23. Begini awalnya lagi

Saat ini aku sedang bersama dengan Sasa di kursi pinggiran koridor gedung A Fakultas Hukum. Aku melihat dia masih asyik nonton drama dari negeri Cina yang sudah sering dibahas berkali-kali katanya seru banget. Aku tak peduli judulnya saja sudah aku lupakan.

“Woi Ndah,” panggil Sasa sambil mengangkat tatapan menjadi kepadaku. Tangannya sudah menjauhkan ponsel itu dari pandangannya.

“Apaan?”

“Beneran si Rifando yang bilang ngadu ke Mark kalo kamu juga kena sama tuh dosen? Dia minta bantuan biar masalahmu diproses juga kan?”

Aku sudah bercerita pada cewek itu beberapa kali membahasnya mengapa Sasa menanyakan lagi untuk membahasnya. “Iya, kenapa nanya lagi? Nggak jelas ceritanya? Kan udah selesai kita udah mediasi sama Ketua Prodi. Oke??”

“Jelas di mataku, tapi hal ini nggak jelas buatmu, Ndah?”

“Hm, apanya yang jelas-jelas itu, hah?” Aku mendadak jadi gerah, bukan hanya teriknya matahari di siang hari ini. Aku sepertinya haus butuh minuman segar untuk melegakan tenggorokan. 

“Rifando. Nggak mau baikan sama dia?”

“Kita baik-baik aja,” tandasku cepat.

“Tapi nggak kayak dulu!” seru Sasa cepat sambil melepas earphone. “Ya emang sih aku lihat kemarin kalian ngerayain ultahmu, tapi aku ngerasanya kalian masih kaku.”

Aku masih bisa ngobrol sama Rifando, tidak sebenci dulu saat dia baru pacaran dengan Nilla. Aku tetap menjawab obrolan dengan santai, tapi tetap akan berusaha menghindar selagi bisa. Aku tidak mau terlalu dekat larut dalam obrolan dengan cowok itu. Karena Rifando itu candu, kayak obat penenang. Aku berpikir kita baik-baik saja dengan hubungan ini yang begini. Berteman biasa.

“Ya ... mau kayak dulu lagi? Aku bakal dicari kalo dia butuh doang lalu nggak bisa jadi pilihannya, itu yang kamu mau, Sa?” Aku melirik Sasa yang diam saja.

Perempuan itu memutar bola matanya lalu menaikturunkan alisnya lucu. Ingin rasanya aku mencubit alisnya yang menyebalkan itu.

“Heh, itu alis aku tarik terus jepret nih!” seruku mengancam sambil berusaha menyentuh alis Sasa.

“Jangan pegang alis aku kalo tanganmu nggak mau kena pensil alis,” cetusnya lalu tertawa. “Alisku adalah asetku.”

“Huu, tebel sih pensilnya.  Dasar alis mulu.”

“Kembali ke topik. Bukan gitu maksudku, Rifando kayak masih usaha nggak sih buat baikan sama kamu gitu?”

Aku mendengkus. “Dia kalo baikin orang emang gitu, kalo bikin aku ngambek juga bakal berusaha terus baik-baikin. Tapi, ini bukan sepele lagi. Aku nggak mau mudah dibaikin lagi, tapi setelah udah baikan dia akan pergi sama cewek baru yang lebih asoy.”

“Romantis dong? Aku punya temen, tuh si Ardan kalo aku ngambek malah dibiarin aja. Eh, ya tapi nanti dia bakal tetep nanyain sih. Emang nggak aneh Ndah, tiba-tiba hidupmu jadi gini?”

“Gini gimana?”

“Sepi, biasanya kan kalian bikin gemes dan lucu,” ucap Sasa nyengir menggoda.

“Latihan kali Sa, kan nanti kita bakal pisah juga. Aku sama dia nggak bakal sedeket itu lagi, karena jalanin hidup masing-masing sama pasangan kita nanti. Itulah garis selesai proses move on saat udah biasa aja. Ya, biarin sekarang masih kaku, nanti juga udah lama bisa melar sampe karetnya putus kayak kancut.” 

Aku tidak mau berharap apa-apa, berharap agar aku bisa bersama Rifando tidak berani lagi. Aku pernah berharap di tengah-tengah kesempatan yang ada namun cowok itu tidak pernah menjadi bersama denganku. Berkali-kali aku pernah berharap, walau menyakitkan aku mencoba berharap siapa tahu aku beruntung. Kali ini aku ingin menghadapinya dengan biasa saja. Tidak usah memikirkan bagaimana nantinya, ya tujuanku menjauh agar perasaan ini cepat menghilang. Aku akan berusaha bersikap biasa saja sama Rifando.

“Idih, jadi nggak sweet kamu pake perumpamaan kancut baru sampe melar. Ihh gelay, bayangin kancut melar! Ndah, aku mau cerita tentang Nilla sama Rifando. Mau denger nggak?” Sasa mengatakan hal yang mengejutkanku tiba-tiba. Ada apa ini mengapa Sasa membawa dua nama orang itu lagi?

“Kenapa? Mereka balikan?”

“Bukan,” jawab Sasa cepat. “Kemarin aku sama Ardan lagi makan di Kafe Milenial itu tuh yang baru. Kita di meja kedai yang area makan bakso.” Sasa berhenti cerita semakin membuatku penasaran.

Aku memandanginya tak sabar mendengar cerita jelasnya, mengapa cewek ini pake menarik napas dulu membuatku panik. “Kenapa sih? Kamu haus nih ambil air dulu deh.” Tanganku membuka botol air mineral milik Sasa.

“Tunggu ... masih rada gimana gitu kalo aku inget, soalnya bikin sesek napas. Ada meja Nilla sama temen-temennya, pas liat Rifando muncul di pintu, aku kaget ngira dia bakal makan nih sama Nilla. Udah aku tuduh aja kalo dia beneran kelakuannya begitu.” Cerita Sasa membuat degub jantungku semakin keras dan mencelus sakit. Perasaan cemburu dan sakit hati itu muncul lagi mengisi hatiku. “Tahunya Rifando ke mejaku sama Ardan, ya soalnya dia lihat aku sih. Padahal Nilla berdiri nyamperin dia kayak ngajak buat gabung, tapi tuh cowok malah ke meja kita. Tenang aja, Fando nggak nyamperin Nilla apalagi ngobrol lama kok.”

“Bodo amat. Tapi ... Rifando sendiri? Nggak biasanya dia iseng sendirian ke Kafe Milenial itu.”

“Dia nggak sendiri ternyata, dia janjian begitu yang ditunggu dateng dia pamitan cabut. Mereka pindah beda meja,” tutur Sasa.

“Sama siapa ketemuannya? Cewek baru lagi? Gebetan? Apa si Bianca dan Zetta? Kalo ketemu sama temennya paling minta dicariin gebetan lagi.”

Sasa menggeleng kuat-kuat. “Jangan mikir yang buruk-buruk, walau Fando memang minta dicincang kalo abis putus bakal gercep nyari cewek lagi. Dia ketemu sama Kelvin kok.”

“Hih, ceritanya aku pikir seru. Bilang aja sih ketemu sama Kelvin di sana, gitu kan udah jelas. Bikin aku penasaran tahunya nggak seru dan biasa aja!”

Sasa melotot heboh. “Nggak biasa dong, belom selesai soalnya. Ada satu lagi yang dateng. Tebak siapa?”

“Siapa? Nindya? Nilla? Sinta? Mala? Cewek baru yang nggak kita tahu?”

“Yudha.”

“Hah, ngapain?” jeritku heboh.

“Ya nggak tahu, tanya sendiri sana!”

“Males banget. Ngapain ketemu sama Yudha? Nggak ribut atau bikin ricuh, 'kan?”

“Kamu nethink banget sama mereka sih, siapa tahu aja menjalin kerja sama MLM atau join VTube.” Sasa membuatku menatapnya menjadi sorot lelah dan kesal.

Aku mencibir ucapan Sasa. “Payah nguping cuma setengah-setengah. Kelvin mana mau, ogah, diajakin kayak gituan!”

“Cuma kira-kira doang. Daripada aku bikin gosip kayak Nilla?”

“Iya-iya.” Aku mencebik mengingat kejadian yang pernah dilakukan oleh Nilla.

🌻🌻🌻

Di perpustakaan aku mendadak jadi manusia jorok yang menggaruk-garuk kepala, padahal rasanya tidak ada yang gatal atau bentol.

Seingatku aku masih manusia, bukan pohon nangka yang dikerubutin oleh semut-semut rangrang. Mengapa rasanya kepalaku bagai diserang oleh semut-semut ada yang berjalan-jalan dan bergerombol membuat efek tingling. Aku semakin yakin kalau kita sedang pusing dan bingung memiliki kecenderungan melakukan hal aneh.

Kini aku hanya bisa menatap buku yang terbuka di depanku, pikiranku sudah kacau balau karena tugas paper yang jawabannya tidak ditemukan juga di buku. Sedangkan laptop di mejaku masih berisi satu kalimat, yaitu soalnya, dan ke bawahnya masih kosong melompong. Apakah soal-soal itu dibuat hanya untuk dijawab dengan mengarang saja? Aku jadi penasaran apakah dosen yang membuat soal ini memiliki jawaban? Kalau aku boleh tahu, jawaban di kunci milik mereka apa ya?

Saat aku masih membaca buku di pintu ruangan baca perpustakaan sana muncul segerombolan cewek yang membuatku mendesis. Nilla dan teman-temannya. Cewek itu tidak melihat kehadiranku, tepatnya belum sadar dengan keberadaanku yang duduk di salah satu meja baca.

Nilla dan beberapa temannya memilih meja yang agak jauh dariku. Untungnya Nilla duduk membelakangiku. Mereka terlihat sedang berbincang-bincang. Tidak bisa kunci mulut sebentar?

Aku berusaha fokus berkutat dengan bukuku. Baru membaca beberapa paragraf, aku melihat seseorang yang masuk ke dalam dan gayanya yang familiar membuatku menjadi mati kutu. Rifando juga sedang berjalan menuju deretan meja baca ini. Aku melirik ke arah Nilla yang di mana kita bertiga akan menghirup oksigen di udara yang sama. Ngapain sih mendadak banyak orang mengurangi jatah oksigen bersih. Kalau Rifando duduk di meja Nilla, sungguhan aku akan cabut detik itu juga.

Dari ekor mataku melihat bayangan Nilla sedang melambaikan tangannya pada Rifando berusaha untuk mencari perhatian dan gerakan jemari lentiknya mengajak untuk duduk bersama. Sedangkan aku berusaha membungkukkan tubuh berharap manusia-manusia yang duduk di meja depanku bisa membuat aku terhalangi. Aku menyembunyikan wajahku dengan mendirikan buku setingginya.

“Hai Ndah,” sapa seseorang bersamaan dengan kursi di sebelahku ditarik. Rifando duduk di sebelahku sambil melemparkan senyuman kecil.

“Eh, hai!” Aku balas menyapanya berusaha biasa saja.

Mungkin ini balasan karma untuk diriku yang berbohong dan kabur dari dirinya waktu itu. Ya, sore itu habis acara ulang tahun aku berhasil kabur sampai di rumah dengan selamat. Malamnya Rifando muncul untuk bertemu dengan Bunda, cowok itu membawakan sekotak kue pastel yang katanya dipesan pada tetangganya.

Aku bersembunyi di kamar walau berkali-kali cowok itu mengirim pesan dan meneleponku menyuruh aku untuk keluar menemuinya. Aku hanya menjawab pesannya dengan; aku sibuk banyak tugas.

“Lagi nyari materi apa?” tanyanya sambil membuka buku Komunikasi Verbal yang dia bawa. Dari bawaannya yang sudah membawa buku pasti tadi Rifando sudah keliling di area rak buku sebelum datang ke meja ini.

“Ilmu silat,” jawabku dengan kecut.

Rifando menahan ketawa malah membuatnya jadi tersenyum kecil. Cowok dengan kaus lengan panjang abu-abu itu menatapku tak percaya. “Serius ilmu silat?”

“Mana ada, nggak seru ah!” seruku pelan. Lalu sibuk membaca buku lagi. Gara-gara kemunculannya aku jadi tak fokus berbuat apa-apa.

“Ya, kirain beneran. Eh, mau ke mana?” tanyanya ketika melihat aku beranjak dari duduk.

“Nyari buku lagi,” jawabku tanpa menoleh padanya.

“Aku bantuin nyari, tapi serius lagi nyari buku apa?”

Aku berjalan keluar dari pintu untuk pergi ke ruangan kumpulan rak buku. Aku pergi ke lemari buku-buku untuk Ilmu Hukum. Mataku memindai judul-judul buku di rak yang tengah, aku mendongakkan kepala ingin mencari ke rak yang posisinya lebih ke atas lagi.

“Mau yang mana? Nanti aku ambilin,” kata Rifando sambil megang-megang buku di sebelahku.

Aku jadi menoleh padanya heran. “Kamu emang nggak nyari buku buat diri sendiri? Tujuanmu ke sini tuh sebenarnya ngapain?”

“Aku gampang kok nyari bukunya, kamu tuh yang keliatan stres gitu ngerjain tugas dan nyari bukunya.” Rifando menjawab tanpa menoleh dan asyik megang-megang buku, entah dia sedang mencari apa.

“Kayaknya aku bakal makin stres kalo dibantu sama kamu,” kataku menunjukkan raut tidak suka.

“Kamu kan pendek nanti nggak bisa ngambilnya,” ucap Rifando kali ini menoleh padaku dan nyengir menyebalkan.

“Ya udah bantuin aja, tapi nggak usah ngatain dong!” seruku sebal.

“Kok kamu yang marah, udah dibantuin juga.” Rifando mengacak-acak ujung rambutku. “Tunjuk aja mau judul yang mana, nanti aku ambilin dan bawain ke meja.”

Aku tepiskan tangannya yang menyentuh kepalaku. "Kamu bantuin aja, jangan usil!"

🌻🌻🌻

Sudah waktunya aku keluar dari perpustakaan tugasku sudah selesai. Aku beres-beres merapikan laptop, buku yang tadi aku ambil dibantu dibawakan oleh Rifando juga sudah dikembalikan ke lemarinya semula. Aku memasukkan laptop, buku catatan, dompet, dan hape ke dalam tas perpustakaan. Aku melirik Rifando yang masih membaca buku.

“Duluan ya, Doy, udah sore!” seruku sudah berdiri mau meninggalkannya.

“Udah siap mau balik? Yuk, pulang bareng sama aku aja!” Ajak cowok itu sambil berdiri dan menutup buku yang dibawanya.

Aku tidak mengerti mengapa Rifando jadi ikutan mau keluar dari perpustakaan. Memang sejak tadi aku mencium-cium hawa aneh, karena cowok itu hanya membaca satu buku saja, artinya dia tidak serius amat nongkrong di perpustakaan buat nyari sesuatu.

Cowok itu meletakkan buku di lemari yang kami lewati. Dia masih mengikuti diriku yang mau ke meja penukaran loker tas. Mungkin setelah kami keluar dari perpustakaan aku bisa berbicara lebih banyak lagi dengannya. Di meja loker aku mengernyit heran memperhatikan cowok itu aneh, ini cowok ke perpustakaan tidak bawa tas? Ke mana tasnya?

“Tasmu ke mana?” tanyaku yang lebih penasaran sama tentang itu.

Kami sudah turun tangga menuju keluar dari perpustakaan. Cowok itu nyengir polos membuatku menjadi kesal ingin menaboknya dengan tas laptop. Mana ada sebuah pertanyaan bisa terselesaikan dengan jawaban sebuah cengiran aneh?

“Doy! Ngapa sih?” gerutuku kesal.

“Ngapa apanya?” Cowok itu menatapku bingung.

“Daripada ngisengin aku, kamu mending kerjain Skripsi yang serius deh.”

“Aku serius, memang selama ini aku nggak ngerjain? Mau tahu judul dan progresku?”

“Ya terserah. Nggak, aku nggak mau tahu,” jawabku menolak dia untuk cerita.

Aku mempercepat jalan menuju keluar gerbang kampus, tapi tanganku ditahan oleh Rifando. Ini siapa yang membuat Rifando menemukan diriku di Perpustakaan lalu mengganggu bagai kuman gigi. Ini pasti kerjaan Sasa yang membocorkan keberadaanku yang masih di Kampus.

“Kamu laper nggak? Pengen makan mie di warkop?” tawar Rifando.

Aku mendecak judes lalu menggeleng. “Bisa makan di rumah.”

“Aku pengen, nanti boleh makan di rumahmu ya? Kangen buatan kamu deh, bikinin punyaku sekalian ya? Apa mau aku yang buatin, tapi kamu nggak bakal suka.”

Jangan! Aku mendengkus pasrah, aku tidak mau dia berlama-lama sering ke rumahku. Pake segala minta dibuatin mie rebus. “Ya udah, ayo kita ke warkop!”

“Gitu dong!” seru Rifando sambil mencubit pipiku gemas.

Aku menangkis tangannya yang usil sambil berjudes ria. “Jangan pegang-pegang aku!”

Dia mengamit tanganku dan membawakan tas laptopku. Aku tidak mau dia yang jadi repot, tetapi Rifando mengatakan sesuatu. “Nanti kamu teledor terus hilang di warkop kan gawat, pokoknya aku yang jagain laptop. Inget nggak pernah ninggalin buku paket penting di warkop deket sekolah dulu? Yang kemarin baru aja ninggalin laptop di Kantin Fikom. Kamu orangnya suka lupa deh.”

Ya namanya juga lupa, ya pasti tidak mengingat. Ah, sudah-sudah jangan diingatkan lagi!

"Kamu tahu dari mana kalo aku di perpustakaan?" tanyaku yang yakin banget kalau Rifando itu bukan tidak sengaja kebetulan.

Cowok itu pasti sengaja mengganggu dan menempel. Ingin aku kutuk siapa pun yang menjebloskan Rifando menempeliku sampai detik ini. Mungkin orangnya adalah Sasa.

“Enggak kok, kita nggak sengaja ketemu. Aku ke perpus karena gabut, saat lihat namamu ada di daftar pengunjung kayak wah kebetulan nih?”

Aku mendecih. Hah, sejak kapan dia kalau gabut mainnya di perpustakaan?


TBC

🌻🌻🌻





Karena panjang dan ada bagian sakral yg kalo kepanjangan akan bikin orang nggak fokus dan ngurangin feel, bagian ini aku cut jadi dua hehe


Kalo komen rame dan votes bisa tembus sampe 80an besok malam up lagi 😏





5 JUNI 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top