32. Sudah waktunya

Ada pertemuan yang tak semuanya berakhir untuk bisa bersama. Seperti aku dengan dirinya. Rasanya aku akan egois kalau belum bisa jujur mengenai diriku sendiri. Memang sejak awal kami sepakat hanya untuk berteman tanpa perasaan. Namun, aku dengannya bukan berteman biasa. Pernah ada harapan dan rasa dalam hubungan pertemanan kita.

Antara aku dengan Yudha. Cowok itu lagi sibuk-sibuknya untuk penelitian skripsi dan kerja. Maklum Yudha sudah tak bisa ditemui bebas di kampus. Waktunya tertentu saja untuk bisa berada di kampus. Harus menunggu jadwal kosong pria itu.

Di hari Kamis siang, Yudha mengatakan ada jadwal bimbingan skripsi. Aku mengiyakan ajakan pemuda itu yang mau mengajakku bertemu. Di tengah hari bolong, aku menunggunya di Taman FEB di mana dulu tempat aku pernah menyatakan rasa sukaku dan berakhir ditolak.

"Andah!" Suara panggilan itu asalnya dari belakang.

Tidak lama sudah ada Yudha muncul di dekatku, penampilannya kali ini memakai kemeja lengan pendek warna navy dengan corak kecil-kecil berbentuk mirip lekukan, celana panjang bahan warna hitam, dan sepatu kets. Dia mengajakku bertos ria sebagai cara kami memberikan sapaan. Pria berwajah manis itu duduk di sebelahku sambil menahan senyum aneh.

"Hei, udah selesai bimbingannya?" tanyaku.

"Belum. Katanya nanti jam 1 menghadap ke ruang dosen lagi, mau makan dulu ibunya. Dosen adalah maha benar, jadi kita nggak boleh marah," ucap Yudha dengan nada lucu.

"Sabar ya, Mas Yudha," kataku sambil tertawa.

"Eh, yuk makan aja dulu! Kamu kelas lagi jam berapa?"

"Jam 1 nih. Beneran mau makan? Hm," kataku sambil ngelihat ke jam tangan.

"Iya, nanti kalo dipanggil sama Bu Desi ya aku naik aja ninggalin makannya. Suka nggak bisa diprediksi ya berubah moodnya."

Kami bangun dari duduk untuk bergegas pergi bersama-sama menuju kantin FH yang sudah menjadi langganan kami untuk makan. Sambil ngobrol-ngobrol tentang dirinya yang membahas masalah skripsi. Tidak lama kami sampai di kantin FH. Kami bergegas pergi ke konter makanan masing-masing yang dituju. Setelahnya aku melihat Yudha sudah memilih meja duluan. Dia memberikan lambaikan tangan agar aku mendekat pada mejanya.

"Yudha." Aku belum sempat bicara namun raut wajah Yudha sudah serius menatapku.

"Keliatan ceria dan berbeda auramu. Jangan bilang kamu udah pacaran sama Fando sejak jalan-jalan bareng ke Anyer?"

Aku melotot sebab ketahuan pergi bersama Rifando. "Enggak kok. Tapi dia bilang pengen mulai menjalin hubungan sama aku."

"Akhirnya, udah berapa lama kamu nunggu ini? Terus kok katanya nggak pacaran? Kamu nolak dia?" tanya Yudha heran menatapku penuh selidik.

Tidak semudah itu untukku menerima cinta Rifando setelah apa yang terjadi. Kami masih memiliki suasana kikuk, asing, dan dingin. Rasanya aneh kalau aku langsung menerima Rifando. Aku masih inginnya suasana kami kembali hangat dan akrab kayak sebelumnya dulu. Berteman saja dulu.

"Aku masih butuh waktu, buat temenan kayak sebelumnya dulu. Aku merasanya udah asing gara-gara masalah yang pernah terjadi sama kita."

Aku melihat Yudha sedang menganggukkan kepala pelan dengan raut wajahnya yang lesu. Mataku masih terus menatap lurus padanya. Mungkin di lain waktu nanti akan ada perubahan dalam hubungan kami berdua. Kami tidak akan bisa seperti begini lagi.

"Yudha, aku boleh nanya nggak sih? Jawabannya iya atau enggak aja." Aku menatapnya serius meneliti seluruh momen ekspresi wajah Yudha.

Raut wajahnya berubah menjadi aneh dan menaikkan sebelah alisnya. "Nanya apa? Kok auramu tegang?"

"Pernah nggak sih sekali aja, kamu suka sama aku? Suka sama aku selama satu jam pun, kamu masih boleh bilang itu suka sama aku."

Ucapanku membuat Yudha kontan membelalakan matanya. Dia terlihat sedang meneguk saliva sambil memandang ke arah lain. Aku menunggu dia menjawab pertanyaan pentingku. Aku hanya ingin tahu, aku harap selama ini perasaanku padanya tidak hanya sepihak.

"Memangnya sampe detik ini kamu masih suka sama aku? Kok nanya begitu? Apa alasanmu nggak langsung terima Fando karena mau ngomong ini dulu sama aku?" Suara berat Yudha membuatku menjadi kikuk. Kata-katanya itu yang bikin aku jadi gelisah.

"Aku cuma pengen tahu." Tegasku agar dia kembali mengingat pertanyaanku dan menjawabnya dengan benar-benar serius.

"Untuk apa pengen tahu? Aku nggak mau karena jawabanku bikin kamu jadi nolak Fando."

"Hah? Oh, kamu ngomong gitu bikin aku jadi kaget banget!" seruku sambil menutup mulut. "Enggak mungkin! Yudha, nggak mungkin banget!"

Yudha terlihat mendecak sambil menyunggingkan senyuman misterius. "Kenapa nggak mungkin? Andah, kamu tuh selalu mikir nggak ada yang suka. Nggak akan bisa punya pacar. Tapi buat aku, kamu tuh lebih cocoknya udah langsung jadi istri aja. Ehem," kata Yudha lalu memasang wajah datar.

Suasana menjadi berubah menjadi kikuk, aku menatapnya tak percaya dengan isi kepala merenungi ucapannya. Sedangkan Yudha sedang balas menatapku dengan wajah lempengnya.

"Ramalan di Warung Bebek malam itu, maksudnya bakalan berakhir sama kamu?" terkaku. Aku pernah diramal olehnya.

"Andah, mungkin enggak sekarang. Tapi sekali nanti, akan ada orang datang yang membuat kamu merasa tersayangi banget. Dia bakal cinta banget sama kamu. Kalian bakal bahagia."

Yudha berdeham-deham dengan ekspresi wajah panik, namun kepalanya menggeleng. "Nggak sih. Enggak lagi ngomongin aku waktu itu. Kamu berhak dapet yang lebih baik daripada aku. Kita kan cuma berteman aja, pikirku waktu itu. Tapi setelahnya, aku semingguan itu mulai resah. Aku suka sama kamu. Aku kepikiran ucapan kamu dulu bahwa kita ini satu sama lain. Aku kira kita bisa berakhir menjadi bersama."

Aku menutup mulut tak percaya. Aku kira sejam Yudha menyukaiku sudah hal yang mustahil. Baru saja mendengar pengakuan cowok itu pernah menyukaiku selama itu, dan berpikir bahwa kemungkinan kita bisa bersama. "Kamu nyesel pernah nyuruh aku agar bisa cuma berteman aja?"

Yudha menggeleng pelan. "Karena aku tahu, kamu akan pulang ke mana. Beberapa kejadian yang ada di hidupku, membuat aku harus mencintai sewajarnya dan menyerahkan takdir jalan hidupku. Dulu aku berpikir, apa yang jadi milikku akan tetap bertahan. Ternyata bisa pergi juga."

"Pulang? Kok omonganmu sama kayak Fando." Ucapan Yudha itu juga pernah terlintas dalam benakku, bahwa aku ingin hidup yang sewajarnya saja agar tidak terkejut saat berada di takaran hidup yang kurang dari sebelumnya pernah dirasakan. "Aku dulu selalu berharap kamu yang menjadi tempatku berhenti. Berhenti berharap yang nggak pasti."

"Aku tahu kok, tapi sori Ndah, aku nggak berusaha jujur dan mengejar kamu. Aku ada perasaan kamu bukan orangnya. Dan, nyatanya itu benar," jawab Yudha tersenyum lebar. "Semoga kamu selalu bahagia bersama Fando, wahai teman sesama move on-ku!"

Aku menggeplak tangannya di meja. "Plis, tetap menjadi temanku ya! Tapi bilang aja kalo kamu nggak suka aku ganggu, nanti aku mundur."

Cowok itu tertawa keras membuatku heran kenapa dia begitu. Lalu ucapannya membuat aku ingin tertawa juga. "Aku tahu nanti yang bertugas nyuruh mundur adalah penjaga hatimu. Bilang sama dia, jangan takut kalo kamu bakal diambil."

Aku ikutan tertawa tak bisa ditahan lagi. Andai, Yudha pernah membiarkan aku menyukainya.

Mungkin perasaanku lebih besar daripada ini. Selama ini aku menahan-nahan agar tidak jatuh cinta terlalu dalam padanya, agar dia tidak menjauh karena tak suka pada perasaanku.

Namun, aku sudah lega mendengar bahwa dia juga memiliki perasaan yang masuk tanpa bisa ditahan. Kami pernah sama-sama menyukai, tetapi akhirnya tak berakhir jadi bersama. Aku merasa senang, ada orang yang menyukaiku apa adanya seperti Yudha.

Iya, kisahku bersama Yudha diwakilkan hanya dengan satu kata. Andai. Andai saja dia bisa jujur dan berani memulai.

Rifando bilang bahwa manusia pasti akan pernah singgah satu kali pun di hidup seseorang. Dan, akan ada satu orang nanti yang menjadi tempat pulang. Aku harap Yudha akan segera menemukan tempat pulangnya. Namun, jika lebih bahagia saat sendiri ya tidak apa-apa juga sih.

Seperti kaya ucapan Rifando, luka harus disembuhkan tanpa berbekas. Jika pun berbekas, semoga sampai tidak membuat sakit lagi.

"Kalo mau ketemu sama aku bakalan susah ya nanti?" Yudha ketawa kecil. Lucu dan juga menyedihkan.

🌻🌻🌻

Teng tong...

Jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul 20:35. Keberadaanku di kampus sudah semalam ini karena habis ada jam pengganti mata kuliah Hukum Bisnis yang dosennya mengganti tanpa ragu-ragu di jam malam hari.

Tidak ada yang protes daripada nilai auto minus gara-gara jam berkurang tidak diganti. Menurut para dosen, mengganti jam di hari biasa apalagi jam aktif seperti pagi dan siang itu sulit sebab kelas rata-rata digunakan.

Aku berjalan sambil menendang-nendang batu menuju minimarket dekat kampus setelah Sasa sudah pulang dengan ojek pesanannya, sementara aku masih harus menunggu Rifando.

Setengah jam sebelum kelas berakhir, Rifando memutuskan untuk menjemputku tak peduli dia sedang dalam perjalanan habis dari Rawamangun, rumah dosen pembimbing skripsinya.

"Kamu masih di kampus, 'kan? Aku udah di Rawajati Timur sebentar lagi sampe," cerocos Rifando dengan suara latar bunyi kendaraan memekakan telinga.

Aku bersumpah mendengar suara klakson bus malam. Cemas kalau dia berkendara sambil menelepon dengan kendaraan raksasa di sekitarnya.

Aku berdiri di teras minimarket, sedangkan ada tukang parkir datang menghampiri mengingatkan agar aku duduk di kursi depan. Mungkin dia menyadari bahwa aku sudah pucat, menggigil, dan keringat dingin. Aku mengangguk tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada Bapak itu.

"Doyi, kamu naik apa sih kok cepet banget? Karpet terbang? Aku di minimarket yang biasa kamu jemput dulu. Udah ya, aku mau matiin teleponnya. Bahaya." Aku memutuskan sambungan.

Si orang gila itu pasti menelepon sambil berkendara. Aku sih tak perlu khawatir kalau dia bertelepon di mobil, dia sedang mengendarai motor ponselnya diselipkan di dalam helm. Gila, kan? Kebiasaan dia kalau berkendara dengan motor memang meresahkan.

Tidak lama ada sebuah motor warna putih hitam masuk ke dalam parkiran. Sosok cowok dengan hoodie hitam memakai ransel. Aku mendekatinya memastikan dia adalah Rifando.

"Udah dibilang jangan jemput, kamu perjalanan cuma setengah jam. Gila aja kali ya?" Dengan gemas aku mengomeli pemuda itu.

Rifando mematikan mesin motornya dan melepas helm.

"Udah yuk, langsung cabut! Ngapain berhenti, kamu haus mau mampir beli minum?" ajakku siap naik ke belakang.

"Eh, kamu pucet banget, Ndah. Bibir kamu kering kenapa? Suaramu kayak berat tertahan?" tanya Rifando mengamati membuatku salah tingkah.

"Sejak tadi siang aku nggak enak badan. Capek kali ya."

Aku sudah mau naik ingin cepat pulang sebab badanku tak enak begini. Rifando melepas tasnya dan membuka hoodie hitamnya. Aku menatapnya bingung baru mengerti saat dia menyodorkan baju luarannya itu.

"Pake nih," katanya seraya mengangsurkan.

"Habis hujan loh, kamu nanti yang jadi sakit." Aku menolak. "Mau sakit bareng-bareng?"

"Udah ini pake, kamu mau kita buang-buang waktu telat pulang?" Rifando memakai tasnya lagi. Di dalam hoodienya tadi, dia memakai kemeja flanel lengan panjang dengan motif kotak-kotak. Aku pasrah memakai hoodienya daripada kedinginan.

Tanpa debat lagi kami pulang ke rumah. Selama di perjalanan perutku mulai melilit dan ada yang mendorong ingin keluar dari dalam. Aku tanpa sadar sudah mencengkeram baju Rifando karena ulu hatiku nyeri seperti ditusuk ribuan paku. Di belakang aku sudah meringis dan belingsatan sendirian padahal Rifando sedang membawa motor dengan kecepatan kurang waras.

"Ndah, kamu kenapa cakar-cakar perut aku?" tanya Rifando teriak-teriak agar terdengar. "Nggak kerasukan siluman harimau kampus, 'kan?"

"Aku mual bukan kerasukan, mulutku rasanya aneh pahit campur asam. Kayaknya aku mau muntah, Doy! Perutku kayak ditusuk-tusuk, nyeri. Aw! Sakit, ih." Aku mengeraskan suara beradu rayu dengan angin.

"Hah?? Kita berhenti dulu ya sebentar. Itu di depan aman deh." Bagai angin segar Rifando mau menghentikan kendaraan.

Kami berhenti di sebuah pom bensin. Dia membawaku cepat-cepat ke sebuah toilet perempuan. Aku ngeri kecuali terpaksa akhirnya nekat menggunakan tempat umum itu. Mana sepi. Sementara Rifando di luar, inilah saat yang tepat begitu aku masuk ke dalam bilik. Sesuatu dari dalam perutku keluar tanpa bisa ditahan.

Usai memastikan aku tak akan mual atau keluar sesuatu lagi, aku membersihkan wajah dan mulut. Aku mendecak melihat bagian hoodie Rifando dekat dagu sedikit kotor. Dasar aku, dipinjemin barang dikotorin.

Keluar dari area toilet perempuan Rifando menyambutku dengan membawa kresek, dia dengan gesitnya membuka botol air mineral dan merobek plastik tissu. Tanpa banyak bicara dia menyodorkan air mineral, saat aku menenggak airnya, dia mengambil beberapa tissue mengelap wajahku yang ternyata tak aku sadari di pelipis dan pipi dekat telinga basah, karena keringat.

"Doyi, hoodie kamu kotor, udah aku bersihin pake air keran. Nanti di rumah aku cuciin yang wangi kok." Sambil berjalan menuju motor aku menceritakan bajunya yang kotor.

"Enggak keliatan kotornya," jawab Rifando mengamati hoodie miliknya di tubuhku.

"Sumpah aku kira bakal keluar apa, tahunya cuma cairan."

Ucapanku membuat Rifando menoleh dengan mata membelalak, dia tak jadi memakai helmnya. "Kapan terakhir kamu makan?"

"Jam 4 di kosan temannya Sasa," sahutku.

"Asam lambungmu naik, bahaya itu bisa bikin sesak napas. Kamu tahu nggak itu bahaya bisa meregang nyawa," tutur Rifando.

"Sekarang aku jadinya laper," ucapku melirik ke jam tangan sudah menunjuk di angka 9. "Doyi, mau pecel ayam."

"Yakin mau mampir dulu? Nggak takut kemaleman?"

"Idih, sejak kapan kamu jadi anak sore? Ayo, ke tempat yang dulu biasanya, aku laper!!" ajakku memaksa tanpa mau dibantah.

Mulai saat ini aku merasa semakin semena-mena dengan Rifando untuk pembalasan. Sebelum mengiyakan ajakanku lagi Rifando mengulurkan tangannya menarik tudung hoodie agar menutupi kepalaku. Oh ya, aku lupa untuk menutupinya lagi.

Di atas motor masih sesempatnya bercanda tanpa takut kami sedang diincar oleh begal. Merasakan angin malam dan sudah sepi membuat kami menjadi nostalgia. Tapi ternyata tidak sesepi itu masih ada suara dari speaker stasiun dan kereta yang lewat membuat kendaraan berjejer menunggu giliran lewat. Orang-orang berkendara yang sibuk habis beraktivitas atau baru memulainya, misalnya shift masuk jam malam.

"Enak naik motor ya, bisa ngelihat lebih jelas," ucapku dengan suara mega stereo supaya Rifando mendengarnya.

"Enaknya bisa di-backhug," celetuk Rifando tanpa beban.

"Modusnya jelek." Aku memakinya, tetapi dalam hati sudah kacau. Di belakangnya aku menahan senyum-senyum bahagia yang aneh. Kedua tanganku digeser olehnya agar menempel makin erat di perut pemuda itu.

Ingin menggoda cowok ini maka aku akan semakin menempel padanya sampai tak ada jarak lagi. Aku memeluknya sekencang mungkin sambil menahan tertawa. Reaksi Rifando terkejut agak sedikit memajukan tubuhnya.

"Ndah, kamu ngapain sengaja ya nempel banget?" tanya Rifando dengan geli.

"Katanya mau backhug," jawabku.

"Iya, tapi itumu nempel-nempel." Rifando tertawa cekikikan.

"Jangan halu kalo punyaku gede ya, Doyi. Itu cuma busa kok, isinya kosong," ucapku tanpa rasa berdosa.

"Aku tahu kalo kamu ngomong gitu tuh biar menjatuhkan imajinasi aku, sengaja dijelek-jelekin. Kayak waktu bilang lehermu nggak ada bedanya kayak leher ayam itu. Udah deh tolong jangan ngomong yang aneh-aneh, kamu nyiksa aku di tengah jalan gini."

Tawaku keluar juga mendapati reaksinya yang masam dan aneh gara-gara diledekin. Tanpa bisa ditahan aku mencubit punggungnya. Entah berteman sudah selama itu, baru sadar kami kalau bercanda bisa menjadi seterbuka ini. Sebab sama-sama sudah tahu sisi rahasia lain kami, yang menuju liar.

"Ngelamunnya jorok." Suaraku lalu ditimpali dengan tawa besar penuh makna milik kami.

🌻🌻🌻



Akhirnya yaaa, udah di part ini 🙂

Jadi, menurutku urusan kejelasan hubungan Andah dan Yudha udah diselesaikan

Ada yang masih nggak percaya kalo Andah Yudha nggak bersatu? 🤣









1 AGUSTUS 2021


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top