9. Sadar kesalahan

Di hari Sabtu secerah ini aku sudah memiliki jadwal untuk pergi ke Tiramissyou bersama Kelvin. Sudah bersiap aku mendapati Kelvin lagi di ruang keluarga membuka kardus yang berisikan donat super menggoda. Cowok itu sudah siap dengan kaus lengan pendek warna abu-abu tua dan celana jeans robek di lututnya.

Aku yang melihatnya menganga heran. Kelvin mengorder donat dalam rangka apa?

"Wah, tumben beli? Mau buat siapa? Natasya?" tanyaku heboh sudah ngiler banget melihat donat dengan topping cokelat.

"Ambil aja nih, ini dikirimin sama Fando. Ini bocah kadang suka pesen sesuatu ngirim ke sini tapi nggak kasih tahu dulu. Pas makanannya udah di jalan baru dikasih tahu."

Mendengar bahwa itu makanan pemberian dari Rifando membuat senyumanku segera terhapus. Aku masih tidak enak hati, sudah dua mingguan duka berlalu tapi aku belum berbicara lagi pada Rifando tentang hari itu. Secara jelasnya aku belum minta maaf padanya secara langsung dan menyelesaikan masalah itu. Mungkin dia menganggap masalah itu sudah berlalu, tho tidak penting amat. Namun aku merasa bersalah sekali. Di acara pengajian 7 harian mendiang Tante Emma, aku juga tak menyenggol masalah itu padanya. Bagaimana mau bicara juga, ada Nilla yang sepertinya mengawasi kami habis-habisan.

"Ndah, udah ambil sini," kata Kelvin menegur aku yang masih melamun.

Aku terperanjat kedapatan hanya menatap donat itu ragu. Pandanganku tertuju pada Kelvin yang menunjuk pada donat. "Aku masih nggak enak rasa sama dia. Ngerasa bersalah dan jahat. Padahal aku jahat banget saat dimintai bantuan." Aku bercerita sambil membanting tubuh ke sofa depan TV.

"Kalo kamu tahu satu hal ini, mungkin kamu bakalan makin merasa bersalah dan semakin enggak enakan sama dia."

Masih ada pertanyaan dalam benakku yang pernah Kelvin lontarkan tempo hari, sejujurnya aku ingin tahu namun Kelvin waktu itu mengalihkan topik. Kelvin juga tampak sedih setelah kepergian Tante Emma, makanya aku tak banyak bicara dengannya menanyakan tentang ucapannya malam itu.

"Apa? Kasih tahu aku cepetan?" tanyaku.

Kelvin memandang sekitar lalu menarik napasnya dengan raut wajah misterius serius. "Waktu Abang sama Fando marahan, Bunda ngasih tahu sesuatu. Ndah, jangan syok ya?"

"Apaan? Cepetan ngomongnya," gerutuku tak sabar.

"Bunda dan Ayah minjem duit ke Tante Emma sampe 50 juta. Sampe sekarang sisanya masih 20 juta. Mereka udah ngomong ke Bang Gara beberapa waktu lalu untuk pembayaran setiap bulannya nanti bakal masuk ke rekening atas nama Rifando. Itu buat tabungan pendidikan Elda. Tabungan Tante Emma juga bakal dipindahin ke rekening Pendidikan Elda."

Aku melongo baru mengetahui itu. "Untuk apa minjem sampai sebanyak itu?" Suaraku menjadi terbata-bata.

Kelvin mendecakkan lidah, gemas. "Uang kuliah kita, sekolah Rafel."

Aku juga selama ini bertanya-tanya, terlalu takut untuk membayangkan. Dulu Bunda mengatakan agar aku tak perlu khawatir masuk Universitas Pramudita yang mahal itu kayak Kelvin. Siapa sangka bahwa mereka bekerja keras sampai meminjam uang. Sekarang mendengar bahwa uang kuliahku adalah berkat kebaikan keluarga Rifando, makin malu dan tidak enak hati.

"Andai, aku pinter ya biar dapet beasiswa. Bang, aku jadi makin merasa bersalah. Bukan hanya sama Rifando, tapi juga sama Ayah dan Bunda. Mereka membiarkan aku masuk jurusan apa aja dan pilihanku sebenarnya nggak sesuai minat. Waktu itu aku coba-coba nggak mikirin tujuannya."

Kelvin menatapku serius. "Kenapa?"

"Aku percaya kalau hidup sesuai alur. Walau kita nggak milih, sebenarnya ini yang sudah Tuhan rencanakan ya, kan? Harus aku akui kalo sampai semester 6 ini, aku sama sekali nggak minat jadi pengacara atau bekerja di firma hukum. Aku pengen di perusahaan, Bang. Aku pilih masuk Hukum karena penasaran."

"Ya emang harus jadi pengacara atau notaris? Di perusahaan juga banyak Sarjana Hukum, Ndah. Jangan merasa salah jurusan atau random, kamu udah belajar dengan baik kok selama ini udah menjalankan perkuliahannya. Itu memang tempat yang nggak pernah kamu sangka bakal nyaman, ya kan?" Kelvin setelahnya berdeham-deham, dia memang begitu suka sok jaim kalau lagi berusaha baik.

Aku mengangguk setuju dengan ucapan Kelvin
Terkadang kita merasa bahwa jalan hidup tak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kita ingin A, tetapi yang terjadi adalah takdir B. Yang tak pernah aku sangka, bahwa ada salah satu rencana Tuhan yang membuatku merasa nyaman dan menyenangkan. Sesuatu yang kita pikir buruk ternyata sangat menyenangkan.
Aku tak pernah punya mimpi atau cita-cita di SMA, hidupku bergantung sama alur. Bisa menikmati jurusan yang tak pernah aku pikirkan akhirnya bisa memilih tantangan baru, ternyata di sana aku belajar hal lain yang tak pernah aku dapatkan. Aku belajar seni untuk bertahan hidup di dunia Kampus yang gila.

"Bang, kalo nanti Ayah Bunda nggak kuat ngelunasin gimana?" tanyaku yang rada ngeri juga.

"Kuatlah, masih ada waktu sampe Elda lulus SMA. Kalo nggak mampu ngelunasin, ya paling kamu disuruh nikah sama Fando," sahut Kelvin lempeng tanpa beban membuatku gemas dan menaboknya dengan bantal.

"Emangnya ini sinetron?" Aku mendecih sebal, aku tak akan bisa dihargai dengan apa pun. Jelek-jelek tak berguna gini aku tetap tak bisa dinominalkan dengan uang. Karena ucapan Kelvin, sesungguhnya aku kasihan sama Rifando padahal bisa mendapatkan perempuan yang jauh lebih-lebih daripada aku.

🌻🌻🌻

Setibanya di kafe Tiramissyou, aku mengedarkan pandangan sedangkan Kelvin tadi sudah ke Garden C menemui Jonny yang lagi ngerokok di sisi outdoor sana. Aku memesan minuman untuk menemani quality time sendirianku. Sambil celingukan aku baru membuka pintu Garden D, mataku menangkap bayangan sosok pria sedang bermain UNO Stacko dan sosok perempuan duduk di depannya. Mereka sedang bermain sambil tertawa-tawa bahagia.

Pemandangan itu membuatku sedikit terhipnotis memandang padahal seharusnya aku segera kabur dari sini. Perempuan itu menoleh menyadari kehadiranku. Nilla mengulurkan tangannya mencubit pipi Rifando dengan gemas.  Aku segera memundurkan tubuh namun Rifando sempat melihatku yang belum sempat menghindar menyembunyikan wajah dengan sempurna.

Saat aku membalikkan tubuh ada Mbak Ira yang membawa minuman pesananku. Kami sama-sama terlonjak terkejut. Mbak Ira juga menghindari tragedi gelas tumpah, sedangkan aku terlalu terkejut melihat kemunculannya.

"Ayam! Ayam! Ayam! Eh, ayam! Ihhhh Mbak Andah, ngagetin aja! Astaga! Kok bediri di sini doang nggak ke sana? Ini pesanan Mbak udah jadi, loh?" tanyanya heran.

Menahan tawa karena ucapan latah wanita itu, aku lumayan terhibur tak sesedih barusan. Aku mengambil gelas minuman itu sambil melemparkan senyuman aneh. "Makasih ya Mbak, aku mau pindah ke sana!" seruku sambil berjalan membawa gelas ke arah sisi kanan ruangan B alias di dalam saja.

Aku memilih kursi yang menghadap ke pintu depan, supaya ketika mereka lewat tak mendapati diriku yang duduk sendirian ngenes ini sedang minum es lemon tea amat menyedihkan. Mana kayak orang aneh duduk sendirian. Aku sejujurnya percaya diri duduk sendirian, aku orang yang senang dan bisa makan pergi sendirian. Tapi aku sedang menghindari pasangan penuh kasmaran yang lagi bahagianya. Rasanya aku menyedihkan banget karena bagai manusia yang sulit move on, ketahuan masih naksir sama pacar orang, dan tidak laku juga.

Sambil duduk aku melotot ada pesan dari nama aneh. Aku tersentak mendapat pesan chat di Line oleh Rifelda. Elda.

Rifelda Geniova:

Kak Andah, aku mau ketemu bisa nggak? Aku mau makan bebek. Aku yang traktir Sistur ;)

Aku mengerjapkan mata takut salah membaca. Tanganku mengetik balasan agar memberikan alamat tempat yang diingkan Elda tersebut. Akhirnya aku ada alasan logis untuk bisa cabut dari kafe ini, kalau aku kabur ketahuan Kelvin dan dikira alasannya ada Rifando-Nilla. Ya rasanya aku cemen banget masih belum kuat dengan dua manusia itu.

🌻🌻🌻

Selama di Warung Bebek yang direkomendasikan oleh Elda, kami jadi banyak bercerita selama makan bersama. Mulai dari cerita pelajaran di sekolah, cowok-cowok, artis, bahkan teman-teman sekeliling Elda. Elda bercerita dia sudah bosan main bersama temannya, mereka baik-baik tapi tetap saja Elda tak enak kalau ngajak main masih butuh hiburan sesaat. Aku tahu dia masih belum terbiasa dengan kekosongan ruangan di rumahnya. Sudah nyaris dua jam kami duduk, sampai menambah minuman segelas untuk menemani obrolan kami.

"Kak Andah, yuk pulang sama aku!" Ajak Elda sambil melihat ke ponselnya.

"Kamu bukannya tadi naik Grab bike?" tanyaku.

"Sekarang naik Car, biar bareng sama Kak Andah dong."

"Emang bisa mampir-mampir? Aku bisa naik sendirian kok."

"Tapi aku masih mau bareng sama Kak Andah," Elda menggeleng. Lalu dia mengangkat pandangannya melambaikan tangan ke arah belakangku.

Saat aku menolehkan kepala ada sosok Rifando yang berjalan menuju meja kami. Cowok itu masih berbaju yang sama dengan tadi saat melihatnya di kafe. Aku meneguk ludah langsung panik. Apa Nilla ikut juga bersamanya lalu kami akan berdekatan selama perjalanan pulang nanti?

"Hai Ndah," sapa Rifando tersenyum lebar. Aku menjawabnya hanya senyum kecil tanpa suara. "Yuk, udah mau balik belum?" lanjutnya.

"Ayo, udah kok. Kak Fando nggak beli, kan?"

"Nggak, udah kenyang."

"Yuk Kak Andah!" seru Elda membuatku jadi bangun dari duduk dengan lutut lemas.

Hah, apa ini? Harusnya aku tak percaya lagi dengan Elda yang sudah sering menjebakku! Kalau cewek ini mengatakan dijemput, bukan naik Taksi Online, ya aku tidak seterkejut ini melihat kemunculan Rifando. Apa ini salah satu keresekan mereka lagi? Hhh, aku mendesis. Gemas.

Aku menunggu agar Elda dan Rifando berjalan duluan, aku melihat keduanya kedua bersaudara itu sedang berjalan sambil bercanda ria. Rifando dengan usil menarik-narik kunciran rambut panjang Elda. Lucu. Itu hal yang wajar kan, ditarik rambutnya, dirangkul, dan diacakin rambutnya. Dulu kenapa aku bisa terbawa perasaan? Itu sikap Rifando dalam ngisengin adik-adiknya. Mungkin aku saja yang terlalu membawa dengan perasaan, padahal itu hal yang biasa saja untuk Rifando ke orang lain.

Berjalan di belakang mereka membuat Rifando sesekali menoleh ke belakang. Aku mengalihkan pandangan dengan terus berjalan mengekori mereka dari belakang saja, tanpa mempercepat agar tak begitu dekat dengannya. Sesampainya di parkiran mobil. Elda membuka pintu mobil yang tengah. Aku mengekorinya membuat Rifando mendelik menatap kami bingung.

"Ini nggak ada yang mau di depan nemenin aku?" tanya Rifando.

Aku melirik ke Elda, tapi anak cewek itu sudah masuk ke pintu tengah nyengir sambil melambaikan tangan. "Kak Andah aja, aku mau di belakang tiduran nyenyak."

"Astaga!" Aku menutupi rasa gemasku sambil tertawa sekilas. Pintu depan yang kiri aku buka dan wajah kikuk itu juga menyambutku. Rifando berdeham-deham langsung sok sibuk menyalakan mesin dan mengatur tombol di tape. Kegugupanku ini gara-gara gengsi dan pikiran yang belum terbiasa.

Selama perjalanan pulang, aku inginnya cepat-cepat sampai ke rumah namun jalanan sore ini macet banget karena orang pada keluar rumah. Terkutuklah macet ini yang membuatku menjadi semakin lama terjebak dalam suasana kikuk.

Aku melirik ke belakang Elda sudah tidur menggunakan dua kursi tengah. Pantas saja hanya keheningan yang menemani kami. Aku mendecak, terjebak dalam suasana membingungkan.

"Aku lihat kamu tadi di pintu Garden D, apa cuma salah lihat?" terka Rifando memecahkan suasana aneh keheningan panjang ini.

"Bener kok nggak salah lihat, kalo kamu nggak cuma lagi kangen dan kebayang-bayang wajah aku." Jawabanku membuat Rifando tertawa kecil dengan menatap ke arah lain. "Tadi dateng sama Kelvin, aku mau belajar main Stacko tapi Elda ngajak keluar. Cuma minum es di ruang B. Nggak lama sih."

"Oooh, mau bisa mainnya? Aku bisa ngajarin," sahut Rifando tanpa beban.

Mataku mendelik sinis padanya. Diamku menjadi jawaban, semoga dia paham. Aku tak akan mau sok akrab seperti dulu. Sok baik. Sekarang berbeda karena aku mau berubah dan berusaha menolak kehadirannya di luar ketidaksengajaan atau kesempatan sempit yang memaksa seperti saat ini.

"Kok kamu nggak ke Garden D?" Rifando bicara lagi berusaha agar suasana perjalanan ini menjadi rame sedikit.

"Ya, menurutmu gimana?" tanyaku balik sudah kesal.

Di Garden D itu sudah jelas ada Nilla, pacarnya. Bisa dibilang aku cemburu mana bisa melihat mereka berdua duduk bersama bercanda tertawa ria sambil saling cubit-cubit gemas. Kalau emosiku keluar bisa jadi akan membanting bangku saking sebalnya.

Nada suara dan ucapanku mampu membuat Rifando bungkam tak menjawab lagi. Cowok itu menatap lurus pada jalanan. Saat ini kami berada dalam perjalanan bersama, aku baru teringat ada masalah genting yang perlu diluruskan. Kita sering menganggap kesalahan orang lain besar tanpa berkaca bahwa kita juga belum memperlakukan orang lain sebaik-baiknya. Aku mengaku kalau aku salah. Aku ingin menjadi lebih dewasa dalam bersikap. Meski seberapa besar rasa marah, kesal, dan benciku pada Rifando. Aku mengakui aku pernah melakukan kesalahan juga padanya.

"Untuk saat ini aku mau ngomong tentang aku, bukan perasaanku yang selalu bikin kita jadi
ribut. Tentang aku dan kalian. Ndo, maaf, malam itu aku nggak angkat telepon kamu. Aku jahat dan dihantui rasa bersalah terus-terusan sampe sekarang. Padahal aku ngeliat di layar ada panggilan telepon dari kamu."

Rifando mengembuskan napasnya pelan tanpa menatapku. "Iya aku ngerti kok, kamu nggak mau diganggu lagi. Lain waktu diangkat ya, Ndah." Akhirnya dia mengalihkan wajah ke samping kiri jadi melihat wajahku.

"Maafin aku. Aku jadi takut terbayang gimana saat aku butuh orang lain, tapi enggak ada yang bisa aku andalkan. Kayak yang aku lakuin ke kamu, aku enggak punya empati, jahat, dan bodoh."

"Pssst! Jangan khawatir kamu akan kesusahan, ada aku, jangan takut. Kita cuma punya kalian saat ini. Aku berharap kalian juga bisa mengandalkan aku. Perlahan kita pasti bisa melalui menyelesaikan masalah ini. Aku nggak mau kita begini terus-terusan."

Seharusnya ini sudah selesai dengan aku mengabaikannya dan berakhir bisa melupakannya total. Aku menanti kapan bisa bersikap biasa saja di hadapannya tanpa kesal. Sayangnya, dia tidak semudah itu pergi dalam ingatan dan hatiku. Lagi-lagi aku diingatkan oleh Rifando, bahwa kami memang sudah seperti ikatan benang merah.

"Aku masih berusaha dan berharap bahwa penyelesaian dari masalah ini, bukan yang membuat kita masing-masing menjauh menjadi orang asing." Rifando kembali bicara.

Aku menggeleng tak setuju dengannya. "Kalo memang harus berakhir begitu mau gimana lagi? Ada banyak hal yang memang harus berakhir enggak seperti yang kita inginkan, memang seharusnya kita biarkan nggak sesuai dengan kemauan kita. Yang bisa kita lakukan adalah menjalankan, menerima, dan membiarkan. Hal-hal yang perlu dibiarkan, salah satunya tentang hubungan kita. Keinginan kita berbeda, apa nggak egois kalau saling memaksa ingin menang?"

"Aku nggak pengen menang," tukas Rifando yang paham maksud kata menang di sini maksudnya apa.

"Kamu pengen menang," tandasku cepat. "Kamu mau keseimbangan hidupmu baik lagi tanpa mengerti perasaan aku." Aku semakin sakit hati bahwa ucapanku tidak dibantah sama sekali olehnya.

Rifando terlihat sedang diam saja menahan emosi dengan ekspresi wajah mengeras. "Kamu sendiri memang nggak mau menang?" tanyanya dengan suara pelan.

"Aku udah nggak berharap apa-apa sama kamu, apalagi bisa sama kamu." Aku tidak bisa membuat Rifando berpaling dari Nilla, mana mungkin cowok itu meninggalkan cewek sesempurna Nilla demi aku doang. Namun aku juga belum bisa terlalu dekat bersamanya. Ini masalahnya sederhana, namun keinginan kita yang berbeda.

Rifando mendesis mengepalkan tangannya tanpa menjawab perkataanku. Pria itu membuka suara setelah diam beberapa saat. Kata-katanya langsung mengena ke hatiku. "Kalo udah nggak berharap, bisa buat bersikap biasa aja? Kalo kamu menjauhiku, kamu masih lemah. Kamu kalah."

"Iya, bener aku udah nggak berharap apa-apa. Tapi belum tentu perasaan kesal dan marahnya udah hilang, itu faktanya." Aku menguarkan senyuman seringai tipis dan getir.

"Kali ini aku akan hargain pilihan kamu, dulu aku ngotot nggak mau kamu benci. Nggak terima kamu jauhin. Aku nggak akan memaksa kamu lagi. Pembebasanku kali ini buat penebusan kesalahanku selama ini. Apa kamu beneran bisa tenang dan bahagia setelah ini?"

Tidak. Jelas, jika tanpanya ya tidak.

Saat kita sudah tahu dan paham bahwa tinggal waktu dan terbiasa adalah caranya.


🌻🌻🌻





24 APRIL 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top