PART : 1
"SMONG! SMONG! SMONG!"
Suara teriakan beberapa warga terdengar dari luar. Aku yang sedang duduk bersama Zalikha-perawat yang sering membantuku saat menerima pasien di rumah-segera bangkit dan berhambur keluar. Kami tengah berbincang mengenai guncangan beberapa menit lalu.
Barusan memang ada gempa. Kami sempat keluar rumah tadi untuk melindungi diri kalau-kalau ada bangunan yang rubuh.
"Bu Dokter! Smong! Ayo mencari tempat aman!"
Itu Pak Muh. Tetangga tempatku tinggal. Ia datang bersama istrinya.
"Smong tu apa, Pak?" tanyaku terheran.
Spontan ia mendesah kecil sambil menepuk dahi. Zalikha terlihat ingin bicara juga.
"Tsunami, Bu Dokter. Tsunami!" jelas Pak Muh cepat dengan napas sedikit tersengal.
Mataku terbelalak. Gempa barusan berpotensi Tsunami rupanya?
"Ayo Kak Yas. Kita ikut warga mengungsi ke atas." Zalikha langsung memberi aba-aba.
Kami bergegas ikut mencari tempat aman. Pak Muh menghimbau untuk membawa barang-barang penting sebelum pergi. Zalikha tidak lupa juga mengingatkan. Ia segera berlari ke rumahnya yang tak jauh dari rumah tinggalku bersama Tiara saat ini. Rumah yang disediakan pemerintah sebagai mess tempat tinggal kami selama bertugas di sini.
Tiara, gadis asal semenanjung kota Kaban itu sedang ke sekolah tempat ia bertugas sejak pukul tujuh pagi tadi. Aku yang bekerja di rumah sakit umum kota ini malah baru pulang ke rumah sebelum Tiara berangkat mengajar.
Di jalan, banyak para warga yang sudah sibuk memboyong anak-anaknya naik ke area perbukitan. Ada yang naik becak barang, motor, berlari, ada yang naik mobil juga. Hiruk pikuknya membuat suasana jadi kian mencekam. Baru kali ini aku mengalami kondisi sepanik ini.
Kami diboyong bersama becak motor milik Ayah Zalikha. Sementara Pak Muh naik motor berdua dengan istrinya. Begitu dekat ke bukit, kendaraan itu ditinggal begitu saja. Kami berjalan kaki naik ke bukit untuk mengamankan diri sementara.
Di area bukit, kami duduk bergerombol. Malah ada sebagian warga yang duduk di atas pohon. Dari wajah-wajah mereka terlihat tenang, tapi gurat wajahnya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.
"Apa air pernah sampai naik ke atas sini, Pak?" tanyaku yang penasaran pada Pak Muh.
Sebagai orang baru di kampung ini, aku belum banyak tahu. Hiruk pikuk pagi ini saja berhasil membuat jantung berdebar tak keruan. Bukan. Ini bukan jatuh cinta. Ini ketakutan.
"Harap-harap nggak, ya, Bu Dokter. Masyarakat pulau Simeulue belajar dari kejadian Tsunami satu abad lalu. Sudah diajarkan dari turun temurun. Jika terjadi gempa, pemuda desa akan turun ke dekat laut. Jika air laut surut setelah gempa datang, dan terdengar suara riak seperti daun kering terbakar api, tandanya akan terjadi smong. Tanda lain juga bisa dilihat dari kerbau dan sapi yang berada di pinggiran pantai berlarian ke gunung. Itu salah satu tanda alam lainnya."
"Oh ...."
"Setelah itu tugas selanjutnya membunyikan alarm alami 'smong datang' kepada semua warga." Ayah Zalikha ikut menyahut.
"Seperti tadi ya, Pak?" tanyaku. Memang tadi terdengar suara warga saling sahut menyahut mengucap kata 'smong'.
Pak Muh mengangguk. Zalikha yang duduk dekatku bersama kedua orang tuanya juga ikut mengiyakan.
"Air naik! Air naik!"
Suara seorang warga memberi berita. Ia baru saja tiba. Jantungku berdebar. Takut air laut mencapai hingga ke atas sini.
Para warga terlihat memanjatkan doa dengan berbisik, terlihat dari mulut mereka yang kumat kamit seperti setelah salat. Pak Muh dan istrinya, serta Zalikha dan kedua orang tuanya tak kalah tertunduk. Kami memanjatkan doa di dalam hati. Suasana jadi hening. Sibuk dengan bisik hati masing-masing.
Satu jam berlalu. Datang seorang warga memberitakan kalau Tsunami barusan hanya menghantam tepian pantai. Hanya beberapa rumah warga dekat ke bibir pantai yang banyak roboh. Ada yang sebab gempa tadi dan ada yang sebab Tsunami. Sementara area ke tengah pulau ternyata aman.
Sebagian warga turun untuk kembali ke rumahnya. Sebelum turun, masyarakat dihimbau untuk tetap waspada dan berjaga-jaga.
"Kita balik ke rumah, Ka?" tanyaku.
"Nggak tau ni, Kak Yas. Ikut Ayah atau Pak Muh dulu gimana."
Pak Muh masih sibuk mencari info lanjut. Setelah melihat kondisi, atas himbauan Pak Muh, aku dan Zalikha beserta orang tuanya kembali ke rumah mengantongi himbauan yang sama.
♕♕♕
Masih dengan rasa was-was, aku masuk ke rumah. Tiara. Belum ada kabarnya. Ya Allah, semoga dia baik-baik saja. Kukirim pesan ke nomor ponselnya. Belum ada balasan.
Sementara itu, aku menghubungi ke rumah sakit. Mencari tahu apakah kondisi di sana baik-baik saja. Ada pasien korban atau bagaimana? Heni, rekan kerjaku di IGD mengatakan kalau belum ada pasien yang dibawa ke rumah sakit akibat bencana alam barusan.
Sebenarnya mata ini mengantuk berat, tapi kejadian pagi ini membuat kantuknya tak lekat. Kuraih remote TV, untuk mencari tahu berita. Semua stasiun TV langsung menyiarkan berita tentang Tsunami pagi ini.
Gempa bumi berkekuatan 7 SR berpusat dari kedalaman 10 kilometer dari dalam laut memicu gelombang panas dengan ketinggian mencapai 20 meter ke daratan.
"Innalillahi ...." Mulutku tak henti berucap.
"Astaghfirullah ...."
Dari berita, banyak korban di mana-mana. Kucari stasiun TV khusus pulau Simeulue. Dari berita kutahu, info sementara kerusakan hanya mencapai di tepian pantai. Korban sepertinya juga tak banyak. Walaupun begitu, berita masih bisa berubah dari waktu ke waktu. Ampuni kami Allah ... ampuni kami. Hiks
♕♕♕
Pukul lima sore aku sudah bergegas lagi untuk ke rumah sakit. Barusan Heni mengabarkan ada pasien gawat darurat di IGD. Sebenarnya rasa kantuk ini belum hilang. Nyaris hari ini aku tidak bisa tidur tenang. Kabar Tiara baru bisa kuterima setelah ia pulang ke rumah pukul dua siang. Ia juga mengungsi bersama anak-anak sekolah dan dewan guru lainnya ke area bukit lainnya.
Setelah dia pulang, aku tidur sebentar untuk mengecas energy, sementara dia berjaga kalau-kalau ada himbauan gempa atau Tsunami susulan.
"Makasi, Ra, udah mau berjaga sementara aku pejam mata sejenak."
"Nggak papa Kak. Kak Yas jaga semalaman, pasti capek. Mana mau masuk kerja lagi nanti malam. Kondisi begini tim medis pasti banyak dibutuhkan." Tiara berujar.
Dia benar. Agaknya beberapa hari ke depan bisa jadi kami tidak akan bisa tidur pulas. Apalagi saat di rumah sakit. Tadi siang Tiara juga bilang, dari berita masih ada gempa-gempa susulan terjadi di seberang.
Untungnya pulau Simeulue tempat kami bertugas saat ini tidak separah yang terjadi di seberang sana.
"Dokter Yasmin!"
Suara Heni. Perawat yang bertugas bersamaku di IGD.
"Hen. Kamu di sini? Siapa yang di IGD?"
"Ada si Fery sama anak-anak lain, Kak. Aku tadi dipanggil Dokter Kimmy ke ruang dia."
"Oh."
"Nanyain kamu!" sambungnya cepat dengan mata terbelalak melebar besar ke wajahku.
"Ha? Kenapa?" tanyaku aneh. Heni abai. Dia malah mengalihkan pembicaraan.
"Kak Yas, dah lihat berita?" tanyanya. Refleks aku mengangguk.
"Keluarga kamu gimana? Ada berita nggak?"
"Belum Kak. Aku khawatir."
Wajahnya kini memperlihatkan gurat raut tak tenang.
"Semoga nggak ada apa-apa dengan mereka, ya, Hen. Aku juga khawatir." Kurangkul Heni. Lalu kami berbincang sambil berjalan ke ruang IGD.
Heni berasal dari pulau seberang. Area ia tinggal terkena dampak Tsunami. Aku tahu dari berita tadi.
"Kak Yasmin dah datang? Aku pulang, ya." Fery pamit setelah aku datang. Kami memang bergantian jam jaga.
Beberapa langkah dia berjalan.
"Uhuks! Kak Yasmin. Ada yang nyariin nih! Ecieeee ...," bisik Fery sekilas sebelum berlalu pergi.
"Apaan si?" gerutuku mendengkus.
Namun, mulut Fery langsung menunjuk ke arah luar ruang IGD. Mataku refleks mengikuti ke mana ia menunjuk. Deg!
Seorang lelaki dengan snelli putih sedang melangkah mendekat ke sini sambil tersenyum pada Dokter Fery yang melempar tawa jenaka padanya. Dokter Kimmy. Lelaki yang tadi ditemui Heni.
"Yasmin. Syukurlah. Bisa kita bicara sebentar?" tanyanya.
"Maaf Dok. Lagi ada pasien." Aku menunduk hormat. Sebenarnya ini adalah penolakan halus.
Dokter Kimmy mengalihkan pandangan sambil melangkah ke dalam ruang bagian ranjang pasien yang hanya bersekat tirai hijau.
"Yang mana? Masih yang tadi juga pasiennya!" ujarnya pelan. "Hen." Ia menatap Heni meminta jawaban. Heni memang dapat tugas bagian catat mencatat pasien yang masuk.
"Ehm! Iya, Dok. Masih yang tadi saja." Heni cengengesan.
"Nah kan!" Ia kini beralih menatapku.
"Lah. Bukannya tadi kamu bilang ada pasien baru masuk?"Mataku menatap Heni lekat.
"Iya, tapi udah di-handle Dokter Kimmy, Kak. Pasiennya ternyata hamil muda."
Dokter Kimmy yang dimaksud tersenyum miring sambil merunduk geli.
"Oh."
"Jadi, bisa kita bicara sebentar?" tanya Dokter Kimmy lagi dengan tatapan introgasi.
Duh. Mau tidak mau, aku ikut dia berjalan ke arah teras lobi. Kini dokter spesialis obgyn itu berdiri tidak jauh dari dekatku berdiri.
"Kenapa kamu nggak angkat telpon saya?" tanyanya langsung saja.
"Nggak papa, Dok. Tadi carut marut. Kami ngungsi ke bukit," jawabku sekenanya.
"I know. Setelah itu?"
"Banyak yang saya kerjakan, Dok ...."
"Yasmin. Aku khawatir sama kamu. Seharian kamu nggak ada kabar." Dia menatap mataku dalam.
"Duh Dokter. Maksudnya apa? Hak saya 'kan mau angkat telpon atau nggak? Apa wajib buat saya ikutin semua aturan Dokter? Nggak kan?"
Lepas juga kata itu dari mulut ini. Aduh. Aku menelan ludah merasa tidak enak. "Ehm ... ya udah. Makasi perhatiannya, Dokter. Saya baik-baik aja."
"Ck! Yasmin. Please. Kamu bisa ngerti nggak sih? Yasmin. A-aku. Aku peduli sama kamu. Kamu tau itu 'kan?" Seakan putus asa dia terbata.
"Iya saya tau. Tapi jangan tekan saya harus ini dan itu. Maaf. Dokter nggak punya hak. Maaf Dok, kayaknya saya harus kembali ke IGD, ya." Kakiku hendak melangkah pergi.
"Yas, Yasmin! Yasmin! Tunggu." Ia berusaha menghentikanku.
Duh. Sebenarnya rada segan. Meski lajang, dia dokter obgyn senior di rumah sakit ini. Sedang aku, anak pendatang baru. Baru juga setahun lebih bekerja di sini. Sok banget bersikap begini sama senior. Tapi mau gimana lagi. Sikap Dokter Kimmy bikin gerah. Sejak tiga bulan aku resmi bekerja di sini.
"Yasmin. Sorry. Ma-maaf. Aku terlalu terbawa suasana hari ini. Aku khawatir banget sama kamu, Yasmin." Ia menghadangku dengan tangannya.
Aku tahu. Ia berusaha menunjukkan perhatiannya. Dia sudah pernah mencoba mengungkapkan perasaan, tapi dengan lembut aku tolak. Namun dia tetap gigih. Bahkan semakin ke sini semakin gigih.
Aku tidak bisa balas dia dengan hal yang sama. Entah kenapa. Jadi, daripada dia berharap banyak, mending aku cut sekalian. Lebih baik tidak memberi harapan.
"Iya. Makasi,ya, Dok. Tapi dokter kan udah liat. Saya baik-baik aja kan?" sambungku lagi pelan.
Ia terdiam sejenak. "O-o-okay. Sekarang aku tenang." Ada senyum enggan yang dibuat-buat tertarik di bibirnya.
"Maaf Dokter. Saya nggak bisa lama-lama. Nggak enak sama yang lain. Saya permisi,ya."
Tanpa menunggu jawabannya, kakiku langsung melangkah saja. Kulihat ia mengangguk-angguk kecil.
"Aaa ... Yasmin!" panggilnya lagi dengan tangan menunjuk sekilas.
"Ya."
"Hati-hati, ya. Gempa susulan kabarnya bisa saja terjadi lagi. Aku, a-aku nggak mau kamu kenapa-napa," sambungnya lagi dengan senyum yang tak lekang dari bibirnya.
"Ya Dokter. Makasi, ya ...."
♕♕♕
"Iya, kami nggak kenapa-napa kok ...."
"Bagus lah kalau gitu. Dari tadi aku nungguin kabar kau, Ncu."
Itu Toha. Aku sedang berbicara lewat ponsel dengannya. Toha itu teman dekatku semenjak kuliah di fakultas kedokteran. Lalu kami pernah bekerja di rumah sakit yang sama di Trigaya, sebelum aku memutuskan untuk ikut test tenaga medis yang akan di kirim ke pulau Simeulue ini.
"Kau sih, Ncu. Entah ngapain lah ambil ke pelosok sana. Udah tau dari awal itu daerahnya jauh, pulau kecil di kelilingi lautan pula, ada Tsunami gini bikin deg degan aja!"
Toha nyerocos. Aku hanya tertawa. Dia memang begitu dari dulu kalau bicara sama wanita yang dipanggilnya 'Ncu' ini. Karena dia anak bungsu. Sedang aku anak satu-satunya. Dia pukul rata saja aku anak bungsu juga. Bungsu yang jadi sulung juga kata dia.
"Aku kan mau mengabdi pada negara, Ncu!" jawabku jenaka.
"Halah, di sini juga bisa. Kamu tu wanita, Ncu Yasmin. Jangan jauh-jauh. Nggak kasian apa sama Mama kamu, anak gadis semata wayangnya jauh dirantau orang. Eh, mana ada kabar bencana begini. Kan bikin ketakutan. Eh iya, Mamamu dah dapat kabar belum? "
"Udah. Tadi aku langsung yang hubungin mereka. Nenek yang panik banget. Dia udah mantengin handphone sejak tau ada kejadian gempa Tsunami di laut sini. Ya ... mudah-mudahan nggak ada gempa tsunami susulan lagi."
"Aamiin. Eh, dapat salam dari Khayyisa. Dia nanyain kabar kau juga."
"Iya, mana dia? Kalian baik-baik aja 'kan?"
"Alhamdulillah. Ini dia lagi off kerja. Shif siang."
"Oh. Ya udah. Salam balik, ya, buat dia. Udah dulu. Nggak enak nelpon lama-lama."
"Okay. Tapi aku nggak mau tau. Pokoknya nanti waktu acara nikah aku sama Khayyisa, kau meski datang, Ncu. Titik!"
Mendengar itu aku tertawa. Dia memang berencana menikahi Khayyisa. Perawat di Rumah Sakit Umum Trigaya tempat dia bekerja. Hanya aku yang tahu tentang hubungan mereka.
Khayyisa, gadis itu menutup diri. Sengaja tidak mau mengekspos kalau dia sudah menerima Toha untuk jadi suaminya sebelum tanggal pernikahan diresmikan.
"Mmm ... nggak janji aku, Ncu."
"Nggak, nggak, nggak! Nggak mau tau! Aku bakal diemin kau selamanya. Sedih lah aku orang dekat nggak ada yang datang. Mana kakakku satu-satunya belum tau kabar rimbanya. Entah bisa entah nggak dia pulang."
Toha nyerocos lagi. Kalau dilihat dari luar, dia itu gayanya nyentrik banget. Orang-orang nggak tahu dia itu dokter. Ha ha ha. Aku saja heran kenapa Khayyisa mau nerima dia jadi suami. Gadis itu pendiam. Sholehah banget tampilannya. Kalem, lembut, santun. Nikah sama Toha entah jadi apa nanti dia. Ha ha ha.
"Kakakmu nggak pulang?" tanyaku.
"Nggak tau."
"Makanya kabarin dari sekarang dong! Biar dia bisa atur waktu."
"Halah, nomornya aja nggak bisa dihubungi. Tuh orang kebiasaan kali gitu. Nggak pernah mau bilang dia lagi tugas di mana. Soalnya pindah sana pindah sini. Tiba-tiba nelpon ke rumah nanya kabar. Tiba-tiba ngilang lagi. Misterius. Kesel liatnya."
Masih mendengarkan Toha, Heni datang sambil memberi aba-aba panggilan.
"Ncu, Ncu! Udah dulu. Ada panggilan. Okay. Bye, ya!"
Tanpa jawaban 'iya' dari dia langsung kupencet saja tombol putus panggilan. Hi hi. Takut-takut kalau ada pengawas datang aku sedang telponan.
"Kenapa, Hen? Pengawas?" tanyaku sambil berbisik. Heni mengangguk. Tidak lama lewat seorang lelaki tegap sambil mengecek ke ruang IGD. Aku dan Heni bersama beberapa anak jaga yang lain menyapa sebagai ramah tamah. Syukurlah Heni langsung memberitahu tadi.
"Kak Yas, katanya rumah sakit mau ngirim tim medis kita jadi relawan ke seberang." Heni duduk di depan mejaku. Kami sudah bisa sedikit santai kini.
"Beneran? Tau dari mana?"
"Tadi si Destra bilang. Kita tunggu aja deh kabar selanjutnya. Mungkin besok pagi," kata Heni lagi.
"Oh."
Pagi pukul setengah tujuh jadwalku pulang ke rumah. Sebelum pulang aku mampir ke kantin sebentar untuk sarapan. Selesai bencana kemarin, pulau Simeulue ini masih terlihat biasa saja.
Benar ternyata yang dikatakan Pak Muh dan Ayah Zalikha. Masyarakat di pulau ini sudah dari turun temurun teredukasi dalam menghadapi tanda alam. Jadi korban tidak banyak berjatuhan.
Kabar dari Simeulue TV, hanya ada 9 orang korban yang meninggal akibat gempa kemarin. Padahal pulau ini adalah pulau kecil, masih masuk bagian Barat Korsear yang dikelilingi laut lepas. Namun, beruntungnya korban tidak banyak berjatuhan. Berbeda dengan pulau seberang. Dari berita, data yang telah masuk sementa mencapai angka ratusan orang menjadi korban. Luar biasa. Dahsyat.
"Kak Yasmin. Dipanggil ke ruang briefing." Tiba-tiba Fery datang menyusulku ke kantin. Ia langsung duduk tepat di hadapan.
"Aku? Ada apa?"
"Nggak tau. Banyak kok yang dipanggil."
Setelah selesai aku dan Fery pergi ke sana bersama. Sampai ke ruang breafing, sudah ada Kepala Rumah Sakit Pusat Simeulue bersama beberapa nakes lain. Breafing pun dimulai.
Diakhir meeting, aku mendapat kabar kalau yang dibilang Heni tadi malam itu benar. Yang bikin darah berdesir lagi, ada namaku dalam daftar nama yang akan dikirim ke pulau seberang bersama relawan lainnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top