11. Percaya siapa?
Menurut gosip usia Pak Abraham masih 30 tahunan, belum sampai 36 tahun. Dulu saat aku dan teman-teman masih anak baru sudah tahu tentang gosip dosen ganteng itu karena sering wara-wiri di koridor kampus. Berkat informasi dari Viska dan Tika yang gaul sama banyak kakak tingkat, keduanya tahu bahwa pria itu bernama Pak Abraham. Menurutku, ya benar dosen ini ganteng banget, tetapi sikapnya juga ngeselin banget. Pilih kasih. Random. Galak. Perfeksionis. Sombong.
Aku diminta bertemu dengannya untuk datang sendirian saja di sebuah tempat makan dekat kampus yang bernama Lovaco. Sesungguhnya aku tak tahu bahwa ada tempat makan itu. Berkat Google Maps aku menemukan tempat makan itu berada beberapa ratus meter dari kampus dan letaknya berada di pinggir jalan. Tempatnya sangat kecil nyaris tak mudah disadari banyak orang. Kecil banget lebarnya hanya sekiranya satu buah pintu dan dua buah jendela kaca. Tempat parkirnya juga kecil hanya muat motor. Batas antara teras tempat makan dengan jalanan depan cukup dekat, tidak sampai dua meter. Benar saja tempatnya tak populer amat saat aku sudah datang tidak ada pengunjung yang lain.
Aku memilih meja yang paling dekat dengan pintu dan kaca, supaya jika terjadi sesuatu aku bisa cepat kabur. Aku tak yakin juga sih dosen itu ingin melakukan sesuatu padaku. Aku tak tahu apa yang ingin dia bicarakan di sini. Aneh. Apakah ini adalah seperti yang Sasa bilang? Jangan-jangan Sasa menolak lalu aku yang dipaksa menemaninya makan bersama? Ihhhh!
Aku menunggu, tanpa memberi tahu siapa pun, sesuai permintaan dosen ini. Normalnya ini pertemuan bimbingan antar dosen dan mahasiswi biasa. Masalahnya nilaiku berada di tangannya kalau bertingkah membuatnya kesal bisa jadi nilaiku menjadi E. Nilai dosen subjektif.
Masih menunggu dengan gelisah. Tidak lama dosen itu muncul di pintu lalu berjalan sebentar perlahan duduk di hadapanku. "Hai, Andara!"
"Selamat siang, Pak," jawabku dengan suara aneh. Takut. Menghadapi dosen tua, dingin tanpa senyuman masih membuatku sedikit aman dibanding dengan dosen centil.
"Saya nggak akan lama bicara sama kamu di sini," katanya dengan nada datar dan menatap malas-malasan padaku. "Jawab saja, kamu mau ke sini dengan perasaan curiga ya? Apa kamu udah lama menunggu kesempatan ini?" Matanya menyipit dengan senyuman misterius.
Aku diam saja mencari kata-kata agar bisa sopan tanpa harus frontal. "Kalau tidak lama kenapa di sini, Pak? Kita bisa bicara di ruang dosen atau daerah sekitar kampus yang lebih dekat." Aku berpikir ini sangat aneh mengapa dia mengajak aku bicara di luar kampus agak menjauh, padahal di dekat kampus ada banyak tempat dan terbuka. Ya, tahu sendiri lah Ndah, seantero mahasiswa sudah tahu gosip miring dan jelek tentang dosen itu. Tapi aku cemas juga kalau kelihatan berduaan dengan dosen ini di depan mata orang lain. Bisa dicap buruk!!
"Saya memiliki perasaan kalo kamu sengaja menggiring saya biar kita bisa bertemu di luar. Nilai kamu apa? Saya lupa," kata dosen muda itu datar. Sepertinya dia mau langsung bicara membahas nilaiku saja.
Aku menggerutu ucapannya. Geer banget. Jangan bilang dia gede rasa mengira aku naksir jadi menunggu kesempatan berdua dengannya? Idih, sok ganteng! Sok terkenal! Nggak semua cewek tertarik padanya!!
"Nilai saya D, apa benar itu nilai hasil kerja tugas saya, Pak? Tolong beritahu saya, apa yang kurang dalam materi dan presentasi saya agar bisa ditambahkan lagi kekurangannya seperti semester lalu."
"Oh D, kamu di kelas saya udah beberapa kali ya? Masih untung semester lalu saya baik, bisa direvisi." Dosen itu menggerutu terlihat kesal. Aku diam saja menunggu Pak Abraham berbicara lagi karena dia masih terlihat mikir-mikir. "Beneran kalo kamu anak Jurnalistik? Memegang bagian media cetak majalah kampus alias Media Undita?" tanyanya langsung menohokku.
Oh.
Aku mengangguk. "Dulu Pak, sekarang sudah keluar."
"Ya udah, nanti nilaimu saya ubah jadi B."
Aku menaikkan sebelah alis. Apa maksud dosen ini langsung mengubah nilaiku dalam beberapa detik? Semudah itu? Betapa mudahnya dia dalam membolak-balikan perasaan mahasiswa dengan nilai tugas? OMG!
"Jadi, sebenarnya nilai kemampuan saya B atau D, Pak?"
Dosen itu tersenyum aneh. "Orang yang punya kemampuan lebih dan baik sama saya, misalnya akrab dan ramah akan saya kasih nilai bagus. Tahu nggak apa yang penting di dunia ini? Ya relasi, bukan sekadar kemampuan otak saja yang harus bagus."
Aku merasa tak ada yang aneh dengan kemampuan bersosialisasiku. Masa hanya karena aku tak beramah-tamah dengannya langsung dinilai buruk? Lagian bukannya sejak awal dia yang tak menganggapku penting amat alias ogah ngelirik bocah aneh kayak aku? Kalau di jalan aku berusaha menyapa dan mengirimkan tugas revisi dengan sebaik-baiknya. Mengirim tugas dengan surel beserta template pesan yang sopan. Kurangnya apa? Kurang cakep??
"Oh, begitu ya Pak, jadi komunikasi penting ya buat penilaian," kataku dengan nada agak terdengar menyebalkan.
"Makanya kita bertemu, harus ada komunikasi sesuatu. Saya tahu kamu anak media, jangan munculin cerita tentang saya ke kolom majalah itu. Paham?"
Oke, jadi alasan dia membicarakan hal ini di luar kampus agar tak ada yang mendengar bahwa dia takut dibocorkan kelakuannya oleh si anak media pers kampus. Pantas saja aku dibawa-bawa keluar ke sini. Dia juga mengira aku menggiringnya agar bertemu.
"Jadi begitu, tapi saya sudah--" jawabku tak tahu bagaimana mengatakannya tanpa sinis. Bagaimana caranya agar aku tetap tenang dan sopan?
"Kasus yang kamu alami sendiri, mau pun yang menyebutkan nama saya," katanya cepat tanpa mendengarkan aku dahulu. "Anggap saja angin lalu!"
"Ya saya bisa saja, Pak, tapi untuk kasus yang dialami oleh orang lain saya tidak bisa. Saya sudah tidak di sana," ucapku yang memang sudah lama meninggalkan media kampus.
"Ya sudah kalau begitu. Saya juga baru tahu tadi kalau kamu anak media," ujarnya membuatku ingin menyeringai sinis.
"Saya yakinnya bagaimana kalau nilai saya udah diubah, Pak? Kalau ada tugas remedial, kalau KHS nanti muncul nilai saya tetap hancur, saya kan bisa memiliki bukti tugas. Tapi ini tidak ada bukti revisi saya."
"Sudahlah. Banyak kok nilai yang udah saya ubah lagi di hari ini. Oh, kamu sudah tidak di Jurnalistik itu! Saya kira kamu akan menjebak saya. Kamu tidak kelihatan seperti anak yang aktif sih jadi saya baru tahu kamu anak Media Pers Kampus. Dulu."
Hhhh, aku menggeram di tempat. Model apa dosen ini? Narsis banget! Kalau memang dia tak tahu aku anak media, makanya dia berani bermain-main dengan nilaiku sejak awal?
"Kenapa sistem penilaian saya begini? Agar nggak ada Inflasi Nilai. Kamu tahu di negara maju di Asia itu adanya sistem kelompok nilai? Nggak semua murid dapat nilai A walau hasil ujiannya sama bagusnya."
Aku memincingkan mata, halah, ini mah akal-akalan saja biar bisa menjual nilai pada anak yang dipeta-petakan. Si mahasiswi cantik dan ramah nilai A dan B, si cantik tapi tidak ramah mendapat C, si anak tak dikenal mendapat D, dan mahasiswa cowok tidak jelas kelasnya auto E.
Malas mendengarkan nasihat Pak Abraham yang membahas pentingnya relasi dalam komunikasi. Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela, aku baru saja melihat Rifando lewat di jalanan depan bersama dengan sosok perempuan. Pemuda itu juga sedang melihat ke arahku ketika aku melihat ke arah luar jendela. Kami bertatapan mata sesaat kemudian cowok itu tetap berjalan saja tanpa memunculkan reaksi wajah apa pun.
Aku sempat membalas pesannya sejak tadi untuk merubah janji jam bertemu kami dan belum mengecek kembali isi pesan balasan darinya. Gara-gara nilai ini, fokusku hanya pada nilai dan perjuangan mendapatkan balasan dosen. Aku meneguk ludah pelan-pelan. Teringat kami memiliki janji untuk bertemu.
Kapan aku bisa segera keluar dari tempat ini tanpa izin duluan, pasalnya nilaiku benar-benar masih di tangan Pak Abraham yang sangat mencintai budaya sopan, akrab, dan keramahan ini?
🌻🌻🌻
Usai menyelesaikan masalah nilaiku bersama Pak Abraham, aku segera menghubungi Rifando berkali-kali tetap tidak diangkat olehnya. Aku juga mengirimkan pesan banyak tak ada yang dibaca. Aku segera ke Fikom untuk mencari pemuda itu, namun di sana tak terlihat sosoknya. Aku teringat tempat lainnya, tadi Rifando sedang sibuk dengan pertemuan organisasinya, pasti berada di dekat area gedung para sekretariat. Gedung yang khusus para sekre HiMa, UKM, dan organisasi lainnya.
Aku mencarinya sambil melihat-lihat dari bawah ke atas dari tengah lapangan area sekre, siapa tahu ada sosok cowok itu sedang berada di koridor. Aku sama sekali tidak mendapat kabar tentang di mana keberadaan dirinya sampai saat ini. Aku mengedarkan pandangan mencari-cari dirinya tetapi tidak kelihatan wujud pemuda itu. Ingin menceritakan hal yang tadi pagi sempat tertunda. Tentang Nilla yang berbohong tentang dirinya selama ini. Aku tak mau cowok itu dibohongi lebih lama oleh Nilla. Aku kesal selama ini dimanipulasi agar kasihan, walau aku tak baik amat. Masih suka memakinya. Aku pernah dengan bodohnya mengalah agar dia tetap bersama Rifando karena dia mengaku sakit keras. Ini pasti telat karena Nilla sudah menemuinya duluan. Cewek yang sedang bersamanya tadi jelas adalah Nilla.
Tanganku disentuh oleh seseorang dari belakang, saat aku menoleh Rifando sedang menatapku tajam sambil mengamit lengan kananku. "Ke mana aja baru muncul dan bales pesanku? Habis makan siang bersama dulu?" Suaranya menjadi dingin dengan sorot mata menusuk. Marah.
"Hei, aku cariin kamu ke mana-mana. Maaf, tadi nggak bisa ketemu jam 2. Kamu bilang belum bisa keluar ruangan rapat sampe jam 3. Aku bales pesan minta ketemu jam 4, tapi kamu nggak bales," kataku yang jam 2 siang tadi sedang pusing-pusingnya memikirkan nilai.
"Ke mana jam 3, kenapa minta ketemunya jam 4?" Rifando bertanya dengan nada menyebalkan.
"Aku—"
"Habis ketemu berdua sama dosen itu? Nilla bilang sama aku. Tadi siang Elkie, kakak sepupunya yang anak Hukum itu ngelihat kamu dan temenmu itu di kantin lagi ngomongin nilai matkul dosen 'paling terkenal'. Ngomongin nilai yang katanya bisa diubah pake cara menjilat alias deketin dosennya."
Jantungku menjadi berdetak tak karuan karena cowok itu berbicara tentang kejadian nilai jelekku dan obrolanku dengan Sasa di kantin. "Tunggu," selaku dengan kening berkerut heran. "Mereka bilang apa?"
"Kamu dan Sasa nemuin dosen itu kan nemenin makan biar nilainya diubah jadi bagus. Ternyata saat tadi aku sama Nilla nyari tempat fotokopi ngeliat kamu sama Pak dosen itu. Aku tahu itu dosen udah terkenal kayaknya di semua kalangan mahasiswa. Nggak aku sangka Ndah, kamu orang terdekatku juga ngelakuin hal itu."
"Kamu lebih percaya sama mereka dibanding aku?" tanyaku berusaha tetap tenang, padahal sudah mendidih di ubun-ubun.
"Aku udah lihat sendiri. Itu dosen udah terkenal bukan cuma di kalangan anak jurusan FH. Kamu beneran pake cara kotor itu buat ngerubah nilai? Dia sering jual beli nilai bahkan pernah seks sama mahasiswi yang ngejar nilai A."
"Parah, kamu jahat banget lebih percaya sama Nilla dan Elkie. Aku nemuin dosen itu cuma buat mastiin transparansi kekurangan materi tugasku aja. Nilaiku dikasih ngasal sama dia tanpa penilaian jelas, aku cuma minta penjelasan keadilan. Aku nggak minta apa-apa buat perubahan nilai kayak yang digosipin banyak orang! Aku nggak kayak yang kamu bayangin!" Aku sudah emosi dengan napas dan mata menjadi panas gara-gara kesal. Hari ini aku sudah dibuat kesal berkali-kali oleh banyak orang.
"Hhh—" Rifando kemudian diam saja seperti sedang menahan kekesalan. Dia terlihat gusar mengacak rambutnya dengan mengembuskan napas kasar. Mendengkus.
"Aku kira kamu bisa bantu aku, dengerin ceritaku saat kita ketemu. Ternyata kamu nggak percaya sama aku! Sekali kamu nggak percaya, nggak usah percaya lagi. Aku kecewa, beneran marah sama kamu kali ini. Kamu udah nuduh aku rendahan banget."
Perasaanku sudah kacau balau sejak tadi siang ditambah Rifando yang ikutan memarahiku tanpa bertanya memastikan terlebih dahulu. Iya, memang dia benar tengah melihat langsung dengan mata kepala sendiri bahwa aku sedang duduk bersama Pak Abraham di Lovaco, tetapi kan aku tidak seperti yang dia duga berkat cerita dan gosip-gosip tentang dosen itu.
Aku juga pernah menuduh cewek-cewek yang dekat dengan Pak Abraham karena gosip miring itu. Aku sendiri juga sering berpikiran negatif dengan mereka yang akrab dan suka duduk-duduk bareng bersama dosen muda itu. Aku mencibir Tika dan Viska yang dekat sama Pak Abraham. Kini aku berada di posisi sebagai orang yang dituduh karena bertemu di 'suatu tempat'. Kena karma kau, Andah!!!
"Jadi, itu nggak benar? Maaf, aku salah bicara nyinggung kamu tadi. Jadi, gimana yang sebenarnya?" tanya Rifando menatapku menyesal.
"Auah! Itu udah jelas! Terserah, kamu nggak percaya sama aku, buat apa aku ngomong ulang? Itu hal yang nggak mau aku jelasin sampe dua kali. Tanpa aku jelasin harusnya kamu bisa sadar mikir sendiri. Siapa yang harusnya kamu percaya?" seruku sudah emosi banget jadi nyerocos panjang lebar.
Aku memutar tubuh ingin pergi dari hadapannya. Baru saja direndahkan oleh orang yang dekat denganku sudah selama itu. Rifando bukan orang baru di hidupku, mengapa dia lebih percaya dengan gosip dan penglihatan yang belum jelas.
"Andah!!!"
Tidak usah pedulikan dia. Aku tak menggubris panggilannya. Aku tak peduli dia percaya atau tidak padaku. Rasanya kesal banget dia lebih percaya dengan cerita Nilla. Aku menjadi lupa untuk mengatakan ada hal penting tentang Nilla demi kebaikannya.
Aku masih berada di sekitaran gedung Fikom, berusaha lari menjauh dari Rifando. Sepertinya cowok itu sudah tak mengejarku lagi saat ada suara memanggil nama Rifando. Susah payah menahan diri agar tidak menangis. Tangisan ini bukan karena sedih, tepatnya karena aku kesal banget.
Saat masih berada di koridor gedung Ikom, aku melihat sosok cewek itu sedang bersama teman-temannya berjalan menuju koridor kantin. Aku harus ngomong sama dia! Harus! Entah keberanian dari mana, gara-gara rasa kesalku yang tercipta akibat cerita berbumbu dari Nilla. Aku bisa mengajak Sasa untuk bercerita mendukung kejadian yang sebenarnya, sungguh cerita yang diterima Rifando sangat berbalik dengan apa yang terjadi padaku dan Sasa saat ngobrol tentang nilai itu di kantin. Aku tak mau Sasa juga terseret digosipin menjadi teman makan bersama dosen ngeselin itu! Kasihan Sasa jadi terseret ikut kena gosip miring gara-gara Nilla! Mungkin juga ditambah saudaranya, si seniorku yang bernama Elkie. Entah siapa yang memulai bergosip.
Nilla dan sekumpulan temannya baru saja duduk di meja yang tidak jauh dari pintu masuk kantin. Mereka terlihat sedang ngobrol dan tertawa keras. "Gila, dia udah nggak ada bagusnya ya nggak sih? Godain dosen biar nilainya bagus, kayak cakep banget aja? Memang dasarnya kegatelan deketin banyak laki-laki. Pacar orang, ngarep banget sama cowok yang udah nolak dia, dan sekarang dosen dipepet juga demi nilai. Heran deh harga dirinya udah rendah banget." Itu suara Nilla.
Aku datang ke meja mereka lalu menggebrak, suara keras hasil perbuatanku membuat semua orang menoleh pada kami. "Heh, enak julidnya ngomongin orang?" tanyaku dengan nada tajam.
Karena sang pelakunya adalah Nilla, aku menatap tajam hanya fokus padanya. Karena aku sudah tahu tentang rahasianya, bisa jadi kali ini aku tak akan ragu jika memiliki keinginan untuk mencekiknya. Tapi, otakku segera menyadarkan, jangan gila!!
🌻🌻🌻
Ketika ujian persahabatan datangnya dari orang baru.
Jeng...jeng...
28 APRIL 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top