16. Pilihan
Kemarahan Hector nampaknya luruh saat melihat ketiga anak itu tertunduk sedih. Pria itu kemudian berdecih lalu menyandarkan punggungnya di kursi makan tanpa bicara kasar lagi.
"Seperti biasa, mereka selalu melemparkan sampah pada kita," kata Loyd berkomentar.
Jeon yang belum sempat membaca surat dari Akademi menyambil perkamen itu dari tangan Arsen dan mulai membacanya. "Lagi-lagi kita disuruh membereskan kekacauan orang-orang itu," ujarnya selelah selesai membaca.
Arsen merasa semakin tidak nyaman. Sepertinya mereka menganggap Arsen sebagai 'sampah' dan 'kekacauan'. Klarios menyenggol lutut Arsen, berusaha memberi kode untuk memikirkan jalan keluar. Namun Arsen hanya menggeleng pelan, menyampaikan bahwa ia sedang tidak bisa memikirkan kebohongan lain lagi.
"Ah, maaf anak-anak. Bukan kalian yang kami maksud. Kami sedang membicarakan sikap orang-orang pada Penjaga Kisi seperti kami. Di barat, posisi kami sama sekali tidak dihormati. Mereka memperlakukan kami sebagai pesuruh. Mencari material inilah, mennghadapi monster itulah. Dan sekarang, melindungi murid-murid Akademi. Sikap mereka sungguh menyebalkan," terang Jeon tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiran Arsen.
"Maaf, kami memang bersalah. Kami tidak berniat merepotkan. Hanya saja ...," desah Arsen tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Loyd mendengkus pelan. "Kau sama seperti kami, Nak," ujar pria sangar itu tiba-tiba. "Padahal klan kita adalah penghasil senjata, tapi pemikiran yang inovatif tidak bisa diterima oleh kaum konvensional. Bukankah orang-orang jenius biasanya memang diasingkan?" lanjutnya dengan senyum simpul.
"Kau bicara omong kosong lagi, Loyd," kata Hector menangapi.
"Loyd tidak salah. Senjata buatan anak itu memang hebat. Kami mencobanya saat berburu kemarin," celetuk Jeon mengedik pada Diana dan Klarios. Kedua anak itu pun mengangguk antusias, merasa perlu untuk membela diri di hadapan Hector.
Hector menghela napas panjang. Sang Penjaga Kisi itu tampak lelah setelah meledak marah. "Jadi, anak-anak, sebenarnya kenapa kalian berbohong?" tanyanya dengan nada suara yang lebih kalem.
Klarios lagi-lagi menyenggol lengan Arsen dengan sikunya. Namun, butuh waktu bagi Arsen untuk menyusun alasan. Di tengah kegamangannya itu, Diana tiba-tiba menyerobot bersuara.
"Itu karena kami benar-benar membutuhkan material tersebut untuk membuat senjata legendaris," kata Diana penuh percaya diri.
Bahkan Arsen pun tampak terkejut dengan inisiatif sahabatnya itu. Diana memang berjiwa bebas, tetapi dia jarang menyuarakan pendapatnya di muka umum. Mungkin gadis itu melihat kegalauan Arsen sehingga memilih bicara tanpa pikir panjang. Keberanian Diana itu sedikit mengangkat beban di hati Arsen. Setidaknya kini ada orang yang mendukungnya. Diana mempercayainya dan membantunya.
"Saya percaya dengan senjata ini, monster-monster di wilayah barat akan bisa dikendalikan dengan lebih mudah. Kita tidak perlu mengandalkan bantuan dari klan Spade di utara. M9A1 adalah sebuah revolusi. Kita akan membangun kemandirian dalam sistem tempur kita melawan monster. Alat ini akan sangat berguna bagi seorang Penjaga Kisi seperti Anda," kata Arsen dengan semangat yang mulai bergelora.
Hector menatap Arsen dengan tangan terlipat. "Ya, aku sama sekali tidak meragukan desain rancanganmu. Tapi melawan Lochness adalah hal yang berbeda," ujar pria itu.
Arsen menahan napasnya. Ia tidak boleh gegabah mempengaruhi sang Penjaga Kisi agar bisa membantunya. Meski begitu, sulit bagi Arsen untuk bersabar. Pasti ada cara. Setidaknya ia harus menemukan cara itu agar bisa membuktikan pada semua orang bahwa temuannya itu sangat berguna.
"Renungkan itu, anak muda. Dan setelah kau siap, beritahu aku, mana yang akan kau pilih. Mati di tangan Lochness atau kembali ke Akademi bersamaku," lanjut Hector sambil beranjak berdiri dan pergi meninggalkan ruangan itu tanpa menyentuh makanan sedikitpun.
Arsen tertegun. Berakhir sudah semua rencananya. Hector tampaknya tidak akan pernah berubah pikiran. Pria itu tidak mau membantunya sama sekali. Dan sekarang ia sudah dibuang oleh Akademi. Jadi untuk apa usahanya selama ini?
"Kau benar-benar mirip Hector saat masih muda, Arsen." Mendadak Jeon bicara padanya.
"Kami ... mirip?" tanya Arsen tak menduga.
Jeon mengangguk. "Dia juga punya semangat yang sama sepertimu dulu. Tapi banyak hal berubah sejak kami bertugas di sini. Hector selalu direndahkan sebagai Penjaga Kisi. Baik oleh klan lain maupun klan kita sendiri. Karena itulah dia kehilangan semangatnya untuk menciptakan keajiban. Sementara kau masih muda dan penuh tekad. Senjata rancanganmu itu adalah sebuah keajaiban. Bertahanlah, Arsen. Aku percaya kau pasti bisa menggerakkan Hector lagi," ujarnya memberi nasehat sambil tersenyum.
Pada akhirnya, makan malam hari itu justru dipenuhi dengan beragam perasaan emosional. Hal itu membuat tubuh dan pikiran Arsen menjadi semakin lelah. Pemuda itu pun tertidur dengan cepat begitu tubuhnya menyentuh kasur.
***
Esok paginya, Arsen kembali berlatih di ruang simulasi. Namun saat tengah hari, Loyd memanggilnya dan menyuruh pemuda itu untuk mulai bertarung dengan monster sungguhan. Maka Arsen pun menyetujuinya. Mereka berdua berburu monster tingkat medium bersama dengan rombongan Jeon, Klarios serta Diana.
Mereka terus bertarung tanpa lelah hingga menjelang sore. Hari selanjutnya pun demikian. Jeon dan Loyd kini tak segan membawa anak-anak itu ikut dalam misi mereka memberantas para monster yang mencoba membobol pertahanan di pulau melayang. Mereka juga menghancurkan beberapa sarang monster yang ditemui sepanjang jalan. Kedua animagi itu sepertinya memanfaatkan keberadaan Arsen dan kawan-kawan sebagai bala bantuan menyelesaikan misi melindungi wilayah selatan.
Meski begitu, tentu saja Arsen tidak keberatan. Alih-alih, ia justru senang karena dengan demikian, kemampuannya menjadi terasah lebih baik lagi. Klarios dan Diana juga merasakan hal yang sama. Mereka tampaknya betah berada di tempat itu karena memiliki fasilitas lengkap dan arena luas untuk bertarung.
Sayangnya, sejak pertengkaran makan malam beberapa hari yang lalu, Hector sama sekali tidak kelihatan batang hidungnya. Kata Luminos, sang Kepala Pelayan kediaman tersebut, masternya tengah pergi menjalankan misi besar di luar. Arsen tidak terlalu mempercayainya dan merasa bahwa Hector memang sengaja menghindari mereka.
Waktu terus bergulir, dan tanpa terasa sudah hampir satu bulan sejak Arsen meninggalkan Akademi. Tidak ada tanda-tanda kedatangan prajurit kerajaan untuk menjemput mereka. Pun Hector juga hanya dua kali kembali ke kediaman, dan setelah itu kembali berkemas pergi dengan tubuh penuh luka. Arsen hanya pernah mendengar selentingan percakapan Hector dengan Jeon dan Loyd yang menyatakan bahwa dirinya masih berusaha menambang Aquamarine di Abbysal Lagoon. Entah berapa banyak tetesan permata laut yang dia butuhkan sampai-sampai ia harus pergi selama berhari-hari.
Selain dari masalah-masalah tersebut, kehidupan Arsen di selatan sebenarnya relatif stabil. Di minggu kedua tinggal di sana, Arsen sudah mendapat akses penuh ke bengkel. Di sana ia membuat beragam senjata lain yang lebih canggih berdasar pengalamannya di lapangan. Namun, lambat laun, Arsen menyadari bahwa ia tidak bisa selamanya menjalani kehidupan santai seperti itu. Sejak awal, mimpinya adalah untuk membuat M9A1, bazooka berkekuatan ether yang bisa meledakkan kepala monster raksasa.
Karena itulah, tepat di hari ketigapuluh ia berlatih intensif di barat, Arsen pun menetapkan niatnya kembali. Ia berusaha menunggu Hector pulang ke kediaman untuk mengutarakan keputusannya. Namun, sang Penjaga Kisi tidak juga muncul. Maka, ia pun memberanikan diri untuk bicara empat mata pada Loyd.
"Loyd," panggil Arsen ketika keduanya menyusuri sungai bawah tanah untuk mencari sarang monster kappa. Kini mereka sudah saling memanggil dengan akrab sejak kebersamaan setiap hari.
"Hmm?" sahut Loyd tanpa menoleh. Orbs putih terang melayang di sampingnya, sebuah alat sihir yang berfungsi untuk menerangi jalan.
"Aku akan kembali ke Abbysal Lagoon. Sejak awal memang itulah yang kuinginkan. Aku tidak akan kembali ke Akademi dengan tangan kosong," kata Arsen kemudian. Jantungnya berdegup kencang. Namun, Arsen tidak yakin apa alasannya. Mungkin karena ia terlalu antusias, atau karena mereka tengah menyambangi sarang monster, atau justru karena khawatir dengan respon Loyd. Mungkin gabungan ketiganya.
Akan tetapi, Loyd justru terdengar menghela napas di depan Arsen. Bukan helaan napas yang menunjukkan kelelahan, melainkan rasa lega. Arsen hanya bisa menatap siluet punggung pria itu di tengah kegelapan gua bawah tanah.
"Kau butuh waktu lebih lama dari dugaanku, Arsen Diamond," ujar Loyd kemudian.
"Hah? Waktu? Waktu untuk apa?" tanya Arsen kebingungan.
Loyd menoleh ke arahnya. Sebuah seringai lebar tersungging di wajah pria itu. Ekspresi yang sungguh membuat Arsen bergidik ngeri.
"Memutuskan kematianmu," ujar Loyd dengan suara sebeku es.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top