6. Sandiwara
Di dapur rumah itu aku sedang bersama dengan Tante Emma dan Elda. Kami berbagi tugas untuk memasak. Tante Emma yang bertugas untuk membuat adonan seperti memasukkan daging giling ke dalam baskom kecil. Dicampurkan dengan tepung kanji, garam, bawang putih yang sudah dihaluskan, telur, dan lada bubuk. Seluruh bahan-bahan itu diaduk oleh Tante Emma yang menggunakan sarung tangan plastik dalam melakukan tugasnya.
Aku dan Elda bertugas membuka bungkusan plastik mie dan menuggu giliran untuk memasak mie itu setelah adonannya nanti dibulatkan membentuk menjadi bakso.
“El, nanti untuk kuahnya nanti pake royco sapi, garam, gula, bawang putih yang udah dialusin sama Mbok. Jangan lupa pake lada putih, dan pala bubuk ya,” ucap Tante Emma pada Elda yang lagi mengumpulkan bahan-bahan.
“Jangan lupa airnya juga, Nte,” tambahku membuat Elda tertawa.
“Iyalah Kakak ih, masa nggak pake airnya? Terus kapan buat bikin kuahnya Ma, aku kira nanti rebus baksonya langsung di air yang udah sama bumbu kuah.”
“Heh ngaco, di tukang bakso aja micin sama daun-daunan, dan mie-nya dipisah.” Tante Emma menatap Elda lalu tertawa.
“Iya, aku kan nggak tahu,” sahut Elda ketawa padaku. “Nanti Kak Andah yang ngurusin dan inget caranya, aku lupa.”
“Dengerin Mama nih ya, nanti bihunnya jangan kelamaan, cuma diseduh aja jangan sampe lembek banget. Nanti kena kuah baksonya bisa makin lembek. Kamu liatin itu bihunnya kalo udah ditiriskan taro di piring aja aja. Fando kan nggak suka sama mie yang lembek, jangan lupa!”
Tante Emma sudah membuat adonan yang pas untuk bakso dagingnya, aku mengambil sendok untuk membuat bola-bola bakso.
Aku mengajarkan Elda untuk membuat bulatan bakso dari adonan itu. Diambil adonannya dengan sendok lalu dibulatkan dengan kedua tangan yang sudah bersih.
“Kak Andah jago bikin buletan bola ya?” Elda melihat bulatanku yang cukup bagus, sedangkan dia masih belajar untuk memutar adonan di tangan.
“Dulu sering mainin tanah liat pas SMP, dulu Andah ke rumah minta dibantuin Fando bikin tugas seni rupa dari tanah liat. Fando bikinnya yang susah gitu, kayak Ultraman. Terus Andah yang dibantuin malah bikin boneka salju main-mainan sama sisa tanahnya.”
Aku mendengarkan cerita masa lalu itu dengan perasaan sedih. Aku mengambil adonan dan membuat bulatan tanpa fokus.
“Kak, itu baksonya kegedean!” seru Elda tiba-tiba mengejutkan.
Aku melongo melihat bola bakso itu cukup besar seperti bola bekel, lebih besar dari yang seharusnya. “Astaga, ini karena gede buat aku aja! Biasanya bakso yang gede begini harganya beda.” Aku menutupi rasa salah tingkah akibat tidak fokus.
Untuk urutannya setelah merebus bakso, akan membuat kuah baksonya yang tidak akan terlalu lama seperti merebus bakso.
“Mama rebusin tauge, karena pengen pake tauge. Nanti jangan lupa ya hati-hati kalo mau bikinin buat si Fando,” ucap Tante Emma membuat aku dan Elda bersiap mantap.
Sambil menunggu bakso matang aku melihat-lihat isi panci tersebut. Di dapur masih ada Elda yang duduk di meja makan menyiapkan mangkuk-mangkuk kecil.
“Kak, ini aku siapin mangkuknya juga. Nanti pasti masih banyak sisanya, bisa nambah lagi ya!” seru Elda.
“Hai, El!!!” sapa seseorang mengejutkanku dari pintu masuk dapur.
Aku menoleh dan mendapati cewek itu sedang tersenyum riang ceria pada Elda. Aku yang tidak disapa pura-pura menjadi objek yang tak terlihat dengan fokus mengaduk bakso dalam panci. Aku melihat di kompor sebelah untuk kuah airnya sudah tergolak hebat mendidih. Dalam diri menahan agar tidak memiliki lamunan busuk layaknya film thriller untuk menyiram kuah itu ke oknum menyebalkan. Astaga, aku menyeramkan banget.
“Mau bikin apa, El? Kak Nilla mau bantuin juga dong,” kata Nilla yang suaranya makin keras karena dia berdiri di belakangku.
Aku mencebik diam-diam mencibir nada suaranya yang dibuat-buat itu. Hih.
“Ini udah mau selesai kok,” sahut Elda. “Tinggal masukin mie, bihun, sayuran, dan bawang goreng ke mangkuknya.”
Aku tersentak kaget ketika Elda muncul di sebelahku. “Kak Andah, El sakit perut nih keram tiba-tiba. Tinggal dulu ya, bikinin sayuran sama mie ke mangkuknya ya, Kak?”
Aku mengangkat jempol. “Oke, aku buatin abis ngaduk ini ya?”
Elda keburu kabur sambil lari-lari kecil, aku sesungguhnya malas harus berbalik badan akan berhadapan sama perempuan itu. Aku mengaduk bakso dulu untuk mengetahui apakah sudah matang atau belum.
“Eh, ada Nilla!!” seru Tante Emma muncul kembali ke area dapur. Kemudian dia berjalan ke sisiku. “Ndah, sini Tante aja yang liatin baksonya. Kamu duduk aja udah buletin bakso tadi kan.
“Hey, Tante Emma!” Nilla balas menyapanya.
“Tante, aku udah masukin mie dan sayuran ke mangkuk nih, jadi nanti bisa langsung masukin bakso dan kuah aja.”
“Iya Nte,” aku pun membalikkan tubuh pergi ke meja makan. Aku melihat Nilla sedang duduk di kursi yang jauh dariku.
“Hai, Andah!” sapa Nilla dengan senyuman yang dipaksakan.
“Hai juga!” balasku santai.
Kemudian cewek itu pergi dari dapur sambil menyebut nama Rifando. “Fando! Sayang!”
Aku mengeryit, ngeri, dan geli. Dan sakit hati juga mendengarnya. Dulu aku sering ngayal bisa manggil Rifando dengan kata sayang tanpa takut disentil.
“Fando lagi di atas deh di kamarnya,” kata Tante Emma. Namun sosok Nilla sudah tak terlihat lagi.
Aku menganga melihat di meja yang berisi mangkuk-mangkuk itu sudah berisi mie, bihun, dan tauge semua. Aku tidak tahu siapa yang membuatkannya, tidak mungkin Elda yang sudah tahu akan hal itu.
“Loh, kok pake tauge semua?” Tante Emma muncul lalu berkata seperti itu melihat ke mangkuk di meja.
“Gapapa, Nte, nanti yang ada togenya buat Andah aja dua-duanya. Ini Andah bikinin lagi yang nggak pake tauge,” kataku sambil mengambil mangkuk dari rak piring. Aku membuatkan isian di mangkuk itu berupa bihun, mie, dan bawang goreng saja. Ingat tanpa tauge.
“Ini siapa yang bikin ya? Kan tadi El udah dibilangin jangan pake tauge di satu mangkuk—“ Tante Emma mendesis sebal.
“Andah kok bikin satu mangkuk lagi? Itu nggak pake tauge? Andah nggak suka tauge? Bilang dong kalo nggak suka, jadi kan yang tadi nggak perlu dipakein tauge semua,” ucap cewek itu sambil muncul di dapur lagi membuat aku dan Tante Emma terkejut lalu melempar tatapan heran. “Terus nanti itu yang udah ada taugenya kalo gak ada yang mau ngabisin gimana sayang kebuang-buang. Udah kecampur sama yang lain juga.”
Apa-apaan ni cewek makin nyerocos ngegas gue?
“Kalo tadi bilang, jadi kan nggak perlu ngotorin tempat lagi, kalo nggak suka tauge-nya bisa diambilin lagi aja. Kan masih bisa dipisahin taugenya kalo sedikit.” Nilla masih nyerocos sambil menatapku.
“Ya nggak apa-apa nanti aku makan pake dua tempat, nanti aku bisa cuci sendiri bekasnya Lagian ini bukan aku—“
“Ya udah kalo gitu,” sahut Nilla santai.
“Bukan Andah kok yang nggak suka tauge di bakso, tapi Rifando. Fando kan nggak suka tauge di bakso, walau udah kecampur terus dipisah tapi keliatan jejaknya atau tercium baunya dia nggak bakalan suka.” Penjelasan dari Tante Emma membuat Nilla menjadi berubah kikuk dan memucat.
“Maaf, Tante, kirain itu Andah. Nilla nggak tahu kalo Fando nggak suka tauge di bakso.”
Aku mengembuskan napas sebal, aku sudah digas olehnya marah-marah ternyata dia salah. Mana dia tak tahu bahwa Rifando tidak suka tauge!
“Oh ya udah, tapi Nilla suka kan tauge? Nanti Nilla kan ambil satu. Tadi mangkuknya cuma empat, sama yang baru dibuatin Andah. Lima deh.”
Nilla memasang wajah sendu ketika bicara dengan Tante Emma. “Padahal Nilla mau buatin yang khusus dimakan sama Fando. Tapi yang dibikinin Andah yang jadi buat Fando.”
Aku mendecak sebal. Ni cewek apa banget sih?
“Ya gimana kamu mau bikinin yang benar dan bisa dimakan sama Rifando, kalo kamu aja nggak tahu dia nggak suka tauge!” seruku dan sepertinya ini membakar kekesalan si Nilla.
“Kamu nggak tahu atau Fando yang nggak pernah makan yang berhubungan sama tauge depan kamu?” tanya Tante Emma terkekeh santai.
"Aku lupa." Nilla memanyunkan bibirnya sebal. Kemudian cewek itu terfokus ke Tante Emma lagi. “Nte, emang Fando tuh sukanya dan nggak sukanya apa aja sih? Aku pengen tahu lebih jauh biar nggak salah lagi.”
Sukanya kamu, nggak sukanya sama aku, jawabku sinis dalam hati.
🌻🌻🌻
Aku menepi daripada suasana antara kami menjadi aneh. Memang benar aku tidak mau lihat Rifando bersama Nilla, sekarang aku sedang duduk di teras samping rumah cowok itu sambil bermain ponsel. Acara makan bakso tadi berjalan dengan canggung, aku berusaha untuk tetap santai bersama Tante Emma dan Elda, sedangkan Nilla terus berada nempel pada Rifando tak mau lepas.
Sepertinya saat ini mereka sedang duduk-duduk ngobrol di ruang tamu. Aku di sini sendirian sibuk mencari sinyal, alasan dariku cukup masuk akal mengingat operator selulerku memang
sinyalnya tidak stabil.
“Aku mau ngomong sama kamu. Ndah, aku tahu kamu nggak suka sama aku. Jadi gini cara kamu mau nusuk aku, diem-diem ternyata mau ngerebut Fando?” Aku syok melihat Nilla muncul di pintu samping dan bersidekap melipat kedua tangannya di depan perut.
“Maksudnya apa?” tanyaku. Walau aku tak suka padanya sejak kejadian lama, aku tak pernah berani ngajak ribut seperti dirinya saat ini.
“Jangan deket-deket sama Fando dan keluarganya juga. Kamu bisa nggak sih jaga perasaan kita? Perasaanku dan Fando?”
“Jelasin maksud perasaan kalian itu apa?” Aku mengerutkan dahi.
“Perasaan Fando, dia pasti risih sama kamu yang centil gini main ke rumahnya terus. Udah tahu dia nggak suka sama kamu. Perasaanku ya kamu pasti ngerti sebagai sesama cewek kan? Aku udah coba sabar, tapi sekarang lebih baik diomongin secara langsung aja.”
“Aku ke sini karena diajakin kok, bukan karena—“
“Waktu itu aku udah nawarin persahabatan, biar kita makin deket nggak salah paham lagi. Kalo kita bersahabat dan bisa memantau kamu, aku jadi percaya sama kamu kalo kalian nggak bakal ada main di belakangku.”
“Maksudmu? Kamu nuduh aku? Emang aku semurahan itu?”
“Ya aku sih percaya kalo Fando tuh nggak bakalan ada perasaan lebih buat kamu. Tapi kamu nggak tahu deh, udah jelas sih cinta mati sampe ngejar-ngejar mulu, dan punya rencana lain buat rebut Fando? Apalagi kalian bisa sedekat ini karena kamu bebas masuk ke rumahnya,” ucap Nilla membuatku menganga. Jadi begini aslinya Nilla yang sebenarnya?
“Oh ya, aku kan udah ditolak sama Fando, kamu nggak percaya sama dia? Aku nggak butuh dia, dia yang butuh aku, dan terus mencari aku,” jawabku sambil menyunggingkan senyuman sinis. “Emang selama ini siapa yang nyari duluan, padahal aku udah menjauh sembunyi. Dia yang terus nyari aku, dan membutuhkan aku. Dia yang nggak bisa tanpa aku!”
Cowok itu yang masih ngejar aku, berusaha tetap ngajak bersahabat, dan tanpa sungkan masih berhubungan baik sama keluargaku. Jangan lupa, cowok itu pernah menciumku. Masih mau menyimpulkan aku yang nggak bisa hidup tanpa dia?
“Jangan geer! Dia cuma kasian sama kamu tahu nggak? Terus sekarang kamu ngapain di sini masih kecentilan?”
“Kamu boleh ngelarang aku jauhin dia, tapi aku nggak bisa menjauh dari Tante Emma!” balasku ketus.
“Kamu bener-bener nggak punya perasaan sebagai sesama cewek, jaga perasaan pacarnya dong kalo kamu sahabat yang baik!” seru Nilla sambil menatapku sinis.
“Sahabat, cih,” aku mendengkus sebal.
“Jangan jadi sahabat alias cewek kegatelan yang maunya diprioritaskan, dan sok merasa penting! Segala disebut sebagai sahabat padahal cuma cewek centil cari perhatian, tapi cintanya bertepuk sebelah tangan.”
“Barusan bilang apa?”
“Aku nggak suka sama cewek yang kayak gini, mengatasnamakan sahabat jadi merasa sok penting!” Nilla berbicara lagi.
“Aku bukan sahabat dia lagi, nggak mau kata sahabat itu bikin aku jadi disalahin sama kamu pake tuduhan kayak gini. Tapi aku nggak bisa dipisahin menjauh sama Tante Emma. Hubunganku sama keluarga ini cuma sama beliau.”
“Yaaaa, itu masih aja centil dan cari perhatian aja sampe sekarang?”
“Terus kenapa kalo aku masih akrab sama Tante Emma? Kamu iri? Terus itu jadi salahku?” Aku tidak suka ketika labelku sebagai sahabat Rifando dijadikan alasan cewek itu menyeretku, dan segala meminta belas kasih karena takut pacarnya direbut olehku. Dan dia memaki diriku sebagai sahabat cewek yang kegatelan.
Kata Nilla, sahabat adalah cewek kegatelan yang minta diprioritaskan dan sok penting. Aku tidak tahu bahwa sekarang kata sahabat bisa memiliki arti mengerikan, apakah hanya di mata cewek ini saja atau di pikiran cewek lain di luar sana?
“Kamu harus tahu kalo Fando udah menghadap ke Papaku buat serius. Papaku udah minta dia serius sama hubungan kita dan dia mengiyakan."
"Yakin??" selaku cepat dengan mengendalikan terkejut dengan berita itu.
"Dia udah diamanatkan, masa mau melanggar janjinya? Pria macam apa kalo dia berani melanggar janji? Masih mau berharap kalo kamu bakalan bisa bikin dia naksir kamu? Jangan mimpi!”
Aku membulatkan mulut dengan hati tertusuk sakit mendengar sebuah kenyataan bahwa Rifando terikat sebuah janji untuk serius menjaga hubungan dengan Nilla. Pria itu sangat baik, bertanggungjawab, dan serius. Aku bahagia akhirnya Rifando sudah menentukan kali ini hubungan terakhirnya bersama cewek. Sedangkan aku cuma bermodal harapan dan mimpi.
“Oh, selamat. Makasih udah menyadarkanku. Semoga kalian selalu bahagia karena saling mencintai,” jawabku dengan menelan pil pahit ini. "Kalian baru pacaran, belum tentu menikah apalagi berjodoh, kan? Baru pacaran aja udah kayak gitu! Drama!"
"Drama? Kamu ngomong apa? Hah?"
"Aku nggak bakal ngomong jahat kayak gitu kalo kamu nggak merendahkan aku kayak tadi."
"Kamu pikir Rifando bakal kasian dan suka sama kamu? Kamu itu nggak penting banget di hidup dia, jadi jangan berharap bakal bisa membuat dia luluh. Kamu memang nggak penting! Jangan sok penting deh!” seru Nilla matanya menatapku penuh kebencian. “Kamu bakal nangis nyaris gila kali ya saat kita menikah nanti."
Apa aku sungguhan bakal jadi gila? Bukankah cara itu semakin memudahkanku untuk melupakannya? Aku tak mungkin mencintai lelaki yang sudah punya istri.
“Andah penting untuk saya!” seru seseorang bukan dari kami.
Kami berdua menoleh ke asal suara perempuan bernada dingin dan seram itu. Aku menganga melihat Tante Emma berdiri di ambang pintu halaman sambil berdiri dengan tongkatnya. Mata wanita itu menatap padaku dan Nilla bergantian dengan sorot tajam. Aku pelan-pelan meneguk ludah. Takut. Apa keributan tadi kami diketahui oleh Tante Emma? Pelan-pelan aku menggeser pandangan menatap pada Nilla yang sedang berdiri memasang wajah santai rileks. Apa dia sedang berusaha tidak terguncang gara-gara seruan kemunculan Tante Emma saat ini.
“Kamu pacaran sama anak saya bukan berarti bisa mengendalikan dia dan juga Andah.” Hanya satu kalimat yang terdengar biasa saja, namun karena siapa yang mengatakannya adalah perempuan dewasa itu membuat ucapannya jadi menakutkan dan penuh emosi di setiap kata-katanya. Tante Emma sedang memandangi Nilla dengan tatapan tajam penuh selidik.
“Tante, bukan gitu maksud Nilla, soalnya Andah—“ Nilla berbicara dengan suara ingin menangis. “Andah cari perhatian terus sama—“
“Tante paham kok, jelas banget dengan maksud obrolan kalian berdua,” kata Tante Emma menjadi amat dingin tak seperti biasanya.
Jangan lupa, wanita ini merupakan wanita karir di masa mudanya yang berwawasan luas serta cerdas. Aura bijaksana dan tegasnya masih ada walaupun selama ini dia hilangkan berganti dengan imej lemah, dan sakit bersama tongkat setianya.
Tatapan Tante Emma sekarang tertuju padaku yang diam saja menjadi ketakutan. Aku tidak tahu mau berbicara apa karena semua ucapanku tadi hanya membela diri karena disalahkan oleh Nilla yang tak mau melihatku dekat dengan orang-orang di rumah ini.
"Selama ini Andah memang sengaja menghindari Tante?" Tante Emma memandang dengan tatapan mata kecewanya.
“Aku menjaga jarak buat perasaanku dan hubungan Fando. Tapi aku masih pengen tetap akrab sama Tante, nggak bisa jauh apalagi sampe lupa.”
Tante Emma memandangi Nilla saat ini tanpa rasa ragu. “Terima kasih keluarga kalian pernah membantu keluarga kami, tapi saya akan melengkapi cerita biar Fando juga tau tentang Andah di pagi hari iti. Biar Fando nggak cuma balas budi rasa berterima kasih hanya ke kamu.”
Nilla mengerjapkan matanya yang sudah berair penuh, cewek itu lari meninggalkan kami entah mau ke mana. Aku masih diam meneguk ludah dan mengerjapkan mata gara-gara kepergok Tante Emma sedang ribut sama cewek lain.
“Maaf ya Ndah, Fando nggak tahu soalnya nggak pernah diceritain apa-apa lagi. Saya nggak mau mengingat kejadian itu dan mengubur rapat fakta kejadian aslinya.”
“Aku juga nggak mau inget apa-apa, Nte.”
Tidak lama Rifando muncul di pintu dengan raut wajah cemas memandangi kami semua satu per satu, tatapan pemuda itu sangat menajam terutama padaku. “Nilla kenapa? Kamu ngomong apa ke Nilla, sampe dia nangis begitu?”
Aku hanya bisa membeku dengan lidah menjadi kelu. Isi kepalaku sudah berisi kata-kata ledakan untuk memaki cowok itu. "Ya mana aku tahu dia nangis kenapa, seharusnya aku yang nangis karena udah dimaki-maki."
"Andai, kamu denger sendiri gadis itu udah berbicara hal apa," ucap Tante Emma menghela napas lelah lalu berjalan tertatih-tatih dengan tongkatnya masuk ke dalam rumah. Meninggalkan di sini yang tersisa aku dengan Rifando berdua saja.
Aku mau menyusul Tante Emma atau mencari Elda, ya kegiatan apa saja asal tidak berdekatan dengan Rifando. Sebelum masuk pintu Rifando mencegahku dengan tatapan tajam. "Ada apa?"
"Aku nggak mau bahas."
"Kalo dia kenapa-kenapa gimana, kamu tahu dengan keadaan kesehatan dia, kan?" tanya Rifando penuh penekanan di kalimatnya dan sorot matanya dilanda kecemasan.
🌻🌻🌻
14 APRIL 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top