15. Tiada yang benar

"Hei, Ndah! Tunggu dulu, aku mau ngomong."

Aku baru saja memasuki kafe mendapati Bang Jay sedang berdiri di depan bar konter coffee. Cowok dengan kemeja hitam dan celemek cokelat tua itu mencegatku untuk mencari tempat duduk, dia mengajakku berbicara di kursi. "Udah lama nggak ke sini!" serunya dan kami duduk di meja depan konter coffee-nya.

"Hooh Bang, aku sibuk," jawabku seadanya.

"Sibuk kayak artis aja! Kata Jonny, dia dapet info dari Nesha yang cerita heboh banget, di kampus kamu lagi kena masalah ya? Beneran tuh ada dosen resek yang centil kayak gitu?"

Aku yang mendapat cerita itu dari Bang Jay langsung menganga, karena ini menyangkut tentang diriku. "Nesha tahu dari mana?" tanyaku aneh. Rasanya aku meraba-raba siapa orang yang mengenalku sekaligus Nesha, si pacarnya Jonny.

"Nesha tahu dari Nilla, katanya Nilla yang cerita masalah itu," jawab Bang Jay. Benar sesuai dugaan.

Aku mendecakkan lidah memutar bola mata. "Hadeh, terus kamu percaya sama dia, Bang?" sahutku sudah lelah, muak, dan malas mengingat kejadian itu lagi. "Tuh cewek anak Fikom ngapain sih nyebarin gosip anak FH padahal nggak jelas informasinya."

"Nah, makanya aku nanya ke Andah. Lagian nggak ada yang cerita ke aku, bahkan Kelvin sama Rifando nggak ada yang laporan apa-apa yang menyangkut kamu."

"Soalnya itu berita palsu alias gosip."

"Katanya kamu korbannya tuh dosen ya, sampe datengin tuh dosen mohon-mohon biar nilainya diubah jadi bagus. Kamu katanya kepergok Nilla sama Fando lagi di kafe dekat kampus makan siang sama tuh dosen, beneran nggak, Ndah?" Bang Jay mengkonfirmasi langsung kalau Rifando dan Kelvin menutup mulut rapat bahkan tak bicara kalau Nilla itu memfitnah aku dan Sasa.

"Iya, tapi nggak gitu ceritanya," selaku langsung mendidih kesal lagi. Seingatku saat aku melabrak Nilla sudah menegaskan bahwa tuduhannya salah, lalu kapan dia bertemu dengan Nesha buat cerita atau sekadar ngobrol lewat pesan chat? Cewek itu benar-benar jahat dan menyebalkan. Bisa-bisanya habis aku labrak, dia tidak mengubah pandangan orang lagi dan membiarkan orang lain menerima beritanya padahal salah.

"Gimana gimana?" tanya Bang Jay.

"Itu dosen muda nggak adil ngasih nilai cuma dasar kedekatan dan paras wajah aja. Harus ramah sama dia alias centil! Aku sama teman-temanku minta keadilan, kejelasan, dan transparansi nilai tugas. Dia ngasih nilai tuh ngaco, Bang. Masa aku dapet nilai tugas D? Temenku yang cerdas banget dapet C."

"Hah, ooh, masih ada ya dosen kayak gitu? Kayak zamanku dulu juga ada, yang cakep-cakep nilainya bagus. Padahal semua terlihat jelas di depan mata."

"Awalnya pesanku dicuekin, Bang, tapi tuh dosen ngajak ketemu di luar kampus. Tahu nggak karena apa? Dia tahu kalo aku anak jurnalistik takut kasusnya aku bawa ke kolom majalah. Di kafe kecil itu kita ngobrol nggak lama kok, ternyata si Fando sama Nilla jalan lewat depannya ngeliat kita. Kesel kagak sih Fando lebih percaya sama dia! Jangan dengerin yang Nilla omongin, Bang."

"Wah, sudah kemarahan tingkat dua nih sama Fando, udah nggak manggil Doyi lagi?" Bang Jay jadi memandangiku khawatir. "Kemarahan tingkat satu kamu nanti manggil namanya lengkap, Rifando."

Aku mendengkus masam. Aku kan sudah tak akrab banget lagi, merasa asing aja menggil dia dengan nama khusus itu.

"Nilla cuma denger sepintas dan kasus yang lain kali. Tapi pas ngeliat kamu jadi salah paham," ucap Bang Jay.

"Ya, makanya jangan nyebarin yang nggak jelas. Tuh orang manusia apa Dajjal sih? Karena manusia jadi tukang fitnah, si Dajjal udah kehilangan tugasnya," cetusku sambil misuh.

Bang Jay melongo lalu mengusap bahuku menenangkan. "Istighfar Ndah, jangan kebawa emosinya! Mau minum apa? Pesen dulu sana ke kasir biar tenang, tumben ke sini sore-sore ada apa?"

"Minumnya gratis nggak?" Aku meliriknya datar.

"Bayarlah!" seru Bang Jay melotot keki.

"Yah, tadi diajak sama Kelvin cuma dia lagi mampir dulu ke minimarket bayarin sesuatu gitu ke sana. Paling urusan si Rafel. Ya udah nunggu dia dateng dulu, aku ke Garden D ya Bang mau foto-foto!" seruku sambil bangun mau ke Garden D.

"Hey, bocah sengklek mau foto-foto abis ngomelin orang—eh, Ndah jangan ke D!!" seru Bang Jay tapi aku tidak menggubrisnya.

Terus berjalan tak peduli aku masuk ke area Garden D, segera melongo mendapati di salah satu meja Garden D ada sosok perempuan, yaitu Nilla sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Aku sangat yakin dia adalah Nilla. Pantas saja Bang Jay teriak-teriak memanggil. Untuk mencegah keributan, misalnya.

"Gimana ya tuh orang rasanya jadi dianggap buruk sama orang-orang lain? Kasian banget sih Andah, baru kali ini aja kali rahasianya kebongkar, tahunya udah sering karena kena hasut sama teman-temannya yang murahan."

Aku berjalan menuju dirinya lalu bersidekap berhenti di depan dirinya. "Masih aja julid ya lo, nggak cukup kemarin gue maki-maki?"

Perempuan itu melongo langsung pucat pasi. "Andah, ngapain di sini?"

"Ngapain kek, ini kan wilayah gue!" seruku galak. Tak peduli dia pucat pasi. Aneh tidak sih sering cekikikan liar bersikap berani tetapi selalu bersikap lemah di depanku.

"Eh?" Dia masih saja sok polos cuma mengerjapkan mata melirik ke sana-kemari.

"Nggak di mana-mana ya mulut lo lemes banget, mau gue siram pake Jus Tomat lo? Jangan sok sedih merasa jadi korban deh, gue nggak bakal begini kalo lo nggak mulai duluan!" Aku masih melotot padanya. "Jago akting ya setiap di depan gue kayak lemah, gue udah tau lo kalo di belakang itu bar-bar!"

"Jangan-jangan Fando yang sengaja ya ngajak gue ke sini. Tapi ternyata lo yang mau maki-maki gue?" Nilla terlihat sedang bingung.

Aku juga tidak tahu karena ke sini diajakin oleh Kelvin. Apakah ini rencana mereka berdua?

"Iya Nilla, gue yang memang sengaja ngajak lo ke sini!" Di pintu Garden muncul si Rifando bersama dengan Kelvin. Keduanya memasang wajah serius menatap lurus pada Nilla. "Ndah, udah jangan marah-marah, kita omongin ini baik-baik."

Aku melihat di pintu Garden D ada Bang Jay, tetapi dia tidak ikut mendekat. Hanya mau jadi penonton dari jarak jauh. Mungkin baginya drama anak muda menyebalkan untuk dilihat dari dekat dan bikin lelah, menyedot energi.

"Hih, gue nggak puas kalo nggak marah sama dia!" desisku menatap sinis pada Nilla.

Dalam hati aku tak munafik memakinya, mampus lo dijeblosin sama pacar  sendiri! Apakah dia tak tahu Rifando memang tipe yang mengincar mangsa sampai dapat. Mengincar penjelasan masalah, maksudnya. Ada angin apa nih Rifando nggak belain Nilla malah diajak diskusi bersama?

Nilla terlihat panik menatap ke arah Rifando. "Fando kok jahat malah ngajak Andah ke sini, kan kamu tahu sendiri cewek ini udah kasar sama aku sampe bikin aku syok ketakutan dan cemasku kumat. Aku pusing dan mimisan. Dia orangnya jahat banget suka bentak-bentak."

Aku ditenangkan, sebelum membalas bentak lagi sudah disuruh duduk oleh Kelvin di meja yang ditempati oleh Nilla, rasanya malas banget duduk berdekatan sama cewek ngeselin ini. Tidak sudi. Aku duduk di depan Rifando, sedangkan dia di sebelahnya Nilla.

Kelvin duduk di sebelahku sedang menatap tajam pada Nilla. "Gue nggak mau ikut campur sebenarnya, tapi gue dengernya aja jadi ikutan kesel karena omongan lo," cetus Kelvin ke arah Nilla.

"Iya, gue tahu salah karena Kak Elkie emang ngomongnya gitu!" seru Nilla.

"Bohong aja lo, gue udah ketemu sama Elkie. Dia ngomong sesuai faktanya, kalo kita berdua diskusi tentang nilai yang jelek dan gimana caranya meminta revisi tugas. Elkie tahu kalo Sasa pergi ke ruangan dosen buat diskusi, bukan buat ketemuan berkencan kayak imajinasi lo. Dia nggak nyebut nama gue dan Sasa yang sengaja ngejar gampangin dosen dengan cara kotor. Andai lo tahu, kita berdua kontra sama cara kotor itu. Elkie udah minta maaf, lah elo masih sebarin berita palsu!" Aku mendesis sebal. Aku mendapat nomor Elkie berkat Yudha dan ngobrol lewat pesan saja. Sengaja berbohong kalau kita berdua bertemu tatap wajah. Biar seru.

"Udah ketemu sama Elkie dan ngomong langsung?" Nilla terlihat gugup dan pucat pasi.

"Iya, ngaku aja deh lo mengolah tuh berita jadi menyudutkan gue, kan?" makiku kesal lagi.

"Kayaknya gue salah denger info, maaf salah—"

"Kemarin gue udah ngasih penjelasan. Ya udah tahu salah kenapa tadi masih julid aja sama temen lo? Seru ya ketawain gue?" tanyaku ketus sambil memutar bola mata.

Kelvin diam saja tetapi menatap serius mendengarkan obrolan kami. Rifando yang bersuara. "Aku tahu Nilla salah paham dan jadi bikin gosip nggak bener. Wajar dia—"

"Aduh, salah denger sama ngarang itu bisa jadi jauh  niatnya. Mana tahu mana yang bener," selaku memotong ucapan Rifando. "Nilla bilangnya salah denger, bukan salah paham. Beda."

"Salah denger, iya itu maksud gue kok, soalnya suasana bising waktu gue ketemu sama Elkie di kantin FH. Gue tahu lo nggak suka sama gue, Ndah, jadi gunain ini buat mojokon dan marahin gue, kan?" Nilla menatapku dengan nanar berlapis air mata.

"Gue dua kali ya denger lo ketawain gue sambil cerita ke orang lain, mana mungkin gue nggak marah. Lagian lo nggak mungkin salah denger, Elkie kan ngomong langsung jelas di depan lo. Kalo lo salah denger dalam bicara secara tatap muka, habis ini kuping lo yang harus dibersihin. Memangnya lo menelan mentah-mentah ucapan Elkie tanpa konfirmasi lagi, kecuali gosipnya satu arah Elkie doang yang ngomong, lo cuma denger dan menerima tanpa menyahuti obrolan dia lagi. Kasian Elkie, dikacangin lagi ngomong. Ckck."

"Ndah, dengerin dulu dong, Nilla nggak tahu jelasnya makanya salah ngasih info. Aku nggak membela Nilla juga," ucap Rifando membuat Nilla memandanginya langsung aneh. "Lo Nil, jangan bikin berita dari info nggak jelas. Lo udah ditegur sama Andah di kantin masih juga ngomong ke mana-mana! Ke temen-temen lo, Nesha, dan keluarga gue juga sampe tahu karena Elda. Elda masih terlalu muda buat lo ajak julid!"

Aku meneguk ludah saat Rifando marah pada Nilla dan bicara seperti itu. Aku mengira Rifando sudah buta hati dan cinta mati ke Nilla karena belain dia terus-terusan. Mendengar berita itu sudah sampai ke Elda membuatku sangat cemas, apa cewek anak muda itu juga percaya dengan gosipan Nilla? Mentang-mentang Elda tuh lagi senang berteman, Nilla jadi sok akrab dan ngasih berita palsu itu lewat adik Rifando. Elda menganggap Nilla sebagai orang baik yang layak didengar tidak ya? Kasihan tak ada Tante Emma lagi. Aku tak yakin juga Tante Emma dan Nilla waktu itu masih komunikasi setelah kejadian di halaman samping rumah.

Dan sejak kapan Rifando ngomong ke Nilla pake sebutan lo-gue? Udah nggak mesra lagi?

"Aku marah sama kamu bukan karena nggak percaya, Ndah," kata Rifando mengalihkan pandangannya saat ini padaku menyentakku dari lamunan. "Aku nggak mau kamu kasar kayak gitu ke Nilla."

"Oh, oke, karena aku marahin dia di tempat umum? Iya, aku salah karena malu-maluin, udah bikin orang malu." Jawabku sambil menyeringai kepada Nilla saat mengatakan kalimat terakhir. Hal itu juga yang Nilla lakukan padaku.

"Ya, kalo nggak ngomong makin ngember dong?" cetus Kelvin membuat kami semua menoleh kepadanya. "Udah ditegur aja masih ngember apalagi nggak ditegur!" Uh, kakakku memiliki pikiran yang sama.

"Bicara berdua lebih baik, Vin. Kalo lebih tenang bisa kepala dingin, pasti hasilnya baik-baik. Andah aja marah-marah dateng langsung nyemprot Nilla—"

"Apa-apaan?" selaku. Aku menganga karena disalahkan lagi, gara-gara ucapan Rifando si Nilla langsung pasang wajah belagu sok dibela lagi.

"Iya bener, kalo ngomongnya baik-baik kan aku jadi merasa dihormati, bukan dengan cara dipermalukan depan umum begitu!" celetuk Nilla.

"Waw, ini makin tolol aja sih." Kelvin tertawa kecil sinis banget.

"Ini aku yang difitnah, jadi korban digosipin yang jelek-jelek. Masa aku harus bisa ngomong manis? Mana mungkin ya! Mana ada orang yang nggak kesel direndahkan diinjak-injak!"

"Ngomong baik juga belum tentu menyadarkan Nilla, pasti makin merasa nggak ada takutnya sama teguran Andah. Iya kan?" Kelvin menatap Nilla penuh selidik. "Itu tuh namanya, lo ngira lawan lo nih lemah nggak berani. Lo makin jadi aja nginjek-nginjek harga diri lawan." Aku setuju dengan Kelvin.

"Vin, omongin baik-baik kan bisa. Kalo mau ribut ya berdua juga bisa, jangan langsung di tempat umum begitu! Banyak orang dengerin kan malu!" seruan Rifando membuat kami jadi merasa tersalahkan lagi.

"Kamu nggak ngerti, Ndo. Mana pernah kamu diinjak-injak orang, orang di dekatmu kan takut sama kamu. Karena mereka tahu kamu gimana. Emang aku nggak boleh emosi?" tanyaku sebal. Aku melirik Nilla yang diam saja dengan raut wajah kikuk.

"Tapi kamu tahu kan gimana kondisi Nilla? Jangan perlakukan Nilla seperti itu, kamu nggak tahu kondisi kesehatan dia lagi gimana, kan? Kamu nggak tahu gimana keadaan dia habis menjalankan apa! Seharusnya kamu perlakukan orang lain sebaik-baiknya, siapa pun dia, ya kan?" Rifando kini jadi memarahiku lagi dengan membela Nilla lagi.

Aku sudah muak dengan pembicaraan ini. Aku ingin menyudahinya setelah ini. "Pertama aku bukan Nabi, aku nggak sebaik dan hatiku nggak sebersih itu! Aku masih bisa marah dan bentak kasar ke orang lain!" seruku membuat Kelvin menganga karena kata-kataku yang aku juga tidak tahu itu dari siapa idenya.

"Kedua, kamu yang nyuruh aku berani lawan orang yang menindas aku!"

"Ketiga, ini cewek pura-pura sakit kali ya! Sakit tapi lebay banget!" Aku melirik Nilla yang sedang menganga, lalu cewek itu terlihat sedang meringis. "Aku berani marah-marah karena udah tahu dia itu sakitnya bohong. Bohongan, kan?" tanyaku pada Rifando.

"Nggak Ndah, dia sakit beneran. Kenapa kamu nuduh dia bohong?" Rifando balik bertanya.

"Dia cerita sama temannya, dia bohongin kita—" Suaraku makin meninggi.

"ANDAH! Kamu kelewatan sekarang!" seruan Rifando yang tinggi dan keras membuatku menjadi tertegun dengan hati tercabik sakit. Dia sukses memotong ucapanku dengan nada suara tertinggi yang pernah aku keluarkan.

Mata kami saling bertatapan, aku merasakan hawa panas di sekujur tubuh terlebih pada mataku yang mulai berkaca-kaca. "Selesai udah makin panas kepalaku makin nggak sehat omongan ini. Udahlah terserah kamu aja, Ndo!" Aku mengakhiri pembicaraan itu duluan lalu bangkit dari duduk untuk pergi keluar dari kafe. Dari belakang Kelvin ngejar-ngejar memanggil namaku. Saat aku sudah di depan kafe Kelvin sedang terengah-engah.

"Ada apa? Eh, Nilla sakit apa?" tanya Kelvin bingung.

"Nanti aku ceritain di rumah."

Kami baru keluar dari kafe tiba-tiba terkejut melihat Rifando yang sedang memapah Nilla keluar dari kafe. Aku melihat Nilla sedang meringis kesakitan sudah menangis sambil memegangi pinggangnya bergerak jalan cuma karena dipapah Rifando. Aku mengerjapkan mata ketika melihat darah yang mengotori baju Nilla bahkan masih tersisa di dekat hidung Nilla.

"Vin, bantuin!" seru Rifando memohon. "Bawa ke mobil, mau gue bawa ke rumah sakitnya!"

"Kenapa Ndo?" Kelvin juga sudah sangat terkejut. "Astaga! Nilla kenapa?"

Aku masih membeku melihat darah-darah itu, mengerjapkan mata ketika semua pandanganku menjadi mengabur.

Cairan merah.

Kubangan darah yang lebar.

Darah yang menggenang dengan mayat-mayat bergelimpangan dipenuhi luka-luka menganga lebar menampilkan bagian di bawah kulit yang kemerahan.

Merah.

Merah.

Merah.

Pandanganku mendadak menghitam dengan bayangan bercak-bercak merah bermunculan bagai menyerang pandanganku semakin mendekat dan warna merahnya menjadi melebar dalam layar mataku.

Tubuhku lemas tidak kuat lagi berpijak pada dunia. Aku bisa merasakan saat tubuhku terpelanting jatuh di parkiran depan kafe. Suara yang sempat memanggil namaku tidak mampu membuat aku tetap bertahan dan membuka mata lagi. Aku tidak kuat. Seharusnya aku tidak gegabah, semuanya menjadi runyam.

🌻🌻🌻

Kantin kampus Fakultas Hukum beberapa bulan lalu

"Kalo kita bisa sahabatan pasti bisa seru banget ya, Ndah," ucap Nilla tersenyum kecil.

Ya, bagi lo aja seru punya sahabat dan pacar yang amat mencintai lo, tapi gue remuk seremuknya, sahabatan sama pacar cowok yang gue sayangin. Mana tuh cowok juga nganggap gue cuma sahabatnya.

"Sori, aku belum merasa soal itu sama kamu. Nil, udah ya aku mau ke—" Aku mau beranjak daei duduk untuk pergi, tapi Nilla masih menahanku sambil matanya berkaca-kaca.

"Andah, aku mau cerita rahasiaku selama ini. Ndah, aku tuh udah suka sama Fando dari kecil," tutur Nilla. Mendengar ucapan cewek itu membuatku jadi lemas seketika. Tenggorokanku tercekat sulit bersuara lagi. "Sampe bertemu lagi pas dewasa, perasaan itu masih ada. Aku cinta banget sama Fando," tambah Nilla sambil menangis pelan.

Aku duduk kembali ke tempatku sembari menatapnya, melihat perempuan ini menangis aku tidak tahu apa yang membuatnya menjadi seperti itu.

"Aku sakit parah, Ndah. Fando juga udah tau kalo aku sakit," kata Nilla masih mengeluarkan air matanya sesenggukan.

Aku merasa terkejut bukan main mendengar penjelasan bahwa cewek itu sakit, dan katanya parah. Belum ada kata-kata yang bisa aku katakan saking terkejut syoknya dan tidak tahu harus bagaimana menyikapinya.

"Aku sakit parah, nggak bisa sembuh, Ndah. Aku tergantung sama obat dan rumah sakit yang memuakkan itu. Banyak yang meninggal karena sakit ini. Seumur hidup baru kali ini ketemu sama cowok sebaik Rifando, cuma dia yang membuat aku bahagia," lanjut cerita Nilla. "Bikin hidupku menjadi lebih berarti."

"Maaf, aku baru tahu ternyata kamu sakit." Aku tidak mau bertanya dia sakit apa. Aku sangat takut mendengar bahwa ada orang yang sedang sakit, dan hidup dalam bayangan mengerikan. Astaga, selama ini aku jahat dan menyimpan kekesalan pada manusia yang lagi kesakitan.

"Semoga kamu mau mengerti sebagai sesama perempuan, aku pengen bahagia bersama Rifando sampe kematian menjemput nanti. Aku selalu disakitin cowok, sedangkan Rifando baik, dan selalu membuat aku bahagia. Baik banget nemenin aku yang sering sedih, dan merasa kesepian. Bantuin aku ya, Ndah, cuma dia yang bisa bikin aku bangkit dan semangat."

"Memangnya apa yang bisa aku lakukan?" tanyaku agak gugup.

Aku tak menyangka bahwa di balik senyuman, keceriaan, dan aura positif yang terpancar dari Nilla. Cewek itu menyembunyikan sakitnya, kesedihan, dan ketakutannya. Rencanaku untuk mengatakan hal sejujurnya pada Rifando hari ini mendadak menjadi ragu. Aku bisa mengacaukan hubungan orang kalau bicara sembarangan.

"Jangan bikin hubungan kita aneh, jangan bikin kita pisah ya, Ndah," jawabnya. "Aku iri karena Rifando kayaknya sayang banget sama kamu. Aku takut Rifando pergi dari aku demi kamu."

Aku tergagap karena kata-katanya yang sangat mengejutkan, apakah dia berpikir aku bisa membuat hubungan mereka berantakan gara-gara ceritaku dulu? Dia sangat takut Rifando pergi darinya demi aku? Siapa yang pergi dari aku demi dia memangnya Gadis ini takut ditinggalkan, padahal dia yang membuat seseorang ditinggalkan.

Aku tidak sebaik cewek-cewek di film, drama atau novel yang kasihan dengan perempuan yang merasa waktunya sangat pendek dan meminta sebuah kebahagiaan. Karena bagiku, kebahagiaan itu tidak usah dipaksakan untuk didapat. Kalau memang bukan bagian takarannya dalam hidup, kebahagiaan itu akan dirasakan ya sesuai dengan bagaimana sang manusia bisa merasakannya. Rasa bahagia tak usah dipaksa dikejar.

"Makanya aku pengen akrab sama kamu, biar nggak ada salah paham lagi. Aku nggak mau kayak pacar Rifando lainnya, yang nggak bisa akrab sama kamu. Selalu cemburu dengan kedekatan kalian, dan akhirnya nyerah melepas cowok sebaik Rifando."

Aku kehilangan kata-kata saking hancurnya diminta sebuah permintaan yang aku tahu aku tak akan mampu untuk melakukannya. "Tanpa aku, kalian justru akan baik-baik aja. Jangan meminta aku untuk bisa temenan akrab sama kamu, Nilla, nggak semudah itu." Aku akhirnya bisa mengeluarkan kata-kata itu.

Bagaimana bisa perempuan ini sangat percaya bahwa kedekatan aku dan Rifando yang terbuka padanya akan membuat kami mudah terpantau dan transparan olehnya, apa dia tidak takut akan ditikung olehku. Sayangnya aku orang baik, tak ambisius, aku baper tapi cukup bisa menahan ambisi untuk memiliki seseorang yang aku cintai. Aku tak mau memaksakan kebahagiaan itu untuk dikejar.

"Tanpa kamu, Rifando nggak baik-baik aja. Dia selalu mencari kamu. Dia membutuhkan kamu kan? Tanpa dekat dan akrab sama kamu, aku jadi takut dengan hubungan kalian itu. Aku takut jadi kayak cewek lainnya yang nggak percaya sama kalian."

"Aku nggak mau ada di cerita kalian apa pun itu. Jangan meminta untuk bersahabat sama aku, cukup percaya sama aku kalo kamu mau. Percaya sama pacarmu juga yang penting. Kamu nggak percaya sama Rifando?" Aku mulai emosi.

"Kamu benci banget sama aku ya sampe nggak mau berteman?"

Kalau aku jawab iya, apakah gadis itu akan hancur karena lagi-lagi memiliki musuh. Musuh yang tak pernah kelihatan membenci, hanya menghindar sejauh-jauhnya. Aku tidak mau gara-gara pengakuanku, cewek ini jadi ribut sama Rifando. Bagaimana reaksi Rifando saat tahu aku tak menyukai Nilla.

"Aku tau kenapa kamu nggak suka sama aku, Ndah."

Aku memandanginya, ingin tahu apa yang dia maksud dari ucapannya itu. "Maksudnya?"

"Kamu suka sama Rifando, kan?"

Aku mengerjapkan mata lalu mengangguk pelan. "Iya, ketebak banget, kan?"

Raut wajah Nilla menjadi melongo dengan matanya yang tiba-tiba membulat tajam. "Bener kan dugaan aku, kamu suka sama Rifando. "

"Iya, aku suka sama dia. Aku nggak berani bilang, tapi kamu yang udah tahu duluan daripada dia. Kamu berani bilang hal ini ke dia? Kamu penasaran juga gimana reaksinya kalo tahu?" Tantangku sambil tesenyum miring.

Nilla sudah tahu. Kalau cewek itu bilang ke Rifando, aku tak perlu lagi mengatakannya perihal perasaanku. Hanya bisa ditambahin pernyataan. Jika suatu hari Rifando berubah menjadi menjauh dariku sudah pasti karena Nilla sudah memberitahukan hal itu. Tapi, sialnya, Rifando adalah tipe orang yang harus memastikan sendiri secara langsung.

"Jangan bilang soal perasaanmu. Rifando kan udah punya pacar, jadi tolong kamu lupain dia secara perlahan. Apa ini penyebab Rifando selalu ditinggal sama pacarnya? Dia selalu lebih memilih memprioritaskan kamu."

Aku segera melotot dituduh begitu. "Kamu jangan nuduh dan mikir yang jahat-jahat! Mereka putus karena masalah mereka sendiri, kepercayaan, dan kesetiaan. Kalo kamu memintaku lupain dia, udah aku lakuin sejak lama kok."

"Ya udah kalo nggak pernah kayak gitu, jangan ganggu hubungan kita, Ndah. Kamu tahu kan kalo Rifando sama aku sama-sama menjalin hubungan karena dikhianatin pasangan kita yang sebelumnya. Dua orang yang sakit hati bertemu, dan jatuh cinta bersama."

Oke, lalu gimana perasaan orang yang sudah terpendam selama bertahun-tahun? Apa hanya aku yang sangat boleh untuk tersakiti di sini?

"Ya kamu perjuangin, jangan lepas si Rifando kayak cewek lainnya yang nyerah sama dia." Aku mengatupkan rahang sekuat mungkin.

Saat mengucapkannya hatiku sudah sangat hancur, tetapi ucapan itu bermakna aku tidak mau melihat Rifando sakit hati dan sedih lagi saat patah hati. Aku ingin menerima kenyataan bahwa dia sudah bahagia dan berada di kisah hubungan yang selama ini dia impikan. Walau aku sendiri sedang menata mencari cara untuk melepas dan melupakan. Kalau benar caranya untuk membiarkan dia bahagia dengan aku mengubur perasaan ini, aku akan lakukan. Sebab, akulah yang seharusnya tak ada di antara mereka. Aku tak ada alasan untuk bertahan pada Rifando. Cintanya bukan untukku. Mengapa aku masuk ke dalam kisah percintaan orang tidak pada tempatnya! Rencananya hari ini aku mau jujur, tetapi Nilla membuatku ragu. Bisa jadi pengakuanku menghancurkan mereka. Atau menghancurkan aku sendiri?

"Hai Andah, ternyata kamu di sini sama Nilla!"  seruan Rifando membuyarkan obrolan kami.

"Hai, Sayang!" Nilla menyapa Rifando menguarkan senyuman lebar.

"Hai juga, Sayang," kata Rifando mendekat pada Nilla dan mengacak puncak kepala gadis itu.

Aku meneguk ludah khawatir. "Doyi, kayaknya kita nggak usah jadi pergi deh—"

"Kalian bukannya mau pergi?" Nilla membuatku bingung karena dia tahu rencana kekasihnya.

"Kok kalian nggak jadi pergi? Ndah, Fando? Udah sana jalan keburu sore."

Aku melongo tertegun, rasanya aneh suasana ini. Jarang terjadi selama aku hidup bersama Rifando. Tidak pernah ada pacarnya Rifando yang mendukung kedekatan kami berdua. Nilla tahu tentang rencana Rifando yang ingin mengajakku makan gelato dan mengizinkan kami pergi berduaan. Ini mencurigakan.

Aku mendesis sebal. Cewek ini benar-benar sangat ingin membuatku bisa dipercaya pergi bersama Rifando tanpa mencurigai sesuatu. Dan Rifando tak mau ada salah paham lagi dalam kisah cintanya, dia pamitan izin ke pacar tercintanya untuk bisa pergi dengan sang sahabat. 

Oke, aku diajak bermain drama ini, aku siap dengan alurnyandan akan ikutan bermain peran di sini. Tapi aku tidak mau menjadi peran antagonisnya. Kalau aku jahat aku sudah merebut Rifando, karena kedekatan kami dengan cara-cara yang buruk. Namun, aku tak akan melakukan itu, masa depanku masih panjang hanya demi merebut Rifando jadi mengorbankan sesuatu yang besar.

"Jadi nggak sekarang, Doy? Yuk!" ajakku dengan semangat.

Cewek itu sedang terintimidasi dan ketakutan oleh kedekatanku dengan Rifando. Mari kita bermain sedikit untuk membuatnya jadi terancam karena sikapnya yang sok baik dan tulus itu. Pakai segala pura-pura mengizinkan Rifando main berduaan bersamaku.

Aku ikuti permainanmu, Nilla. Apa dia merasa percaya diri sekali bisa membuat Rifando bertahan?

"Ayo, Andah!" seru pemuda itu memandangiku aneh. Dia pasti curiga sama diriku yang tiba-tiba menjadi antusias padahal sejak tadi pagi aku menolak.

Aku bangun dari duduk langsung menarik tangan Rifando, saat kami menatap ke arah Nilla dia sedang memandang padaku dengan tatapan tak terbaca. Tatapannya seperti kesal tapi ditutupi.

"Makasih undangannya ya, Nill, aku pasti bakalan dateng kok," ucapku dengan senyuman sembarangan. Aku mengamati wajah Nilla yang semakin pucat pasi.

Kalo kamu bisa main-main bersikap sok baik sering ngajak aku berdekatan sama kalian, cuma sengaja mau buat aku cemburu, yaaaa sini bakal aku jabanin.

"Yuk! Kita jalan dulu ya, Sayang!" seru Rifando langsung mengajakku berjalan cepat keluar dari kantin FH.

Sembari berjalan belum jauh meninggalkan Nilla, aku yakin masih diperhatikan oleh cewek itu. Dengan sengaja aku memeluk pinggang Rifando. Cowok di sampingku itu merangkul bahuku sehingga kami sangat menempel. Aku kangen berjalan seperti ini dengan Rifando.


🌻🌻🌻






Fyi, cerita ini udah tamat aku selesaikan di tahun lalu, jadi apa pun yang terjadi tak bisa diganggu gugat plotline bahkan endingnya🤭




8 MEI 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top