan pernah terlibat lagi dalam situasi dan adegan-adegan seperti tadi," kataku lalu.

Lelaki itu tertawa kecil. "Maaf, sudah membuatmu terlibat."

"Apa ... dua pria tadi tidak akan mengincarku?" tanyaku takut-takut.

"Mengincar apanya? Mereka benci sama kamu. Nggak bakal jatuh cinta!"

Mataku melebar. Nih jantan kok malah ketawa sih? Aku 'kan takut juga? Gimana kalau mereka punya dendam ke aku?

"Kok diketawain sih! Bukan itu maksudku. Nah itu. Mereka ...."

"Apa?"

"Mereka ngincar aku gimana?"

"Ngincar apanya? Ge-er amat sih!"

"Kya! Ngincar buat jadi mangsa maksudnya! Bukan cinta!" sentakku sebal sambil melotot gemas. Mungkin dia tidak lihat mataku yang membesar. Karena kondisinya tidak terlalu terang.

Ia tertawa. "Jangan khawatir. Mereka sudah kami amankan," katanya lagi masih diringi tawa. Santai banget nih orang. Padahal baru habis kontak senjata. Kayak lagi main-mainan saja sama mereka, ya.

"Bagaimana kau tau namaku?" tanyaku begitu saja.

"Jangan ge-er!" katanya lagi ketus bersama tawa sarkastik samar di dalam suaranya.

Ish! nih orang. Ceplos amat.

"Mudah saja. Ada di bet namamu," katanya lagi masih dengan nada sama.

Bet nama? Bet nama yang mana? Kapan aku pakai bet nama? Otak ini langsung memutar ingatan, namun tidak kutemukan. Sebab aku jarang memakai bet saat bertugas. Bet nama itu lebih sering berada di saku daripada menggantung atau terpasang di seragam. Saat ada pengawas, baru kukenakan. Itupun jarang.

"Yang ma-" Kata-kataku terhenti saat dia dengan tenang menepuk lengan kiri ini pelan berulang-ulang sambil tertawa kecil.

"Istirahat lah," katanya. Lalu berbalik dan melangkah, meninggalkanku yang terpaku.

"Kyaa! Ka-kau! Hei, Komandan! Aku belum selesai!" teriakku kencang. Ia hanya melambaikan tangan tanpa menoleh lagi.

Ish. Nih orang! Dasar! Kan kesannya jadi aku yang memburu. Haish! Eh, tapi ... punggung di tubuh tegap yang menjauh itu ... suara itu ...? Hah! Aku baru ingat. Seketika kelopak mata ini melebar. Laki-laki itu, pemuda yang aku temui di rumah sakit saat Hideo dioperasi? Hah? Dia? Lelaki angkuh dan misterius?

Ya Allah! Pantas aku merasa pernah mendengar suara dan melihat sosoknya!













Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top