39. Galau lu?
Hari ini Rifando pulang ke Jakarta lagi. Aku sudah menantikan agar dia tiba dengan selamat. Di salah satu meja di kedai kopi bernama Minutes, aku sedang bersama dengan Sasa duduk saling bersebelahan dan membaca catatan dari lembar diktat kuliah dari dosen. Sekarang masih jam 10, jam selanjutnya akan dimulai pukul 10:30 sampai jam 12 siang.
Kami sibuk masing-masing karena kecepatan membaca kami lumayan berbeda. Aku lumayan cepat membaca, sedangkan Sasa lebih sering meraba-raba tiap kata sambil membayangkan maknanya. Artian kata, aku lebih cepat dalam memahami. Padahal jika ada yang sulit aku pahami, aku langsung abaikan. Banyaknya paragraf isi materi membuat kita tak perlu lama-lama fokus pada hal yang sulit dimengerti. Aku akan menandai terlebih dahulu untuk materi yang susah aku pahami. Setelah selesai membaca aku akan memahami kalimat itu kembali.
Saat asyik membaca dengan catatan masing-masing meja kami disambangi oleh dua orang perempuan berdandan super cetar ala cewek gaul masa kini. Mereka adalah Bianca dan Zetta.
"Hey, Andah, udah lama nggak ketemu!" sapa Bianca. Omong-omong mereka adalah temannya Rifando. Kakak tingkat. Yang pernah menjadi mak comblang atau jasa penyalur cewek-cewek yang dikenalkan ke Rifando. Intinya mereka akrab.
Mereka berdua duduk sambil membawa minuman pesanan masing-masing.
Aku menanggapi keduanya dengan senyuman simpul. "Hey, kalian, udah lama ya nggak ketemu!"
Terakhir bertemu seingatku saat aku main ke Fikom, dan di sana Bianca dan Zetta menceritakan hubungan Rifando-Nilla yang tak aku ketahui. Rifando yang malu-malu pedekate ke Nilla dan curhat ke Bianca. Masih ingat sekali dulu Rifando lebih percaya bercerita ke teman-teman ini, dibanding aku. Mungkin aku kurang bisa diandalkan dalam hal pedekate. Rifando tak akan mendapatkan tips cinta dariku.
"Andah, beneran lo sekarang jadi ceweknya Rifando?" tanya Zetta penasaran duduk di kursi depan kami. "Kalian pacaran?"
Sasa menjadi terperanjat, bukan karena dia baru tahu. Bukan. Tepatnya dia sedikit terkejut karena ada orang yang tertarik pada hubungan asmara orang yang tak terlalu dekat amat. Mungkin mereka dekat sama Rifando, namun ingin memancing obrolan denganku dengan cara seperti itu. Namun, kalau aku menjadi orang lain juga akan syok saat kehidupan cinta kita ditanyakan oleh orang yang tak akrab banget.
"Sejak kapan kalian pacaran?" Bianca ikutan bertanya.
Aku melirik Sasa yang terlihat tak tertarik menjawab apa-apa, dia menatap kami sambil tersenyum. Padahal aku berharap cewek itu yang menyela menjawab. Aku tak mau menjawab malu banget kalo digodain.
Mungkin Sasa hanya ingin bersikap ramah tanpa memotong obrolan atau bicara hal yang bukan tugasnya. Entah mengapa Sasa sekarang rada dewasa menjadi lebih baik dalam komunikasinya. Dulu dia kan berisik banget.
Melihat raut wajah dua cewek super antusias itu, aku ingin segera menjawab. "Mungkin baru beberapa hari, belum seminggu. Kok kalian bisa tahu?"
"Dari Rifando." Itu jawaban Zetta.
"Dari Nilla." Itu jawaban Bianca.
"Ohh begitu."
Tidak heran Nilla mengetahui hubunganku dengan Rifando, mungkin mereka masih saling mengikuti di sosial media. Atau bisa jadi mereka masih saling berkomunikasi.
"Bukannya kalian sahabatan kok pacaran?" tanya Zetta membuyarkan lamunanku.
"Lo nggak takut? Gosipnya Fando nggak jadi nikahin Nilla. Ternyata malah jadian pacaran sama lo? Hati-hati aja ya, Ndah, ntar kena janji palsu cowok buaya kayak begitu."
"Memangnya kenapa kalo akhirnya Fando jadi sayangnya ke Andah?" sela Sasa yang jago dalam julid.
"Yah, aneh aja, masa mutusin cewek dan gosipnya sampe nggak jadi nikah. Terus ternyata jadian sama cewek lain? Lo bisa dicap jelek sama orang-orang, Ndah. Gue kira Fando mau taaruf sama Nilla sampe menikah makanya alasannya putus."
"Jangan memandang hanya dari satu sisi. Kalian tau gosip Fando mau nikahin Nilla dari siapa memangnya?" tanya Sasa. "Kalo satu sisi yang dilihat memang bisa jadi membuat salah satu pihak terlihat buruk."
"Ya, abis penasaran, Fando makin playboy aja." Bianca mendecih.
"Kalian nggak tau yang sebenarnya terjadi, tapi ... kalian nggak harus tau yang sebenarnya juga sih." Jawabanku membuat Bianca dan Zetta melongo.
Mungkin ini baru pertama kali mendengar omonganku yang terdengar nyebelin. Sasa memberikan senyuman tipis seolah kagum dengan jawabanku.
"Gue tahu info dia mau serius nikah sama Nilla ya dari dia. Dulu sih dia ceritanya sambil rada bercanda makanya nggak gue anggap serius. Tapi Nilla yang cerita serius kalo mereka mau nikah tahun ini," sahut si Bianca.
"Memangnya mereka kapan cerita tentang masalah itu?" tanyaku.
"Fando ceritanya waktu sebelum jadian sama Nilla, sedangkan Nilla cerita waktu habis dinner acara ulang tahun Fando," tutur Bianca membuatku meresapi omongan itu.
Kalau dari sudut Rifando, kala itu dia memang mengatakan hal yang sama padaku. Dari awal sebelum pacaran sama Nilla, dia mau serius karena ingin balas budi atas kebaikan keluarga. Namun, rencananya tak sesuai dengan keadaan.
"Wajar sih nggak jadi nikah, mereka masih muda kali. Dan, di belakangnya kita kan nggak tau ada yang terjadi pada mereka. Cewek kok ngebet nikah, memangnya nikah tuh gampang?" Sasa keceplosan julidnya, ya karena dia sudah tahu alasan di balik kehancuran hubungan Rifando dan Nilla.
"Tapi ya ... gimana gitu kalo mutusin cewek nggak jadi nikahin, tapi malah jadian sama cewek lain?" gumam Zetta dengan mata agak sedikit melirik padaku penuh arti.
Aku meneguk ludah karena memang posisiku tak aman. Benar juga. Rifando memang terlalu cepat memulai dengan orang baru padahal dia baru saja membuat seorang gadis patah hati teramat besar.
"Nggak masalah, karena namanya hubungan nggak semulus itu. Nggak bisa diprediksi juga." Sasa membelaku.
"Sayang aja kalo putus, padahal kelihatan bahagia dan cocok banget. Kalo nggak jadi nikah dalam tahun ini gapapa sih, cuma ya jangan putus," kata Bianca.
"Ya, kalo salah satunya ada yang memaksa minta dinikahin? Nikah atau putus. Nggak nikah ya jalannya berakhir di pilihan ... putus," sahut Sasa tanpa menyinggung siapa orangnya.
"Maksudnya ada yang mendesak biar cepet nikah makanya mereka jadi berakhir dengan selesai?" tanya Bianca.
"Siapa? Fando kali ya, soalnya Nilla masih Maba masa udah ngebet nikah." Zetta berbicara.
"Eh, tapi Nilla kelihatan seneng banget waktu cerita mau dinikahin sama Fando tuh. Berarti Fando yang nyerah dong nggak mau nikahin?" cetus Bianca. "Tuh anak dari awal cerita emang nggak serius, cuma ngeledek."
Obrolan mereka berdua makin seru, namun itu membuat perasaanku menjadi tidak enak. Sakit. Bayangin saja mereka membicarakan dua orang yang terpaksa berpisah karena mereka tak menemukan satu jalan akhir bersama. Salah satunya malah memilih pacaran sama cewek lain, aku maksudnya.
"Gue kalo jadi cowok juga mikir-mikir buat menikah." Sasa menjawab membuat dua mata cewek itu memandang padanya. "Menikah bukan cuma modal cinta dan bucin."
"Gue sebagai cewek juga mikir-mikir buat menikah muda." Aku memandaskan obrolan ini. "Kalian kan tahu Rifando selama kuliah cuma pernah Dua Kali pacaran, dia setia, serius, dan penyayang. Cuma dia belum bisa melangkah lebih jauh."
"Iya sih, waktu dia bilang mau menikah muda, gue sempet nggak percaya. Cuma Fando kan serius dan setia waktu sama Mala. Waktu putus alasannya dia bilang, semakin lama jadi berbeda. Nggak ketemu solusinya. Apanya yang berbeda?" Bianca berkomentar.
"Oh, Fando bilang alasannya begitu?" Aku mengangkat alis sebelah. Kalau sudah tahu jawaban alasan versi Rifando kenapa masih meneror.
"Berbeda apanya deh?"
"Yang dilihat berbeda semakin lama, nggak sebaik yang dikira. Mungkin." Aku menjawab kebingungan Bianca.
"Yah, kan bisa diomongin baik-baik. Ndah, lo nggak takut kalo cuma dijadiin pelampiasan Fando doang?" tanya Bianca menghujamiku tatapan penuh ketakutan.
"Semoga aja nggak," jawab Sasa yang terlihat mulai lelah dengan obrolan ini.
Aku hanya mengangkat bahu tanda tak tahu. "Kalo pun Fando berniat buruk sama gue, nanti juga bakal jadinya berakhir. Kisah percintaanku masih panjang, jadi santai aja."
🌻🌻🌻
Yudha tertawa setelah mendengar cerita kejadian tadi kedai kopi bersama Bianca dan Zetta. Aku bertemu dengan Yudha karena dia memiliki jadwal bimbingan, sekalian habis sholat Jumat berjamaah di masjid kampus. Nanti cowok itu bakal balik ke kantornya lagi jam 2 siang. Aku sih yang meminta bertemu sekarang juga secara langsung. Malas kalau bicara hanya lewat chat.
Mungkin pilihanku tetap menjalin komunikasi dengan Yudha tak adil. Yudha adalah orang yang pernah aku suka, namun aku masih bisa dekat-dekat dengannya. Aku ingin Rifando tak apa-apa kalau tahu aku masih berteman baik dengan Yudha. Aku malahan ingin mereka berdua menjadi teman baik. Mereka berdua bisa melakukan hal-hal seru bersama. Katanya mereka pernah punya obrolan dan rencana ingin nanjak gunung. Mereka memiliki satu ketertarikan.
"Jadi, gimana Yudh, aku takut dicap jelek. Memang udah dicap jelek sih, soalnya aku berasa kayak perebut pacar orang." Aku menggaruk kepala lalu menyeruput jus alpukat.
"Perebut di mananya? Aku tanya, kamu kan menerima Fando waktu mereka udah pisah kan? Balikin omongan mereka kalo kamu nggak kayak begitu."
"Tapi nggak lama setelah Fando putus," tandasku.
"Kalian kan sama-sama yakin buat menjalin hubungan," jawab Yudha.
"Aku memang yakin. Aku nggak tahu gimana perasaan Fando yang sebenarnya. Bisa aja memang benar, dia hanya melampiaskan ke aku?" Aku menjadi termenung sesaat.
Waktu itu aku memang berpikir seperti itu, namun Rifando meyakinkanku bahwa kami mulai bisa memulai hubungan ini. Rifando mencintaiku. Aku yang amat yakin dia sudah tak menyukai Nilla pun terbuai dalam rayuannya.
Aku sudah mempercayai Rifando waktu itu, mengapa sekarang meragukannya hanya karena omongan orang lain. Pasalnya, kalau aku menjadi orang lain juga akan mencurigai hubungan antar Andara dan Rifando yang terlalu cepat ini.
"Kamu yang lebih kenal Fando, memang dia orang yang jahat? Walau dia nyebelin, selama aku tahu segala cerita tentang dia dari kamu, nggak ada cerita karakter dia yang jahat. Kalo kamu yakin, jalanin aja. Perasaan kamu yang utama. Cinta kalau banyak dipikirkan akan sulit ketemu. Iya, ada hal yang bisa dijawab dengan pemikiran, ada juga yang enggak. Salah satunya itu yakin."
Aku mengangguk mengulum senyuman kecil. "Makasih ya masih mau dengerin aku, nanti aku bakal omongin lagi sama Fando."
"Nah, begitu. Andah, kamu udah banyak hadapi alur hidup dan pengalaman menyakitkan. Itu bikin kamu lebih pintar dalam menyelesaikannya. Untuk pembelajaran aja. Jangan takut hadapinya."
Mendengar ucapan itu, aku tak tahan menggoda Yudha. "Kalo gitu, kapan mau ngenalin cewek barumu ke aku? Inget ya itu, jangan takut hadapinya. Jangan takut untuk memulai hubungan sama cewek baru." Aku tertawa disusul oleh Yudha yang ikutan tertawa.
Kami masih saling tertawa dan ngeledek. Aku yang usil menggunakan ledekan kartu jomblo gamon abadi yang dipegang erat oleh Yudha.
Cowok itu tertawa bengis merespon ledekanku. "Jangan sombong udah punya pacar malah ngeledekin aku. Pas jomblo, kesepian, galau, dan sedih sama siapa? Inget aku dong!" Begitulah gaya candaan kami.
"Ehem, hai kalian!"
Tiba-tiba saja tawa kami terhenti keburu ada suara yang menyela. Begitu aku menoleh berdirilah sosok Rifando dengan raut wajah yang tak bisa aku gambarkan. Sepertinya cowok itu hanya pura-pura pasang wajah masam. Karena sejurus kemudian dia tersenyum, namun anehnya mengerikan.
"Seru banget ya obrolan kalian, kelihatan hepi banget siang panas-panas begini?" tanyanya terkekeh namun matanya menatap tajam padaku.
Aku menjadi salah tingkah, rasanya seperti tertangkap basah bersama selingkuhan.
"Hai, Ndo! Kata Andah lo kemarin ke Bandung nganterin Jonny?" tanya Yudha mengekori tatapan Rifando yang duduk di sebelahku.
"Iya, bener."
🌻🌻🌻
Yudha sudah pamit pulang duluan, dia tak mau telat masuk kantornya yang jam masuk istirahatnya ditolerir sampe jam 2. Rifando yang masih mau di kampus bersamaku masih duduk di kantin ini. Melihatnya yang langsung ke sini setelah perjalanan dari Bandung membuatku senang dong. Namun, aku mau ngisengin dia.
"Kamu nggak pusing dari Bandung ke sini?" tanyaku. "Kok nggak pulang aja?" Rencananya aku mau ngeledek kalau dia kangen berat sama aku.
"Kenapa? Pengen lama-lamaan sama Yudha ya? Karena aku ke sini jadi ketahuan deh." Balasan ucapannya membuatku kehilangan senyuman dan menatapnya heran.
Aku perhatikan cowok berkaus tipis hitam dengan kemeja biru tua itu membalas menatapku dengan sorot wajah jutek banget.
"Kamu cemburu?" tanyaku. "Aku cuma nggak sengaja ketemu."
"Mana mungkin nggak cemburu, kamu nggak balesin pesanku lebih cepat. Waktu aku dapetin di sini ternyata sama cowok lain. Aku sampe nebak-nebak kamu di mana, aku ke taman, perpus, nggak ada. Ternyata ke sini."
"Nggak susah nyari aku, kenapa ke sana-sana?" tanyaku balik.
"Karena kamu nggak ada kabar. Aku nyari dari yang depan dulu."
Aku mengulurkan tangan mengusap puncak kepalanya. "Ih, anak pinter."
"Jangan manis-manisin aku buat ngalihin pembicaraan deh." Dia memandangiku sebal.
"Kenapa marah lagi? Masih ngambekin hal yang kemarin, hm?" Aku menatap tepat di matanya.
"Udah basi itu mah. Aku nggak apa-apa kok. Cuma aku minta satu hal sekarang ya, kalo kamu mau ketemu sama cowok lain, harus izin dulu sama aku. Kalo kepepet, kamu izinnya ngirim pesan. Aku nggak akan posesif dan mengekang kamu, jadi mohon kerjasamanya, Nona."
Aku mangap-mangap, lalu rasanya seperti tertampar. "Harus banget? Walau ngobrol nggak sengaja ketemu gitu? Misalnya ketemu sama teman lama atau teman sekelas sendiri?"
"Izin terketik."
"Repot banget, Ndo, elah. Masa mau makan bareng di kantin karena nggak sengaja ketemu harus bilang dulu?"
"Dulu siapa yang nyuruh aku harus izin ke pacarku dulu, hm? Bayangin kan betapa bingung, ribet, dan pusingnya aku harus diizinin dulu sama pacarku biar bisa pergi sama kamu. Kamu yang membuatku terinspirasi dengan aturan itu. Kamu yang buat aturan itu, Sayangku."
Aku mendesah. "Gini kalo punya pacar, aku harus ngasih tahu aku lagi sama siapa. Keluargaku nggak peduli amat aku mau main sama siapa."
"Pacaran ribet? Iya memang!" Rifando terkekeh menyebalkan.
"Ya udah iya, iya. Aku bakal izin kalo mau ketemu temen. Nggak janji sih, soalnya itu ribet." Aku meyakinkan Rifando bahwa aku bisa dipercaya olehnya. Berhubung kami bertemu langsung, sebaiknya aku membahas hubungan kita ini dengan segera. "Oh ya, Doy, ada yang mau aku omongin. Ini penting."
Rifando yang baru saja meneguk air isotonik menoleh dengan kedua alis menaut. "Tentang apa?"
"Hubungan kita." Aku memasang wajah yang biasa saja, namun dalam hatiku terbayang ucapan Bianca dan Zetta tadi.
"Jangan bilang setelah aku ngomong tadi, kamu nggak suka karena jadi ribet, dan langsung mikir mau putus aja?" Rifando sepertinya menangkap raut wajahku yang amat tegang sampai bisa menarik kesimpulan begitu.
"Apa kita perlu membahas dan memikirkan ulang tentang status kita, Ndo?"
Rifando langsung menegang. "Maksudnya? Kamu mau apa?" tanyanya dengan wajah pucat pasi.
Selanjutnya aku menceritakan semuanya, mengeluarkan keganjalan yang mengisi kepalaku. Dan, juga hatiku. Mungkin Rifando bisa membuat solusi lain, karena aku hanya memiliki solusi sebuah akhir yang tidak manis. Aku berani mengambil pilihan itu sebab itulah yang seharusnya benar.
"Fando, menurutku seharusnya kita belum bisa sampai di tahap ini. Gimana kalo kita temenan lagi aja dulu?"
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top