3 | A Clue
"Ramuan untuk berubah menjadi manusia? Apa ada ramuan semacam itu?"
Ellanor menatap wajah Margo dengan binar yang kentara. Bagaimana Ellanor tidak senang bukan main ketika ada secercah harapan menyeruak ke permukaan?
Jika saja Ellanor bisa mendapatkan ramuan itu, ia bisa berubah menjadi manusia seutuhnya. Ellanor akan langsung menyatakan perasaannya pada Hugo di detik pertama ia berubah menjadi manusia.
Margo berdeham, ia baru menyadari bahwa telah salah bicara.
"Ayolah, Bibi Margo, beri tahu aku." Ellanor memindah kue Dundee di pangkuannya ke atas meja. Gadis berambut pirang itu bersimpuh di lantai, mengguncang-guncang tubuh Margo yang terbaring di atas sofa.
"Argh ... lupakan saja, Ella." Margo berbalik, memunggungi Ellanor.
"Tidak! Bagaimana aku bisa melupakannya begitu saja?! Ayolah, Bibi Margo ... beri tahu tentang ramuan itu. Di mana aku bisa membelinya? Atau menemukannya? Atau kau tahu siapa yang bisa membuatnya? Atau kau memiliki buku sihir khusus yang berisi komposisinya? Ayolah ... aku tahu kau mendengarku ...."
Margo mengerang, tidak tahan mendengar Ellanor yang merengek. "Baiklah! Baik! Akan kuberi tahu, tapi setelah itu biarkan aku tidur dengan tenang, oke?"
Ellanor mengangguk cepat dan menegakkan punggungnya. Di dalam sana, jantungnya menggila menunggu Margo menjelaskan tentang ramuan itu. Sebentar lagi, hal yang selama ini hanya ada di mimpi Ellanor akan terwujud!
"Begini ...." Dengan wajah serius, Margo mencondongkan kepalanya ke arah telinga Ellanor. Seakan tak ingin siapapun mencuri dengar, meski tak ada orang lain selain mereka di dalam rumah.
Ellanor meneguk ludah, menekan rasa penasarannya yang ingin meledak.
"Sebenarnya aku juga tidak tahu." Margo melempar cengiran.
"Hei! Ayolah, jangan bercanda ...." Ellanor masih bersikeras, sementara tawa Margo meluncur keluar.
"Ha ... aku serius, Ella. Tak ada yang tahu kebenaran tentang ramuan itu, aku hanya mendengarnya beberapa kali ketika mengunjungi Elventown. Ramuan itu hanya seperti sebuah rumor yang beredar di kalangan bangsa elf. Bagaimana pun juga, kita hidup di dunia manusia. Banyak elf yang jatuh cinta dan nekat menikah dengan manusia, beberapa dari mereka bahkan memutuskan bunuh diri ketika pasangannya mati."
Ellanor terdiam. Suaranya mendadak hilang entah ke mana. Margo membuang napas kecil, merasa prihatin dengan Ellanor.
"Dengar, Ella. Aku tak mau kau memilih jalan yang salah. Archon akan sangat sedih kalau ia sampai kehilanganmu. Kau tahu kalau dia tulus menyayangimu di luar tanggung jawabnya sebagai pengawal pribadi ibumu?" Margo mengusap-usap kepala Ellanor yang tertunduk lesu.
Ellanor seperti ditampar oleh tiap kalimat yang meluncur dari bibir Margo. Wanita di hadapannya benar. Ellanor tak bisa menyanggah. Archon pasti sangat sedih kalau Ellanor sampai berubah menjadi manusia, atau memutuskan untuk mengakhiri hidupnya ketika pasangannya tutup usia.
Namun, bagian lain di dalam diri Ellanor terus mendengungkan nama Hugo. Ellanor sangat mencintai pria itu sejak lama.
"Aku tahu," lirih Ellanor.
"Bagus. Archon benar-benar merawatmu seperti anaknya sendiri sesuai permintaan terakhir dari ibumu, Ella. Jadi kumohon, jangan membuatnya merasa kehilangan lagi untuk yang kedua kalinya." Margo menggenggam kedua tangan Ellanor dengan hangat.
Ellanor tahu itu. Archon sudah berkorban banyak hal demi membesarkannya. Archon memalsukan kematiannya di istana Vida, dunia para elf, lalu berlari ke dunia manusia. Meninggalkan seluruh hidupnya yang sudah tertata di sana, barangkali juga meninggalkan kekasihnya. Hanya demi memenuhi permintaan Sang Putri.
Ellanor merasa begitu egois kalau sampai menuruti perasaannya sendiri. Tetapi tetap, Ellanor tidak bisa menepis dengung nama Hugo jauh di dasar hatinya begitu saja.
"Aku pulang! Ada apa? Kenapa serius sekali? Apa yang kaliaan bicarakan?"
Ellanor tersenyum hangat menyambut Archon yang menyeruak masuk. "Tidak ada, Yah. Hanya masalah wanita."
Archon menanggalkan topi dan jaketnya sembari melangkah masuk. Lelaki gagah itu mengusap-usap puncak kepala Ellanor dengan lembut.
"Apa Ayah boleh bergabung?" seloroh Archon sembari menjatuhkan pantatnya ke atas sofa.
Ellanor menggeleng, "Rahasia. Ayah pasti akan membocorkannya pada tiap pengunjung toko."
Archon tergelak mendengar kalimat Ellanor. Memang benar, ia seringkali menceritakan tentang Ellanor pada pengunjung toko rotinya. Tidak ada maksud apapun, Archon hanya ingin membangun citranya sebagai seorang ayah dan menghindari para ibu yang mengira ia pria lajang dan ingin menjodohkannya dengan putri mereka. Meski sebenarnya usaha itu sia-sia saat para ibu mengetahui bahwa Archon adalah orang tua tunggal.
"Bagaimana dengan liontin acary-nya? Kau mendapatkannya?" tanya Margo, wanita itu kembali berbaring di atas sofa.
"Uh-huh. Deb bilang liontin itu akan datang nanti malam. Aku akan pergi ke Elventown untuk mengambilnya."
"Aku ikut!" sambar Ellanor.
"Tidak, Ell, kau tidak akan pergi," pungkas Archon tegas.
Ellanor merengut, "Ayolah, Yah. Demamku bahkan sudah hilang!"
"Tapi kau tidak memakai liontin, Ella. Bagaimana kalau ada manusia yang melihat telingamu, hm?"
"Tidak akan, tenang saja akan kupastikan kepalaku tertutup tudung jaket. Jadi, biarkan aku ikut denganmu ...." Ellanor menatap Archon dengan pandangan memohon. Ellanor tahu betul Archon tidak akan pernah bisa menolaknya jika ia sudah memasang wajah melas seperti itu.
"Argh, baiklah ... baik, kau menang. Dengan satu syarat! Kau tidak boleh jauh-jauh dariku, tidak boleh bicara dengan siapapun, dan jangan lepas tudung jaket serta maskermu. Kau paham?"
Ellanor bangkit berdiri, menaruh lengan kanannya di depan dada sementara tangan kirinya terayun ke samping, memberi gestur ala utusan kerajaan.
***
Elventown, bukanlah nama sebuah kota di Edinburgh. Melainkan sebuah julukan untuk daerah yang penduduknya mayoritas adalah seorang elf. Tentu tidak semuanya. Tetapi sebagian besar yang tinggal di wilayah itu adalah para bangsa elf yang bermutasi ke dunia manusia.
Ellanor belum pernah mengunjungi Elventown sepanjang hidupnya. Jelas saja, statusnya baru berubah menjadi seorang elf beberapa jam yang lalu. Namun meskipun begitu, Ellanor tetap tidak bisa mengunjungi Elventown sesuka hatinya. Lantaran Ellanor adalah seorang half-elf. Seorang darah campuran. Sebuah entitas yang dianggap mengganggu bagi bangsa elf itu sendiri. Archon selalu mewanti-wanti Ellanor agar tak membocorkan identitasnya pada siapapun di dunia manusia.
"Apa tempatnya masih jauh?" Ellanor melirik ke arah Archon yang duduk di kursi kemudi.
"Sebentar lagi kita sampai."
Ellanor mengangguk-angguk kecil. Pandangannya menyapu ke jajaran pepohonan yang berderet rapi. Dalam hati, ia bersyukur Archon memutuskan untuk tinggal di Edinburgh dan bukan di tempat lain. Ellanor sangat menyukai udara lembab dan menenangkan kota ini. Tidak terlalu bising. Tidak banyak polusi. Juga tidak terpencil untuk sebuah kota. Masih banyak kastil dan kota-kota tua. Archon bahkan berceletuk bahwa suasana kota ini nyaris sama seperti di Vida, hanya saja Edinburgh berada di peradaban yang lebih modern.
Lima belas menit berlalu, mobil hitam milik Archon akhirnya berbelok ke sebuah komplek perumahan. Ellanor mengernyit, ia mengira Elventown seperti tempat tersembunyi atau sebuah pemukiman di pinggir kota. Di mana para elf terpinggirkan dan bebas menunjukkan wujud aslinya tanpa memakai liontin acary. Namun Ellanor salah besar. Elventown hanyalah sebuah nama lain dari komplek perumahan di tengah kota.
"Tidak ada yang istimewa di sini." Bibir Ellanor mengerucut. Matanya tersapu pada deretan rumah bergaya eropa kuno, tidak jauh berbeda dengan rumahnya sendiri.
Archon mengernyit heran, "Memangnya kau membayangkan Elventown itu seperti apa?"
"Kukira akan seperti pemukiman kuno atau apalah itu."
Archon hanya tergelak. Lelaki itu membenahi letak tudung jaket milik Ellanor, lalu menariknya untuk masuk ke salah satu rumah bergaya eropa kuno dengan halaman luas di depannya.
"Ah, Tuan Archon, silakan masuk. Tuan Deb sudah menunggu," sambut seorang pelayan.
"Terima kasih." Archon lantas melenggang masuk, kakinya melangkah mantap menuju halaman belakang. Seakan Archon sudah terbiasa mengunjungi rumah ini. Sementara Ellanor mengekor di belakang tanpa banyak bicara.
"Arc! Kemari! Bagaimana kabarmu, Bung?"
Archon tertawa-tawa, berjabat tangan dengan akrab dengan lelaki yang ia panggil Deb.
"Seperti yang kau lihat. Ah, bagaimana liontin acary-nya?"
"Lieth! Tolong bawa liontin dari ruang kerjaku ke sini!" Lelaki bernama Deb itu berteriak ke salah satu pelayan. "Apa liontin ini untuk gadis itu? Tunggu, apa dia anak dari Putri Ellanor yang kau ceritakan?!"
"Uh, yeah, begitulah."
"Salam untuk Tuan Putri." Seketika Deb bangkit dari kursi kayunya dan membungkuk memberi salam.
Ellanor sedikit terkejut, tidak tahu harus merespon seperti apa. Gadis itu hanya melirik ke arah Archon, memberi isyarat melalui gerakan matanya untuk menghentikan Deb.
"Bangunlah, Ellanor tidak nyaman dengan sikapmu."
"Bagaimana aku bisa seperti itu?! Yang kau sebut anak angkatmu itu tetap keturunan seorang bangsawan! Kau! Sulit kupercaya jiwa prajuritmu sudah hilang begitu saja!" Deb menarik paksa lengan Archon agar ikut membungkuk seperti dirinya.
"Eh ... ti-tidak perlu seperti—"
"Tuan Deb, ini liontin acary yang kau minta."
"Lieth! Membungkuk! Tunjukkan tata kramamu di hadapan bangsawan!"
"E-eh, b-baik Tuan."
"Maafkan ketidaksopanan kami, Tuan Putri."
Kepala Deb masih menunduk. Sementara Ellanor menggaruk kepala belakangnya yang mendadak gatal. Kejadian konyol macam apa lagi ini? Bahkan Archon menjadi tak berkutik saat Deb mengungkit tentang gelar Ellanor di dunia para elf. Ellanor memandangi tiga orang konyol yang tengah membungkuk di depannya itu dengan jengah.
"Sebenarnya kalian tidak perlu bersikap berlebihan seperti ini, sungguh .... Di dunia manusia, aku adalah Ellanor Fern. Bukan Putri Ellanor dari Vida."
"Menghormati anda bukanlah hal yang berlebihan, Tuan Putri," sanggah Deb, masih dengan tubuh membungkuk.
"Aku tidak peduli dengan hal itu. Sampai kapan kalian akan membungkuk? Ayah! Kenapa kau ikut bersikap konyol seperti ini?!" Ellanor mengerang frustrasi.
"Kami akan membungkuk sampai Tuan Putri memaafkan kelancangan kami. Sebagai kepala keluarga Hether, saya mohon maat atas ketidaksopanan kami. Kami tidak tahu anda akan datang kemari. Saya juga akan meminta maaf atas nama teman saya yang bodoh, Archon, dia sudah berperilaku tidak sopan padamu. Tolong maafkan jika sikap kami membuat anda tidak nyaman."
"Justru sikapmu yang seperti inilah yang membuatku tak nyaman! Urgh ... lupakan, hentikan hal konyol ini."
"Ma-maafkan saya, Tuan Putri. Pasti tidak cukup hanya membungkukkan badan padamu. Saya akan bersujud!"
Ellanor refleks menepuk dahinya, "Tidak, bukan seperti itu!"
"Saya akan lakukan apapun untuk Tuan Putri agar merasa nyaman." Deb benar-benar bersimpuh di depan Ellanor. Diikuti Lieth dan Archon yang dengan bodohnya turut terpengaruh akan kalimat Deb.
Ellanor tersenyum, "Apapun?"
"Ya, Tuan Putri, apapun."
"Maka kuminta kalian berhenti bersikap menjengkelkan seperti ini. Saat ini aku adalah Ellanor Fern, anak dari Archon. Aku memang bangsawan di dunia elf, tapi tidak di dunia manusia. Kalian paham?"
***
Ellanor membuang napas kesal. Perempuan cantik itu melirik ke arah Deb dan Archon yang duduk di kebun belakang. Syukurlah dua pria konyol itu sudah terlihat waras. Jika tidak, Ellanor bisa sakit kepala akan sifat berlebihan Deb dan menyesali keputusannya untuk datang ke sini.
Ellanor memang keturunan bangsawan meski statusnya hanya setengah elf. Tetapi, itu hanya berlaku di Vida, di dunia para elf tinggal. Bukan di dunia manusia. Setidaknya, itulah yang diyakini Ellanor.
Bicara soal Vida, Ellanor jarang mendengar Archon membahas tentang kerajaan tempatnya lahir. Yang Ellanor tahu, Vida sudah runtuh dan dikuasai oleh kerajaan Teran.
Dan Ibunda Ellanor tewas bunuh diri pada malam kerajaan Vida diserang.
Sungguh bukan kenangan yang bagus untuk diungkit.
Gerimis mulai berguguran membasuh tanah Elventown. Ellanor bergerak keluar, merapat ke jendela yang berhadapan langsung dengan taman bunga milik Deb. Di luar sana, hujan turun kian deras. Mengguyur jalan setapak yang membelah deretan bangunan klasik khas Eropa. Di dalam rumah, pelayan rumah Deb mulai menyalakan perapian sebab suhu mulai turun.
Ellanor menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma lembab udara malam diiringi gemeretak kayu bakar.
"Beth pasti sudah gila! Dia sungguh keluar malam ini untuk mencari ramuan itu di Oldtown!"
"Bukankah ramuan itu hanya mitos?"
"Entahlah. Beth mendengar sesuatu tentang keberadaan ramuan itu di kaki bukit bagian selatan Oldtown."
Perubahan yang mencolok setelah demam ialah seluruh indra Ellanor menjadi lebih tajam. Terutama telinganya. Ellanor mengernyit ketika mendengar suara dari ruang makan. Mendengar kata "ramuan" disebut, Ellanor menjadi tertarik dan pergi menuju ke sumber suara.
"Ramuan apa yang kalian maksud?" tanya Ellanor pada dua orang pelayan yang tengah menyiapkan makan malam.
"Ah, b-bukan apa-apa, Tuan Putri." Salah satu pelayan berambut pendek sedikit terkejut akan kehadiran Ellanor, perempuan itu cepat-cepat menunduk memberi hormat.
Ellanor menggerutu dalam hati. Dua pelayan ini pasti tidak akan memberitahu apa maksud ramuan yang mereka bicarakan. Kecuali Ellanor menggunakan cara 'itu' ....
"Kalian menolak menjawab pertanyaan bangsawan?"
Maafkan aku! Tapi tidak ada cara lain lagi!
"A-ah, maafkan kami, Tuan Putri. R-ramuan yang kami maksud adalah ramuan untuk berubah menjadi manusia."
Bingo!
Ellanor bersorak dalam hati. Kedatangannya ke sini sungguh tidak sia-sia. Ia memang berniat untuk mencari tahu tentang ramuan itu dengan bertanya pada Deb. Dan Ellanor pikir, ia tidak perlu bertanya lagi pada pria konyol itu.
"Jelaskan padaku semua yang kau tahu tentang ramuan itu."
----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top