26. Mau mulai jalan yang mana?

Sudah menunjukkan pukul 18:00 saat tiba di teras rumah Rifando. Rumahnya sepi sekali dengan lampu di ruang tamunya mati, gelap, membuatku menjadi merinding ngeri. Pintu pagarnya tadi tidak dikunci gembok sehingga aku bisa masuk dan menunggu pintu rumahnya dibuka.

"Doy! Ini aku Andah! Assalam'mu alaikum!"

Aku mengeluarkan ponsel untuk menghubunginya, memang tidak bilang kalau mau ke rumahnya. Bunda yang katanya sudah kirim pesan dan telepon tapi tidak aktif. Aku mengirimkan banyak pesan ke nomornya agar cepat-cepat pemuda itu membukakan pintu rumahnya.

Sejujurnya aku lagi merinding berdiri di luar rumahnya yang terlihat horor ini. Mana sudah mendung gelap kayak mau hujan deras. Aku mohon secepatnya Rifando keluar agar bisa langsung cabut pulang lagi, langit di angkasa memiliki gelap yang aneh berupa awan-awan hitam itu menandakan mau hujan. Aku tidak mau kehujanan di jalanan kalau telat sedikit saja. Cahaya lalu disertai suara petir itu menggelegar, getarannya di tanah merambat terasa sampai tumit, membuatku menempel ke pintu sambil melihat ke langit yang semakin menyeramkan.

Pintu itu terbuka membuat bahuku langsung bersenggolan dengan sesuatu yang rata dan keras berlapis kain hitam. Aku mendongak mendapati orang itu sedang mematung juga. Rifando tampaknya sedang kacau. Pemuda itu bibirnya pucat pasi, mengering sampai pecah-pecah, dan di sekitaran matanya menghitam.

"Hai," sapaku mengerjapkan matanya. "Kamu tadi lagi tidur ya? Maaf ganggu, ini ada sesuatu dari Bunda. Kamu kan suka sama pepes tahu dan ikan sih." Aku menyerahkan plastik yang berisikan beberapa buah pepes dengan bungkusan dedaunan pisang.

Rifando menerimanya dengan bibir masih terkatup rapat. Aku menjadi takut dia sedang kenapa-napa karena sangat aneh.

"Aku pulang ya, maaf ganggu waktu istirahatmu. Keburu hujan turun aku mau langsung pulang. Duluan-"

Begitu berbalik sambil mengambil hape di saku celana. Dari langit menurunkan hujan deras yang tak bisa ditahan-tahan lagi. Aku mendecak sebal karena tidak bisa pulang.

"Makasih ya, sampein ke Bunda. Ayo, nunggu di dalem aja. Sambil nunggu jam Maghrib lewat dulu." Suara serak Rifando membuatku menoleh. Di pintu Rifando sedang menatapku tajam.

"Apa aku pesan taksi ya? Lagi nggak mau nunggu, buru-buru nih." Aku menjawab masam.

"Kamu yakin nggak ada yang mau diomongin dulu?" Rifando bertanya dengan nada lemah.

Perasaanku menjadi semakin kacau saat Rifando masuk ke dalam rumahnya tanpa menutup pintu. Aku mengekorinya sambil menghentak kaki kesal. Dia terlihat menekan sakelar lampu di ruang tamu, dalam sedetik sudah terang.

Cahaya kilat yang mentereng membuatku panik takut, langsung menutup pintu tanpa berpikir panjang. Suara gemuruh, lalu getaran itu sampai bisa menggetarkan jendela dan di bawah telapak kaki. Aku menganga ketakutan.

"Ke dalem aja kalo kamu takut geluduk," ujar Rifando berjalan duluan membawa plastiknya.

Aku mengikutinya dan melongo melihat di ruangan keluarganya cahaya hanya berasal dari lampu di meja. Dia menukar lampu dengan menyalakan lampu atas dan mematikan lampu meja. Aku menghempaskan diri ke sofa ditemani keheningan, sebab tak berani menyalakan benda kotak ajaib itu. Bisa membuat TV Rifando meledak kalau tersambar petir.

Cowok itu tadi segera pergi ke dapur dengan plastik bawaan Bunda. Pandanganku agak miris menelisik sekitar. Suasana ini menyakitkan hatiku, di mana dulu ada kebahagiaan, kebersamaan, dan keramaian di sofa ini. Aku menahan agar tidak tertawa perasaan lalu menangis mengingat dulu sangat sering duduk di sini bersama dengan Tante Emma.

"Doy, kamu ngapain sih di belakang? Udah ke sini aja!" panggilku daripada hanyut dalam suasana sepi.

Kalau tidak ada yang bicara, suasana sepi itu sangat menyakitkan. Rifando juga tidak muncul lagi setelah cukup lama masuk ke dapur. Aku pergi menuju dapurnya, pemuda itu terlihat sedang memasak air dengan sebuah teko tergeletak di meja. Yang membuatku menganga ketika melihat Rifando sedang berdiri sambil memegangi meja kompor dan tangan lainnya memijat kepalanya.

"Ngapain sih jadi repot dan banyak gerak, pake segala masak air, kamu lagi sakit," desisku sambil menarik tangan cowok itu agar duduk di kursi depan meja makan saja.

Aku tersentak karena tangannya sangat panas. Dia sudah minum obat penurun demam belum sih?

Saat Rifando sudah bisa duduk, kami bertatapan sambil diam-diaman tanpa kata. Aku melepas tas dan menaruhnya di meja. Aku yang berganti tugas menjadi menunggu air matang, membelakanginya agar tidak perlu melihat dirinya. Rasanya punggungku sedang ditatap tajam dan menyeramkan dari belakang. Soalnya memiliki hawa yang tidak mengenakkan.

"Udah makan belum? Minum obat? Kamu kayaknya perlu ke dokter klinik biar dapet obat." Aku nyerocos agar suasana tak hening banget. "Nanti malem kalo hujannya udah berhenti, kamu ke klinik ya?"

Ini aneh, pemuda ini sangat diam dan tak biasa. Aku tak pernah menghadapi Rifando yang diamnya sedingin ini.

Akhirnya cowok itu bersuara. "Makan tadi jam 3, aku nggak mau makan lagi, nggak enak. Mulutku pahit dan bawaannya mual."

"Ada pepes dari Bunda, dimakan yuk! Nanti lanjut minum obat sementara yang ada. Kamu bisa tidur nyenyak dengan obatnya biar demamnya turun," kataku sambil membuka tutup ceret air untuk melihat apakah sudah mendidih atau belum.

"Obatnya bisa bikin ngantuk? Iya, makan bareng-bareng ya?" Ajaknya dengan nada suara serak dan dingin bagai dipaksakan berbicara. Berbeda dengan biasanya yang bernada lembut manis penuh keikhlasan.

Aku mengangguk saja. "Tenggorokanmu sakit ya? Di kulkas ada jeruk nggak?"

Serta langkah kakiku menuju lemari pendingin itu untuk memeriksa isinya. Di sebuah plastik ada jeruk berukuran kecil cukup banyak. Di meja ubin dapur aku mulai mengambil beberapa butir dan mengambil gelas berukuran jumbo.

"Ini aku cuma mengambil air jeruknya yang pastinya bakalan asem banget kalo kurang banyak dicampur airnya. Kamu bisa meracik sendiri nantinya dengan ditambahin airnya, enakan yang pake air anget biar adem. Bisa dibuat mau manis atau asem. Kalo mau manis nanti ditambahin gula." Dengan alat saringan itu aku memeras jeruk di atasnya dan mengintip ke gelas untuk melihat berapa hasil perasan jeruknya.

Air di teko sudah memanas. Pikiranku menjadi kikuk, yang tadi merebus air adalah Rifando. Aku tidak tahu air itu sebenarnya untuk apa. Tubuhku memutar ke belakang bertanya pada cowok itu. "Air panasnya mau buat apa?"

Cowok itu sedang melamun lalu tersentak kaget. "Bikin minuman teh buat kamu, dituang ke teko itu. Tapi aku belum isi sama tehnya. Nanti sisanya biarin aja."

"Kamu ada kopi instan? Aku ngantuk mau ngopi. Termos mana? Pindahin ke termos biar airnya tetap panas nantinya," ucapku sambil mencari-cari benda itu.

Aku menemukan termos tersebut di salah satu sudut meja dapur. Merasakan isinya masih ada air, kemudian membuang isinya yang ternyata sudah tidak panas. Termosnya sudah cukup kotor, aku mencuci benda itu terlebih dulu untuk memindahkan isi air panas. Mengambil sikat panjang yang dulu pernah kulihat Tante Emma menggunakannya untuk menyikat bagian dalam termos. Tanpa sadar, aku mengikuti cara wanita itu membersihkan termos.

Setelah memindahkan isi air panas ke dalam termos, aku melanjutkan memeras jeruk. Sambil bekerja ganda yang lain, aku juga menuangkan bubuk kopi ke dalam mug yang katanya tadi Rifando siapkan untuk minuman buatku. Setelah perasan jeruk sudah mendapatkan cukup banyak dan teh serbuk itu sudah membuat airnya kemerahan. Aku memindahkan dua wadah tersebut ke meja.

"Makan yuk," ucapku sambil mengambil pepes dari dalam plastik.

Aku mengambil piring dari rak, piring lebar yang diletakkan di meja depan Rifando itu. Membuka ikatan di daun bungkusan pepes dan nasi yang dibungkus dengan kertas nasi cokelat.

"Kamu sibuknya kayak Mama," ucap Rifando membuatku menoleh dengan dada yang sesak.

Gerakanku saat membagi nasi ke piringnya menjadi terhenti. Aku mengerjapkan mata yang sudah memanas. Berpaling tatapan ke piring milikku dan memindahkan nasinya tak banyak.

"Doyi, nasinya kamu pisah-pisahin sendiri ya biar nggak menggumpal begitu-"

"Gerakan lincah dan sibuk kamu ke sana-kemari kayak Mama dulu pas aku masih kecil," tuturnya lagi dengan nada suara renyah. "Ngerjain banyak hal sekaligus. Aku duduk di kursi meja ngelihatin Mama nyiapin makanan. Persis kayak begini, Andah." Pantas saja sejak tadi cowok itu diam saja, ketahuan sedang melamun juga. Ternyata sedang memikirkan hal-hal memori masa kecilnya.

Aku menggigit bibir gugup menghadapi situasi menyedihkan ini. "Tante Emma emang keren, dia sigap dan aktif kapan aja dalam kondisi bagaimanapun," tandasku segera sebelum

Rifando semakin larut dalam memori masa kecilnya yang sedang dia ratapi. Entah pemuda itu sedang sedih atau terharu bahagia.

Kami diam sambil sibuk makan sendiri-sendiri, aku memperhatikannya diam-diam sebab kami duduk memang bersisian. Sisi kananku adalah dirinya. Aku perhatikan cowok itu sedang makan dengan cepat. Aku berdoa dalam hati agar hujan cepat reda. Ingin cepat pulang. Dadaku sudah sesak dan memanas.

"Kamu nggak marah? Apa udah nggak peduli?" Rifando bertanya saat sudah menyelesaikan makannya. Pemuda itu meletakkan piring di westafel lalu kembali duduk di kursinya.

Aku yang belum selesai makan, sudah harus hati-hati dengan duri ikan ditambah oleh ucapan Rifando. "Yang jelas sedih, aku yang bikin kamu pergi ke sana malam itu. Harusnya kita kan ada janji buat pergi ke Anyer. Harusnya kamu lagi di Anyer sama aku, bukannya-"

Suara berat agak keras memotong ucapanku. "Berhenti, jangan menyalahkan diri! Apa yang terjadi sama aku, bukan karena kesalahan kamu. Itu juga sama sekali bukan rencanaku. Aku cuma diajak main sama mereka, katanya ngelihat aja dulu. Aku minum jadi setengah sadar. Iya, aku tergoda waktu disuruh nyobain. Aku belum sempet disuntik, sama Vito masih dipersiapkan, ternyata udah kena razia polisi." Rifando mengusap wajahnya yang lelah lalu memejamkan mata.

"Dengan kamu mau aja diajak ke pesta narkoba udah nggak bijak. Jangan coba-coba, Doyi. Kamu udah mau lulus, jangan bikin masalah baru. Bang Gara udah percaya kamu bisa jaga diri sendiri dan Elda juga masih butuh kamu," kataku dengan nada marah.

"Kok jadi marah banget? Masih peduli?" ledek Rifando.

"Ya, menurutmu?"

"Oke, aku jelasin. Aku nggak sadar, nggak bisa kontrol diri dan mereka-"

"Itu kamu lagi pelarian dan jelas-jelas ada niat. Kamu tahu ada pesta menjebak, tetapi minum. Apa yang bisa aku lakuin buat kamu kali ini? Bilang sama aku, jangan bikin aku takut dan sedih kayak gini lagi," ujarku mampu membuat Rifando membulatkan matanya tak percaya.

Selain ucapanku yang membuatnya bingung langsung cemas, air mataku sudah turun tak bisa ditahan lagi. Aku sudah menangis terisak, tanganku tak mampu membuat pipiku kering. Saat aku sudah mengusapnya, air mata turun lagi membasahi. Percuma aku menghapus air mata, aku tetap tidak bisa menyembunyikan air matanya.

Rifando bangun dari duduknya lalu menghapus air mata dengan kedua tangannya. Aku tersentak mendapati tangan pemuda itu sedang bergemetar dan panasnya yang tinggi, membuatku bagai memegang sesuatu yang habis dijemur di bawah sinar matahari. Aku memegang lengannya memastikan bahwa hawa itu memang berasal dari tangannya, bukan diriku.

"Maaf, aku bikin kamu kecewa. Udah beberapa hari ini aku selalu mood swings. Kemarin malam puncaknya stress banget, tiba-tiba sedih dan kesepian nggak jelas. Aku buntu." Rifando menarik kursinya agar bisa duduk lebih dekat denganku.

"Siapa bilang? Bisa nggak kamu inget lagi dan sadar bahwa kamu masih punya cara lain? Jalan ke aku? Kamu nggak buntu." Aku menatapnya tepat di manik mata. "Jangan pelarian ke hal yang nggak jelas dan buruk. Pikirin dulu akibatnya!"

"Kamu jalanku? Boleh aku bilang jujur, aku nggak ngerti kamu sama sekali. Kamu yang narik-ulur aku. Kadang kamu baik, kayak gini. Kadang kamu mengabaikan aku layaknya nggak penting. Kadang kamu dekat, kadang jauh. Apa maksudnya waktu ngirim pesan suara bales ucapan anehku malam itu, tapi besoknya pura-pura nggak tau? Saat kamu ultah omongan kamu kayak beri aku harapan, tapi setelahnya menghindar. Kamu menantang aku saat udah jelas, kamu pergi gitu aja sama orang lain."

"Fando itu-"

"Biarin aku ngomong dulu. Aku tau kamu lagi pergi jauh, tapi kamu bahkan nggak telepon atau ngirim pesan nanyain keadaan aku. Kamu masih menganggap aku ada atau enggak? Sebenarnya kamu peduli sama aku atau enggak? Aku nggak tahu kamu menganggap aku apa sekarang."

"Aku percaya kamu udah baik-baik karena hasil tesnya itu negatif. Kalo aku nggak peduli, sekalian aja aku nggak bakalan ke sini sekarang, 'kan? Aku pasti bakal lebih milih pesen taksi buat pulang." Aku menahan agar air mata tidak keluar.

"Kamu pasti tahu aku lagi nekat sampe berani kayak gitu lagi nggak baik-baik aja. Lagi-lagi aku dibuat ditarik sama kamu. Sekarang aku ini apa buat kamu? Jujur," tegas Rifando menatap tajam penuh penekanan.

"Ya kamu mau nyebutnya apa? Aku udah pernah berharap lebih sama kesempatan dan akhirnya kecewa. Aku nggak mau berharap banyak lagi. Aku saat ini jalanin tanpa harapan apa-apa, jadi kelihatannya aku narik-ulur kamu. Bukannya manusia memang begitu nggak benar-benar peduli, kecuali memang sayang?"

"Maaf. Lagi-lagi aku nyebut kata maaf." Rifando menarik tanganku dan digenggam erat.

"Rifando-selalu ingat kamu pengen memperbaiki hubungan kita. Itu artinya kamu percaya sama aku, tapi kenapa kamu kemarin nekat mau nyobain obat terlarang? Kamu nggak percaya sama usaha dan dukungan dari sekitarmu? Kita selalu ada untuk kamu." Aku sebenarnya tahu, terkadang teman bisa jadi tak bisa dipercaya dan diandalkan.

"Aku makin goblok, tapi ada saatnya aku sendirian dan nggak kuat bertahan. Cuma suara sunyi yang aku denger dan pandanganku nggak ada hal lain lagi selain benda-benda mati itu. Nggak ada lagi pergerakan. Aku bingung harus ngapain, terlalu sibuk aku udah menyelesaikan tugas-tugas. Teman organisasi lebih banyakan menambah beban dengan permintaan dan protes. Masalah terus. Aku juga beban buat Jonny, Bang Jay, dan Kelvin apalagi. Aku selalu ngerepotin dia. Kamu ... udah mengabaikan aku, yang kehilangan kamu sebelum berusaha dan nunjukin perjuanganku."

"Masih banyak yang bisa kamu lakukan. Satu lagi cerita sama aku keadaan kamu. Ke sahabat yang lain. Kita nggak tahu kondisi kamu. Jangan sok kuat dan mau pendem sendiri," omelku. Membayangkan betapa susahnya Rifando selama ini mulai memendam masalah hubungannya dengan Nilla. Sekarang ada luka sakit kesedihan tertinggal yang masih mengganggu pikirannya. Aku tidak tahu apa masalahnya.

"Mana mungkin aku bisa cerita. Kamu aja masih nganggep aku orang asing. Saat aku udah jujur mau berusaha sama kamu, terus menghindar dan denial!"

"Kenapa aku denial? Setelah hari itu aku lagi mikir dan bersikap biasa aja. Kamu yakin sama perasaan kamu? Bukan cuma persoalan tanggungjawab sikap kamu dulu apalagi utang budi. Aku nggak mau kamu membalasnya dengan hal yang terlalu besar. Ndo, ini masalah perasaan. Aku nggak mau kamu membalasnya begini. Itu nyakitin aku pada akhirnya." Berapa lama jika dia berhasil menyukaiku dan berakhir berhubungan? Lalu kami akan berakhir putus dan selesai. Dia pasti tak akan ada beban janji utang budi lagi, karena sudah pernah dibayarkan. Omong-omong, aku sudah terlalu berpikiran buruk tentang Rifando.

"Kamu adalah orang yang selalu membuatku tenang dan bahagia. Kenapa nggak percaya? Udah nggak mau jalin hubungan sama aku, walau waktu itu pernah keliatan masih suka?"

Namun kali ini, ada hal yang menyadarkanku. Rifando juga sedang berharap dengan yang namanya kesempatan.

"Mungkin bagi kamu, aku bukan apa-apa. Kamu bisa hidup baik-baik aja tanpa aku. Tapi bagi aku, ternyata kamu adalah segalanya. Kehilangan dan ditinggal sama kamu beberapa waktu lalu adalah buktinya." Kalimat ucapan Rifando terus mengulang di pikiranku.

Benarkah, jika mungkin Rifando bukan segalanya? Aku nyaris selalu bisa menjauh menghindarinya. Namun, bagi cowok itu, aku bagaikan segalanya, yang tersisa di bumi ini. Aku adalah segalanya? Kenapa aku masih tak bisa percaya? Aku tahu Rifando itu bagaimana selera idamannya. Aku tentunya bukan wanita yang fisiknya bisa menarik perhatiannya. Jika dia selalu merasa kehilangan dan ingin kembali padaku, inikah yang dinamakan perasaan nyaman dan aman? Dia terlalu aman kalau bersamaku.

"Mungkin cinta nggak selalu muncul pada pandangan pertama dari saat baru kenal. Bisa terjalin setelah lamanya di tengah kebersamaan atau menuju akhir kehidupan. Kamu mau yang mana, kalo perasaan cinta kita udah jelas bukan bermula dari saat baru kenal?"

Aku mendesis pelan. Untuk saat ini aku akan menghargai usahanya. "Jangan sia-siain lagi, Ndo. Kesempatan kamu di depan mata. Kesempatan dalam dua hal. Bisa nggak?" Perasaanku mengatakan agar tidak usah terlalu takut ke dalam lubang lagi. Semakin jatuh dan kecewa, semakin kuat. Aku tidak pernah jatuh dan kecewa sebelumnya, aku tidak akan pernah tumbuh menjadi lebih terbiasa dengan kecewa. "Kamu harus sembuh dulu, aku kasih waktu dua minggu lagi. Aku nggak mau kita pergi minggu depan. Aku takut kamu masih sakit. Kamu juga harus sehat dan bahagia saat kita melakukan perjalanan nanti."

Senyum Rifando perlahan mengembang. "Nanti temenin aku ke klinik ya? Aku mau cepet-cepet sembuh."

TBC...


🌻🌻🌻

Part ini masih ada lanjutannya di bab selanjutnya

Bye-bye!

Karena udah nggak ada konflik besar, jadi bacanya santai aja yak bisa updatenya tiap Sabtu.


19 JUNI 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top