33. Bucin
Sakitku tak kunjung sembuh. Bagaimana bisa sembuh dengan cepat kalau setibanya di rumah semalam jam 11. Mampir makan pecel ayam dan membelah angin Jakarta Selatan dahulu tanpa ada rasa beban atau takut dikejar tukang begal. Hari ini tak bisa masuk kuliah, sudah mau jam 11 siang yang tersisa di rumah hanya aku, Kelvin, yang baru mau berangkat ke kampus, Encis, dan Achel para anak-anak bulu.
“Hujannya udah reda walau masih mendung, aku mau cabut sekarang ke kampus. Fando bilang mau ke sini tuh, masih di jalanan kali. Kamu bangun udah jangan tidur terus. Kalo dibawa banyak tidur jadi pusing loh, Ndah,” ucap Kelvin di pintu kamarku sudah siap rapi dan semerbak parfumnya memenuhi sampai ke dalam kamarku.
Sumpah, Kelvin memang menyebalkan banget ganggu aku yang sukanya tiduran tanpa beban. Aku kan lagi lesu dan sakit kepala. Tubuhku juga panas tetapi disuruh jangan tiduran. Dia tak berbakat jadi perawat.
“Nah, bunyi motor Fando kebetulan dateng. Bangun! Bangun! Kamu masih bau minyak angin tuh bikin orang yang hirup aromanya jadi ikutan meriang!”
“Hmmh, udah sana turun! Hussssh!!”
Rumahku tak kosong di lantai bawah sudah ada Rifando yang datang. Aku memejamkan mata yang sulit untuk dibuka. Entah sudah berapa lama aku terpengaruh dengan sakit yang melemaskan otot, baru sadar saat ada yang datang. Ada aroma parfum lelaki menusuk hidungku. Tanpa ada suara apa-apa ada gerakan tangan seseorang meletakkan gelas di nakas.
“Eh, kamu Doyi!! Ngagetin aja sih!” Seketika mataku terbuka lebar dan membuang selimut di ujung kaki. Aku bangun dari posisi rebahanku sementara Rifando lagi bergerak menuju meja belajarku yang berantakan banyak bungkusan.
“Kamu begadang ngerjain tugas?” tanya Rifando menoleh setelah melihat di meja belajar banyak buku-buku dengan selipan sticky notes dan laptop di luar tasnya masih tersambung dengan charger.
“Besok ada deadline tugas. Ssst! Jangan geratakan, udah kamu diem aja!” seruku melarang melihat gelagat Rifando yang mau membuka-buka bukuku.
“Aku bawain bubur kacang ijo, mau dimakan sekarang nggak?”
“Ya udah ayo kita ke bawah.” Aku turun dari kasur sementara cowok itu masih melihat-lihat di dekat meja belajarku.
“Udah selesai tugasmu? Mau aku bantuin nggak?” tanyanya.
“Kamu mau bantuin?”
🌻🌻🌻
Di ruang TV lantai bawah di sanalah kami menjadi duduk bersama. Aku memakan bubur bawaannya sedangkan Rifando sudah membuka laptop dan membaca buku kuliahku. Hukum Asuransi.
“Tinggal diketik aja kok.” Suruhku tanpa beban. Padahal Rifando yang tadi menawarkan jasa, aku tak enak hati awalnya. Sekarang aku yang menyuruhnya dengan tak tahu diri.
“Aku kira jawabannya cuma separagraf.” Rifando yang duduk di lantai mendongak padaku yang bagai duduk di singgasana kursi seorang tuan putri raja.
“Ya udah, nggak usah dipaksa. Masih ada waktu kok sampe besok,” cetusku yang tak mempermasalahkan. Baru makan dua suap bubur sudah kenyang. Aku meletakannya di meja lalu diam saja menatap layar TV.
“Ini aku ketik 10 menit juga selesai, sans aja bos. Kok udah makannya, kamu kenyang?” tanya Rifando mengerutkan kening.
“Pelan-pelan dulu, perutku penuh kayak keisi angin. Ya udah, ketik buruan semenit itu berharga.” Suruhku gemas dengan nada penuh perintah. Memang tidak tahu diri sekali manusia satu ini. Andara.
Rifando mendongak sambil mendecak. Dia mulai mengeluarkan keahlian mengetik cepatnya yang membuatku kagum, karena meski dengan pandangan pada buku, tangannya sangat lincah mengetik di keyboard seperti sudah hapal dengan tata letak tombolnya.
“Kamu mau makan apa?” tanyaku pada Rifando yang berkutat sama buku tebalku sudah menggunakan kacamatanya demi bisa membaca tanpa sakit mata.
“Nggak, aku masih kenyang.” Pria itu menjawab tanpa sama sekali mendongak, terlalu fokus bertanggungjawab.
Di meja ponsel Rifando menyala dengan lama menandakan ada telepon. Saat aku melirik tanpa kentara nama yang muncul bukan nama yang aku kenal. Tapi nama perempuan.
“Halo, kenapa Ses?” Dengan cepat Rifando mengangkat telepon.
Aku menatapnya curiga mengira-ngira cewek mana lagi itu yang sedang dia gebet atau cadangan diriku. Mengingat cowok ini jarang betah jomlo lama alias centil banget.
“Nggak bisa sekarang, Ses. Nanti jam 2 baru sampe sana,” ucap Rifando. “Beneran nggak bisa buru-buru, memang nggak ada yang lain dulu? Iya. Gue jam 3 sampe sana pun kalian masih mencar-mencar ada kelas. Gue kan udah apal jadwal kalian. Jangan manja sama gue terus, bentar lagi gue cabut dari Hima loh.”
“Nggak bisa buru-buru itu sibuk ngapain, Masku?” tanyaku iseng sambil tertawa cekikikan.
“Menemani seorang cewek yang hanya tinggal di rumah bersama dengan kucing-kucing.”
“Udah sana kalo dibutuhin sama teman-temanmu, aku bisa di rumah sendirian mau tidur nyenyak.”
“Males banget, udah aku maunya lanjutin nih ngetiknya.”
🌻🌻🌻
Aku mengucek mata yang masih terasa lengket, melihat ke jam dinding sudah pukul 8 pagi, bangun dari kasur sambil melempar selimut secara asal tanpa dilipat terlebih dahulu. Aku masih menguap lebar merasa masih mengantuk berat padahal sudah tidur sejak Subuh tadi, ya semalam aku tidur jam 11 bangun sampai jam segini bisa dihitung berapa lamanya.
Masih menggunakan kaos warna merah dan celana panjang training bekas seragam sekolah dulu aku keluar dari kamar celingukan. Tak ada seorang pun yang berada di lantai atas. Di hari Sabtu ini, rasanya terlalu sepi kalau Rafel tidak menggangguku. Ke mana bocah resek itu? Aku menuruni tangga ternyata ada suara Televisi menyala.
“Selamat pagi, baru bangun?” Sosok mengejutkan itu membuatku menoleh ke arah ruang TV.
Aku menganga mendapati si Rifando duduk di sofa dengan gaya santai seolah ini rumahnya, cowok itu memakai kaos polos warna krem dibalut jaket jeans hitam.
“Melek dulu baru jalan,” cetus cowok yang mirip Rifando itu.
Aku masih memandanginya tak berkedip, nyawaku masih berpencar karena masih mencerna apakah ini sedang halu? Suara ketawa besar Rifando menyadarkanku.
“Ngapain pagi-pagi udah di sini?” tanyaku heran.
“Mau bantuin Kelvin dan Ayah, itu ngerapiin tembok samping rumahmu.”
“Plester dan ngaci tembok?” tanyaku sambil turun ke bawah lagi melanjutkan langkah.
Rifando mengangguk.
Aku mendecak. “Mau-mauan aja kamu enggak dibayar, kalo jadi kuli bangunan dibayar tahu.”
“Buat nambah pengalaman, kali aja habis lulus wisuda gagal MDP jadi udah ada pengalaman buat ngaduk semen-pasir dan bikin rumah.”
“Iya deh, terserah,” aku menjawab tak serius sudah lelah dengan orang itu, kemudian pergi ke arah dapur untuk mencari ganjelan perut.
Di dapur aku tak melihat satu orang pun, di meja sudah ada kue cubit di piring. Aku mengambil satu buah dan memakannya tanpa pikir panjang. Saat sedang menguyah Rafel muncul dengan gaya santainya pakai kaus dan celana kolor pendek selutut.
“Bunda, Kak Andah makan kuenya tuuh!” seru Rafel dengan muka seperti provokator.
Aku tak peduli tetap menguyah kue itu, lalu aku meledek Rafel dengan menjulurkan lidah dan menjulingkan mata. Aku menelan kue tersebut dengan damai sambil dipelototin oleh bocah resek.
“Ngapain kamu masih di sini?” tanyaku sambil mengambil kue satu buah lagi.
Lagi-lagi Rafel berteriak nyaring. “Bunda, Kak Andah ngambil lagi kuenya!”
“Heeeeeh jangan berisik dong, kalo iri kamu ngambil aja kuenya juga!” seruku ingin menangkap bocah itu lalu Rafel kabur cepat sekali.
“Bundaaaaaaaa!”
Ya, aku mengejar bocah berisik yang lagi teriak-teriak itu, aku tak peduli kelakuan kami membuat Rifando menoleh dengan ekspresi terkejut banget.
Aku mendapati Rafel di teras depan rumah, sedangkan Bunda sedang merapikan tanaman bunganya. Aku berhasil menarik baju anak itu dan memberikan sebuah jitakan kecil.
“Rasain nih jitakanku!” pekikku sudah puas sekali.
“Ahhh! Bunda! Kak Andah penganiayaan sama anak di bawah umur!” Rafel memekik keras sambil menatapku kecut.
Bunda melongo melihat kelakuan kami berdua, perempuan itu memegang pot dengan tangan menggunakan sarungnya. “Astaga ni anak pada kenapa ya?”
“Kak Andah ngambil kue cubit yang mau buat cemilan Ayah, Abang sama Bang Fando kerja nguli.” Tuhkan nih bocah ngadu ke Bunda.
Aku tertawa puas buru-buru kabur sebelum kena omel oleh Bunda gara-gara dikomporin oleh Rafel. Sekembalinya aku ke dalam rumah kembali ada Rifando sedang memandangiku sambil menahan senyum, cowok itu terlihat geli banget.
“Jangan ketawa deh, maklumin aja di sini tuh emang rusuh kalo Rafel udah usil,” kataku.
“Rafel lucu dan seru,” jawaban Rifando membuatku terbelalak.
“Mau punya adek kayak dia? Ambil aja,” jelasku.
“Kalian gosipin aku ya?” Tiba-tiba Rafel muncul di belakangku sambil mengerucutkan bibir. Cowok itu beringsut maju mendekati kami dan sandaran di sofa berdiri di belakang Rifando.
“Ngapain? Hush hush pergi sana!”
“Bang, ada rahasia nih,” kata Rafel pada Rifando membuat tu cowok menoleh penasaran.
“Apaan?”
Perasaanku mendadak jadi buruk takut ini bocah berisik bakalan ngomong sembarangan. Aku tak peduli kalau mereka bakal ngomongin aku di belakang, tapi saat ini aku masih berhadapan dengan mereka.
“Heh, apaan! Jangan ngomong apa-apa,” ujarku sambil menarik Rafel dan membekap mulut.
Karena aku lemah, dia berhasil meloloskan diri sambil menggerutu kesal. “Kak Andah kasar banget.”
“Kamu sih duluan!” seruku sebal sambil melirik Rifando yang sedang tersenyum penuh makna.
“Rahasia apa tadi?” Rifando bertanya mengingatkan kembali membuat Rafel menjadi tersenyum licik lagi.
“Gini Bang—Kak Andah tuh,”
“Andah belum mandi,” sosok cowok berahang tegas muncul sambil garuk-garuk rambutnya yang basah. “Heh, mandi sana kamu? Jorok banget jam segini belum rapi dan wangi!”
Aku melengos sebal. “Masih jam 8.”
“Mandi sana terus sarapan, nanti bantuin Bunda masak buat makan siang,” ucap Bunda tiba-tiba muncul sambil menarik tanganku menjauh dari area ruang TV.
Aku mendengar Rafel tertawa terpingkal. “Kayak nyeret kucing.”
“Eh Fel, kasih makan kucing dulu. Nanti mandiin Encis Achel juga.” Kelvin memerintah pada sang adiknya membuat Rafel mengerang sebal, sedangkan aku membalas mentertawakan Rafel.
“Males ahh, enggak mau!” Rafel bersikeras menolak. “Kucing Abang psikopat!”
“Mandiin atau kagak Abang kasih suntikan dana!” Kelvin mengancam penuh kemenangan.
“Ada Kak Andah sama Bang Fando, wleeeek,” sahut Rafel.
“Rasain lo!! Idih, siapa yang mau bantuin kamu, udah resek tadi huuuu!” Aku masih melongok di tangga untuk sesempatnya menggoda Rafel yang lagi mencibir.
“Kak Andaaaaah—“
“Udah sana mandiin kucingnya!” seru Kelvin mengusir Rafel dari pandangannya. Siapa yang bisa menolak perintah Kakak semenyebalkan Kelvin sih?
🌻🌻🌻
Kini aku sedang duduk-duduk di teras halaman samping bermain bersama Encis dan Achel. Beberapa kali aku membawa dua makhluk itu agar masuk ke dalam rumah, keduanya akan berlari kembali menuju halaman samping. Mereka sudah bersih dimandikan oleh Rafel, kami khawatir kalau dua kucing itu bakal lari-larian atau bahkan loncat ke tempat adukan pasir dan semen. Siapa yang bakal menangis selain Kelvin? Tentu saja Rafel.
Di halaman samping rumah ada Ayah sedang bekerja dibantu oleh Kelvin dan Rifando. Kelvin sedang membantu ayah untuk bagian melemparkan adonan plester ke tembok, sementara Rifando sedang mengaduk semen dan pasir tidak jauh dariku.
“Kuliah Teknik Sipil diandelin bisa ngerapihin tembok rumah.” Kelvin menggerutu sambil melemparkan adukan pasir dan semen ke dinding.
“Jangan ngeluh, Bang!” seruku yang mendengar suara kesal Kelvin.
“Biar kamu bisa rapihin rumah sendiri,” kata Ayah tertawa.
“Om, ini udah cukup belum?” tanya Rifando, yang menggunakan kaus lengan digulung sampai menampilkan ketiak, dan celana pendek kolor punya Kelvin sedang mengusap keringat di keningnya.
Matahari yang sudah semakin panas menandakan sudah siang hari. Aku bangun dari duduk saat ada teriakan suara Bunda dari arah dapur. Aku diminta untuk membantunya mempersiapkan untuk makan siang mereka. Usai mempersiapkan makan siang hari ini, suara adzan sudah berkumandang menandakan mereka sudah harus menyelesaikan kerjaan dulu. Bunda mengingatkan Ayah agar berhenti dahulu.
Aku kembali ke ruang makan sudah duduk dengan manis di meja. Aku pura-pura mengalihkan pandangan ke arah lain saat pandangan bersibobok dengan Rifando yang lewat dari pintu halaman samping.
Aku menanti dengan manis kemunculan Ayah, Kelvin, dan Rifando bersama dengan Bunda yang sedang melihat-lihat hasil masakan, dan Rafel yang baru muncul langsung duduk di sebelahku.
Setelah mereka bertiga sudah bersih-bersih dan istirahat sejenak mengeringkan keringat, ketiganya bergabung bersama dengan kami di meja makan. Aku sudah tidak sabar ingin makan siang.
Yihaaaaa!
Masakan Bunda sudah menggugah selera makanku yang sekarang sudah baik. Hm, ternyata aku sekarang sudah tidak sesedih beberapa waktu lalu.
Selama acara makan berlangsung aku beberapa kali melempar tatapan pada Rifando, yang dia selalu kedapatan memperhatikanku dari mejanya. Sungguh bayangan malam itu bersama Rifando di Villa langsung muncul.
🌻🌻🌻
Setelah acara makan siang selesai, di meja makan sudah bubar menyisakan piring-piring kotor. Aku kebagian tugas memindahkan ke tempat cucian piring bersama Bunda membereskan dapur.
“Udah jadian pacaran sama Fando ya?” tanya Bunda membuatku menoleh dan melamun sebentar.
Aku menjadi gagap lalu mengelak tuduhan Bunda, mungkin gara-gara gelagatku yang aneh mencurigakan membuat Bunda malah jadi tersenyum. “Enggak Bun, enggak pacaran.” Aku masih menegaskan ke Bunda.
“Kelvin gosip sama Bunda, katanya kasian kalo kalian pacaran yang ribet dan tahu jadi sekeluarga. Kata Kelvin, kamu gak bisa diculik sama Fando buat diajak ke mana-mana karena dipantau sama satpam keluarga.”
Aku merasakan pipiku panas, campur malu. Memang aku sama Rifando kalau pacaran bakal ngapain sih? Astaga, udah dituduh yang macem-macem aja! Emang sih nyaris. Aku bukannya menahan malah sempat ngasih kesempatan.
Entah mengapa aku malu membicarakan ini sama Bunda. Ish, Kelvin ternyata ngomongin hal-hal yang kayak gitu ke Bunda. Aku yang jadi malu ini!
"Fando boleh bawa kamu ke Anyer. Kata Kelvin dengan syarat harus mau bantuin rapihin tembok dan ngerjain tugas Kelvin tuh." Pengakuan Bunda atas nama kelakuan keluargaku sungguh membuat kesal.
Aku menjadi menganga tak habis pikir dengan cowok itu. Mau aja dikerjain sama Kelvin!
“Bun, kok tega sih ngerjain Fando? Dia baru aja ngalamin kejadian kondisinya yang—sampe bisa bikin dia ketangkep polisi.”
“Ndah, justru itu kita harus semakin melibatkan Fando buat keluarga ini, biar dia nggak kesepian. Biar tetap semangat dan merasa dibutuhkan,” sahut Bunda membuatku jadi tertegun.
“Hm, Bunda kok percaya sama Fando bawa aku pergi? Enggak takut kalo kita berdua bakalan ngelakuin sesuatu?”
“Bunda percaya sama kalian.”
Jawaban itu entah mengapa membuatku sesak dan ingin menangis. Aku semakin malu pada diri sendiri.
Saat menemui Kelvin aku pun protes sama kelakuan reseknya. "Yang bener aja ngizinin Fando bawa aku pergi tapi disuruh ngerjain tugas ini-itu. Bang, kok usil banget sih?"
"Udahlah, Fando kan lagi perjuangin cinta kamu. Biar diterima. Dia lagi bucin, jadi rada pasrah mau aja disuruh-suruh." Kelvin melengos cuek tak peduli pada protesanku lagi.
Orang geblek mana yang memanfaatkan sikap kebucinan sahabatnya sendiri?
🌻🌻🌻
Pas kisahnya udah manis dan bahagia kok jadi sepi😶
Seruan ada drama sadsadsad lagi💔
14 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top