31. Ngobrol hal aneh
⚠️Obrolan rada 🔞⚠️
Jadi begini rasanya menjadi Kelvin yang pulang dalam kondisi kecapekan. Aku yang sangat mencintai absen memaksa diri untuk masuk kuliah padahal perutku sedang mual dan kembung berisi angin. Kemarin dua hari bersama Rifando di Anyer membuat kami lumayan sudah membaik dari kekakuan yang sebelumnya. Hal yang tak pernah aku duga terjadi di sana. Hal itu yang membuat pikiranku malah jadi terbagi dan merasa bersalah padanya.
Di kantin FH aku sedang makan siang bersama dengan Sasa, kepalaku masih sangat sakit seperti diremas kuat. Mulutku sudah pahit dan perut menjadi mual. Ini pasti masuk angin gara-gara kebanyakan main lari-larian di Pantai Anyer sama Rifando. Nanti siang masih ada satu mata kuliah lagi baru bisa pulang jam 3 sore.
“Aku lihat update di akun IG Fando. Gila banget, kalian mainnya udah berani berduaan, enggak dicurigain sama Kelvin?”
“Liburan doang, bukan aneh-aneh. Tahu tuh Kelvin diapain sama Fando sampe bisa ngasih izin. Keajaiban dunia atau kena gundam.” Aku tiba-tiba bersendawa. Perutku makin melilit bergemuruh angin dan sangat kembung sekali rasanya.
“Ndah, masa baru kemarin udah mual?” tanya Sasa usil sambil menyodorkan Fresh Care.
Pertanyaan Sasa membuatku jadi salah tingkah.
Geli sama diri sendiri. Aku menerima membuka tutup botolnya dan menghirup botol itu lewat hidung. “Apaan sih maksudnya?” Aku bersikap sok polos. Sesungguhnya aku panik kalau Sasa ngeledek seperti itu akan menjadi bahan bulan-bulanan baru. Aku pasti kikuk dan malu beneran, karena itu bukan hanya sebagai ledekan belaka. Kami berdua sungguh nyaris melalui malam panas.
“Iya, baru kemarin buat masa udah jadi?” celetuk Sasa lalu tertawa liar membuatku ingin menyentil dahinya.
Temanku ini sembarangan saja kalau bicara, kalau ada yang mendengar lalu diubah menjadi gosip seperti yang dulu-dulu bagaimana? Aku tidak mau ada gosip bahwa diriku sudah kejebolan gara-gara ada yang salah dengar.
“Apaan sih kamu tuh mikirnya,” kataku sambil memijat kepala yang sakit. “Sa, aku lagi puyeng banget nih, jangan mancing aku buat ngamuk.”
“Ndah, coba deh cek ke dokter!” seru Sasa prihatin campur semangat.
“SA!!!”
Sasa menahan tawanya. “Aku belum selesai ngomong. Coba cek ke dokter siapa tahu kamu tuh tensi darahnya tinggi alias darting. Ngegas mulu kalo ngomong.”
Aku mendengarkan ucapan perintah Sasa mengangguk pelan. Aku menjadi teringat lagi malam itu. Lewat tengah malam aku terbangun karena mendengar suara aneh dari pohon depan kamarku. Aku pindah ke depan kamar dan ditemani Rifando tidur sampai pagi.
Gara-gara digoda oleh Sasa, aku jadi meragukan malam itu. Aku tak melakukan apa-apa dengan Rifando, 'kan? Seingatku saat kami tiduran di bawah selimut Rifando nyari kesempatan berusaha nyosor, aku menabok mukanya. Aku tak mau menyerahkan apa-apa dulu padanya. Leherku yang jadi sasaran keisengan cowok itu. Tapi itu skinship yang membuat meremang kalau diingat-ingat kembali.
“Mau makan apa, aku pesenin nih sekalian jalan tapi mana duitnya?” tanya Sasa mengadahkan tangan membuyarkan lamunanku.
“Talangin dulu kek. Nih ceban beliin aku jus alpukat. Aku nggak makan apa-apa deh, perutku terasa penuh banget.”
Sasa mendecak sambil merapikan duit. Dia berdiri dari kursinya. “Wah, mantep ini satu malam langsung jadi dedeknya. Fando pasti jago banget atau Andahnya nih yang posisinya mantep.” Masih sempatnya Sasa menggoda dan tertawa mesum.
Aku mendesis sambil menahan ngamuk gara-gara ocehan Sasa. Menyadari aku mau marah Sasa segera kabur sambil senyum-senyum penuh makna. Kalau reaksi Sasa sudah begitu, aku jadi ragu untuk menceritakan apa yang sempat terjadi malam itu. Biarkan itu menjadi rahasia antara aku dan Rifando.
Sekembalinya Sasa datang membawa jus alpukat dan melon ke meja kami. Minuman milikku segera aku serobot dan menikmatinya.
“Ndah, kalo ke tempat yang banyak angin tuh pas napas hembusin karbonya lewat mulut. Jangan dimasukin ke perut, kamu jadi kembung,” kata Sasa.
“Bodo amat.”
“Cerita dong ngapain aja di sana? Jangan diumpetin biar kalo ada apa-apa, aku udah tahu awal mulanya dari sana.”
“Eh, apaan sih? Jangan nyenggol hal-hal ke arah sana deh. Tapi, kemarin dia ngajak pacaran, Sa. Aku belum jawab apa-apa.”
“Hah, ya buruan terima dong? Nanti kalo ada apa-apa, kamu bisa langsung minta tanggung jawab ke dia.”
Aku melotot dan menapok lengannya kesal. “Serius dong, jangan bahas ke arah sana. Susah banget ngomong sama cewek mesum!”
Sasa tertawa cekikikan dan menoel-noel lenganku. “Beneran dia udah nembak? Kenapa nggak dijawab sih? Ndah, ini kan yang kamu tunggu?”
Aku menarik napas. “Rasanya sekarang beda, kenapa aku nggak sesenang itu ya? Lagian kalo udah pacaran, apa itu akan menjamin setelahnya bakal baik-baik aja? Aku memang cinta sama dia, sakit hati liat dia sama cewek lain. Kenapa saat kesempatan ini datang aku jadi takut sama komitmen?”
“Wah, kacau! Kamu bener-bener nggak bisa aku duga, aku kira kamu tipe cewek yang bakal cepet klepek-klepek langsung gampang baper sama cowok. Tahunya kamu sebenarnya nggak suka komitmen? Hebat, gila lu pantesan waktu galau nggak mau cari pacar di Tinder!”
“Ya, memang selama ini aku pernah pacaran? Selain nggak laku, ya aku juga nggak suka sama sebuah hubungan yang mengikat banget. Aku pengennya bebas. Kalo aku pengen punya pacar banget, bisa aja nyari asal-asalan di sosmed waktu pelarian move on itu, tapi enggak, 'kan?”
Sasa menepuk bahuku sok akrab. “Yeee itu mah karena seleramu kayak Fando, susah nyari orang baru kalo seleramu udah ketinggian. Mana lama banget naksirnya. Pacaran nggak nyeremin seketat itu kok. Aku bisa pacaran dengan masih bebas kok. Tergantung pasanganmu gimana.”
Benar juga, tergantung orangnya yang menjalani. "Tahu tuh Fando khilaf kali bisa naksir sama aku."
“Apa Fando tipe cowok yang ngatur banget atau posesif? Kalo iya, udahlah tamat aja kamu dalam pengawasan ketat dan aturan bejibun. I was there, untungnya sekarang aku nggak seketat itu dalam hubungan.”
“Pacarmu sekarang cuek tapi kalo udah romantis bikin kamu nyerocos terkagum-kagum nggak berhenti mulu, kan?” Ledekku membuat Sasa sudah senyum-senyum malu bahagia banget.
Kenapa aku jadi benci dengan hubungan? Kalau begini, aku yang sebenarnya menyakiti Rifando. Aku sudah pernah memberikan harapan padanya, namun aku masih sulit menerima status bersamanya. Aku hanya tak bisa berpacaran dengannya secepat itu setelah apa yang terjadi, membuat kami menjadi asing satu sama lain. Aku seperti masih membutuhkan waktu lagi untuk mempercayainya, dan membiarkan dia menumbuhkan rasa itu padaku.
Sebab aku yakin, di sini masih aku yang sangat mencintainya.
"Kasih satu alasan kenapa aku harus terima pacaran sama Fando?" tanyaku menunggu Sasa karena ini pertanyaan serius.
"Nggak ada yang mau sama kamu, Ndah."
"Serius, bahlul."
Sasa cekikikan sambil gigit sedotan, dia kayaknya lagi bahagia sekali pacarnya habis mengirimkan hadiah. "Canda deng. Ya, terserahmu sih kalo mau tarik ulur dulu karena nggak mau kecepetan. Tapi aku tahu sih alasan yang pasti kenapa Fando cepet-cepet nembak kamu."
"Apaan?" Aku bertanya penuh harap, tapi sudah siap jika menerima jawaban Sasa yang tak sesuai harapan atau minta digeplak.
"Fando mau pergi, Ndah. Dia takut kamu semakin jauh dan dia susah ngejar perjuangin kamu. Kamu yang udah rada move on dari dia, akan ketemu sama orang baru di kantor tempat kamu magang, kelompok bimbingan skripsi, atau ketemu cogan di abang-abang tukang fotokopi depan." Tiba-tiba Sasa tertawa ngakak hebat. "Gila, Fando tuh bisa insecure takut gitu ya? Hahaha."
🌻🌻🌻
Mata kuliah hari ini sudah selesai, begitu dosen keluar seluruh mahasiswa di kelas bubaran memenuhi koridor kampus. Aku berjalan bersama Sasa pelan-pelan. Tubuhku masih tidak enak, masih mual, mulut pahit, dan perutku rasanya kembung membengkak.
“Balik sama siapa?” tanya Sasa berada di sebelahku.
Kami menuruni tangga demi tangga. “Nggak tahu.”
“Emang nggak bareng sama Babang Fando?”
"Apaan sih Babang-Babang! Enggak tahu." Bahuku menaik.
Hari ini aku tak berkirim pesan padanya, dalam diriku selain ada rasa malas, entah mengapa juga ada rasa kesal dan muak. Aku menjadi sedikit emosi kalau melihat wajah cowok itu. Aneh banget, kan? Mengapa aku kesal padahal kemarin kami habis liburan bahagia dan tak ada masalah keributan sampai pulang. Cuma sejak tadi pagi ketika melihat Bunda, perasaanku menjadi memburuk kalau mengingat Rifando. Teringat dosa yang aku lakukan di belakang.
“Hei Andah, pas banget kalian udah turun!” seru seseorang. Rifando muncul dengan tas ransel di bahu kanannya. Dia tersenyum kecil padaku.
Aku segera menjadi kikuk melihatnya. Lirikan mataku menjadi pada Sasa yang lagi nyengir aneh.
“Kata Sasa, kamu nggak enak badan?” tanya Rifando menatapku penuh selidik.
Kalau gini aku sudah tahu penyebab kemunculan cowok yang pesannya tak aku gubris tapi tiba-tiba muncul tepat waktu di gedung kelas terakhirku. Sasa nih yang menjadi mata rantai sehingga Rifando bisa langsung menyatroniku di sini.
“Hmh, iya sedikit. Kamu ada kegiatan di kampus?”
Pemuda itu mengangguk. “Udah mau pulang? Mau bareng nggak, Sa?” tawarnya pada Sasa.
Temanku itu segera menolak dengan gelengan kepala. “Enggak deh, aku duluan ya! Nanti kalian muter-muter kalo nganter aku. Daaah semuanya!”
Di koridor depan jalanan keluar gedung Fakultas Hukum hanya tersisa aku dan dirinya. Kami sesaat hanya menatap diam saja dengan rahang saling menutup. Mengapa sekarang jadi aneh lagi, padahal saat di jalanan pulang kemarin masih biasa saja. Sama sekali tak ada bayangan kejadian menggelikan itu. Kesadaran memang sering kali muncul setelah beberapa waktu. Saat otak baru bisa bekerja normal.
“Yuk pulang!” Ajak Rifando berjalan bersamaku.
🌻🌻🌻
“Kok diem aja, enggak enak badan banget? Mual? Pusing? Kamu mau makan apa?” Rifando seraya menyetir mobil menoleh padaku.
“Iya, udah tahu nanya. Aku nggak mood makan. Males.”
“Kok galak banget? Kenapa? Ada masalah apa lagi sama aku? Ayo, aku temenin ke klinik biar dapet obat.”
Aku mendelik padanya. Mengapa Rifando menjadi sangat sensitif kalau aku berubah sedikit langsung dikira sedang marah.
“Kali ini masalahnya apa? Biar bisa langsung diselesaikan,” ujar Rifando lagi sembari aku mikir dulu.
Bagaimana mengatakannya bahwa aku sedang sebal melihat wajahnya. Kalau aku waktu itu bisa bergairah, dalam selang waktu dua hari mengapa aku menjadi kesal dengannya. “Aku masih kebayang-bayang malam itu, jadi nggak nyaman deketan sama kamu. Males banget ngeliat muka kamu bahkan nama kamu di kontak layar hape.”
Rifando terlihat membelalakan matanya dan membuka mulutnya setengah terbuka. “What the fuck? Kamu beneran lagi PMS ya ternyata. Iya, aku ngerti, tapi—“ Cowok itu kelihatan gugup sampai berhenti bicara langsung melesu begitu.
Aku menjadi salah tingkah mengalihkan pandangan ke jendela.
“Maaf, aku bikin kamu kepikiran dirindung rasa bersalah. Aku udah bikin kamu nggak nyaman dengan bersikap kurang ajar. Maafin, aku kira kita sama-sama mau,” kata Rifando dengan nada bicara terbata-bata. "Aku harap yang kemarin kita lalui itu benar-benar menyenangkan buat kita berdua. Jadi, nggak ada pemaksaan atau pelecehan."
Ludah di tenggorokanku pasokannya mendadak sedikit. Kering. Saat aku meneguk saliva jadinya tercekat sesak napas. Mataku juga membulat menatap padanya. “Aku yang juga ngasih celah malam itu kok, aku nggak merasa dipaksa sih. Aku juga seneng. Tapi perasaan setelahnya wajar kan kalo kesel gitu? Malu sama diri sendiri lebih tepatnya. Enggak tahu kenapa jadi kesel lihat muka kamu. Kamu jangan tersinggung dulu,” jawabku sambil mengamati profil dari sampingnya.
Rifando menoleh dengan ekspresi wajah yang aneh. Cowok itu tampak tidak senang, namun juga tak dingin. Lebih tepatnya raut wajah gelisah. “Oke-oke, kalo kamu beneran kesel kalo ngelihat muka aku tanpa alasan logis. Tapi syukurlah kalo kamu merasa senang juga. Aku bersalah udah bikin kamu resah begini.”
Sebenarnya aku juga takut dan bingung malam itu tiba-tiba mengapa aku menjadi genit dan agresif. Seharusnya malam itu berakhir hanya dengan ciuman bibir. Mengapa aku memintanya agar di pipi saja, namun yang dia lakukan berbeda. Dia mencium pipi tapi semakin turun. Aku tak menolak saat dia melakukannya. Harusnya aku tak perlu merasa geli dengan perilaku Rifando, tho, yang membuatnya seperti itu adalah aku sendiri.
“Kok kamu bisa napsu sama aku sih?” tanyaku tanpa perlu malu lagi buat membahas hal begituan setelah kami berdua sudah menunjukkan sisi liar berdua.
“Hah?” Rifando kelihatan langsung kikuk menoleh dengan mulut membulat dan kedua alisnya menaik. “Ehmmm, itu bukan napsu. Aku pengen cium kamu, karena sayang. Aku pengen nenangin kamu dan nunjukin dengan cara cinta yang lain.”
“Pas kamu mulai—itu loh napsu sama aku,” tukasku.
“Eggak? Kamu nggak bisa bedain ciuman napsu sama sayang ya?”
Sial, aku newbie ya mana tahu!
“Kalo aku bilang nggak napsu juga boong sih,” lanjut Rifando menjelaskan. Aku langsung menatapnya seperti, nah itu kamu tahu sendiri. “Kamu bikin aku nyaman, karena gemes sama kamu. Nyaris banget. Ya, aku tahan.”
"Pengendalian yang hebat," ucapku.
"Eh? Iya bener sih, cuma bedanya di setiap manusia cara mengendalikannya aja."
Setelahnya kami menjadi salah tingkah satu sama lain. Aku menahan hawa panas saat bayangan malam itu muncul lagi. Malam itu kami berdua seperti menjadi orang lain dan asing. Aku membiarkan dirinya menyentuhku dan bibir Rifando memujiku malam itu dengan kata-kata yang tak pernah terlontar di keseharian kami. Dia manggil aku Baby. Dia bilang aku sexy dan hot. Dan dia bilang, leherku tidak akan dipandang sama lagi seperti biasa olehnya.
Oh my God! Jelas aku juga jadi terbayang-bayang.
“Hm, jangan bilang ke siapa-siapa. Kamu udah cerita ke siapa aja? Temanmu? Bang Jonny?” tanyaku ketakutan.
Pikiranku langsung menjadi cemas lagi, bagaimana jika cerita itu kesebar dan membuatku malu. Kata Viska dan Tika, dalam beberapa pertemanan antar cowok ada sesi persaingan hebat-hebatan dalam berhubungan dengan wanita. Sudah sejauh mana mendapatkan dari cewek-cewek. Aku jadi takut kalau Rifando sama saja seperti cowok yang diceritakan oleh para temanku.
Rifando berdeham sedikit bergerak di kursi kemudinya, lalu tangan kiri miliknya menarik tangan kananku dan menggenggamnya. Dia meyakinkanku sambil menggeleng pelan.
“Enggak ada. Tenang aja, cuma kita berdua yang tahu. Kita simpen kenangan berdua ini ya?”
“Aku juga nggak mau terulang lagi.”
“Iya, aku bakal menjaga kamu, sampai nanti kita bisa ngelakuin tanpa rasa takut, jijik, dan malu. Dalam ikatan yang lebih sah.”
Jantungku berdegub keras lalu menatapnya tak percaya. Suasana di dalam mobil menjadi mendingin tak ada suara hanya hening begitu saja. Namun debaran keras di dada kiriku sepertinya bisa terasa. “Maksudmu apa?” Pertanyaan itu meluncur membuatku kesulitan meneguk saliva.
"Masa nggak ngerti?"
"Maksudmu menikah? Hah?" Aku syok bukan main. Cowok ini sudah menyertakan aku ke dalam rencana masa depannya?
"Kok kaget dan mukanya geli gitu? Nggak mau nikah?"
"Itu ada di urutan ke 100 hal yang mau aku lakuin," jawabku.
"Eh, bukannya kamu Minggu lalu baru dapet ya? Kok udah PMS lagi?" Sepertinya Rifando mengalihkan pembicaraan.
Aku langsung mati kutu. Gelagapan. "Ya setelahnya juga ada fase kayak gitu."
"Masa sih?"
"Udah jangan inget-inget tanggal dapetku. Nanti kamu jadi usil."
Rifando menatapku masam, namun sepertinya itu benar. Awas saja kalau dia akan menggodaku di saat-saat lagi lemah. Waspadalah!!
Di tengah keheningan sudah tidak ada lagi yang memulai pembicaraan. Aku sibuk menjaga diri agar tidak mengantuk sedangkan Rifando sesekali sibuk mengecek ponsel lalu mendecak dan garuk-garuk kepala.
"Ndoooo, mau es kelapa yang biasa kita beli di deket SMA!" seruku mengajak untuk mencairkan suasana yang sempat kaku gara-gara obrolan dewasa tadi.
Rifando menoleh dengan mata menatap teduh. “Oke, udah lama nggak ke sana ya?”
🌻🌻🌻
1 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top