Prolog
Selama di dalam kedai gelato aku tidak berani menatap wajahnya. Hanya menunduk sibuk memainkan ponsel sambil menunggu pesanan datang. Sampai pesanan datang, lalu kami sibuk makan masing-masing. Tanggal 20 Mei kemarin dia baru saja berulang tahun yang ke-22. Hari ini aku memberikan kado spesial untuknya.
Setelah aku merasa perasaanku sudah cukup kuat. Aku memberanikan diri untuk bicara. "Toples itu berisi cerita, kata-kata terpendamku selama ini. Karena aku udah aku ngasih ke kamu, aku juga lepasin harapan dan perasaanku sama kamu. Ternyata dalam beberapa bulan ini aku nggak bisa buat lupain kamu. Buat biasa aja sama kamu. Aku mohon bantu aku buat lupain ini semua dengan menjauh. Jangan berharap cepat kalo aku bisa lupain kamu dan bersikap biasa aja bagai teman. Biarin aku aja yang nanti datang ke hidup kamu lagi, saat aku udah bisa biasa aja sama kamu untuk hanya sebagai sahabat. Jauhin dan lupain aku."
"Haha, aku nggak suka kalo kamu terus minta buat menghindar begini. Andah, kamu pasti bisa secepatnya lupain aku dengan bersikap biasa aja berteman kayak biasanya sama aku."
Segera aku menggeleng cepat-cepat. "Kamu pernah bilang; live with people, not memories. Selama kamu masih muncul di dekatku, itu sulit buat hilangin perasaan ini. Dengan kamu pergi nggak ganggu aku lagi, itu juga mudah buat aku."
"Mudah caranya, kita bersikap biasa aja bagai temen. Bagai hubungan kamu sama Yudha. Kamu dulu suka dan sekarang bisa berteman sama dia, ya kan? Kenapa nggak bisa ke aku? Benar ya aku layak dibenci?"
Aku menggeleng. "Ya kamu tau dong alasannya kenapa aku bisa berteman sama Yudha, sedangkan ke kamu enggak bisa! Perasaan aku ke kamu sedalam itu, sesulit itu untuk aku lupakan." Kami kemudian diam saja, lalu aku melanjutkan bicara saja. "Kita nggak bisa hanya berteman sama orang yang kita cinta. Kalo kita bisa berteman dan bersikap biasa saja sama orang yang pernah kita cinta, perasaan kita nggak sedalam itu. Aku bodoh banget ya bener-bener nggak bisa lupain kamu."
Rifando terlihat gusar menarik napasnya lalu mengusap wajahnya. "Ini kado yang kamu kasih ke aku? Aku nggak suka kado ini."
"Kado dari aku ya tentu bakal jadi kebahagiaan kamu nantinya. Kamu punya cewek sesempurna Nilla. Itu yang dari dulu kamu ingin kan? Ketemu cewek cantik, baik, asyik, dan cerdas kayak Citra. Kamu udah temuin semua itu di Nilla. Kalo aku terus muncul ganggu kalian, nanti kamu bisa—"
"Nilla bisa terima hubungan persahabatan kita."
Aku tertawa bengis. "Yakin?" tanyaku sambil menunjukkan pesan masuk dari nomor itu. Orang yang sering mengirimkan pesan-pesan jahat merendahkanku.
08121300xxx:
Itu cowok udh punya pacar, dsr cewek bodoh
Jauhin tuh cowok kalo masih sadar diri
Lo mau satu kampus tau kelakuan jalang lo dari dulu?
Jauhin pacar orang
Kegatelan
"Kamu liat sendiri kelakuan dia! Ini nomer lain dia! Lihat pesannya ke atas, dia bilang aku bisa dipake, FWB gratisan sama kamu, dan lainnya. Aku setiap hari liat ada pesan masuk kayak gitu!"
Rifando menerima dan membaca pesan-pesan dari ponselku. Matanya melebar kala melihat satu per satu pesan itu. "Nggak mungkin ini kerjaan Nilla!" seru Rifando.
"Terserah, intinya aku yakin ini ulah Nilla. Memang siapa lagi yang cemburu sama kedekatan kita?"
"Nilla cemburu? Nggaklah! Dia baik sama kamu. Sialan, siapa sih ini?" Rifando mengambil ponselnya dan menghubungi nomor itu. Dari posisiku beberapa kali mencoba menghubungi yang terdengar hanya suara operator yang mengatakan nomornya tidak aktif. Cowok itu terus menghubungi nomor itu sambil membaca pesan di layar ponselku terus menerus. Matanya menyorotkan sinar kemarahan.
Berkali-kali Rifando menghubungi nomor itu dengan emosi yang ditahan. Raut wajah Rifando berubah kala salah satu panggilannya terdengar nada sambung yang aktif.
"Halo?" Itu suara perempuan yang renyah bagai anak kecil.
"Halo, ini siapa ya—" Suara Rifando yang galak penuh tuntutan membuat jantungku berdebar. Telepon itu diangkat oleh suara perempuan.
"Halo, ada apa Kak Fando? Eh, tunggu—" Suara perempuan itu menjadi sangat aneh. "Kok panggilan ke SIM 2? EH!"
Suara itu membuatku melongo dengan jantung terus memompa darah membuat tubuhku memanas. Orang itu tahu Rifando. Aku bisa mendengar suaranya.
Rifando terlihat sedang berpikir keras meresapi nada suara itu. Aku juga sudah menahan napas, karena akhirnya bisa mendengar suara si pemilik aktif nomor itu. Suara perempuan yang renyah ceria. Bagai anak kecil.
"Vivi?" Rifando menyebut nama itu. "Ini nomor elo, Vi?"
"Kak Fando kok bisa tau? Anjir, aduh gimana ini—" Cewek itu suaranya terdengar panik.
Aku mengambil paksa ponsel Rifando, emosiku sudah di ubun-ubun ingin melabrak bocah itu. Di sekitar kami tidak ramai, aku bisa bersuara lebih keras. "Jadi elo yang selama ini neror ngatain gue?" Suaraku yang keluar ternyata lumayan keras membuat beberapa pengunjung menoleh.
"Sini aku aja," mimik bibir Rifando menyuarakan itu.
Aku mengabaikan dia dengan tetap bicara pada Vivi. "Jangan cupu pake nomor lain! Mau gimana sekarang? Gue bakal cari lo liat aja!"
"Andah, sini!" Rifando merebut ponselnya dan bicara pada Vivi. "Vivi! Gue beneran marah sama lo. Jelasin ke gue kenapa lo ngatain Andah kasar begini. Apa mau lo ngirim pesan jahat kayak gini?"
"Gue nggak suka sama dia, Kak. Apa sih yang bikin dia lebih di mata Kakak?" tanya Vivi. "Gue lebih cantik, supel, dan aktif."
"Gue kenal sama dia sejak kecil. Kita udah ketemu dari lama. Jangan berpikir lo lebih dari Andah kalo cuma nilai hal kayak gitu!" balas Rifando.
Vivi langsung tertawa aneh, dan terdengarnya seram. Aku sampai merinding karena gaya tertawanya mirip cewek menyeramkan yang minta dilelepin ke bak kamar mandi. Bikin kesel. "Kalo belain sampe segitunya aku makin yakin, Kakak cuma terikat sama hal lain. Kak Fando pasti kena pelet, atau sering dikasih jatah selangkangannya ya?" Vivi masih tertawa cekikikan. "Main sama dia lebih asyik dan gampang ya?"
Rifando mendesis dengan wajah memerah. "Anjing," desisnya pelan.
"Vivi, lo jangan asal ngomong ya! Mulut sama otak sampah!" seruku dengan memajukan tubuh agar bisa bicara di dekat ponsel Rifando.
"Kasian Nilla kalo tau cowoknya masih lengket sama Andah. Kalian lagi berduaan aja kan? Lagi dikasih jatah ya sama Andah? Kemarin pacaran ngerayain ulang tahun dinner romantis sama ceweknya, sekarang udah berduaan sama cewek lain lagi." Nada suara Vivi makin menyebalkan membuat hatiku sakit merasa direndahkan sekali.
Kenapa semua cewek yang berhubungan sama Rifando bikin aku emosi terus. "Brengsek banget lo, Vi," desisku pelan.
Aku masih bisa mendengar suara Vivi yang masih ngeledek sambil tertawa geli.
"Permainannya mantep ya Kak, sampe bisa luluh bertekuk lutut sama dia." Vivi di seberang sana bagai tak habisnya mengeluarkan kata-kata menjijikan yang merendahkanku.
"Vi, mulut lo dijaga! Lo jangan sembarangan ngomong sama gue. Ini telepon gue otomatis kerekam, obrolan daritadi udah pasti nanti masuk bisa gue denger lagi jadi bentuk file recording. Omongan sampah lo ini bisa ngancurin karir lo yang katanya mau jadi anggota inti. Begini isi mulut calon anggota inti organisasi besar anak Ilkom? Sampah! Anjing, bener-bener ya lo omongannya nggak dijaga!"
Vivi tertawa pelan. "Ya gimana gue bisa lolos untuk seleksi juga, kalo ketua divisi gue juga rusak bajingan begini."
"Lo nggak punya bukti apa-apa, jangan sembarangan kalo ngomong!" balas Rifando.
"Nggak usah mengelak Kak, Friend with Benefits tuh emang lagi hits sekarang," kata Vivi. "Kasian Nilla ya, nggak tau aja cowoknya main di belakang sama cewek lain. Kalian lagi berduaan saat ini udah membuktikan kalian main belakang."
Mataku sudah panas, kenapa ucapan yang merendahkan harga diri perempuan lebih membuatku menjadi berada di titikku yang terendah. Air mata tidak bisa ditahan lagi sudah turun begitu saja. Aku mengambil tisu untuk mengusap air mata ini.
Rifando menganga melihatku menangis, dia sudah membeku sesaat. Lalu dia bicara lagi pada Vivi. "Urusan kita belum selesai, urusan lo jadi sama gue sekarang. Jangan macem-macem sama Andah lagi!" Setelah memutuskan telepon Rifando terfokus padaku. "Andah, udah, udah. Nanti aku yang ngurusin dia." Rifando membantu menenangkanku dengan mengelus pundak lalu saat beralih ingin menyentuh puncak kepalaku, segera saja aku tepis dengan raut wajah geramku.
"Aku yakin hidupku bakal baik-baik aja kalo tanpa kamu. Beberapa bulan ini hari-hariku udah tenang, nggak ada keributan." Aku bicara sambil terisak nangis.
"Maaf."
"Maaf nggak akan pernah menyelesaikan masalah. Sejak awal kamu udah selalu bilang begitu, sekarang masalahnya jadi semakin gede." Aku segera bangun dari duduk ingin cepat kabur darinya.
Tangisanku sudah berhenti menjadi isakan pelan, aku memakai tas dan menyimpan ponsel ke saku celana. Aku berlari cepat entah mau ke mana yang penting sembunyi dulu dari kejaran Rifando.
Sembilan bulan belakangan ini hubungan persahabatanku dengan Rifando menjadi sangat kacau, gara-gara aku berani mencoba pedekate dengannya. Siapa tahu dia bisa melihatku sebagai seseorang yang bisa dia cintai, tapi tak berhasil.
Cowok itu jatuh cinta dengan seorang cewek bernama Nilla, tetangga masa kecilnya dulu dan resmi berpacaran sejak lima bulan lalu. Tepatnya di bulan Desember menjelang akhir tahun.
Aku yang merusak hubungan persahabatan ini dengan mengungkapkan perasaan di bulan ketiga mereka berpacaran. Tepat di hari di mana Nilla, gadis itu berulang tahun yang ke-19 tahun. Tak ada pilihan aku harus jujur untuk menjauh darinya.
Pergi menjauh tanpa penjelasan membuat rumit, saat pergi dengan pamit sama rumitnya.
Aku tak bisa terlalu dekat apalagi selalu melihatnya bersama. Kedekatanku dengan Rifando sangat erat, sangat sulit menjauh tak bersinggungan dengannya. Ditambah sikap egois Rifando yang selalu menginginkan agar aku tetap menjadi sahabatnya.
Aku pernah menepi, pada akhirnya aku tetap tak bisa melupakannya. Sebab aku tak pernah benar-benar pergi menjauh dari sekitarnya.
🌻🌻🌻
A/n
Warning!!!
Cerita ini memiliki R18+, bukan karena ceritanya mesum atau banyak kegiatan nana-nini-nya. Tapi karena mengandung isu hal dewasa, yang pastinya harus dibaca dengan bijak.
Ada pembahasan obrolan orang dewasa, bahasa kasar, dan sensualitas 🙌
Thankyou!
18 MARET 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top