13. Pentol lebih menarik

Entah mengapa sejak kejadian aku ribut dengan Rifando, aku seperti merasa lebih dipedulikan oleh Kelvin. Tadi pintu kamarku diketuk oleh seseorang, aku mengira ada tamu yang datang ingin menemuiku. Aku sudah gede rasa bahwa Rifando datang ke rumahku. Ternyata Kelvin ngajak aku buat turun ke bawah karena dia beli martabak. Saat sore tadi sudah satu jam berlalu Rifando tak lagi mengirimkan banyak pesan yang pastinya aku abaikan. Telepon darinya selalu aku tolak. Bodo amat.

Sekarang di malam hari aku memanfaatkan waktu yang sebelumnya sudah sibuk dengan tugas-tugas. Di dalam kamar aku hanya berguling-guling di atas kasur lipat ditemani oleh kipas angin. Aku sedang mendengarkan lagu sambil bernyanyi-nyanyi keras tak sadar suaraku kacau tidak peduli dengan nada lagi yang penting aku bisa meluapkan kekesalan dengan melakukan hal aneh ini. Lagu itu terputar dari speaker kecil yang bersambungan bluetooth dengan ponselku.

Semakin beranjak malam ini, aku tidak menerima pesan apa-apa dari Rifando, tadi sore setelah sampai rumah aku menerima banyak pesan dan telepon yang aku abaikan semuanya. Baguslah jika dia tidak mengirimkan pesan lagi, mungkin dia lagi pacaran. Bagus, semakin membuatku murka.

Kenapa aku bisa mencintai orang yang menyakiti hatiku terus-terusan, ya aku akui aku saja yang merasa tersakiti. Sebelum aku menyatakan cinta, cowok itu tak pernah menduga aku memiliki perasaan lebih. Namun setelahnya dia sudah tahu tentang perasaanku, mengapa kemarin dia tidak memihakku juga dengan alasan lainnya?
Mengapa dia tidak percaya padaku?

Aku memiliki skenario indah daripada kejadian menyakitkan tadi sore. Kalau memang Rifando percaya padaku, yang sudah bersamanya sejak kecil, dia tidak mungkin marah padaku saat aku baru bisa menemuinya jam 4 sore. Seharusnya dia bisa menanyakan dulu kenapa menunda sampai sesore itu, dan ada urusan apa dengan Pak Abraham di Lovaco. Bukan menuduh macam-macam marah dan merendahkanku karena mendengar cerita Nilla. Seharusnya dia bicara memastikan sendiri lalu menanyakan tentang cerita versi Nilla. Jika seperti itu pasti tak akan ada kesalahpahaman. Aku tidak perlu marah karena dia lebih memihak pada Nilla.

Tidak ada rasa yang lebih menyakitkan dibanding orang terdekat kita lebih percaya dengan orang yang sangat kita benci.

"Astaga!!!! Guling-guling kayak dugong!" Kelvin muncul di pintu melongo.

Aku yang sedang tiduran dengan tengkurap menjadi menoleh ke arah pintu dengan raut wajah kesal. "Masuk tuh ketuk pintu dulu!!" seruku yang merasa sedang tertangkap basah sedang melakukan hal aneh.

"Ngapain sih tengkurap gitu, lagi belajar roll depan? Lagi cosplay jadi meja?" tanya Kelvin serius.

"Daripada kayak dugong, aku kayak sloth tahu, Bang," jawabku mengingat hewan super lambat yang jalannya merangkak itu.

"Terserah apa deh, udah yuk turun daripada nggak jelas. Temenin nyanyi main sama Encis dan Achel di halaman samping," katanya sambil mengendikkan kepala.

"Payah, main gitar nyanyi sendiri emang nggak seru? Makanya ajarin tuh kucing-kucingmu buat nyanyi jadi punya temen buat nemenin!"

"Lah, lo gila apa? Buruan turun sebelum tuh pentol baksonya Abang kasih ke kucing!"

Aku langsung bangun dari posisi tengkurap tadi terkekeh sendirian membayangkan kucing-kucing makan pentol yang bulat-bulat kenyel. "Gilaan lo lah. HAHAHAHA."

"Lah, kamu lebih gila sekarang ketawa sendiri! Turun cepetan!" seru Kelvin dengan tampang ketakutan. Aku terkekeh sendirian masih membayangkan kucing makan pentol. Kelvin langsung beringsut maju ke depanku lalu memberikan jitakan kecil pada puncak kepalaku. "Jangan bikin aku takut, kalo kamu kesurupan karena di rumah cuma ada kita berdua."

"Jangan resek! Pergi nggak!" seruku sambil memasang pose ingin menendang dirinya.

Gara-gara kelakuan itu Kelvin segera kabur lari terbirit-birit. Aku di dalam kamar tidak langsung turun, aku pergi ke cermin untuk berkaca sebentar dan merapikan rambut. Saat mengingat di bawah ada makanan, aku segera buru-buru turun untuk menyusul pergi ke halaman samping. Di sana sudah ada Kelvin duduk di teras ditemani oleh Achel dan Encis yang sedang menggesekkan tubuhnya ke paha bapak angkatnya itu.

"Hey, buntel!" panggilku sambil menggendong Encis dan kepalaku langsung ditabok dengan kaki kanan sambil menjerit meow.

"Gue bukan buntelan," begitulan protesan si Encis sambil memandangiku.

"Berat banget gini ya si buntelan," kataku sambil menguyel tubuh gendut kucing itu. "Isinya kapuk apa lemak?"

"Ngomong sekali lagi gue tabok!" Encis meow marah.

"Siapa yang ngajarin jadi galak? Kelvin ya?" tanyaku langsung menerima jitakan pelan lagi dari Kelvin.

"Udah ketularan ya ngomong sama kucing?" cetus Kelvin sambil memetik gitarnya pelan-pelan.

"Kan kamu yang bilang biar lebih akrab sama Encis, kalo Achel mah kalem suaranya pelan." Aku membiarkan si buntelan Encis duduk di pangkuanku. Aku mengusap-usap kepalanya lalu membuat kucing itu merem-merem. "Heh, keenakan ya jadi ngantuk?"

Encis menoleh padaku sambil memincingkan mata. "Bacot!!" serunya dengan kata Meow (Bahasa kucing). Tiba-tiba dia bangun dari posisi rebahannya loncat turun dari pangkuanku. Encis masuk ke dalam rumah lalu disusul oleh Achel.

"Pentolnya mana?"

"Di ruang TV, sono ambil!!" seru Kelvin membuatku jadi mengerang malas.

"Gawat, pentolku diserbu sama kucing! Bakal rebutan pentol sama kucing!"

"Nggak jelas lu," celetuk Kelvin.

Aku malas-malasan bangun sambil tidak lupa menabok lengan Kelvin karena kesal banget. Sudah tahu aku mager dengan mengumpulkan niat besar demi mengambil sebuah plastik pentol aku berjalan menuju ruang TV. Tiba-tiba aku percaya jika suatu zaman nanti jangankan kucing makan pentol, bumi pun bisa dikuasai oleh kucing.

Aku melihat Achel berlari menuju pintu depan, aku mengejarnya. "Heh, Encis, Achel, mau ke mana? Nanti Kelvin marah-marah kalo kalian keluar dan ngilang! Ayah, Bunda, sama Rafel lagi pergi! Hey, kucing-kucing buntelan kentut!" seruku langsung mendadak diam ketika melihat di pintu depan yang terbuka ada Rifando yang sedang menggendong Encis dan Achel yang di kakinya sedang mengeong-ngeong.

Aku membeku sambil memegang plastik pentol, bertemu pandang dengan Rifando yang balik memandangiku juga, aku segera membuang muka secepat mungkin membalikkan tubuh untuk masuk ke dalam rumah. Mengingat masalah kami membuatku kesal dan ingin cepat pergi, mengalahkan rasa malu teriak-teriak ke kucing pakai Bahasa Manusia. Aku membawa plastik pentol itu menaiki tangga, mending masuk kamar.

Saat naik tangga aku mendengar sayup-sayup suara Kelvin yang bernyanyi dengan gitar. Sebuah lirik lagu yang cukup ngeledek aku. "Lalu mengapa kau masih di sini memperpanjang harapan." Suara Kelvin yang bagus itu membuatku semakin kesal. Lirik lagunya yang mengesalkan.

Aku tidak peduli keberadaan Rifando di sini untuk bertemu siapa. Aku tidak memberitahu Kelvin bahwa ada sahabat tercintanya yang datang. Aku ingin cepat-cepat naik saja ke atas, aku tak mau lama-lama di bawah takut berpapasan dengan cowok itu. Aku ingin menunjukkan bahwa seplastik pentol ini lebih menarik daripada dirinya saat ini, aku ingin makan pentol tanpa diganggu gugat.

Sebelum masuk kamar ada suara Rifando memanggil namaku dari arah tangga. "Andah, kita bicarain ini baik-baik."

"Nggak, aku nggak mau ngomong." Aku bicara tanpa menoleh padanya. Ucapanku sudah dibuat seketus mungkin.

"Oke, ya udah." Rifando diam sebentar. "Aku tunggu di bawah, dimakan aja dulu makananmu nanti nggak enak kalo kita ngomong dulu!"
Idih, siapa yang mau ngomong sama lo?

Heloooo!! Aku menoleh padanya namun cowok itu hanya melemparkan senyuman kecil tanpa beban. Rifando membalikkan tubuhnya turun ke bawah dengan cepat.

Aku tidak mau bicara lagi dengannya apalagi yang akan membahas tentang Nilla segala! Aku mau makan pemberian dari Kelvin dulu sebelum rasanya menjadi tidak enak gara-gara tidak napsu makan lalu terabaikan. Kasian pentolnya seperti aku, terabaikan!

Aku memakan pentol di sofa ruang TV lantai atas, depan kamar Kelvin, lalu mendengarkan suara Kelvin yang lagi nyanyi sambil bermain gitar. Aku mendengarkan cowok itu bernyanyi-nyanyi aneh, kalau dia bernyanyi berarti Rifando tidak diajak bicara dong? Lalu ke mana Rifando berada?

Aku penasaran ingin mengetahui Kelvin sedang bersama siapa di halaman samping dan mendengarkan seksama ke arah halaman samping. Tidak ada suara Kelvin ngobrol cowok itu masih bernyanyi-nyanyi sambil memainkan gitarnya.

"Ndah,"

Aku tersentak kaget ada suara yang mengejutkanku dari belakang. Ketika aku menoleh sudah ada Rifando berjalan menuju padaku. Aku mau membuang plastik bekas pentol ke tempat sampah khusus sampah kering, tetapi saat sadar bukan pada tempatnya aku mengurungkan niat. Memiliki kesempatan untuk kabur menghindari dirinya. Aku turun ke bawah untuk menuju ke tempat sampah di dapur.

Saat aku berbalik badan aku mendapati Rifando juga sudah ikutan turun ke bawah.

"Mau ngapain? Kelvin di halaman samping," tuturku padanya menunjukkan bahwa aku tak menerima kehadirannya.

"Aku lagi nggak mau ketemu sama Kelvin, mau ketemunya sama kamu," kata Rifando tetap tenang tetapi tatapan matanya sangat awas tajam.

Aku tidak mau di dapur ini akan membuat kenangan yang tidak bisa aku lupakan karena terjadi momen penting yang bersama Rifando. Aku memutar otak harus berbicara dengannya di mana tanpa membuatku menyesal karena membuat rumah ini traumatis. Mobil Rifando, kafe Tiramissyou, kantin FH, kantin Filkom, dan taman greek sudah menjadi jejak kenangan menyakitkan untukku. Apakah rumah ini juga akan menjadi tempat selanjutnya? Aku tidak mau rumah ini memiliki kenangan yang sedih bersamanya, misalnya ribut besar.

Aku pergi menuju halaman belakang dekat gudang dan sepetak tanah lapang yang biasa digunakan untuk kami dulu main-main, dan Ayah buat olahraga pagi. Gelap hanya ada satu buah lampu 5 watt dan ada suara jangkrik dari pohon tetangga. Semoga tidak diintip oleh hantu Kuntilanak.

"Kenapa ke sini?" tanya Rifando heran.

"Aku nggak mau dilihat sama banyak orang," kataku sambil menutup pintu belakang lagi.

Memang sih di rumah hanya lagi ada aku dengan Kelvin, karena Rafel, Ayah, dan Bunda sedang pergi ke Giant untuk lihat-lihat sepeda. Aku takutnya si Rafel yang berisik dan heboh itu mengganggu kami. Bocah yang suaranya kayak megafon masjid, bisa membuat satu RT bakalan tahu hal gosip terpanas.

"Oh, ya udah, kita enggak duduk?" tanya Rifando.

"Kenapa? Biar kalo emosi bisa berdiri, dan kita bicara berdiri kalo emosi bisa duduk?" tanyaku balik sambil melipat kedua tangan depan dada. "Lihat aja di sini tuh horror, aku nggak mau lama-lama. Udahlah mau ngomong apa sih?"

"Aku nggak mau ribut lagi kok," jawab pemuda itu menatapku dalam-dalam.

"Nggak bakalan nggak ribut, pasti jadi ribut," sahutku yang masih emosi dan ribut, dan bicara keras bentakin lawan bicara adalah pilihan terakhirku. Mana bisa aku tidak marah-marah dengan orang ini?

"Kamu kenapa sih jadi begini? Ini bukan kamu banget jadi emosian dan kasar. Aku nggak suka kamu bikin orang malu kayak gitu Ndah, kamu kasar banget sama Nilla."

Aku mendesis lalu menatap sinis padanya. "Kalo ke sini mau belain dia, terus bikin aku semakin terpojok karena tadi ngelabrak dia mending nggak usah bahas lagi deh. Ini satu lawan satu. Aku dan Nilla."

Dari caranya yang membahas tentang kelakuanku di kantin FIKOM tadi sore, pasti cowok ini ingin membahas diriku yang bar-bar pada Nilla. Bukannya mau menyelesaikan masalah yang hanya berurusan dengan kami. Kita punya masalah sendiri kenapa membahas tentang orang lain.

"Urusanmu bukan sama Nilla aja."

"Karena kamu pacaranya ini jadi urusanmu? Belain dia aja terus," cetusku pelan hanya ingin meluapkan kekesalan tetapi ucapan ini juga didengar oleh Rifando.

"Iya-iya, maaf. Aku nggak belain siapa-siapa, Ndah. Maksudnya, urusan kamu sama aku juga besar. Aku yang tadi main nuduh kamu, nggak suka lihat kamu di kafe kecil itu."

"Tadi apa jelas-jelas belain dia?"

"Aku cuma pengen kamu berhenti bentak-bentak dan bikin Nilla syok."

"Kenapa dia kaget lihat aku bisa marah ngamuk? Kamu juga?" tanyaku sebal. Pasti dalam diriku mengalir juga darah seperti Kelvin yang bisa meledak-ledak saat marah. Mengapa aku tidak sadar dari lama dan sok cuek bahwa aku bisa juga bikin orang takut dan agar tidak dipermainkan begini!

"Maafin aku yang tadi ngomong sama kamu macem-macem, bukan maksudku untuk nuduh. Aku nggak nuduh kan, Ndah? Ada bukti omongan dari Nilla dan juga aku lihat sendiri. Jadi, saat itu aku merasa aku benar sedang dapetin kamu yang ketemu dan terlibat sama dosen itu."

"Kok kamu membela diri sih?"

"Kalo kamu jadi aku pasti juga mikir yang sama, kan?"

"Iya-iya, okelah," jawabku teringat aku juga menilai buruk orang-orang yang akrab sama dosen itu. "Tapi kamu kan orang terdekat aku, kamu lebih percaya sama orang lain dibanding omongin baik-baik dulu sama aku."

"Iya, maafin aku. Aku nyesel kebawa kesal tadi nggak bisa memperlakukan kamu dengan baik di awal, sekarang jelasin masalah yang sebenarnya tentang kejadian itu dari sisi kamu. Aku udah denger dari sisi Sasa, tapi aku juga mau denger dari kamu," ucapnya dengan tatapan membuat aku yakin.

Kepalaku menggeleng kuat-kuat. "Kamu udah tahu dari Sasa kan? Ya udah aku nggak perlu jelasin apa-apa. Aku nggak mau. Bukan tugasku untuk cerita sama kamu, kalo kamu nggak percaya sama aku dan cerita Sasa ya udah terserah kamu."

Raut wajah kecewa dan sedih tak bisa disembunyikan dari Rifando. Dia mengerjapkan matanya tak percaya dengan kata-kata yang baru aku lontarkan. Aku tidak akan mungkin bisa menghilangkan rasa sakit melihat sendiri dia lebih percaya, memihak, dan membela Nilla.

"Maafin aku," kata Rifando sambil berusaha ingin memegang kedua bahuku.

Aku menolak dirinya dengan menepis tangan cowok itu. "Kali ini aku beneran kecewa, sakit hati, dan marah. Kemarin aku pengen ngasih tahu sesuatu, karena masalah ini keburu dateng muncul aku belum ada kesempatan buat cerita sama kamu. Karena kamu lebih percaya sama dia membuat aku ragu kamu bakal percaya sama aku apa enggak," kataku.

Ingat kan bahwa aku mendapati Nilla sedang bergosip sama teman-temannya di depan minimarket mengenai aku dan Rifando?

Rifando semakin membeku karena ucapanku. Dia memandang lurus padaku dengan sorot mata tajamnya. "Tentang Nilla yang kayak kamu bilang di kantin? Apa ini tentang kebohongan Nilla yang kamu sebut-sebut di kantin?" Rifando mengernyitkan dahinya saat dia sudah berhasil mengendalikan diri.

"Emang Nilla belum bilang apa-apa?"

"Nggak bilang apa-apa," Rifando menggeleng pelan. "Dia bilang apa ke kamu?"

"Kamu nggak nanya?" Bukankah tadi sore aku sudah jelas mengatakan sesuatu ada yang dirahasiakan dari Nilla tapi Rifando tidak menanyakan sendiri.

Rifando menggeleng.

"Kenapa? Kamu nggak tega nuduh dia? Setega itu bisa nuduh aku, tapi nggak tega nanya ke dia?" Aku sudah tertawa sinis.

"Aku mau tahu dari kamu dulu," jawabnya.

"Tanya aja sama dia, lebih bagus kalo dia mengaku sendiri dengan jujur."

"Nggak, aku mau tahu dari kamu lebih dahulu."

"Kenapa?"

"Karena kamu yang udah aku pilih, aku percaya sama kamu."

Jawaban dari Rifando membuat mataku jadi mengumpulkan selaput air keabuan. Agak sedikit membuat pandangan mataku menjadi berbayang. Aku menjadi teringat ucapan Nilla di depan Minimarket, benar kah mereka sudah selesai? Rifando memilihku? Jangan gede rasa dulu Andah, tadi Rifando jelas-jelas membela Nilla di depan semua orang.

"Nilla sebenarnya nggak sakit parah, kan?" Aku menahan sesak di dada.

"Bukannya kamu dulu percaya kalo Nilla sakit? Kamu yang bilang aku harus bertahan sama dia." Rifando lalu terdiam beberapa saat. "Kenapa sekarang kamu enggak percaya sama keadaan sakitnya Nilla? Apa alasannya kamu jadi nggak percaya. Kamu tahu keadaan dia, kenapa tadi bikin dia malu dan syok?"

"Mana? Kamu nggak percaya sama aku, kalo begini, udahlah, kita udah selesai ngomongnya," kataku menutup acara pembicaraan itu. "Tapi pesanku, hati-hati sama dia. Yang bisa jaga, ya diri kamu sendiri."

"Apa? Nilla kenapa? Kasih tahu aku dulu!" Cegah Rifando memandangiku penuh tuntutan.

"Nilla punya rencana buruk ke kamu. Dia berusaha mau mengikat kamu pake cara kotor, yang aku pikir nggak akan bisa berpengaruh. Pria bisa pergi tanpa beban, hahaha. Tapi aku ingat-ingat lagi, ini kamu, pasti bisa terjebak. Kamu nggak akan lari jika itu benar-benar kejadian. Aku cuma ngasih tahu, terserah mau percaya sama siapa!"

"Terjebak? Itu apa? Jelasin semuanya apa yang kamu tahu," tuntut Rifando.

"Nilla pengen jebak kamu dengan berhubungan seks. Dia akan bikin kamu nggak sadar atau lengah. Kamu candu bermain sama dia. Atau dia ingin bikin kamu punya skandal yang bisa bikin malu. Dia pengen menahan kamu dengan cara itu."

Reaksi Rifando jelas berang, dia mengatupkan rahang dengan mata membelalak. Dia tak bisa berkata-kata sesekali meneguk ludah. Dia mendesis dengan tangan mengepal menampilkan urat-urat kasar, lalu mengacak-ngacak rambutnya. Dia pasti meragukan ucapanku walau tak langsung segera mengeluarkan kata-kata tudingan menyalahkanku atau menuduhku tengah balas dendam balik memfitnah pacarnya. Aku lebih memilih dituduh langsung saja daripada difitnah di belakang.

Aku masuk ke dalam rumah meninggalkan Rifando tidak ada lagi yang perlu aku katakan. Seperti apa yang seharusnya sudah aku lakukan sejak lama, meninggalkannya. Aku menyesal sok peduli padanya dengan memperingatkan begitu, memangnya dia mau mendengarkan aku? Apa aku masih menyayanginya sampai peduli, sangat mengkhawatirkan dia bisa terjebak dalam rencana kotor Nilla. Aku tidak mau cowok itu jatuh pada Nilla. Dan, mungkin inilah salah satu bukti, aku masih selalu tak sengaja terkena dalam urusannya.

Aku mengenyahkan pemikiran itu, orang yang tidak mencintainya juga pasti akan melakukan hal yang sama. Memperingatkan akan ada bahaya pada orang terdekat. Ini hanyalah atas dasar kemanusiaan. Aku tidak mau menerima fakta kalau masih mencintainya, mengingat betapa sudah banyaknya luka yang dia torehkan.

Ya ya ya... Aku hanya peduli, sebagai orang yang mengenalnya. Aku harap ini yang terakhir kalinya aku sepeduli itu pada Rifando. Alasannya jelas, ya karena aku sudah tahu terlanjur tahu ada orang yang terancam akan dijahati. Siapa pun bisa menjadi korban.

Mengapa aku denial dengan fakta ini?

🌻🌻🌻


Question of the day:

Menurut kalian move on harus bersama dengan orang baru, kah? 🤔

Bagaimana kalo cara move on berdamai dengan masalahnya?


1 MEI  2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top