35. Cie elah
Karena Nilla bertanya seperti itu aku menjadi gugup. Mengapa aku yang rasanya menjadi malu, setelah marah bentak-bentak dia. Eh, tertangkap basah aku menjenguk memperhatikan dirinya yang sedang perawatan wajib sakitnya. Aku seperti manusia yang jahatnya labil.
"Iya, tapi aku nggak bisa masuk. Soalnya benci sama darah, suka lemes, dan kalo lihat orang berdarah bisa bikin aku syok."
Nilla memandangiku dengan tatapan tetap tenang. "Oh, makasih ya udah dateng nemenin."
"Maaf, aku pernah mengira kamu bohong," kataku dengan rasa bersalah. Aku cuma memikirkan dosaku. Ya, hanya itu.
"Salahku lebih gede dan banyak. Maaf ya, udah sering bikin kamu kesel, jadi benci dan marah ke Rifando. Akulah orangnya yang harus kamu benci. Aku yang mengacau di kehidupan kalian," ucap Nilla membuatku menjadi menganga.
"Dan, keadaannya berakhir jadi begini. Kalian jadi selesai."
"Kita memang nggak seharusnya bersama, kalo udah takdirnya pisah, ya memang pisah. Aku nggak bahagia saat bersama Rifando, aku tahu dia lebih kehilangan hal besar lain daripada senang saat udah mendapatkan aku. Karena ada yang berkorban dan sakit hati. Bagaimana bisa aku bahagia di atas penderitaan orang lain? Aku merasa bersalah selama sama dia. Maafin aku ya."
Aku berusaha tetap tenang, ketika gadis itu tiba-tiba menangis menitikkan air matanya.
"Sayang perkenalan kita jadi buat kenangan yang buruk. Setiap ngeliat kalian aku jadi merasa bersalah, jahat, dan berdosa. Aku cuma mikirin egois untuk memiliki Rifando tanpa mikir gimana sakitnya kamu. Aku udah gede rasa kalo Fando bakal tetap milih aku. Aku pikir cinta itu bisa mengalahkan persahabatan kalian. Aku kira Fando akan memilih aku dibanding kamu, ternyata sebaliknya. Fando melepas aku demi kamu adalah tanda besar, kamu bukan sebatas rasa sahabat buat dia. Fando cinta mati sama kamu." Nilla masih meracau dan menangis.
Aku meresapi ucapan Nilla yang penuh rasa bersalah dan penyesalan itu. Yang aku tahu kebanyakan orang persahabatannya hancur karena Cinta. Memilih cinta daripada sahabat dan lainnya kisah yang menyakitkan. Aku juga pernah sangat takut sekali berpikir cinta bisa menang di atas persahabatan.
"Kamu masih cinta sama Fando, Nil?" tanyaku sambil meneguk ludah berkali-kali.
"Bagaimana bisa semudah itu ngelupain Fando, Ndah?" Nilla menjawab dengan raut wajah yang sendu dan sakit sekali. "Iya aku masih sayang. Tapi aku bisa apa?"
"Terus kenapa kamu minta nikah secepat itu? Fando masih terlalu muda dan bebas ingin bekerja demi impiannya. Begitu ya cara kamu mencintainya?"
"Aku sayang banget sama dia, takut nggak bisa bertemu sama cowok sebaik dia lagi. Tapi dia lebih memilih sama kamu daripada aku." Ucapan Nilla membuatku menghelan napas.
"Mungkin dia memang cowok terbaik yang kamu temukan, tapi jangan lupa, aku udah pernah bilang, Fando nggak suka kalo langkahnya diganggu. Dia nggak suka dilarang. Dia memang suka bodoh dalam urusan cinta, tapi dia aktif bergerak nggak akan rencana ambisinya dan keputusannya kalah cuma karena demi cinta. Kayaknya aku pernah bilang saat kita pernah ngobrol dulu, inget?"
"Dari pengalaman Rifando, kalo dikekang sama pacarnya sampe dipaksa jauhin aku, dia lebih pilih putus aja. Bukan hanya karena alasannya nggak bisa main sama aku aja, dia nggak suka dikekang begitu, dan dilarang. Dia bahkan bisa marah sama Kelvin sewaktu dilarang temenan sama seseorang."
"Wah, tanpa pikir lagi bakalan putus? Apa nggak mempertimbangkan betapa cintanya dia sama cewek itu?" Nilla terlihat sudah sangat pucat.
Aku mengangkat kedua bahuku. "Tanya aja sama dia langsung. Siapa yang bisa nebak dia sih?"
"Kamu tahu Fando mau ngejar karir ikut program kerja di Luar negeri. Dia nggak bisa menepati janji. Alasan kalian selesai itu karena pilihan Fando yang mau pergi ke LN. Bukan karena aku. Andai, kamu menghargai keputusan dia, kalian masih bertahan bersama." Aku menjadi tak tega melihat dirinya yang sakit seperti itu, merasakan sakit yang double.
"Itulah salah dan keegoisanku. Aku mengira dia akan mengalah nggak jadi pergi untuk tetap di sini. Tapi, keegoisanku membuat kehilangannya. Aku nyesel. Aku udah berpikir, kalau mengalah akan bisa membuatnya kembali. Aku mengalah dan bilang pengertianku. Tapi dia nggak kembali sama aku, Ndah. Dia ninggalin aku. Aku udah nggak bisa dipercaya lagi ya? Hiks, hiks, ya udahlah ya. Setidaknya aku terhindar dari cowok yang nggak tanggung jawab."
Aku kira wanita itu sungguhan sudah menyesal dan sadar diri, ternyata masih playing victim. "Bukan waktunya, Nil. Fando masih harus tanggung jawab sama adiknya. Menikah bukan perkara mudah."
"Gampang aja kok, aku cuma butuh status dan dia selalu ada di sisi aku. Aku cuma butuh kebahagiaan sama dia, bukan cuma materi. Dia masih bisa kerja di sini, tinggal dekat sama aku, dan menjaga adiknya."
Bukan cuma butuh kebutuhan materi kenapa sampai pernah morotin Rifando dan mencoba memegang kendali rekening keuangan pacarnya. Idih!!!
"Elda bukan cuma butuh dijaga dengan mata, tetapi biaya hidupnya masih jadi urusan Fando. Maaf, aku duluan ya. Mau pulang," ucapku kemudian pergi meninggalkan gadis cantik itu. Sepertinya daripada lelah lebih baik aku pergi saja.
Aku berjalan cepat-cepat dari Fakultas Ilmu Komunikasi, saat menunduk sibuk mengendalikan diri aku bersenggolan dengan seseorang. Karena aku menyenggolnya cukup kencang sampai orang itu terdorong, aku mendongak ingin meminta maaf. Sebelum aku sempat berbicara yang aku dapati orang itu adalah Rifando. Cowok itu terlihat kaget melihat diriku yang mengerjapkan mata berair.
"Kamu kenapa?" tanyanya cemas.
"Gapapa, aku duluan ya mau pulang."
Rifando mengejarku yang sudah berjalan cepat-cepat meninggalkan gedung Fakultasnya, pria itu memegang tanganku supaya berhenti. "Kamu kenapa? Aku anter pulang ya!"
"Katanya kamu sibuk. Aku nggak apa-apa kok beneran," jawabku.
"Terus kenapa tadi kayak nangis? Siapa yang bikin kamu nangis, hm?" Cowok itu memandangiku lurus tepat di mata.
"Nggak apa-apa. Cuma kelilipan."
"Kalo nggak apa-apa, nggak mungkin emosi kamu keluar, ya kan? Kenapa, hm?"
"Tadi cuma ngomong bentar sama Nilla, aku teringat masalahku," jawabku.
Rifando kemudian menepuk bahuku lembut sembari tersenyum lega. "Begitu lebih baik kan daripada nggak diselesaikan salah pahamnya?"
"Aku ngerasa bersalah sama dia. Ya udah aku pulang ya."
"Hati-hati di jalan ya?" Sesempatnya Rifando mengelus puncak kepalaku pelan.
Aku sudah harus secepatnya memutuskan pilihan akhir hubunganku dengan Rifando. Cowok itu sudah memiliki keputusan, kenapa aku seperti mempermainkannya, tidak percaya padanya.
🌻🌻🌻
"Kamu mau ke sini? Doyi, Encis, Achel, udah bilang makanannya mau habis nih. Kalo kamu jadi ke sini mampir yak beliin."
"Iya-iya, nanti malam habis kelar aku langsung mampir ke rumahmu. Jam setengah sepuluh belum tidur banget, 'kan?" Rifando meneleponku mengatakan ingin datang ke rumah malam-malam padahal masih sibuk di Hima.
"Belum, tapi kalo toko makanan kucingnya jam 10 udah tutup. Jangan kemaleman. Oh ya, yang ukuran 1 kilo repacking nggak apa-apa, Kelvin cerita belum sempat beli yang gede di Olshop."
"Lebih peduliin makanan kucing daripada ketemu sama aku? Kok lebih cemas takut tokonya tutup?" celetuk Rifando yang berkomentar amat tidak penting.
Aku menahan tertawa rasanya lucu sekali membuat Rifando selalu mengomel merasa tak penting. Dinomorduakan sama kucing-kucing.
"Oh iya, Doyi, jam 9-an malam di dekat kampus itu masih ada yang jualan cilor nggak sih?" Aku semakin menjadi-jadi ngerjain, padahal tadi aku sudah mengirimkan pesan berisi catatan barang yang ingin dibelikan oleh Rifando.
Rifando mendecak. "Nanti aku lihat ya, tapi seingatku kalo malam kan udah sepi nggak ada orang jualan."
Lihat cara menolaknya sangat hati-hati sekali, aku mau tertawa melihat betapa usahanya dalam membuatku senang. Kalau dia adalah Kelvin, pasti sudah disemprot marah-marah.
"Ya udah sana lanjutin kegiatanmu." Usirku tertawa kecil.
Belum sampai jam setengah sepuluh Rifando sudah tiba di rumah membawa beberapa plastik. Plastik berlogo toko makanan hewan, minimarket ternama, dan plastik aneh lainnya. Saat aku cek berisikan makaroni kering dengan bumbu.
"Sori, aku keluar ngecek jam 7 udah nggak ada cilor." Rifando memandang dengan sorot bersalah. "Tapi itu makaroni yang disukain sama teman-teman juniorku di Hima. Kayaknya kamu pernah beli juga, jadi aku beliin seadanya."
Aku tidak bisa mengamuk marah, toh tujuanku memang bukan mau cilor banget. Aku cuma mau ngerjain Rifando. Mengingat harga satu bungkus makaroni lebih mahal daripada sekantong cilor membuatku geleng-geleng kepala. Ini di dalam plastik ada sekitar empat bungkus makaroni. Rifando kalau sudah bucin, sudahlah susah untuk diabaikan.
"Kok ngecek doang?" tanyaku.
"Iya, kalo masih ada aku mau bilang tunggu sampe jam setengah sembilanan biar waktu dibawa ke kamu masih enak dan panas. Nanti aku mau bayar dengan waktu nunggunya sekalian."
"Ett dah, abangnya capek masih punya rumah buat pulang, Doyi. Jangan aneh-aneh deh ngide kayak gitu." Aku bergidik ngeri. Bukannya romantis itu terkesan memaksakan.
Rifando tersenyum membuatku menatapnya aneh. Sepertinya cowok itu mikir hal-hal sendiri di otaknya yang tak aku ketahui. "Nggak tahu lagi harus bersyukur gimana, sekarang gebetanku tipe yang nggak banyak mau alias nggak ribet." Sekarang Rifando masih tersenyum lebar.
"Banyak Doy, cewek yang memudahkan cowok. Begitu pun sebaliknya. Cuma masalahnya mau atau enggak mau sama orang itu."
"Sekarang aku mau banget sama kamu kok, Ndah. Soalnya Andah itu udah imut, kalo ngomel lucu, nggak banyak maunya, setia kalo udah jatuh cinta sama satu orang doang, dan pengertian," celetuk Rifando menyebalkan.
Aku berjengit menatapnya tak percaya. Dulu aku selalu cemburu kalau Rifando lagi godain cewek atau cerita nyerocos tentang gebetannya, mengingat betapa manisnya kalau Rifando lagi memuji cewek. Sekarang aku yang jadi sasaran godaan dia.
"Lebih baik kamu pulang Doyi, kayaknya kamu kecapekan deh," potongku dengan cepat agar dia segera pergi untuk istirahat di rumah.
Rifando tersenyum lebar. "Seneng nggak dikasih makanan? Nggak sesuai pesenan kamu. Aku cemas kamu nggak marah-marah karena nggak ada makanan yang kamu mau."
"Kok mikir begitu?" tanyaku heran.
Rifando diam saja tetapi sorot matanya seperti melayang membayangkan ke hal yang lain. "Nggak apa-apa sih." Dia bicara setelah tadi melamun beberapa detik. "Tadi kamu beneran nggak apa-apa habis ngomong sama Nilla?"
Nah, ini yang tak aku sangka benar-benar akan dibahas lagi.
Mendengar cerita Nilla yang agenda balikannya ditolak oleh Rifando. Aku meresapi keyakinan, inilah saatnya aku yang mengambil keputusan.
"Nilla ngajak balikan nggak kamu terima, Ndo? Dia udah bicara sesuatu ke kamu ya?"
Aku penasaran, walau jadi cowok aku akan ogah sih bersama Nilla kembali. Cuma ini Rifando yang pernah cinta mati membela Nilla. Apa tidak penasaran? Bagaimana jika pada akhirnya mereka tetap kembali bersama dan bahagia, bagai tak pernah tertimpa masalah lagi. Karena akulah sang tantangan masalah kisah mereka berdua. Aku ini ancaman yang pada akhirnya membuat para tokoh utama berakhir bahagia setelah melalui badai dan topan.
"Kalo kamu jadi aku apa bisa percaya lagi? Aku ketakutan dalam hubungan toxic dan terancam dengan sikap dia." Penjelasan cowok itu kemudian disertai juga dengan gerakannya mengangkat bahu. "Nggak bisa sama dia lagi. Aku nggak mau."
Yah, jawabannya sama sesuai dengan pemikiranku. Nilla itu manipulatif, mana bisa dipercaya, bisa jadi berulah lagi.
Aku belum bicara, Rifando sudah bersuara lagi.
"Kalo waktu itu aku selesai sama dia dengan alasannya dia egois mementingkan keinginannya tanpa mempertimbangkan masa depan aku. Sekarang dia memang udah berubah pemikiran, bilang mau mengalah menerima rencanaku dan menunggu sampai aku selesai mengerjakan proyek di luar negeri. Kenapa aku tolak dia, ya karena sekarang aku lagi berjuang demi bisa bersama kamu."
Entah mengapa kali ini ada gerakan dorongan besar untuk aku bergerak, melangkah, dan memajukan tubuh padanya. Aku memeluknya erat-erat.
Kamu aman dan akan bahagia sama aku, Ndo.
"Kenapa tumben mau peluk duluan?" Suara Rifando dari atas kepalaku membuatku mendongak.
"Nggak boleh ada yang nyakitin kamu lagi, Ndo. Nggak akan ada lagi. Aku nggak rela kamu disakitin sama orang lain," ucapku dalam hati, dengan menahan hawa panas di pipi. Aku memperhatikan sorot mata Rifando menjadi penuh haru dan senyumannya makin melebar membuat perasaanku menjadi hangat.
Karena yang menyakiti kita, tak bisa dielak, hanyalah masalah hidup.
🌻🌻🌻
Apa part yang paling kalian ingat dari semua lapak 3 series ini???............
21 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top