36. Genit
"Woi!!" Aku mengejutkan sosok laki-laki yang sedang menunduk di balik konter coffee itu. Aku berusaha jinjit untuk mengintip ke arah orang yang sedang menunduk sibuk di kolong meja kerjanya.
"Bang Jay sibuk banget!" seruku ngeledek tapi tidak digubris sama sekali oleh orang itu. Aku sudah tertawa sendiri cekikikan.
"Woi!" seruku memencet bel meja bar kopi. "Bang Jay sombong banget nggak nyahutin aku! Jangan sok rajin deh Bang, kalo kecapekan dan sakit terus nanti Bang Jay ... mati." Aku mengerutkan kening ketika orang itu akhirnya berdiri di depanku. Aku menganga melihat rupa wujud sosok itu. Mengapa Bang Jay berubah menjadi sangat ganteng?
Hening.
Hening.
Hening.
Kami berdua saling melempar senyuman kikuk. Pria itu tersenyum membuat pipinya membuat lekukan yang dalam. Sedangkan aku mau mati berdiri di tempat saking malunya salah ngeledekin orang. Siapa dia? Apa dia sungguhan Bang Jay yang sudah berubah menjadi rupawan super kinclong? Anjir, aku salah orang.
"Sori Mbak, ada yang bisa dibantu?" tanya pria ganteng itu dengan senyuman kecil.
"Ah, aku habis salah orang deh. HEHEHE. Maaf ya, Bang. Si Bang Jay ke mana ya?" tanyaku sambil panik celingukan bin malu.
"Oh, Bang Jay lagi ke toilet. Soalnya sepi jadi nggak siap nungguin di konter Floor Checking," tutur pria itu.
"Kamu anak baru? Gantiin Bang Jay?" tanyaku penasaran, biar suasana canggung tadi mencair.
Pria itu mengangguk. "Iya Mbak, udah sering langganan ke sini?"
"Iya udah dari dulu tempatnya di Kuningan udah langganan, kenal Bang Kelvin kan? Aku ini adiknya loh—"
Aku belum selesai bicara rambut belakangku sudah ditarik oleh seseorang, pelan sih tapi kan aku jadi terkejut. "Hey, udah aku duga nih! Kamu pasti bakalan godain si Jeff. Oi bro Jeff, jangan ngomong sama Cabe ini. Dia suka mepet sana-sini." Bang Jay menatap dengan sorot curiga.
"Siapa sih, resek! Bang Jay!" Aku mengelus kepala yang sakit akibat tarikan sosok itu. Bang Jay yang melakukannya, pria berkaus hitam itu menggelengkan kepalanya.
"Bener dah, cewek nggak bisa liat yang bening dikit."
"Apaan sih orang aku habis salah orang, ngobrol dikit sama Abang ini, biar kenalan," sahutku melirik pria bernama Jeff yang sedang tersenyum kecil itu.
Bang Jay memandangiku lelah sambil geleng kepala sekali lagi. "Alasan aja kamu. Untung Jeff datengnya sekarang, bukan dulu waktu kamu broken heart. Eh ya, kenalin ini Jeff, penggantiku buat jadi barista. Soalnya Jonny bakal cabut mulai Minggu depan buat training kerja di Bandung. Akhirnya tuh anak dapet kerjaan juga di salah satu BUMN penempatan Bandung. Aku jadi FC sekarang soalnya itu kerjaan sebenarnya nggak susah amat jadi daripada nyari orang baru buat posisi si Jonny, jadi aku aja deh sekalian latihan jadi Manager."
Aku menganggukkan kepala, sedangkan si pria bernama Jeff itu memperkenalkan dirinya dengan mengulurkan tangan. "Saya Jeff."
"Aku Andah, sebelumnya sibuk apa, Bang?"
"Heh, mau ngapain nanya-nanya?" Bang Jay melotot padaku. "Modusnya kejauhan!"
"Biar akrab, Bang, soalnya Bang Jeff kayak masih segar, muda, dan ganteng. Suka ngaduk kopi ya, Bang?" Berkat ucapanku Bang Jay langsung menganga, sedangkan Jeff terkekeh pelan.
"Saya baru lulus S1, saya suka bikin kopi. Saya juga kenal sama Jonny satu kampus dulunya."
"Lulusan Filsafat juga?"
"Bukan, hehe, Teknik Perminyakan," jawabnya membuatku menganga.
"Oh, belum kerja di kilang minyak Bang?"
Jeff menggeleng. "Belum, karena saya suka bikin kopi jadi di sini dulu aja."
"Wow! Keren! Jangan dicampur minyak ya, Bang!" seruku tertawa kecentilan.
Jeff tertawa membuatnya semakin ganteng. Aku baru pertama kali melihat cowok setampan dia, dan manis juga.
"Jeff jangan akrab sama Andah, dia suka resek dan gila." Bang Jay menatapku ngeri. "Jangan usil ya kalo dia udah kerja di sini, nanti kamu godain mulu."
"Nggak kebalik apa? Woooo!" aku bersorak pada Bang Jay.
"Biar kamu rajin ke sini buat cengin si Jeff," cetus Bang Jay.
"Tapi Bang Jeff nggak apa-apa kalo dicengin? Bang Jay, jangan memanfaatkan orang gitu demi mengeruk untung banyak pengunjung!" Kontan aku memelototi pria bertubuh 170cm dengan wajah manis itu.
"Jeff itu sadar pesona tahu, ya kan?" Bang Jay memastikannya pada Jeff, yang disetujui dengan tawa kecil. "Jeff tahu kalo dia ganteng, jadi dia nggak merasa malu."
"Apa ada dalam sesi interview, Bang? Syaratnya bersedia menjadi visual penarik kafe?" Aku bertanya serius pada Jeff dan Bang Jay. "Bang Jeff cepat pergi sebelum di sini ada yang alih fungsi jadi mucikari."
"Sembarangan lo, Andah!" pekik Bang Jay dengan mata melotot, yang jadinya terlihat lucu.
"Bang Jay bisa jadi mengeruk untung, praktek ekonominya bagus," bisik aku pada Jeff.
"Kamu lucu banget, Andah. Absurdnya cocok sama Jonny," celetuk Jeff dengan suara bariton dan senyuman di pipinya yang bolong. Kenapa sih dia tidak muncul lebih awal saat aku masih bisa dengan mudahnya melirik cowok lain?
"Cuma Andah yang sanggup ngobrol sama Jonny tanpa emosi," jawab Bang Jay.
"Idih, siapa yang mikir gitu? Enggak tahu aja. Siapa yang cocok sama Bang Jonny! No way!!!!" tolakku dengan tegas.
"Centil banget sama Jeff," celetuk Kelvin yang tiba-tiba muncul lalu memberikan sentilan kecil di kening. Cowok galak itu sudah ngeloyor ke pintu Garden D sambil membawa gitar.
"Omong-omong Bang Jonny ke mana?" tanyaku yang cemas kalau pria jangkung itu sudah cabut ke Bandung untuk bekerja di sana tanpa bilang apa-apa.
"Hari Minggu dia baru ke Bandung, palingan lagi ke Indoapril beli Menthol," cetus Bang Jay.
Aku menarik napas lega, walau suka menjengkelkan kalau berpisah dengan Bang Jonny pasti akan sangat terasa sedihnya nanti. Sepi sih sudah tidak ada manusia yang sering ngasih info terkini di kafe Tiramissyou.
Saat aku masih celingukan untuk mencari-cari seseorang lain, Bang Jay menanyakan sesuatu. "Ndah, kamu udah jadian belom sih?"
Aku menjadi gelagapan karena ditanyain tentang hubungan percintaanku. "Hah, jadian sama siapa? Aku jomblo."
Saat aku berbicara dengan penekanan kata itu ada yang lewat di belakangku. Rifando hanya tersenyum kecil pada kami. Beberapa hari belakangan ini kami agak renggang lagi, Rifando sibuk sama tugas, organisasi, dan skripsinya. Sedangkan aku sibuk memikirkan masa depanku sendiri yang tak jelas. Memikirkan mata kuliah magang dan judul seminar proposal, walau belum waktunya. Sebenarnya tak ada masalah, hanya saja aku ingin mengalihkan pikiran lain.
"Nilla cerita masih sayang sama Fando dan ngajak balikan."
"Terus kamu panik karena takut kalo Fando terima Nilla dan balikan, sementara kamu masih mikir-mikir buat komitmen dengan dalih masih mau berteman lagi dulu?"
"Aku harus ngasih kepastian, Fando serius nggak kalo dia memang nggak mau balikan sama Nilla, padahal cewek itu udah minta balikan dan nurunin egonya. Nilla bilang dia udah mengalah nggak meminta nikah, tapi Fando tetep nggak mau balikan."
Sasa menggeplak tanganku. "Ya terus mau gimana lagi? Fando nggak mau balikan padahal Nilla udah ngalah, jelaslah alasannya dia serius sama kamu! Kalo aku jadi Fando, nggak akan balikan sama Nilla, gila aja!"
"Itu doang bisa jadi alasan terima Fando?"
"Terserah, kalo mau tarik-ulur ya silakan. Aku tahu kamu masih nyamannya berteman sedangkan Fando takut kamu kecantol cowok lain sementara dia cabut ke LN."
🌻🌻🌻
Saat ini aku, Kelvin, Rifando, Jonny, dan Bang Jay sedang sibuk ngobrol di salah satu meja di Garden D. Posisinya aku duduk di sebelah Kelvin, karena di depanku Jonny dan Bang Jay lagi asyik merokok. Walau sudah diceramahin oleh Kelvin sepertinya mereka tak peduli memilih tetap bergabung sambil merokok. Sedangkan Rifando duduk di kursi sebelah kanan Kelvin. Rencananya kami ingin bermain kartu UNO sambil ngobrol, sudah lama tidak berbagi cerita, dan sekaligus perpisahan dengan Jonny yang bakal cabut ke Bandung hari Minggu nanti, tinggal beberapa hari lagi.
"Gue heran kemarin lo kuat latihan fisik dan lolos padahal ngasep dan mabok mulu?" cetus Kelvin dengan gelengan pelan.
"Ya gue kan hidup balance, hiburan yang merusak badan jalan, tapi olahraga juga harus jalan." Jonny terkekeh sombong. "Eh, gimana si Jeff?" tanya Jonny dengan asap putih keluar dari hidungnya. Dia menatap pada Kakaknya.
"Ganteng, Andah aja suka," jawab Bang Jay sambil tertawa menyebalkan.
Aku menjadi salah tingkah karena diseret-seret, karena melihat ke arah Bang Jay jadi melihat kepada Rifando yang sedang memandangiku masam jutek banget.
"Hehehe," aku hanya tertawa penuh makna. Wajahku memanas. Aku tidak akan menjadikan Jeff sebagai gebetan, cowok itu keren dan ganteng maksimal tidak mungkin mau sama kutu beras sepertiku. Rifando saja harus khilaf dan baru sadar bertahun-tahun, apalagi Jeff yang baru aku kenal beberapa jam lalu. Lagian daripada naksir, aku lebih seperti kagum karena Jeff ganteng dan keren banget mirip artis idol Korea.
"Bukan begitu, personalnya, kepribadiannya," tukas Jonny cepat.
"Ya, temen lo kerjanya bener kok, yang gue takutin nih udah bagus terus cabut karena udah dapet kerjaan." Bang Jay bercerita sambil merokok juga.
"Dia butuh buat nyambung, nanti gampang nyari lagi kalo memang dia cabutnya dari sini cepet banget." Jonny menenangkan Kakaknya.
"Iya dah, yang penting nyambung dulu buat sekarang."
Aku memainkan ponsel karena tak dilibatkan dalam obrolan mereka yang lagi bahas tentang bola. Aku membalas pesan yang dikirimkan oleh Sasa, dan juga Yudha.
"Ndah, magang di kafe, 'kan?" Jonny bertanya serius tapi dia sepertinya sedang menggoda saja.
"Ogah, apa yang bisa aku kerjain? Aku bukan akuntan kayak Mbak Milen, jadi aku bisa apa di kafe ini?" Aku menjawab sambil berpikir juga untuk magang semester 6 nanti akan di mana kantornya.
"Andah magang di kantor Bang Gara, tempat yang dulu aku magang. Mau kan, Ndah?" tanya Rifando membuatku jadi menoleh padanya.
"Abang Kelvin pas magang di mana?"
Kelvin menoleh padaku. "Kantor Ayah, konsultan. Mending kamu nanti ambil di tempatnya Bang Gara."
Aku tidak menjawab apa-apa. Karena aku diam saja tidak menjawab penawaran Rifando, cowok itu sedang memandangi diriku dengan tatapan tajamnya. Aku pelan-pelan meneguk ludah jadi tidak enak hati, karena secara tersirat menolak penawaran itu. Ya gimana aku masih tidak enak hati dengannya selalu bergantung begitu.
"Ndah, Abang mau ke rumah Natasya. Kamu pulang sama Fando ya!" Kelvin berdiri dari duduknya sambil memegang ponselnya.
Aku jadi mendongak tidak mau ditinggalkan oleh Kelvin, abangku, satu-satunya orang yang aku harapkan untuk pulang bersama. Aku memandanginya cemberut. "Mau ngapain ke rumah Natasya malem-malem?"
"Dia cerita laptopnya ngaco, aku mau bantu benerin. Ndoy, nitip Andah ya anterin pulang?" Cowok itu memandang Rifando.
"Iya siap!" Rifando berseru lalu memandangku dengan tatapan mencurigakan.
Aku mendesah kesal. Aku bakalan pulang bersama dengan cowok itu. Aku dengan Rifando sedang saling bertatapan dengan pikiran masing-masing yang berbeda. Aku menolak, dia justru tampaknya senang. Habis deh nanti di jalan pulang bersamanya. Sepertinya cowok itu lagi menaruh dendam.
🌻🌻🌻
Aku diam saja selama di mobil sambil menyandarkan kepala di jendela kaca. Aku ingin cepat-cepat sampai ke rumah. Aku berupaya terlihat sedang ngantuk agar cowok itu tak curiga apa-apa bahwa aku menghindarinya. Selama di jalanan aku diam saja berakting, hingga sampai mobil berhenti di depan rumahku. Aku baru mau siap-siap turun.
"Ndah, kapan sih selesainya?" tanya Rifando membuatku tersentak dan menoleh padanya.
Aku menjadi terkesiap. "Selesai apanya?"
"Galakmu, dinginmu, dan cuekmu sama aku. Kenapa kamu kayak marah cuekin aku nyaris 2 minggu ya? Sejak malam itu, tapi kamu jadi aneh."
Aku bersikap seperti itu agar tidak jatuh ke dalam lubang yang sama. Aku masih menjaga hatiku dengan bersikap tak peduli dan tidak bisa seperti dulu lagi. Aku dulu pernah berharap ada perubahan dalam diriku dan kehidupanku. Salah satunya adalah ini. Ucapan dia benar, mengapa aku sama sekali tidak bisa menjadi Andah yang seru seperti dulu saat bersamanya? Mengapa dalam dadaku masih tersimpan rasa sakit hati ditambah ketakutan. Menjadikan diriku seperti melindungi diri sendiri tak mau terlalu dekat dengannya. Karena aku tahu, masih aku yang paling mencintainya. Waktu malam itu aku berjanji akan membuatnya tetap bersama diriku, tapi semakin sadar, kebersamaan dekat kami bisa jadi akan menoreh luka lagi.
"Aku juga nggak tahu harus gimana. Walau aku kelihatannya berubah, dingin, cuek, dan kaku sama kamu. Tapi perasaanku ke kamu masih sama kok. Mungkin kita masih butuh waktu buat akrab lagi."
Tanganku diambil oleh Rifando dan digenggam erat dengan sela-sela jemari kami saling bertautan. Aku menahan degub jantung memandangi dirinya dari samping. Pipiku menjadi panas karena kelakuan dia. Aku juga mengeratkan genggaman tangan memberikan tanda bahwa bukan hanya dia yang berusaha menggenggam tanganku. Aku juga menerima usahanya.
Rifando melemparkan senyuman senang kala menyadari bahwa aku membalas genggaman tangan itu. Bagaimana cara mengatakan cinta tanpa perlu bicara? Karena aku tak ingin kata-kata hanya sebatas kata demi kata saja. Aku ingin bukti yang nyatanya.
"Eh, mau dengerin laguku nggak? Ambilin hape aku di dashboard itu dong, nanti kamu yang buka foldernya biar bisa milih mau dengerin lagu yang mana. Laguku belum masuk ke situs streaming musik, jadi kamu dengerinnya nggak bakal ilegal kok walau dari bentuk format kayak gitu."
Gara-gara ceritanya membuatku antusias, aku mengambil ponselnya yang di laci dekat tape radio dengan cepat, kemudian Rifando memberikan handsfree. Aku sempat tertegun karena password-nya masih sama dengan yang dulu sekali saat kami masih akrab. Aku juga tanpa sadar tadi cepat-cepat membukanya.
"Udah kebuka? Ndah, masih inget sama password-ku?" tanyanya menatap penuh kagum, tapi membuatku malu.
🌻🌻🌻
TBC......
28 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top