12. Harga diri

Nilla dan sekumpulan temannya baru saja duduk di meja yang tidak jauh dari pintu masuk kantin. Mereka terlihat sedang ngobrol dan tertawa keras. "Gila, dia udah nggak ada bagusnya ya nggak sih? Godain dosen biar nilainya bagus, kayak cakep banget aja? Memang dasarnya kegatelan deketin banyak laki-laki. Pacar orang, ngarep banget sama cowok yang udah nolak dia, dan sekarang dosen dipepet juga demi nilai. Heran deh harga dirinya udah rendah banget." Itu suara Nilla.

Aku datang ke meja mereka lalu menggebrak, suara keras hasil perbuatanku membuat semua orang menoleh pada kami. "Heh, enak julidnya ngomongin orang?" tanyaku dengan nada tajam.

Karena sang pelakunya adalah Nilla, aku menatap tajam hanya fokus padanya. Karena aku sudah tahu tentang rahasianya, bisa jadi kali ini aku tak akan ragu jika memiliki keinginan untuk mencekiknya. Tapi, otakku segera menyadarkan, jangan gila!!

Cewek itu langsung terlihat kikuk ketakutan. "Maksudnya apa ya, Ndah? Kok dateng marah-marah?"

"Ngomong apa sama Fando, hah? Ngomong apa lo!!!" seruku sudah marah banget dengan suara menggelegar mantul sana sini berkat desain ruang kantin.

Nilla meneguk ludahnya. "Aku cuma menyampaikan yang diceritain sama Kak Elkie aja kok," jawabnya gugup.

"Heh, jadi lo nggak denger sendiri obrolan gue sama teman gue?" tanyaku sudah di emosi tingkat tinggi kalau sudah bicara pakai lo-gue.

Nilla ngangguk pelan.

Aku mengamatinya aneh dan heran, kenapa kalau di hadapanku dia belagak pilon (sapi bloon), sok manis lembut, padahal bicara sama temannya dengan bahasa yang blak-blakan dan tertawa liar. Kenapa dia bertingkah sok gugup dan takut di depanku. Beneran gugup ketakutan atau pura-pura ya? Waktu dia melabrakku ujung-ujungnya selalu menjadi nangis mengeluarkan air mata dengan tampang polos tak berdaya. Jangan bilang dia sering cemas, kalau aku akan berbicara tentang fitnah ini ke Rifando? Idih, masa dia terancam? Tangisannya itu beneran takut atau cuma sok lemah!

"Mana yang namanya Elkie, gue mau nanya apa aja yang dia denger hasil ngupingnya! Apa sama isi ceritanya dengan yang lo kasih tahu ceritanya ke Fando! Seenaknya kalian bikin bahan gosipan mentah dan salah. Kalo mau gosip tuh yang sesuai fakta! Kalo salah itu jadi Hoax!" seruku. Aku memperhatikan sekeliling mendapat tatapan dari banyak orang di sekitar.

Tapi aku tak peduli malu saja sekalian, mungkin lain waktu aku tak bakal menginjakkan kaki di kantin ini hingga lulus. Gara-gara Elkie dan Nilla, aku dan Sasa jadi dituduh yang bukan-bukan! Aku tidak terima mereka menuduh kami seperti itu.

"Kata dia, saat kalian nyebut nama Pak Aham langsung pada nguping dia dan temannya. Kak Elkie bilang kalian ngomongin nilai matkul dosen itu. Terus ngechat buat ngerubah nilai dengan cara yang begitu-"

"Begitu apa? Ceritain jelasnya si Elkie itu ngomong apa? Kalo perlu suruh dia ke sini!" seruku sambil melipat kedua tangan depan dada. "Apa bilangnya lewat chat? Sini gue mau baca!"

"Eng, pokoknya dia bilang kalian mau nemenin dosen itu biar nilainya bagus. Ketemuan dan minta ditemani."

"Kurang ajar! Mana ada, gue sama temen gue nggak ngomong kayak gitu!" Aku sama sekali tidak percaya bahwa si Elkie yang mengolah informasi hasil ngupingnya itu.

"Tapi, memang begitu faktanya, kan? Aku lihat kamu sama dosen itu duduk dan keluar bareng dari kafe kecil depan kampus. Fando juga melihat, responnya dia langsung pucat dan blank gitu! Kecewa sama kelakuanmu."

"Lo nggak tahu yang sebenarnya! Emang kenapa kalo ketemu dan makan bareng? Lo mau jatohin gue gara-gara imej tuh dosen yang udah terkenal jelek?" Aku masih melotot membuat Nilla menjadi semakin menunduk dan ketakutan.

"Ya biasa aja, jangan ngamuk dong kalo emang beneran! Ngaku aja biar selesai!"

Aku mendorong bahunya semakin kesal gara-gara ucapan cewek itu. "Dasar uler, bisa-bisanya ya lo bikin gosip! Gue marah karena itu nggak bener ya! Kalo itu bener gue kan nggak bakal koar-koar didengar banyak orang gini!"

Gara-gara kelakuanku orang di sekitar mulai bergerak takut aku semakin ganas mengamuk dan kemungkinan menjambak cewek menyebalkan ini. Aku ingin menjambak tetapi aku menahan, jelas itu akan mempeburuk keadaan. Walau sangat ingin.

"Bukan aku dong, Kak Elkie itu yang-" Tiba-tiba Nilla bangun dari duduknya untuk mengampiri seseorang.

Aku tersentak mengira bahwa yang muncul adalah orang yang bernama Elkie itu, kalau wanita itu muncul akan bisa diselesaikan di sini. Nyatanya yang muncul adalah Rifando. Aku mendecak kecewa, sebab bukan Elkie, masalah kami tak akan selesai.

"Ndo, tolongin aku diamuk sama Andah," ucap Nilla sambil memeluk lengan Rifando seerat mungkin terlihat sangat ketakutan. Cewek itu menangis meminta perlindungan juga pada Rifando. Suara dengungan di kantin makin riuh, dan beberapa suara menyebut nama Rifando. Aku mendecak karena kepergok melabrak Nilla oleh cowok itu.

Aku menatap tajam pada kedua orang itu. "Mau nolongin dia beneran?" tanyaku tertuju pada Rifando.

"Kamu ngapain, Ndah?" Suara Rifando menajam padaku.

Aku mengendikkan dagu ke Nilla. "Cuma nanya sama dia apa yang udah diceritain ke kamu," jawabku ketus.

"Maafin aku yang tadi-" Nada suaranya menjadi rendah penuh rasa bersalah.

"Nggak usah minta maaf, bukan salahmu, tapi nih cewek! Ya udah panggil si Elkie mana dia? Kan dia sumber utama yang nguping obrolan gue sama temen gue," kataku melotot pada Nilla.

"Ndo, tolongin dong tenangin si Andah," kata Nilla sambil terisak masih menangis. "Aku takut syok dan pusing lagi kayak waktu itu dibentak Andah."

Aku memperhatikan tangan Rifando yang balas merangkul lengan Nilla menenangkan gadis itu yang terlihat sedang syok dan lemah banget.

"Ndah, udah-udah, nanti kita omongin baik-baik," jawab Rifando menatapku dengan sorot memohon.

"Kamu tahu nggak kalo dia udah sering bohong, aku nggak nyangka kamu juga jadi belain dia!" seruku menahan napas yang berat dan mata berkaca-kaca.

"Aku nggak suka ya kamu mempermalukan orang lain begini," kata Rifando menatapku tajam.

Aku berusaha tersenyum walau jatuhnya menjadi seringai ngeri. Walau aku tersenyum, hatiku sakit banget saat ini melihat Nilla yang ditenangkan, dilindungi, dan ditemani Rifando di sisinya. Sedangkan aku yang sedang emosi ini harus berusaha menutupi rasa malu dan kekesalan sendirian.

Aku menggigit bibir, tanganku terkepal kuat-kuat. "Ngomong ke dia, semua kebohongan lo!" seruku sambil menatap ke Nilla. "Ngaku sama dia semua kebohongan lo kalo berani!"

"Andah, udah cukup! Andah!" seru Rifando sambil meringsek maju menuju padaku. Pemuda itu kini berdiri di depanku sambil menatap tajam marah. "Kamu tahu kan kalo dia sakit? Aku mohon tenang, jangan-"

Lagi-lagi aku tertawa sinis dan miris. "Sakit? sakit apa? Orang sakit kok caper dan minta dikasihani! Dia penipu, udah bohongin aku dan juga kamu! Nggak tahu ya? Kasihan!!" Aku bicara dengan nada dibuat sesantai mungkin. Tenang, tajam, dan penuh makna. Suaraku juga dibuat sepelan mungkin agar obrolan ini hanya kami yang mendengarnya.

"Andah, kamu jangan ngomong begitu. Jahat banget." Rifando mendesis memandangi tepat di kedua bola mataku dengan tatapannya yang tajam, berang, dan kecewa.

Aku menggigit bibir tanpa sadar kalau sedang dalam kondisi yang panik dan cemas. "Kamu berubah, udah nggak bisa mikir sehat, hah? Hati kamu udah buta?" tanyaku menatap tajam.

Tentu saja Rifando terlihat syok berat, lantaran aku sedang ngamuk bicara sadis. Mungkin ini yang terparah selama kami saling mengenal. Pria itu raut wajahnya sangat terluka aku katain begitu. Tidak tahan lagi lama-lama di situasi ini aku memutuskan mengalah pergi duluan.

"Eh cewek, gue kasih tahu yaa! Sex doesn't make him stay!" seruku karena aku tak bisa mengeluarkan kata-kata lagi. Saat mengatakannya pandangan mataku lurus menatap lekat tajam penuh makna pada Nilla.

Sorot mata Nilla berubah menjadi aneh saat aku mengatakan hal itu. Pupil matanya melebar dengan mulut menganga sedikit. Aku mengumpulkan sekuat tenaga untuk bergerak pergi menerobos Rifando dan Nilla. Tentunya mengabaikan para penonton mahasiswa fakultas sebelah.

"Andah, kamu ngomong apa barusan? Apa maksudnya?" Suara teriakan Rifando tak mampu membuatku berhenti dan menoleh.

Hatiku sudah sakit banget atas kejadian ini. Aku mempercepat langkah menjauhi bangunan kantin itu. Aku menjilati bibir lalu mengesap lidah yang rasanya sudah menjadi aneh. Amis darah hasil gigitan bibir dalamku. Aku mendadak merasa jijik dan enek karena rasa darah yang terasa di lidah. Biasanya aku menggigiti bibir tanpa mengesap rasanya.

Saat aku melihat ada sebuah toilet perempuan aku mencari westafel lalu membuang isi mulutku, aku melihatnya langsung menyalakan keran air, lalu berkumur-kumur. Pantas saja di lidahku terasa amis darahnya sangat pekat. Cukup banyak darah yang keluar dari mulutku. Aku menjadi amat gelisah dan jijik langsung menyiram dengan air sebanyak-banyaknya dan berkumur.

Di dalam toilet aku sandaran pada dinding dan menelepon seseorang. "Abang, jemput aku di depan toilet perempuan gedung A Fikom."

"Aku lagi sama Nat-"

"Vin, aku mohon dateng, aku habis lihat darah." Mataku sudah berkunang-kunang.

"Oke, tunggu."

Aku sudah pusing saat ini dengan pandangan sudah menjadi tidak fokus, aku keluar dari toilet dan mencari kursi koridor pinggir koridor di sekitarnya. Tidak lama setelah aku duduk sudah lemas Kelvin muncul sambil menelisik seluruh tubuhku.

"Ndah, kamu nggak apa-apa? Mana yang ada darahnya? Darah di mana? Apa kamu berdarah? Mana yang berdarah?"

Aku menunjuk bibirku. "Tadi gigitin bibir."

"Jangan lagi kalo gitu, udah tahu kamu nggak bisa lihat darah! Kenapa nggak biasanya gigitin bibir? Kamu lagi cemas ya sampe gigitin bibir, udah dibilangin jangan kebiasaan gigit bibir lagi. Kenapa kamu ada di sini?"

"Pulang yuk."

🌻🌻🌻

Sesampainya di rumah sudah sore, aku mengempaskan tubuh ke sofa ruang tamu sedangkan Kelvin sedang meletakkan sepatu di rak. Aku masih ingat betapa menyakitkannya saat Rifando lebih membela Nilla dibanding diriku saat di kantin tadi. Memang kelakuanku sangat kasar karena nyemprot Nilla di depan umum, aku inginnya bicara berdua saja tapi kesempatan yang ada tadi hanya berada di kantin. Aku juga tak yakin bisa bicara baik-baik dengannya. Emosiku sudah meledak tak tertahankan lagi karena kelakuan cewek itu.

"Nilaiku di matkul Pak Abraham dapet D, tahu kan gosip tentang dosen itu?" Aku memulai curhat dengan Kelvin.

Cowok berambut belah pinggir itu menoleh sambil menatapku serius. "Hah? Yang bener? Kamu juga korbannya? Ndah, terus gimana? Yakin cuma berdarah karena gigitin bibir?" Matanya bergerak tajam sangat resah.

"Yang kejadian darah tadi bukan karena dosen itu. Ini awalnya gara-gara nilaiku. Nilla bikin gosip, tapi katanya itu dari Elkie, dia katingku anak Hukum juga. Elkie denger aku sama Sasa ngobrol di kantin. Aku belom tahu apa si Elkie jujur atau Nilla yang ngolah beritanya jadi gosip nggak bener."

"Gosip?" Kelvin semakin bingung.

"Nilla bilang aku nemenin dosen itu makan biar nilaiku dirubah. Apa aku kelihatan semurah itu? Rifando lebih percaya sama dia! Aku kesel banget jadinya berdobel hari ini," keluhku.

"Lah, sialan."

"Tapi mereka memang punya bukti karena lihat aku sama dosen itu di kafe Lovaco. Tapi di sana aku nggak nemenin dia makan atau apalah yang kesannya romantis dan murahan! Kita cuma ngobrolin nilai dan ada perjanjian, dia mau ganti nilaiku."

"Apa? Kamu mau apa? Perjanjian apa, Ndah?" Seketika Kelvin panik sampai memajukan tubuh dan matanya melotot nyaris keluar. "Jangan sembarangan sama dia!"

"Dia bilang nilaiku akan diubah jadi B," kataku sambil setengah melamun dan disela oleh Kelvin yang lagi bawel nyerocos mulu.

"Itu dosen Hukum udah cukup terkenal di kalangan anak organisasi, kalo di kalangan anak BEM Teknik terkenalnya sebagai dosen jual beli nilai dan dosen mesum. Ndah, kamu ngapain aja sama dia di sana?" Tuhkan dari wajah Kelvin yang penuh selidik dia ingin terus-terusan mengetahui apa yang aku lakukan dengan dosen Pak Abraham itu di Lovaco.

"Dia tahu aku anak jurnalistik yang punya kolom Suara Tanpa Nama, dia takut muncul di sana dan memintaku nggak angkat kasus dia. Cuma itu!"

"Ah, leganya! Aku kira kamu diperlakukan sama kayak yang lain. Aku takut kamu kenapa-napa sama dia! Itu dosen kayaknya udah terkenal banget di balik layar, di depan sih mahasiswa kayak biasa-biasa aja. Cerita di belakang bikin miris."

"Aku juga nggak rela kalo Sasa diseret dibilang nemenin tuh dosen makan juga, padahal Sasa ngamuk nggak mau dan langsung nyamperin ke ruang dosen."

"Aku nggak nyangka Nilla bisa bikin kalian jadi begini. I mean, gila jahat banget berani bikin gosip kayak gitu!" Kelvin berseru dengan nada tak habis pikir dan raut wajahnya menganga begitu. "Sialan, Rifando kenapa lebih percaya sama dia?"

"Abang percaya kan sama aku? Bukannya kita nggak intropeksi diri sampe protes ke dosen transparansi nilainya, tapi yang tahu kemampuan kita, dan materi yang dikuasai diri sendiri kan? Bukan hanya aku yang nggak terima-Sasa bilang bahkan harusnya nilai aku bisa B," sahutku dengan hati sakit merasa diperlakukan sangat subyektif.

Belum lagi teringat kejadian saat aku ribut sama Nilla, tapi cowok itu lebih memilih menenangkan Nilla. Itu membuktikan bahwa perasaan dan cinta Rifando masih seutuhnya untuk Nilla, walaupun katanya cowok itu sudah berusaha memutuskan hubungan. Hubungan yang dipaksakan berakhir putus tetapi mereka masih saling mencintai. Ah, romantisnya!

"Aku percaya," Kelvin menarik napasnya sesaat.
"Jangan dengerin orang lain yang menganggap kamu buruk."

"Meski aku marah-marah karena kesel, apa aku bakal dianggap semakin buruk?"

"Kamu khawatir sama pandangan orang lain yang ngeliat syok saat kamu ngelabrak Nilla? Kamu takut Fando nggak percaya lagi sama kamu? Takut dia menilai kamu emosian dan kasar?"

Aku diam tidak tahu harus bagaimana karena aku memang berpikir seperti itu. Masih ada yang mengganjal dalam pikiranku karena disebabkan tentang Nilla. Aku hanya ingin mengingatkan Rifando, bukan meyakinkannya untuk percaya dengan ucapanku. Jika suatu hari dia mengetahui hal tentang Nilla, dia tidak akan terlalu terkejut. Dia akan menjaga diri. Jika saja jebakan Nilla tak akan pernah terjadi saat Rifando lebih waspada.

"Lawan mereka-mereka yang ngomong hal buruk tentang kamu, lawan juga sama ucapan yang kasar. Karena ucapan mereka yang nyakitin hati kamu nggak akan sebanding dengan apa pun sakitnya. Kamu bakal inget terus Ndah, jadi mending kamu lawan dengan kasar juga sekalian," ucap Kelvin dengan segala prinsipnya. "Jangan sok-sok baik, sok polos, dan pasrah kalo disakitin sama orang! Marahin aja, semprot balik, dan keluarin semua kekesalanmu!"

Aku menganga mendengar ucapan Kelvin, jadi begini rahasianya menjadi sosok manusia yang tegas, tajam, dan menyeramkan?

"Jadi, aku udah bener kan buat marahin Nilla?"

"Itu baru adek gue!" seru Kelvin membuatku jadi merinding.

Aku meresapi kata-kata Kelvin tadi, sangat berbanding terbalik dengan Rifando yang tadi menyuruhku agar berhenti menyakiti hati Nilla. Dulu siapa yang pernah menyuruhku agar melawan orang yang menyakitiku ketika aku masih remaja kecil.

"Jangan takut kalo digertak sama Monika lagi!"

"Lain kali bilang ya, kalo dilabrak sama orang yang nggak suka sama kamu, apalagi penyebabnya adalah aku."

"Lawan mereka, jangan takut. Percaya diri kamu harus tinggi, karena aku akan selalu percaya sama kamu. Percaya karena kamu selalu punya aku."

Sekarang aku salah sudah berusaha berontak membela diri? Aku bangun dari duduk memutuskan lebih baik masuk kamar saja untuk istirahat. Getaran panjang ponsel dari dalam tasku terus terasa tak berhenti.

🌻🌻🌻



Saat baca ulang feelku masih berasa di momen keributan ini, jadi update lagi yak aku greget pengen cepet selesai





29 APRIL 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top