3. Urusi sendiri
Sudah beberapa hari ini perkuliahan mulai aktif kembali. Kami semakin disibukkan oleh persiapan menjelang UAS nanti.
Setelah apa yang terjadi beberapa hari lalu lantas tak membuatku semangat untuk pergi kuliah. Setiap melangkah di kampus, aku menjadi was-was menatap sekeliling. Ada dua kemungkinan aku melakukan hal semacam itu. Pertama aku sedang mencari seseorang, kedua aku menghindari seseorang.
Aku harus segera bertemu dengan seseorang untuk menyelesaikan masalah, yang memang seharusnya aku yang melakukan itu sendiri. Aku harus membuktikan secara nyata, sekaligus agar tak terbayang-bayang oleh orang itu, yang katanya akan selalu membantuku. Iya, dia memang sudah membuktikan janjinya untuk membantu menyelesaikan urusanku dengan seseorang. Namun justru itu membuatku berpikir kami masih menjadi saling bergantung.
Di jam siang aku sudah mengintai gadis itu, harus bisa mendekatinya namun di Perpustakaan Kampus bukanlah tempat yang asyik untuk pembicaraan kami. bisa jadi akan membuat keributan, kalau misalnya aku kehilangan kesabaran.
Melihat cewek berambut panjang yang sudah menyelesaikan kegiatannya di perpustakaan itu segera bangkit bersama teman-temannya. Aku menarik napas lega, inilah saatnya. Meski melihat sang target bersama beberapa temannya, lantas aku tak takut untuk bergerak. Sakit hati dan kesalku sudah di ubun-ubun kalau mengingat betapa jahatnya pikiran dan omongan cewek itu padaku.
Menuruni undakan tangga gedung perpustakaan, aku berusaha mengejarnya sambil celingukan mencari tempat yang aman untuk kami berhadapan langsung. Di tangga tempat umum bukanlah tempat yang aman, siapa tahu kami akan terlibat aksi dorong-mendorong.
Setelah kami menyelesaikan tangga turun, gerombolan cewek itu menuju pintu keluar, aku baru mau memanggil nama sang target. "Vivi!" Suara itu tidak kencang, keburu nyaliku ciut akibat kemunculan dua orang manusia yang tak ingin aku lihat.
Dari luar ada sepasang manusia dewasa, cewek dan cowok. Si cowok ganteng, berkulit putih, dengan tubuh tinggi, berbahu lebar, dan sepasang matanya menajam saat melihat padaku. Di sebelahnya ada sesosok wanita memakai dres warna pink panjangnya di bawah lutut sedikit. Cewek berambut panjang, cantik, dan senyumannya segera memudar ketika melihat diriku.
Pandanganku langsung segera turun ke arah targetku yang sudah pergi lebih cepat gerakannya daripada yang tadi-tadi. Bahkan teman-temannya mengejar gerakan yang tak terorganisir. Alias targetku kabur karena melihat sosok cowok yang baru saja berpapasan dengannya. Sebelum aku lengah kehilangan targetku, aku berusaha keras sekuat tenaga mengumpulkan energi untuk berjalan cepat menuju pintu keluar.
Aku amat yakin cowok itu memperhatikan gelagatku. Walau hubungan kami tak baik, sedang hancur-hancurnya, dia masih berusaha yang terbaik untuk bentuk pertanggungjawaban.
Di depan gedung perpustakaan, aku mengamati sekitar mencari-cari. Aku sempat melihat salah satu cewek, teman si targetku pergi dan menghilang di belokan yang tujuannya ke arah gedung fakultas kampus. Dugaanku mereka akan pergi menuju gedung Fakultas Ilmu Komunikasi.
Menyadari bahwa orang yang aku hindarkan sedang berada di dalam gedung perpustakaan, aku segera mengejar targetku. Awalnya aku berpikir kesialan apa melihatnya bersama dengan pacarnya. Ini membuatku bisa mengetahui keberadaan Rifando di perpustakaan, sedangkan aku bisa bebas keluyuran di area Fikom.
Aku berhasil menyusul, aku melihat cewek itu masih bersama teman-temannya masih berjalan di koridor bawah. Syukurlah masih tertangkap mata olehku. Gawatnya lagi kalau mereka sudah naik ke atas, dan aku tak tahu mereka sedang berada di mana. Mereka langkahnya sudah tak secepat itu, menandakan bahwa tadi mendadak lari-lari karena menghindari cowok di depan gedung perpustakaan itu.
"Ah, kalo lo penakut jangan cari gara-gara sama Kak Fando!" seru seorang cewek, sepertinya berani sekali berkomentar kelakuan si targetku. Aku mendengkus sinis.
"Mana gue tau kalo tuh cowok bakal membuat suasana makin keruh. Gue cuma nggak suka sama temennya, tapi dia ikutan maju ikut campur. Kak Melati sama Kak Eddy jadi masih mempertimbangkan kemajuan gue buat jadi anggota Inti. Katanya, gue bermasalah di etika, kesopanan gue jelek dan diragukan. Padahal kelakuan gue ke orang itu nggak akan ngaruh ke kinerja gue di Hima," suara Vivi terdengar. Namanya Vivi. Dia adalah cewek yang membuatku ingin bersumpah serapah, dialah yang harus bertanggung jawab penuh atas masalahku akhir-akhir ini.
"Kak Fando marah nggak salah dong, dia penyebab temannya diganggu sama lo!" seru teman Vivi yang satu lagi.
"Memang lo kayak nggak ada Etikanya ngatain sesama cewek dengan kata-kata kasar kayak begitu. Bahasa lo nggak ada sopan santunnya dan kelakuan lo bikin malu." Komentar salah satu temannya yang lain.
"Benar itu!" seruku keras sambil menjejari langkah Vivi.
Kami bertemu pandang kala dia menoleh dengan aku yang ikut campur bicara dalam obrolan mereka.
Vivi berhenti berjalan. "Lo? Ngapain lo di sini?" tanyanya sengit. Kepalanya celingukan.
"Kita harus ngomong berdua aja. Enggak kok, nggak bakalan ada Fando." Aku menatapnya penuh amarah. Aku berusaha tetap tenang agar tak terlihat menakutkan sehingga dia tak mau diajak bicara.
"Bohong, masalah kita udah selesai. Gue udah diceramahin panjang lebar sama dia. Gue juga dipersulit naik jabatan di Hima gara-gara Ketuanya tahu masalah ini. Mau apalagi yang belum selesai?" Vivi menatapku kesal.
"Enak aja, itu urusan lo sama Fando. Lo sama gue belum selesai, lo belum minta maaf secara langsung ke gue. Gue pengen denger. Omongan lo waktu itu di pesan teror, selalu bikin gue kesel. Membuat gue terbayang-bayang."
Vivi terlihat tertawa sinis. "Kenapa? Santai aja! Jangan-jangan memang benar kalo lo ada main sama Fando makanya emosi?" Lalu cewek itu memainkan alisnya ngeledek.
Sial, tabiat bocah ini memang jelek banget sejak awal. Rifando yang katanya sudah menyelesaikan, hanya bisa menghentikan teror cewek ini. Vivi sama sekali masih menyebalkan tak merasa bersalah.
"Vi, lo udah diajak ngomong baik-baik sama dia. Harusnya lo yang punya itikad baik buat minta maaf." Temannya yang memakai hijab memandangi kami bergantian. "Gue duluan deh ya, lo ngomong aja dulu sama dia. Yuk guys!" Ajakan cewek itu membuat dua cewek lainnya segera melangkah pergi meninggalkan kami.
Vivi mau ikut ngeloyor namun tangannya segera aku tahan. Kami menjadi saling bertatapan mata tanpa bicara apa-apa.
"Gue cuma mau denger lo minta maaf langsung sama gue." Aku akhirnya berbicara. "Penjelasan juga kenapa lo ganggu ngebuli gue lewat pesan? Ada masalah apa?"
"Well, lo tuh sama aja kaya Fando. Ngemis minta maaf. Kalian gila hormat?" Vivi tertawa sinis.
Aku menjadi tersentak. Mengingat Rifando kemungkinan sudah menyuruh Vivi untuk bicara padaku, namun ni cewek kabur terus menolak. Aku jadi paham mengapa tadi ni cewek lari kabur saat melihat Rifando.
"Lo sama sekali nggak merasa bersalah menuduhkan gue dengan kata-kata serendah itu?" tanyaku kesal. "Omongan lo bener-bener ganggu pikiran gue, karena gue nggak begitu!" Aku jijik sama diri sendiri kalau teringat ucapan Vivi, dan kejadian yang menimpa padaku dengan Rifando.
"Oke, daripada gue diteror sana-sini. Gue minta maaf, gue nggak bakal ganggu lo lagi."
Aku menjadi lega sudah mendengar ucapannya,
namun dari sorot mata Vivi, aku tahu dia hanya mempermudah ini saja.
"Kenapa sih lo benci banget sama gue sampe berpikiran begitu, berani ngatain, dan meremehkan gue seolah gue rendah dan jelek banget?" Masih teringat cewek ini selalu membanggakan dirinya lebih cantik dan keren dibanding aku.
"Gue nggak suka lo akrab sama Rifando. Tapi, sekarang gue udah nggak se-suka itu sama tuh cowok. Gara-gara dia, gue bisa naik jabatan ke anggota inti!" seru Vivi penuh kebencian.
"Itu gara-gara lo sendiri, nggak ada hubungannya sama Rifando." Aku mencibir sambil mengalihkan pandangan, namun saat itu juga aku mendapati sosok yang sedang kami perdebatkan.
Rifando menatapku penasaran, sedangkan di belakangnya ada sang pacar, Nilla berusaha mengikuti langkah-langkahnya. Sial, aku kepergok main di sekitar daerahnya. Lebih parahnya lagi aku sedang berhadapan dengan Vivi. Si cewek yang pernah membuat kami berantem hebat.
"Mau berantem Live Show?" tawar Vivi tersenyum mengerikan. "Pas banget ada ceweknya tuh, biar ceweknya itu dengar sendiri kalo cowok itu belain mati-matian membersihkan nama baik teman dekatnya. Atau teman tidurnya kali," bisik Vivi pada akhir kalimatnya.
"Gue rasa yang salah ada di lo, mau lo dipaksa minta maaf tapi persepsi lo sama gue begitu buruk nggak akan memperbaiki hubungan baik ini." Aku berusaha mencari-cari Rifando yang memang sedang melangkah menuju kami. Sial, dia memang menuju ke arah sini. "Semoga lo sukses dengan sikap jahat lo ini di dunia luar nanti, bocah." Senyuman miringku menutup pembicaraan.
Sebelum Rifando mencapai pada kami, aku segera memaksa kakiku melangkah berbalik badan kembali untuk segera keluar dari area Fikom. Saat aku berpapasan dengan Rifando, dari ekor mataku mendapati dia menatapku sangat cemas. Kakiku segera dipercepat untuk menjauh.
Sayup-sayup aku mendengar suara Rifando bertanya sesuatu. "Lo ngapain Andah lagi?"
"Ngapain? Hah? Enggaklah! Oh, itu kita cuma meluruskan sesuatu. Aku udah minta maaf sama dia," jawab Vivi riang, dan menyebalkan. Aku sampai menjulingkan mata mencibir omongannya.
"Dia ngejar lo dari perpustakaan. Bukan lo yang minta maaf nyari dia duluan, kan?" tuding Rifando, langsung mendapatkan nilai 100 dariku.
"Lo bener-bener keterlaluan ya, Vi. Sifat lo masih aja begini udah dinasehati sama Eddy."
"Ada apa ini?"
Aku tersentak mendengar Nilla ikutan bersuara, aku menghentikan langkah di balik pohon bunga sepatu.
"Kak Nilla, kayaknya harus jagain cowok lo lebih ketat deh. Nggak takut apa ya soalnya banyak yang mengincar dan naksir sama Kak Fando loh." Vivi memang menyebalkan. Dasar kompor!
Aku tersentak kaget, kalau nanti omongan selanjutnya akan membuatku malu seumur hidup dituduh seperti itu. Kelakuan Vivi membuat tanganku yang lagi memegang pagar taman mencengkeram kuat.
Baik, akan aku ceritakan, aku tak tahu sejak kapan hubungan persahabatanku dengan cowok yang bernama Rifando itu rusak. Sekarang sedang parah-parahnya hubungan kami bagai dua orang asing. Aku mencintai Rifando dalam diam, aku berusaha memberikan yang terbaik agar dia bisa melihatku dan membalas perasaan.
Namun sayangnya cintaku bertepuk sebelah tangan, Rifando lebih menyukai Nilla dan berpacaran dengan cewek itu tanpa tahu aku menyukainya. Ralat. Sebenarnya cowok itu tahu bahwa aku menyimpan rasa lebih padanya, dia berusaha menganggap perasaanku hanya sepintas, tak serius, dan hanya ilusiku saja. Dia hanya menganggapku sebagai sahabat, lebih parahnya lagi sebagai adik. Hubungan kami menjadi aneh saat aku meminta izin untuk menjauh ingin melupakannya. Dia tetap bersikeras bahwa kami akan tetap bisa berteman dan perasaanku padanya akan hilang dalam sekali kejap. Cowok itu benar-benar tak memiliki perasaan padaku, bahkan meragukan perasaanku padanya.
Keretakan hubungan pertemanan kami diperparah oleh teror Vivi, si adik tingkat yang satu organisasi mahasiswa dengan Rifando, yang juga sudah lama naksir Rifando dan menyimpan dendam padaku. Dia sering mengirim SMS dengan nomor barunya untuk ngata-ngatain, dan tuduhannya sangat merendahkan harga diriku.
Gara-gara teror Vivi, aku mengira itu ulah Nilla, yang tak suka kalau Rifando masih berusaha dekat memperbaiki hubungan kami. Aku semakin benci pada Nilla, karena dia bisa memiliki Rifando. Ada alasan lain yang membuatku tak bisa berbohong, aku benar-benar tak suka dengan hubungan Rifando dengan Nilla. Sesuatu yang mengganjal di hatiku.
Kelakuan resek Vivi sudah diselesaikan oleh Rifando, sebab mereka mudah untuk bertemu. Sebelum dia bicara langsung padaku, segala kata-kata tuduhan, fitnah, dan cibiran yang merendahkan harga diriku terus membayang.
Teringat kejadian beberapa waktu lalu, dadaku kembali sesak. Mungkin tuduhan itu ada yang benar. Vivi menuduh aku ada bermain belakang bersama Rifando di belakang pacarnya.
Beberapa waktu lalu, Rifando memaksaku untuk berciuman di suatu tempat pojokan yang sepi. Aku merasa tuduhan Vivi bahwa itu tidak sepenuhnya salah. Aku disebut sebagai apa, dengan fakta bahwa Rifando memang menciumku di belakang pacarnya.
Aku keluar dari tempat persembunyian, si pohon bunga sepatu, langsung melihat kepergian Rifando yang sedang melingkarkan tangan kanannya ke pinggang wanitanya.
Aku menggigit bibir menahan rasa sakit yang segera menggerogoti dada. Kenapa kamu menciumku?
Pertanyaan itu tak pernah ada jawaban, bahkan dari orang yang melakukannya. Dia menciumku dengan sangat ganas, menuntut, dan tatapannya sulit aku artikan. Yang bisa aku tangkap sekilas, dia sangat puas dan bahagia. Namun di lain waktu dia merangkul mesra cewek lain.
"Bisa-bisanya kamu memeluk dan mencium cewek lain padahal masih memiliki pacar?"
Aku mengira bersahabat 10 tahun sudah mengenal Rifando sangat mendalam. Kini semua kenangan menguap entah ke mana, menjadikan kami layaknya hanya saling mengenal sekadar nama saja.
🌻🌻🌻
Minggu depan jadwal updatenya udah 2x dalam seminggu yak
biar aku nggak bosen di WP 👋
2 APRIL 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top