Bab 2. Tetangga Sombong
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya.
~~~
Keesokan harinya, Taya bangun dengan lebih segar. Masih terngiang dengan jelas suara petikan gitar kemarin sore dari seberang kamar yang membuatnya lebih rileks dan membangkitkan semangat untuk terus berjuang. Mulai hari ini, dia bertekad akan melakukan segala cara untuk mempertahankan ekskul musik.
"Taya, Sayang! Nduk, bangun. Sarapannya udah siap." Suara mama Taya dari luar pintu kamar membuat cewek itu bergegas ke kamar mandi.
"Iya, Ma. Abis ini Taya turun."
Tidak ada sahutan lagi dari luar kamar. Itu artinya, mama Taya sudah kembali ke bawah. Cewek itu segera membersihkan diri. Sekitar lima belas menit kemudian, Taya turun ke meja makan. Di sana mama dan papanya sudah menunggu.
"Sehat, Tay?" sapa papa Taya sambil menerima sepiring nasi dari istrinya.
"Sehat, dong, Pa. Emang kenapa sih? Kok pertanyaannya gitu?"
"Ini, mama kamu khawatir. Katanya kemarin pulang sekolah kamu lesu banget nggak mau makan."
Taya meringis. "Sori, Ma. Taya sehat kok. Kemarin cuma lagi bad mood aja."
"Kenapa? Ada masalah di sekolah?" tanya mamanya seraya menyendokkan nasi untuk Taya.
"Sedikit. Tapi Taya yakin bisa ngatasi masalah sendiri, kok."
"Papa percaya sama kamu. Kalo butuh bantuan, bilang aja sama Papa."
"Siap, Bos!"
Taya dan kedua orangtuanya menghabiskan sarapan sambil diselingi obrolan tentang kesibukan masing-masing. Setelah itu ibu Taya ikut ke depan untuk mengantar kepergian putri dan suaminya.
Saat Taya menyalami punggung tangan ibunya, terdengar sapaan dari seorang cowok yang lewat di depan rumah.
"Permisi, Om, Tante."
"Oh, iya. Udah mulai masuk sekolah?" balas ibu Taya.
"Iya, Tante. Hari pertama. Aku duluan, Om, Tante."
"Iya-iya. Ati-ati di jalan ya, Derrys."
Taya memperhatikan cowok yang cukup akrab dengan ibunya itu. Kayak pernah liat, pikirnya. Ah, itu cowok yang bawa gitar kemarin.
"Nduk, kok bengong?"
"Eh? Enggak, Ma. Itu siapa?"
"Kamu belom ketemu sama Derrys, ya. Kemarin dia ke rumah nganterin kue waktu kamu tidur siang. Dia cucunya nenek sebelah rumah kita. Kalian juga nanti ketemu di sekolah."
"Kok gitu? Dia sekolah di sekolah aku?"
"Iya, kemarin katanya mau pindah ke sekolah kamu. Baik-baik sama dia. Anaknya sopan, ganteng lagi," ucap ibu Taya sambil menyenggol lengan putrinya itu.
"Ih, Mama apaan? Genit. Kubilangin Papa, nih."
Ibu Taya langsung mencubit pinggang putrinya. "Hush! Nggak boleh gitu. Mama kan cuma godain kamu. Kali aja dapet jodoh tetangga sendiri."
"Ih, Mama! Taya masih kelas sebelas."
"Taya, ayo!" tegur ayahnya yang telah duduk di balik kemudi sambil memanasi mesin mobil.
Cewek yang mengenakan bandana merah muda itu segera masuk ke mobil lalu melambai kepada ibunya.
Di dalam mobil, Taya menyetel lagu kesukaannya dan sang ayah yaitu lagu-lagu dari album Dewa. Ayah dan anak itu bernyanyi mengikuti lagu yang sedang diputar.
"Pa, aku pengen naik motor sendiri ke sekolah. Kayak temen-temen aku." Taya mencoba membujuk ayahnya agar diperbolehkan membawa motor sendiri ke sekolah.
"Nggak. Kamu masih kecil. Udah, diantar Papa aja. Pulangnya naik angkot atau ojol. Bahaya naik motor itu, Taya."
"Terus percuma dong aku belajar naik motor. Lagian aku kan udah tujuh belas tahun, Pa. Udah bisa bikin SIM. Boleh, ya? Kalo mau ke mana-mana bisa sendiri nggak usah nungguin Papa."
"Nggak. Tetep nggak boleh. Nanti kalo kuliah atau kerja aja."
"Ih, Papa. Kelas tiga, deh!" cewek itu masih mencoba menawar.
"Kuliah."
Taya memajukan bibirnya dan terus diam hingga tiba di depan sekolah. Cewek itu turun dari mobil tanpa menyalami ayahnya seperti biasa.
"Tay, naik motornya nanti aja kalo udah kuliah, ya. Baik-baik di sekolah. Love you, Cintaku!" ayahnya masih sempat menggoda putri semata wayang itu.
Taya hanya mendengkus lalu memasuki gerbang sekolah. Dalam perjalanan ke kelas, dia bertemu dengan Fandi, salah satu anggota ekskul musik. Di samping Fandi ada cowok yang merupakan tetangga barunya di rumah.
"Tay, ke ruang ekskul, yuk!" ajak Fandi.
"Ngapain? Bentar lagi masuk."
"Jam pertama kosong. Guru-guru pada rapat komite."
"Kata siapa?" tanya Taya tidak percaya kepada ucapan temannya yang sering bolos itu.
"Kata anak OSIS. Udah percaya sama aku."
"Nggak mau!"
"Taya!" ketiga orang itu menoleh bersama ke arah suara yang datang. "Kamu kemarin kenapa, sih? Abis dari ruang kepsek diem mulu sampek pulang sekolah. Kukira sakit." Intan, anggota ekskul musik juga sekaligus teman sekelas Taya itu langsung merangkul cewek itu dari samping.
Taya menepuk keningnya. "Ah, iya lupa. Ada yang mau kubicarain soal ekskul musik."
"Nah, yuk ke ruang ekskul," ajak Fandi antusias dengan mata berbinar.
"Tunggu! Kan, cuma kita bertiga yang mau ngomong. Dia ngapain ikut?" tunjuk Taya dengan matanya.
Fandi menoleh kepada cowok di sampingnya yang sedari tadi hanya diam. "Ah, ini. Dia murid baru dikelasku. Kemarin sempet dateng bentar sebelum cabut lagi. Namanya Derrys. Kasian anak baru kalo sendirian, jadi aku ajak keliling. Nggak apalah, Tay dia ikut. Kali aja ntar mau gabung ekskul kita."
Taya hanya menggeleng menanggapi perkataan temannya itu. Akhirnya mereka berempat pergi ke ruang ekskul musik yang berada di lantai satu dekat lapangan basket. Di sana, mereka bertiga duduk merapat untuk mendengar kabar dari Taya dan membiarkan Derrys melihat-lihat isi ruang ekskul musik.
"Hah? Serius?" Intan yang pertama kali memberikan respons dari pemberitahuan Taya.
Fandi berdecak sambil mengangkat sebelah kaki lalu menopangkannya pada kaki sebelahnya lagi. "Jadi, itu bukan cuma desas-desus aja? Beneran kejadian sama kita."
"Kamu udah tau? Dari mana?" Taya mendekatkan diri kepada Fandi sambil memelankan suaranya agar tidak terdengar oleh Derrys. Meski semua itu percuma.
"Di kelasku, kan banyak anak OSIS."
"Ah, bener juga," balas Intan.
"Terus rencanamu sekarang apa?" Fandi menatap serius Taya.
Taya mengangkat bahu. "Jujur, aku masih nge-blank. Rencana yang udah aku tata rapi harus berantakan karena kabar itu."
Mereka menoleh ke arah pintu saat terdengar suara ketukan.
"Permisi. Taya, kamu dipanggil ke ruang kepsek sekarang," ucap seorang cewek itu.
Taya berdiri. "Kalian tunggu di sini aja. Paling kepsek ngasih tau soal kabar terbaru dari nasib ekskul kita. Doain kita dikasih kesempatan."
Kedua temannya mengangkat jempol sebagai tanggapan. Cewek itu keluar dari ruang ekskul musik menuju ruang kepala sekolah yang berada di samping ruang guru.
"Permisi, Pak!" ucap Taya sambil mengetuk pintu ruang kepala sekolah yang terbuka. "Bapak manggil saya?"
Kepala sekolah berdiri menampakkan perut buncitnya. "Oh, iya. Ketua ekskul musik? Ayo sini masuk."
Taya masuk dan dipersilakan duduk di kursi di hadapan meja kerja kepala sekolah.
"Sesuai perkataan saya kemarin, tadi saat rapat komite saya ajukan toleransi untuk ekskul yang akan dibubarkan. Jadi nanti tiga ekskul itu diberi waktu satu semester untuk membuat prestasi minimal tingkat provinsi dan khusus untuk musik harus menambah anggota minimal sepuluh orang dalam satu semester ini."
"Hah? Jadi saya harus kerja dua kali, dong, Pak?"
"Ya itu syaratnya. Kalo keberatan tidak masalah. Langsung bubarkan saja."
"Oh, enggak, Pak. Saya akan berusaha semaksimal mungkin. Terima kasih atas kesempatannya, Pak."
"Oke. Kamu boleh kembali."
Taya mengangguk lalu berpamitan meninggalkan ruang kepala sekolah. Dia kembali ke ruang ekskul untuk memberikan kabar terbaru itu kepada kedua anggotanya.
Tiba di ruang ekskul musik, Taya melihat Derrys bermain gitar bersama Fandi yang memukul drum. Sementara Intan, dia asyik merekam kedua cowok itu.
"Kamu bisa main gitar?" tanya Taya saat memasuki ruang ekskul musik.
"Kamu nggak tau aku siapa?" Derrys balik bertanya.
"Kamu? Derrys, kan? Siswa baru di sini."
"Ya udah kalo nggak tau."
Sombong banget! Emang dia siapa? Baru mau aku tawarin gabung ekskul musik. Enggak jadi, deh. Cari yang lain aja dulu, pikir Taya.
Bersambung
~~~
Semangat Taya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top