42. Last, but not least

Hari ini cerah, mendukung perasaanku yang lagi sebaik-baiknya. Sudah tak pernah merasakan lagi sejak lama. Sebuah momen yang dulu menjadi rutinitas biasa, sempat menjadi suatu yang dihentikan paksa, dan sekarang memulai kembali bersamanya.

Seperti yang Bunda bilang, dan itu menyadarkanku. Sekuat genggaman erat kalau memang bukan takdirnya akan berpisah juga. Dan sejauh apa pun pergi, jika menjadi takdir milikku tak akan pergi jauh.

Untuk saat ini tidak ada yang patut dipermasalahkan lagi. Aku sudah tahu maksud jelas keinginan cowok itu memperbaiki hubungan ini. Tidak ada lagi salah paham, dan ikatan dirinya dengan perempuan lain.

Andai, aku saat ini bisa sebijak dulu saat masih remaja. Aku tidak perlu menunjukkan kemarahanku hanya karena cemburu. Andai, aku tetap tenang dalam menghadapi Rifando bersama pacarnya. Sayang aku memang tak bisa tenang selama cewek itu adalah Nilla.

Aku tidak suka cewek itu yang diperjuangkan, dipacarin hanya karena rasa balas budi. Kehadirannya membuatku sadar bahwa jika tidak tak pernah datang, ya aku juga tak akan bisa mengalami kejadian lain bersama Rifando. Alias kisah kami bakalan hambar banget.

Aku masih mengikat tali sepatu, sebuah deringan panjang di hapeku. Ada nama orang itu menghubungiku. Aku mengangkat telepon sambil berkaca memeriksa make up hari ini. Cuma mau main ke perpustakaan milik pemerintah tapi aku cukup heboh sibuk sendiri.

"Halo?"

"Halo, atas nama Mbak Andara ini Ojeknya udah sampe. Posisi di mana ya?" Nada suara serius Rifando membuatku jadi menahan senyuman.

"Tunggu dulu Bang, sebentar lagi keluar dari rumah. Saya udah lihat motor Abang kok."

Aku sesempatnya mengintip lewat pintu balkon kamarku, saat itu juga Rifando sedang mendongak ke arah balkon dengan raut wajah masam. Segera aku menarik tubuh agar tidak ketahuan dirinya sedang mengintip sebentar. Aku tidak mau dikerjain, apalagi ini semua hanya mimpi saja.

"Tck, elah. Sini dong cepetan. Jangan lama, buruan deh turun aku keburu disemutin nih. Soalnya aku manis." Cowok itu berbicara protes lewat telepon.

"Jangan deket-deket ama pohon, ada sarang tawon." Pesanku diselingi ketawa kecil tapi Rifando terdengar langsung misuh-misuh panik.

"Anjir, bilang dari kemaren kek Ndah!! Anjir, semoga mereka nggak tahu ada benda semanis nektar di sini," gerutunya pelan. "Pahit. Pahit. Pahit."

Sekadar informasi dulu saat SMP, cowok itu pernah dientup tawon yang sakitnya tujuh hari tujuh malam. Jadi cukup takut trauma dengan tawon.

Setelah itu telepon ditutup Rifando tanpa bicara apa-apa lagi, aku turun dari tangga mendapati Kelvin sama Rafel sedang duduk di depan TV sambil makan popcorn.

"Bagi dong!!" seruku sambil mencomot popcorn dari toples cukup banyak.

Kedua manusia itu langsung protes dengan ngomel kompak sekali.

"Nggak patungan duit dan bantuin bikin tapi minta doang!" seru Kelvin melotot menaboki tanganku yang sudah mau ngambil sesi kedua.

Aku mengunyah tak merasa bersalah dan hanya bisa mengambil sedikit untuk sekadar makanan numpang lewat.

"Kemaren pas paket jagungnya dateng bilangnya; ngapain beli makanan burung?" celetuk Rafel sambil mencebik bibir.

Sengaja aku memasang ekspresi heboh. "Wah, aku baru tahu kalo makanan burung bisa jadi popcorn?!" seruanku membuat kedua cowok itu mendesis gemas. "Ya itu kan memang kayak makanan burung bentuknya!"

"Ini namanya jagung, you know? Makanan burung itu namanya jagung. Bun, payah nih Kak Andah nggak tahu jagung!!!" seru Rafel heboh.

"Memang menurutmu popcorn dari apa? Manusia kebanyakan pura-pura pinter. Tapi baru kali ini ketemu ada orang yang pura-pura bego," ucap Kelvin serius namun setelahnya tertawa.

"Kak Andah mau ngelucu Bang, tapi jatohnya emang jadi keliatan Oon beneran!" seru si adik kurang ajar alias Rafel. "Natural banget!"

Aku mencekik leher Rafel dari belakang, cuma bocah itu yang bisa menjadi pelampiasanku. Kalau aku berani mencekik Kelvin, bisa jadi aku langsung masuk UGD. Saat aku teringat ada si Manis yang menunggu di luar, ekspresiku membuat keduanya menatap heran.

"Aku pergi dulu! Daaaaah!"

"Eh, mau ke mana?" Suara Kelvin masih terdengar olehku.

"Pergi sama Doyi."

Dalam perjalanan menuju keluar rumah, aku melihat Achel dan Encis sedang duduk di lantai ruang tamu. "Bye buntelan!"

Keduanya hanya menatap dan bicara dalam hatinya.

"Lihat aja nanti lo Ndah! Udah ada Doyi, kita jadi dicuekin."

"Pas galau sedih siapa yang diunyel-unyel. Kalo udah seneng, manusia emang begitu suka lupa sama yang nemenin pas lagi sedih."

🌻🌻🌻

Di depan kafe Tiramissyou kini aku sedang berdiri memandang lesu ke arah depan, baru saja hujan turun deras lagi. Langit sudah amat menggelap sebab jam sudah menuju pukul 6 sore. Aku tidak sendiri, aku melirik pelan-pelan takut kepergok oleh sosok cowok yang sedang berkacak pinggang mendesah berat karena turunnya hujan itu lagi.

"Kamu pulang duluan aja kalo masih ada tugas ngurusin barang bawaan di rumah, kan bawa jas hujan," ucapku cukup keras agar suaraku didengar. Suara hujan itu cukup deras bisa mengalahkan suaraku. "Aku bisa naik Ojek nanti pas udah reda."

"Nggak mau. Jas hujan cuma ada satu, aku nyesel bawa motor." Rifando menjawab sambil menatap langit yang masih mengguyurkan hujan.

Aku memekik saat tiba-tiba ada cahaya petir menyeramkan, lalu suaranya terdengar kencang. Getaran akibat guntur langit itu sampai ke bumi membuatku bergidik takut.

"Heh, kalian nggak masuk? Punya berapa nyawa sih nggak takut sama geluduk?" Suara pria di pintu membuat kami serentak menoleh. Di sana ada Bang Jay melongokan kepalanya lalu saat ada cahaya petir lagi dia segera kabur bersembunyi.

Aku mendecak kesal langsung masuk ke dalam kafe itu lagi, aku memilih ke meja yang pojokan dekat tembok dinding beton. Bukan meja-meja yang dekat pintu kaca Garden D. Aku memilih kursi yang bisa melihat ke arah depan kafe. Rifando menyusul duduk di depanku dengan tampang kusut.

"Nggak ngajak mau masuk ke dalem lagi," cetusnya dengan nada kesal.

"Ya masuk aja tinggal ngikutin aku."

"Kan aku pengennya diajak, biar kayak sedikit diperhatiin gitu."

"Ish, jangan marah deh," ucapku sedikit jijik dengan Rifando yang mulai manja nyebelin.

Tuhkan Rifando hanya sedang ngeledek aku saja, dia langsung tersenyum lebar sambil mengacak puncak kepalaku. Aku menaboki lengannya agar menghentikan tindakannya itu.

Kami sekarang menjadi sangat aneh, aku masih bersikap judes dan sok jual mahal pada Rifando. Orang lain mengatakan bahwa kini kami seperti Tom & Jerry yang ribut mulu dan iseng. Beda sama dulu yang melihat kami bagaikan Masha & The Bear. Aku si Masha yang suka cari perhatian sama si Beruang. Padahal besok adalah hari terakhir kami bersama.

Kami terjebak di kafe sampai sesore ini karena cowok ini katanya mau quality time. Aku menghargai apa pun yang dia berikan.

"Gimana rencana hidupmu?" tanya Rifando memandangiku lurus-lurus meletakkan dagunya di tumpukan tangannya.

"Untuk saat ini, aku mau fokus belajar buat UAS. Persiapan nanti magang liburan semester 6. Semester 7 dan 8 belum kepikiran, apa aku bisa jalaninnya ya?"

"Hmm, jadi aku harus dateng ke Sidang kamu ya bulan Agustus tahun depan nanti. Kalo lancar bisa sidang sesuai jadwal dan wisuda bulan September. Waktu berjalan cepat banget ya, Ndah?"

Aku menopang dagu menatap padanya. "Habis itu aku pergi ke mana ya? Oktober? November? Tahun depan?" Aku langsung merasakan kesedihan yang sama sesaknya lagi saat aku baru tahu kabar rencanannya dan langsung segera merasakan kehilangan Rifando beberapa bulan lalu.

"Enggak apa-apa, meski kita jauh hubungan kita udah baik-baik aja ya kan? Aku harap kita bisa saling percaya, jujur dan terbuka lagi. Inget ya Ndah, yang penting itu komunikasi."

"Nanti kamu juga ketemu cewek cantik di sana, bisa menarik perhatian kamu. Kamu kan sukanya sama cewek cantik." Aku mendesah dan perasaan tak tenang itu membuatku langsung cemburu.

Rifando menekan kepalaku ke bawah dengan pelan, namun membuat aku mendelikan mata, sebab daguku menjadi tertekan keras. Pacar sadis tukang menyiksa. "Sekarang tipeku bukan cantik lagi, kalo bukan yang bernama Andah atau Andara Keila ya bukan tipeku lagi. Namanya Andara Keila plus cantik, baik, dan bawel udah tipeku banget deh."

Aku segera mendecak, salah tingkah yang aku tutupi dengan sikap sok galak. "Yeee apaan sih, jangan sok gombal. Kamu nggak bisa gombal!"

"Kenapa harus gombal, kalo bisa nunjukin rasa sayang dengan sikap. Aku tahu romantis itu perjuangan. Jangan percaya kalo ada cowok yang bilang: aku bukan tipe romantis, nggak bisa romantis. Romantis itu usaha. Padahal tindakan kecil aja itu bisa bikin perempuan tuh merasa bahagia."

Aku menjadi senyum-senyum mendengarkan Rifando. "You treat girl well."

Aku menguap lebar sudah mengantuk ditambah hawa sangat cocok untuk tidur. Aku melihat jam sudah mulai malam namun hujan tak kunjung reda juga.

"Ngantuk ya? Bantal yang dariku dipake nggak? Enak?"

"Enak dong aku jadiin sandaran kalau main laptop di kasur, tapi jadinya aku kebawa ngantuk pengennya tidur." Aku meletakkan dagu di tumpukan lenganku di meja.

Tangan Rifando mengusap-usap kepalaku. "Masa tidur sih jam segini? Nanti kalo aku tinggal boleh ya?"

Aku menabok lengan Rifando pelan. "Jangan ditinggalin!"

"Kali ini enggak akan ninggalin kamu lagi."

Ucapannya itu yang membuat suatu janji melambungkanku ke mimpi terindah yang dulu hanya ada dalam imajinasi. Jika mimpi ini sangat indah, aku juga ingin kenyataan yang indah.

Di tengah pulasnya tidur ini, aku merasakan jemariku dimainkan oleh seseorang. Saat aku membuka mata dengan setengah terkejut melihat Rifando sedang memegang tanganku dan sebuah benda bulat terpasang di jari manisku.

"Doy, ini apaan?" tanyaku menganga melihat sebuah cincin di jari manis. Sebuah cincin minimalis berwarna silver.

Ketika aku mau berusaha melepaskan cincin itu dari jari, Rifando menahan kedua tanganku dan memegangnya di atas meja.

"Jangan dilepas. Mama pernah bilang pengen cincin itu buat kamu, tapi kita lagi ribut. Aku masih simpen selama ini, nunggu waktu yang tepat."

Aku tidak bisa menerima cincin dari Tante Emma. Perasaan dalam diriku semakin tidak enak, terlebih lagi keluargaku masih memiliki sesuatu yang besar pada keluarganya. "Doy, jangan. Kamu simpen aja, ini pasti berharga. Kenapa kasih ke aku yang orang asing sih? Ada Elda."

"Ini dari Mama, kamu mau menolak? Kamu bukan orang asing buat dia dan siapa yang bakalan menjaga cincin itu? Kamu udah ditunjuk. Elda punya sendiri dari Mama. Itu memang buat kamu."

Pelan-pelan aku meneguk ludah dengan mata lurus menatap padanya. "Kalo keluargaku tahu, mereka pasti bakalan marah. Kita masih punya hutang sama keluarga kalian cukup banyak. Ini terlalu apa ya buat aku—"

Kelopak mata Rifando mengerjap lalu menatap tajam padaku. Dia raut wajahnya berubah menjadi serius. "Kamu tahu tentang itu? Siapa yang ngasih tahu? Aku udah bilang sama Kelvin, kamu jangan tahu."

"Ya kenapa aku nggak boleh tahu? Mereka ngasih tahu biar aku sadar diri," tandasku.

Sebuah tawa kecil keluar dari Rifando. "Ya aku jadi nggak suka kamu nerima keberadaan aku lagi karena merasa berhutang."

Dalam perasaanku memang sempat terbersit seperti itu saat awal mengetahuinya. Namun sejak beberapa kali aku bersamanya, semua yang aku lakukan bukan semata perasaan atas hutang itu. Aku juga ingin memperbaiki hubungan.

"Kamu juga sama, kamu jadi pengen ngejar aku saat tahu tentang aku di pagi itu." Aku membuatnya semakin membulatkan mata syok.

"Jelas beda Ndah, yang kamu lakukan dulu enggak akan bisa dibayar dengan seberapa banyaknya uang," sahut Rifando. Hujan deras di luar membuat kami menjadi semakin larut dalam pembicaraan emosional ini. "Kamu yang menyelamatkan nyawa, memberi kesempatan dan waktu mereka lebih lama bisa bersamaku. Kalau kamu nggak dateng, aku udah kehilangan semuanya pagi itu."

Mataku segera mengerjap ketika ada air mata yang memaksa keluar, aku tak mau menangis di suasana langit yang sedang menangis juga ini. "Oke, apa pun itu alasan kita masing-masing. Aku cuma mau satu hal, sekarang kita harus tulus, jangan terpaksa."

Rifando sibuk membuka tas ranselnya, tangan mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya. Aku mendecak karena dia sedang senyum-senyum memamerkan suatu benda kotak dengan bungkusan kertas kado warna ungu gambar Unicorn.

"Itu apa lagi?" tanyaku mendecak kecil.

Rifando mengulurkan kado itu padaku. "Sesuatu yang aku beli buat kamu, barangnya baru bisa di aku tadi pagi. Untungnya. Ayo, dibuka dong!!"

Ketika aku membukanya, dia memberikan sebuah benda pipih berbentuk mirip album DVD. Aku sudah nyengir karena di depannya menampilkan gambar sketsa wajahku.

"Udah siap jadi artis mau rilis album?" godaku. "Duh, nggak bisa langsung disetel ya?" Aku celingukan. Pikiranku sudah berpikir mau pinjam alat pemutar DVD punya kafe.

"Dengerinnya di rumah aja," ucap Rifando menahan senyuman simpul.

Aku jadi senyum-senyum kecil malu. Benda itu aku letakkan di meja. Beberapa jam lagi aku tak bisa memandanginya dalam jarak dekat, kali ini aku manfaatkan sisa waktu yang ada. Rifando juga sedang balik memandangi tepat di mataku, bibirnya menyunggingkan senyuman manis.

"Kenapa senyum-senyum?" tanyanya heran dan malu. Agak salah tingkah sepertinya.

Aku mengangkat buku menu tinggi-tinggi agar bisa menutupi wajahku, Rifando seperti bisa membaca situasi dengan ikut sedikit menurunkan wajahnya menjadi tepat berada di depan wajahku. Tak ada waktu yang aman lagi, aku sempat melirik tak ada yang lagi memperhatikan pada kami.

Aku memajukan wajah lalu menempelkan bibir ujung bibir milik Rifando pada sekenanya. Perasaan dadaku berdebar keras menikmati sensasi gila ini. Aku melihat mata Rifando menjadi berbinar. Bibirnya yang sempat tertarik tersenyum lebar sudah menjadi maju dekat depan bibirku lalu memagut. Kami berciuman selagi bisa. Sebelum tertangkap ketahuan oleh siapa pun, kami menahan diri agar melakukan ciuman itu tidak terlalu lama.

Setelahnya perasaan salah tingkah menyelimuti kami. Merasa aman, aku memutar pandangan. Tak ada yang memperhatikan kami. Tapi, mataku melihat sebuah CCTV di ujung. Tepatnya di atas pintu kafe. Kameranya tentu saja mengarah ke area dalam kafe. Sial, lagi-lagi berurusan dengan benda itu. Semoga aja kali ini bisa lolos.

"Nekat banget, Babe," ujar Rifando dengan suara rendahnya tersenyum penuh makna. Menggoda. "Aku jadi kepikiran mau di sini aja, deket-deket sama kamu."

Aku menyenggol lengannya dengan lenganku dengan cemberut. "Nggaak! Kamu tetep pergi! Jangan aneh-aneh."

"Mau lagi," bisik Rifando tepat di telingaku. Bukan hanya hawa dan napasnya yang menggelitik. Suara dan kata-katanya juga membuatku meremang.

Sialan. Sialan.

Aku juga mau lagi.

🌻🌻🌻

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top