24. Simpan sisa rasa
Selama di warkop dekat kampus kami sudah memesan mie rebus sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku membalas pesan Yudha dan Sasa, ingin menceritakan betapa gilanya Rifando yang menemani di perpustakaan tidak jelas begitu dan berakhir bersikap resek maksa ngajak makan. Tapi manusia bermata bagai elang itu masih duduk di sebelahku.
"Aku iri deh sama Yudha," katanya membuatku tersentak menoleh padanya. Tuhkan belum apa-apa dia sudah ngomongin Yudha. Dia pasti tahu aku sedang ngirim pesan ke Yudha.
Aku melotot padanya tak paham mengapa dia bicara seperti itu. "Ngapain iri?"
"Apa aku bisa gantiin posisi Yudha lagi, yang tadinya itu milikku? Bisa jadi orang yang kamu percaya dan dengerin cerita-cerita kamu. Cerita yang penting maupun nggak penting. Cerita kamu yang cuma sekadar ngasih tahu kalo Pak RT di rumahmu punya piaraan burung baru."
Aku menganga karena dia masih ingat saja ceritaku yang tempo hari yang laporan bahwa aku terkejut dengan burung bersuara aneh saat lewat depan rumah Pak RT. Itu berita yang tak penting banget kan, tapi aku bisa cerita ke Rifando sambil tertawa geli.
"Doy, udah jangan ngomongin tentang ini lagi. Jangan iri sama Yudha," kataku meyakinkan. Aku tidak mau menjadi berdebat di warkop ini.
"Ya udah, mau ikut daftar seminar untuk umum nggak nih? Lokasinya di Gedung Serbaguna Kampus. Sertifikat kamu masih kurang, kan? Anak Hima Ilkom ngadain acara seminar tips nyari jobs di internet. Nanti kamu butuh loh pengetahuan dan ilmunya biar pas setelah Wisuda udah jago bisa nyari kerja," katanya mempromosikan acaranya. Apa saking kakunya hubungan yang kayak kancut baru ini?
"Belum butuh, itu kamu yang harusnya ikut, bakalan lulus duluan, 'kan?"
"Aku kan panitia, mau ikut nggak? Nanti aku kirimin foto posternya dan cara daftarnya. Aku nggak bakal nyari kerjaan setelah wisuda kok."
Aku tahu rencananya. "Nggak tahu nanti. Emang kenapa nggak langsung mau nyari kerjaan? Lanjut mau S2?" pancingku.
Rifando menggeleng. "Aku udah diajak serius meniti karir sama Bang Gara dari akhir tahun lalu. Januari pemberkasan, daftar, dan segala tes wawancara. April udah konfirmasi ulang kesiapan. Perusahaannya ngadain Management Development Program buat ke perusahaan klien di Singapore. Aku bakal MDP di sana dalam beberapa tahun dan begitu balik kerja sama Bang Gara di sini."
Aku tahu MDP adalah Management Development Program, biasanya di kantor akan ada program seperti itu untuk pembelajaran lebih luas lagi dalam sebuah perusahaan. Bukan hanya melakukan pekerjaan yang sesuai jobdesk, mereka juga akan menjalankan pembelajaran tentang perusahaan itu dan pelatihan manajemen. Bekerja sambil belajar manajemen. Sudah dididik sejak awal dengan berbagai jenis jobdesk dan ditambah diberikan ilmu pengetahuan. Sebuah program pembentukan leadership dan diarahkan ke posisi manajer.
"Keren dong udah jelas nasibnya?" Aku tersenyum kecil mendapat informasi langsung bahwa cowok itu sebentar lagi bakalan jauh dari pandanganku. "Berapa lama bakal di sana? Itu rencana dari kapan kok aku nggak tahu?"
"Kita nggak pernah saling cerita tahun ini. Kontraknya 2 tahun, Ndah. Kamu nggak sedih kalo aku mau pergi jauh?" tanyanya entah ngeledek atau serius.
"Hadeh, Singapore kan setempongan!" balasku berusaha tetap tenang. "Berapa sih tiket pesawatnya nggak sampe delapan ratus, 'kan? Apalagi kalo pake penerbangan singa udara itu suka ada promo."
Membayangkan kami akan berjarak sangat jauh sekali bahkan tak bisa melihat langsung membuatku sedih. Mengapa aku jadi sedih banget padahal kemarin aku mengusir cowok ini? Ya, saat ini setidaknya aku masih bisa melihat dirinya dari jauh sih. Tapi nanti saat dia sedang berada di luar negeri, jauh dari pandangan. Kenapa aku jadi khawatir?
"Oh, jadi kamu ada rencana waktu libur semesteran mau nyusulin aku ke sana suatu saat nanti?" tanyanya dengan tatapan menggoda. "Aku tunggu di apartemenku, jadi kamu nggak usah mikirin hotel."
"Enggak, ngapain aku nyusulin kamu ke sana?" Ini gara-gara mulutku yang asal bicara tadi. Sekarang jadi mati kutu seolah bikin janji aku mau menemuinya suatu saat nanti di negara lain. Aku bukan bucin yang akan mengejar cowok sampai ke luar negeri.
"Udah jadi hal yang mudah ya buat kamu tanpa aku? Saat ini yang masih awalan kehidupan aku tanpa kamu udah begini, bagaimana nanti di sana? Aku nggak bisa ngeliat kamu lagi." Cowok itu meneguk ludahnya memandangi wajahku dengan tatapan lurus dan dalam. "Saat kamu udah terbiasa, aku baru memulainya. Kamu bakalan mudah lupain aku ya, Ndah? Mudah ya untuk kamu melupakan aku, kalo aku nggak ganggu muncul di dekat kamu lagi? Nanti kamu akan semakin susah aku hubungin. Kamu akan mudah untuk menghindar dan menjauh."
"Doyi, ngomong apa sih, kamu cuma mau ke Singapore bukan ke akhirat." Ucapanku membuat Rifando jadi tersenyum geli. Aku menelan saliva. "Udah deh jangan bahas yang kayak gitu! Bukannya kamu lagi berusaha memperbaiki hubungan antara kita?"
"Jadi, aku masih boleh buat tahu kabar kamu ya?" Tiba-tiba cowok itu menyeringai lebar lalu terkekeh.
Ni cowok makin ngaco deh tadi kelihatan sedih amat terus jadi ketawa sendiri.
Tidak menyahuti lagi, aku menoleh padanya menatap bingung, tidak lama aku menganguk pelan. Secercah kebahagiaan muncul dari mata dan bibir Rifando membuatku tertegun dan membeku sesaat.
"Sesuai nih sama judul bayanganku, Analisis Pentingnya komunikasi cinta di sebuah hubungan yang pernah hancur."
"Haha, aku pernah lihat skripsi itu di perpustakaan. Judul aslinya Analisis Pentingnya Manajemen Risk untuk sebuah perusahaan yang pernah goyah. Jangan ngaco deh ganti judul orang!" seruku sambil tersenyum geli.
"Kalo kamu sewot gitu lucu banget tau." Rifando jadi tertawa. Ini cowok kenapa jadi serem banget?
Kami jadi berhenti ngobrol saat makanan sudah datang, aku bisa mengalihkan perhatian dengan makanan agar kami tidak banyak bicara. Aku tidak mau menjadi banyak bicara dengannya malah membuat pertahananku ini goyah. Aku tidak benar-benar tenang mendengar cerita rencananya, dia akan pergi tidak lama lagi.
🌻🌻🌻
"Sasa lihat kamu sama Kelvin ketemu sama Yudha, ngapain?" tanyaku mengingat cerita Sasa dan sudah kehilangan bahan obrolan.
"Cuma ngobrol biar lebih deket, waktu kita main stacko di Kafe si Kelvin cerita pengen nanjak gunung di Garut, terus Yudha cerita udah pernah ke sana. Kelvin keingetan dan nanya-nanya ke Yudha mau nemenin kita nanjak ke sana nggak, gitu aja sih."
"Oh," aku mengangguk paham. "Mau nanjak tho, ya udah hati-hati. Mau pergi kapan?"
Rifando mengangkat bahunya. "Nanti nunggu musim skripsi dan wisuda kelar."
"Tahun depan dong? Paling sekitar Maret, belum lagi bakalan ada musim hujan akhir tahun ini."
"Masih rencana kok, tapi nggak sampe tahun depan juga, November aku udah pergi."
November? Setelah Wisuda banget kayaknya ya? tanyaku dalam hati dengan dada mencelos nyeri.
Kami diam beberapa lama setelahnya karena kehilangan bahan obrolan. Aku menyadari beberapa kali menangkap basah Rifando sedang memandangiku ingin bicara sesuatu tapi ditahan-tahan.
"Ndah, hm ... aku-"
"Eh, aku udah mau pulang." Kami berbicara barengan, lalu aku menyadari dia mau bicara sesuatu. "Apa tadi kamu mau bilang sesuatu?"
Rifando nyengir kecil sebentar langsung diam dan kaku sesaat. "Nggak jadi. Udah mau langsung pulang?"
Aku menjadi pulang bersama cowok itu tanpa bisa ditolak sama sekali tawarannya yang mengajakku untuk bareng. Nyaris aku melupakan tas laptop, untungnya Rifando yang peka dengan benda itu. Aku mematung kala main bangun dari duduk beranjak mau pergi sedangkan Rifando menenteng tas milikku. Cowok itu menghela napas geleng-geleng kepala, tahu banget sama kelengahanku yang lagi-lagi terjadi.
"Udah aku aja yang bawain." Dia menahan tertawa.
Kami berjalan bersama menuju parkiran, ketika dalam perjalanan kami berpapasan dengan Nilla bersama teman-temannya. Aku berusaha tak melihat padanya, sedangkan Nilla hanya menyapa pada Rifando. Dibalas oleh Rifando hanya sapaan sekilas saja. Aku diam saja sampai Rifando membukakan pintu masuk ke dalam mobil.
"Aku bisa buka pintu sendiri," keluhku.
"Kenapa malah ngelamun bukannya buka pintu?" Rifando memandangiku kalem.
"Emang ngelamun?" Aku mengelak dibilang ketahuan sedang melamun.
"Iya, udah-udah, jangan ngegas." Dia mengalah padaku.
Di dalam mobil itu aku tidak tahu lagi harus bagaimana akan menghabiskan waktu selama di perjalanan nanti. Saat sudah di tengah perjalanan selama 10 menit kami hanya mendiamkan satu sama lain. Ini lebih baik daripada kami berdebat untuk hal yang berulang-ulang terus.
"Aku nyesel banget menyia-nyiakan kamu selama ini," kata Rifando tiba-tiba tanpa menoleh kepadaku. Aku masih diam saja membiarkan cowok itu yang kelihatannya masih berpikir untuk berbicara lagi. "Aku nggak tahu gimana caranya untuk mengembalikkan kita kayak dulu lagi," kata Rifando melanjutkan.
"Kita nggak perlu kayak dulu lagi, 'kan? Kita hidup ya buat ke depannya, jangan melihat ke belakang lagi."
"Kamu udah nggak mau jadi sahabat aku lagi. Kalo aku bisa kehilangan kamu sebagai sahabat, aku nggak mau akan kehilangan kamu lagi untuk yang kedua kalinya. Entah aku bingung menyebutnya gimana karena ini masih terlalu cepat. Kamu pasti ragu dan nggak percaya. Kasih aku waktu untuk menerima keadaan bahwa kita memang bukan sebagai sahabat, nggak bisa jadi sahabat lagi."
"Maksudmu apa? Jangan dipaksa buat mengembalikan hubungan persahabatan kalo kita sendiri belum benar-benar tau dan paham batasannya. Aku masih belum bisa bener-bener sahabatan lagi sama kamu." Aku jadi menoleh padanya tidak mengerti mengapa dia berbicara aneh.
Rifando mendecak lalu membuang napasnya pelan. Sorot matanya berubah murung dan terluka. "Kamu nggak peka? Kamu masih mengira aku cuma lagi kesepian dan butuh temen aja ya? Apa aku semenyedihkan itu?"
Kata-kata disertai ucapannya menusuk telak pada hatiku. Aku mengiyakan dalam hati, tahu aku masih menjadi orang yang tidak bisa dia cintai. Aku masih dipandang sebagai adik, teman, dan yang biasa saja posisinya. Aku tidak akan bisa menggantikan posisi Nilla yang masih menjadi gadis yang dia cintai dalam hidupnya. Namun, dalam hatiku merasa jahat, karena Rifando jadi berpikir menganggap dirinya seperti sangat menyedihkan dan rendah.
"Aku nggak pernah menyesal sama keputusanku. Aku udah mikirin segala halnya. Satu-satunya keputusan yang bikin aku menyesal adalah membuat keputusan untuk memilih itu terlalu lama. Susah menyelesaikannya. Aku nyakitin kamu lebih lama." Suara pemuda itu terdengar lagi sebab beberapa saat hanya ada keheningan yang melingkupi.
Aku sudah mengerjap dengan air mata berkumpul di pelupuk mata. "Kenapa lagi-lagi alasannya perasaan aku sih? Kamu bilang jangan jadi people pleaser, tapi kamu juga selalu bersikap begitu sama aku. Aku udah dewasa kok, nggak perlu kamu utamain lagi. Kamu bisa nyari lagi yang sesuai sama tipe kamu. Masih banyak cewek yang sempurna cantiknya kayak Citra, Nindya, Nilla, dengan tambahan sifat baiknya."
"Kenapa kamu denial sama keputusanku? Kamu nggak senang? Siapa yang kesel dan nangis pas dikerjain dibohongin, kalo aku bakal ngajak Nilla balikan lagi? Jadi, sebenarnya kamu maunya apa? Ndah, tolong jangan bahas nama Nilla. Dia ninggalin kenangan buruk, gimana bisa aku memulai sama orang baru tanpa curiga? Padahal di depanku selama ini ada yang udah punya segalanya, orang yang layak aku sayang. Orang yang ternyata selama ini selalu aku jaga ... perasaannya."
"Aku nggak,"
"Aku nggak mau kamu mikir begitu lagi. Bisa enggak kita kembali kayak dulu saat Nilla belum ada? Just two of us? Andah, kita turunin ego dulu buat kesempatan ini. Apa kamu memang udah nggak mau kenal sama aku lagi?" tanya Rifando memandangiku tepat di mata. "Biar aku mundur menjauh."
"Apa ini jadi beban buat kamu. Kamu nggak mau kehilangan aku, tapi sebenarnya kamu nggak punya perasaan apa-apa?" tanyaku dengan isi kepala makin rumit. "Jangan dipaksa buat suka sama aku, cuma butuh waktu buat melupakan perasaanku ke kamu. Aku juga ingin kita bisa jadi sahabat yang kayak saudara. Itu yang selalu kamu mau."
"Bisa nggak jangan libatin perasaan ini dulu. Aku pengen berbaikan lagi sama kamu, bukan hanya semata memaksa diri aku harus balas perasaan kamu. Apa hidupmu udah selesai berakhir bahagia saat mendengar ucapan dariku, kalo aku juga mencintai kamu? Apa setelah kata I Love You menurutmu itu udah selesai?"
Aku menarik napas, mendadak pasokan oksigen yang masuk ke otakku sedikit. Aku menekuri dashboard di depan. Ucapan cowok itu sungguh menamparku dengan amat telak. Selama ini aku hanya berpikir bahwa jika kami dekat lagi, aku sama saja berharap dan membiarkan dia akan bermain-main lagi.
"Jangan dorong aku dengan bertanya gimana perasaanku ke Nilla, aku udah selesai sama dia. Dia itu luka ... yang udah aku sembuhkan tanpa bekas. Karena aku mau melangkah dengan orang baru tanpa rasa takut terulang atau dorongan aku masih terbawa sakit hati jadi balas dendam. Aku sama Nilla udah selesai. Kasih aku kesempatan dan waktu buat memperbaiki suasana ini lagi. Kalo bisa ... boleh nggak kamu berhenti buat berusaha lupain aku. Simpan di hati perasaanmu ke aku, walau udah sekecil apa pun itu. Apa bener-bener udah nggak ada? Dengan usahaku nanti, semoga suatu saat perasaanmu ke aku bisa jadi besar lagi." Lagi-lagi Rifando mengatakan tujuan utamanya padaku.
Astaga! Apa yang harus aku katakan saat ini? Kepalaku mendadak dingin beku dan kosong. Otakku keram hebat. Tapi satu hal yang aku pahami, Rifando meminta waktu dan kesempatan untuk jatuh cinta padaku. Kali ini untuk pertama kalinya, dia tidak menyuruhku membuang perasaanku padanya. Dia tidak menyuruhku melupakannya. Dia memintaku bertahan pada sisa-sisa perasaan ini.
"Oke, kamu maunya gimana?" Tantangku dengan suara kacau terbata-bata.
"Ya, kita lakuin banyak hal kayak dulu lagi."
"Caranya?"
"Aku mau ngajak kamu liburan berdua aja. Kamu pasti baru tahu ceritaku sekilas dari orang lain. Ceritaku panjang, aku bosan cerita sama Bu Dini psikologku, Kelvin, Jonny, dan Bang Gara dengan latar tembok-tembok. Lagi suntuk, jenuh dengan semua rutinitas, aku butuh tempat yang fresh dan sejuk."
Aku melotot. "Ke mana?"
"Anyer."
"Hah?? Jauh banget. Aku nggak mau ke mana-mana. Enakan di rumah santai-santai. Kalo berdua doang pasti Bunda nggak setuju, masa aku bakal kabur? Kelvin apalagi nggak bakal setuju deh!" Aku sudah tertawa-tawa merasa menang.
"Kalo aku dapet izin dari Bunda dan Kelvin, kamu harus mau," ucap Rifando dengan senyuman usil. "Kenapa harus pergi diam-diam kabur kalo bisa izin?"
Rahangku sudah menurun, pasti sedang melongo parah. Nih cowok sudah tertawa-tawa penuh kemenangan. "Oke, izin aja kalo berani. Aku nggak yakin Bunda ngizinin tanpa Kelvin ikut."
"Oke, aku makin semangat ngomong ke Bunda. Nanti aku mau ngomong langsung. Kamu siap-siap aja." Lalu Rifando tertawa-tawa menyeramkan.
"Hm? Jangan cuma ngerjain aku taunya cuma dibawa ke tukang pecel lele ya?"
Kenapa aku jadi takut begini ya?
Cowok itu tertawa pelan tapi geli. Tidak lama dia serius lagi. "Suer, aku bakal beneran bawa kamu ke Anyer. Janji. Kali ini aku juga berjanji, nggak bakal nyari cewek lain lagi. Aku yakin kita bisa mulai dari awal lagi seiring berjalannya waktu."
"Untuk itu nggak usah janji apa-apa, Doy. Aku takut kamu nggak bisa menepatinya." Aku hanya mengingat pengalaman yang sudah pernah terjadi. Kalimat terakhirku menciptakan keheningan panjang. Sepertinya aku jadi menyinggung masalah besarnya.
"Kamu udah tahu ceritanya kan, Ndah? Kelvin atau Bunda pasti cerita sesuatu. Manusia bisa berjanji, tapi siapa yang tahu bagaimana alurnya? Tuhan itu punya banyak cara rahasia buat menyelamatkan manusia, walau ada yang caranya harus bikin sakit dahulu dan ngasih pelajaran besar."
🌻🌻🌻
Aku penuhi janji karena tembus 80an 🥳🤭🙈
Penumpang kapal Rifandah selain aku nggak ada nih??? 🤭 Bakal ada acara Honeymoon dua makhluk gaje bin oon ini 🙃
Btw, Ada yg mau nanya-nanya tentang cerita ini? tapi jangan tanya ending🤭
6 JUNI 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top