Bab 1. Kesal
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya.
~~~
Seorang cewek duduk di tepi kasur sambil memetik gitar dan menyanyikan lagu Jiwa Yang Bersedih dari Ghea Indrawari. Suara petikan gitar itu mengisi kamar berukuran tiga kali tiga meter yang didominasi warna merah muda. Saat asyik menikmati nyanyiannya sendiri, suara ketukan di pintu kamar membuatnya berhenti.
"Taya! Papa ngganggu, nih?" tanya ayah Taya sambil mengintip dari balik pintu.
"Eh, Papa. Masuk, Pa. Mama mana?"
"Mama lagi nyiapain makan malem di bawah. Hem, anak Papa makin jago aja main gitarnya. Kamu lagi latihan buat apa, Tay?" ayah Taya masuk lalu duduk di kursi belajar berhadapan dengan putrinya.
"Oh, enggak buat apa-apa, sih, Pa. Pengen latihan aja biar makin jago kayak Papa gitu."
"Hem, bisa aja kamu. Sekolah gimana? Kamu masih ikut ekskul musik?"
"Masih, dong, Pa. Aku baru aja diangkat jadi ketua," jawab Taya sambil tersenyum lebar.
"Oh, ya? Wah, anak Papa emang jempol," ucap ayah Taya sambil mengangkat dua jempol tangannya.
"Sebenernya, aku latihan buat nanti acara yang mau aku adain di sekolah, Pa."
"Acara apa itu?"
"Niatnya, aku mau bikin konser kecil gitu waktu jam istirahat buat narik calon anggota baru."
Ayah Taya mengambil gitar dari pangkuan putrinya lalu memetik pelan alat musik itu. "Bagus, dong. Papa yakin nanti kamu pasti dapet banyak anggota baru. Papa selalu doain yang terbaik buat kamu."
"Makasih, Pa." Taya sedikit maju lalu memeluk ayahnya.
"Kita nyanyi lagi? Papa yang main gitar kamu yang nyanyi."
Taya melepas pelukannya lalu mengangguk antusias. Ayah dan anak itu larut dalam alunan musik yang mereka mainkan. Angin semilir yang berembus dari jendela menambah kesyahduan malam itu.
Keesokan paginya, Taya berdiri di teras dengan penampilan yang sudah rapi. Seragam putih abu-abu dan kardigan merah muda kesayangannya menempel sempurna di tubuh mungil itu.
"Pa, ayo buruan! Nanti aku telat," teriak Taya memanggil ayahnya yang masih sarapan.
"Iya-iya. Masih jam berapa ini? Kamu rajin banget?" balas ayahnya sambil menyeruput kopi.
"Papa! Justru karena masih pagi harus semangat. Ayo, Pa!"
Taya menendang-nendang paving block di halaman rumah sambil merapatkan kardigannya. Udara pagi ini cukup dingin karena hujan mengguyur subuh tadi. Cewek yang menggerai rambut hitamnya itu mengayun-ngayunkan kaki sambil terus memanggil ayahnya.
Setelah berpamitan kepada ibunya, cewek itu bergegas masuk ke mobil. Kemudian, ayahnya melaju menuju sekolah Taya.
Tiba di sekolah, Taya buru-buru ke kelas. Masih sepi. Cewek itu melihat jam dinding di atas papan tulis yang masih menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Dia duduk di kursinya dan langsung membuka buku berisi agenda serta rencana-rencana besarnya. Cewek tujuh belas tahun itu ingin segera membagi rencananya dengan anggota yang lain. Saat fokus membaca kembali rencana besar untuk merekrut anggota baru, sebuah pengumuman terdengar dari pengeras suara.
"Selamat pagi. Panggilan kepada ketua ekskul seni tari, robotik, dan musik untuk segera datang ke ruang kepala sekolah. Terima kasih."
"Aku? Tumben banget. Ada apa ya?" Taya berbicara kepada dirinya sendiri.
Taya menyimpan kembali bukunya ke dalam tas dan bergegas menuju ruang kepala sekolah. Satu per satu teman sekelasnya mulai berdatangan. Dia sempat menyapa mereka saat berjalan ke luar kelas.
Di ruang kepala sekolah sudah ada dua ketua ekskul lainnya yang juga dipanggil. Taya langsung bergabung dengan mereka.
"Baiklah. Sudah kumpul semua ini ya," ucap kepala sekolah sebelum memulai pidatonya.
"Sudah, Pak. Emangnya kenapa ya, Pak kok cuma kita bertiga yang dipanggil?" jawab Taya.
"Saya kan baru mau mulai ini. Tunggu dulu."
Taya meringis. "Iya, siap. Maaf salah, Pak."
"Ya udah langsung aja, ya. Jadi gini, setelah rapat komite saat kalian libur beberapa minggu yang lalu. Kami mengambil keputusan untuk membubarkan beberapa ekstrakurikuler yang tidak berkembang. Atau bisa dibilang tidak menyumbang prestasi kepada sekolah. Dan setelah melakukan evaluasi, tiga ekskul ini yang akan kami bubarkan. Jadi, kalian bisa kasih tahu anggotanya untuk segera pindah ekskul. Ya, termasuk kalian juga."
Penjelasan kepala sekolah membuat ketiga ketua ekskul itu terdiam. Ada yang berkedip beberapa kali, ada yang hanya termenung. Sementara itu, Taya menggigit bibir bawah sambil meremas tangan.
"Saya menolak, Pak."
Taya menjadi orang pertama yang membuka suara setelah hening beberapa saat. "Tolong kasih toleransi," lanjutnya sambil meremas rok seragam sekolah. "Saya sebagai perwakilan dari ekskul musik merasa nggak adil kalo sekolah tiba-tiba membubarkan ekskul yang pernah meraih prestasi dan penyumbang beberapa piala di ruangan Bapak."
Kepala sekolah mengusap rambut yang sebagian besar sudah memutih lalu memperbaiki kacamatanya yang melorot saat menatap Taya.
"Ya tidak bisa. Keputusan komite sudah bulat. Kalo saya kasih toleransi buat kamu terus dua ekskul lainnya gimana?"
"Ya itu terserah mereka, Pak. Kalo mereka terima aja dibubarin ya biar aja. Kalo saya jelas nggak mau."
"Ya tetap tidak bisa. Ekskul kamu juga sekarang sudah nggak berprestasi lagi. Belum lagi anggotanya makin habis."
"Ya kan saya belum mulai perekrutan anggota baru, Pak. Saya udah nyusun rencana buat itu semua. Saya yakin tahun ini peminatnya banyak. Makanya kasih kesempatan, Pak. Jangan langsung main dibubarin gitu aja."
Dua ketua ekskul lainnya hanya diam tanpa berusaha membantu Taya.
"Kalian berdua kok diem aja? Kalian terima kalo ekskul kalian dibubarin?" tanya Taya sambil menatap kedua temannya itu.
Tersadar oleh ucapan Taya, salah satu dari mereka bicara. "Eh, iya. Be-bener kata Taya, Pak. Masak nggak ada kesempatan buat kita?"
Kepala sekolah mengelap keringat yang mulai muncul di kening dengan sapu tangan. "Haduh, kalian ini. Ngeyel aja kalo dikasih tahu. Ini sudah jadi keputusan komite."
"Tetep aja, Pak. Masak mau dibubarin gitu aja. Harusnya kasih kesempatan buat ketua baru, dong. Baru nanti dilakukan evaluasi ulang," bantah Taya lagi.
"Iya, Pak. Kita juga belum melakukan apa pun. Jadi nggak bisa main bubarin gitu aja. Kenapa nggak liat usaha kami dulu?"
"Sudah-sudah! Gini aja, nanti saya ajukan sama komite buat kasih waktu satu semester. Kalian harus buat ekskul masing-masing berprestasi. Kalo tidak, akan langsung dibubarkan. Mengerti?"
"Ta-tapi, Pak. Satu semester kan ...."
"Tidak ada tapi-tapian. Kalian ini! Udah dikasih kesempatan masih mau nego lagi. Kembali ke kelas masing-masing."
Kepala sekolah memotong ucapan Taya lalu kembali ke kursi di balik meja kerjanya. Sementara itu, ketiga ketua ekskul keluar dari ruang kepala sekolah dengan menunduk lesu. Taya masih sempat mengomel dan mengumpat pelan.
Sepanjang hari itu, Taya tidak bersemangat mengikuti pelajaran. Dia juga belum menginfokan apapun kepada anggota ekskul musik. Cewek itu masih memikirkan cara untuk mempertahankan ekskulnya.
Sepulang sekolah, Taya memilih untuk naik angkutan umum dan berjalan dari gang depan hingga ke rumah. Dia berharap dengan menghirup udara segar bisa melupakan sejenak tentang masalah ekskul musik. Tinggal beberapa meter lagi tiba di rumah, sesuatu menyenggolnya dari belakang. Dia menoleh ke kanan dan mendapati seorang cowok menenteng tas gitar sambil bertelepon.
Sial! umpat Taya dalam hati. Melihat gitar yang dibawa cowok itu mengingatkannya lagi dengan masalah ekskul musik.
"Sori. Aku buru-buru," ucap cowok itu sambil menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Kamu bisa main gitar?" tanya Taya tanpa menatap lawan bicaranya dan justru fokus pada gitar.
"Apa?"
"Oh?" Taya mendongak untuk menatap cowok di hadapannya yang terlihat bingung itu. "Enggak. Enggak apa-apa. Sori, ya."
Taya langsung berjalan mendahului cowok itu dan berbelok ke rumahnya yang berjarak sekitar sepuluh meter dari tempatnya tadi.
"Asalamualaikum," ucap Taya saat memasuki rumah.
"Walaikumsalam. Udah pulang, Nduk? Makan siang dulu, yuk! Mama udah siapin sayur sop sama ayam goreng."
"Nanti ya, Ma. Aku capek. Mau tidur dulu."
Mama Taya hanya mengangguk sambil terus memandangi putrinya yang menaiki tangga menuju kamar. Wanita paruh baya itu khawatir melihat perubahan sikap putrinya yang berbeda dari saat berangkat sekolah tadi.
Taya masuk ke kamar dan langsung merebahkan diri di kasur setelah meletakkan tasnya di meja belajar. Dia segera terlelap saat mulai memejamkan mata. Sepertinya, dia benar-benar lelah.
Suara petikan gitar yang terdengar samar-samar membangunkan Taya. Cewek yang masih mengenakan seragam sekolah itu terduduk di kasur sambil mengucek mata. Dia memasang telinga lebar-lebar untuk mendengarkan lagi suara petikan gitar itu. Cewek itu turun dari kasur dan mendekati jendela. Suaranya makin jelas.
Siapa yang main gitar di seberang? Mainnya halus banget. Kedengeran kalo udah berpengalaman. Taya menghabiskan sore itu sambil menikmati permainan gitar dari seseorang yang tinggal di seberang kamarnya.
Bersambung
~~~
Hai-hai! Apa kabar kalian semua? Semoga baik-baik aja ya. Gimana puasanya? Masih utuh atau udah ada yang bolong? Aku bawa cerita baru yang sebenernya publishnya itu di TikTok. Tapi, karena pastinya ada beberapa orang yang nggak nyaman baca di TikTok, jadi aku bawa ke sini. Cerita ini lolos 20 besar event Ponyo Writeen dengan tema Boy Next Door. Doakan bisa sampai tamat, ya. Sayang kalian semua.😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top