Tentang "Teori Tawa"




Halo semua!

Terima kasih sudah rutin mengikuti cerita ini, memberi komen dan vote sampai bagian paling akhir ini. Awalnya aku ragu cerita ini bisa diterima dengan baik, mengingat tema yang diangkat lumayan gelap, tapi rupanya ada aja yang baca, jadi aku terusin, hehe.

Cerita ini sebetulnya sudah lama tamat karena diikutkan kontes menulis oleh salah satu penerbit mayor yang paling MAYOR (baca: mbah kakung nya penerbit). Singkat cerita, nggak menang (dan aku pun kesal). Makanya aku pindahin dari platform penulisan penerbit tersebut ke Wattpad karena pembacaku banyak di sini. Eh nggak disangka-sangka satu minggu kemudian muncul berita gembira dari penerbit tersebut. Aku nggak akan menjabarkan lebih rinci karena takut sesumbar, tapi mohon doa yang terbaik untuk cerita ini, ya. Amin.

Aku mau cerita sedikit tentang latar belakang penulisan cerita ini. Apa yang dialami Bo aku tulis berdasarkan pengalaman pribadiku yang pernah didiagnosis menderita kecemasan klinis (clinical anxiety) di tahun 2019 kemarin.

Awalnya aku nggak sadar kesehatan mentalku terganggu. Kala itu adalah tahun terakhirku kuliah di Australia (yang pengalamannya juga dituangkan jadi novel: Teman Kos Dari Neraka), dan pikiranku mumet banget. Aku cemas memikirkan banyak hal, mulai dari skripsi aku, orangtuaku yang sakit-sakitan di Indonesia, mencari pekerjaan, memilih pulang atau menetap di Australia, dan sejenisnya. Intinya mumet banget lah. Tidurku jadi terganggu dan aku mulai merasakan gejala-gejala fisik yang tidak biasa. Misalnya kadang-kadang rahangku sakit, tanganku kram, kakiku dingin, dan maag-ku kambuh. Soal maag memang udah aku rasakan sejak dari SMA, tapi waktu itu jadi lebih parah.

Puncaknya pas libur akhir tahun 2018, satu semester menjelang kelulusanku. Aku pulang ke Indonesia untuk liburan. Suatu malam, dengan pikiran yang kalut, tiba-tiba aku merasa jantungku berdebar-debar keras. Napasku jadi sesak, leherku tercekat, dan aku kesulitan bernapas! Waktu itu aku benar-benar merasa mau mati karena buat menarik satu tarikan napas saja aku sampai berkeringat dingin! Aku cepat-cepat dilarikan ke rumah sakit, dipasangi oksigen, dikasih obat jantung dan lambung. Waktu itu Sabtu, dan syukurlah besoknya kondisiku udah mendingan. Aku langsung minta pulang ke rumah sebelum sempat diperiksa dokter penyakit dalam / internis (yang bakal datang hari Senin). Waktu itu aku beralasan ke Mama aku udah baikan, padahal sebetulnya aku takut seandainya aku divonis punya penyakit mengerikan oleh dokter internis hari Senin nya. Aku juga khawatir menambah beban pikiran Mamaku.

Sebelum balik ke Australia, aku diperiksa 4 dokter lainnya, mulai dari dokter gigi (karena rahangku suka sakit), dokter THT (karena tenggorokanku suka panas dan nyeri), dan 2 dokter umum. Aku nggak mendapat vonis penyakit yang jelas, karena sakitku itu "pindah-pindah". Aku diberi setumpuk obat, dan sakitku malah tambah parah. Mamaku jadi kepikiran juga dan memintaku nggak balik dulu ke Australia, yang mengakibatkan aku terlambat balik dan harus membatalkan tiket pesawat yang udah aku pesan. Setelah melewati berbagai drama, akhirnya kuputuskan untuk tetap balik ke Australia karena udah kepalang tanggung: satu semester lagi aku lulus.

Aku ingat banget pas sampai di Melbourne, dalam perjalanan naik kereta, aku melihat kedua tanganku itu jadi merah seperti terbakar. Aku tambah takut, apalagi dokter-dokter di Indonesia memang nggak memberi diagnosis yang jelas. Aku nekat memutuskan untuk periksa diri lagi. Kebetulan kampus di sana punya klinik dan faskes yang lengkap. Aku dijadwalkan untuk bertemu seorang dokter umum - di sana disebut GP (general practicioner), namanya dr. Jane Edwards, usianya sekitar lima puluhan.

Periksa dokter di Australia itu diberi slot waktu, untuk konsultasi umum maksimal 15 menit, dan pemeriksaan menyeluruh maksimal 30 menit. Aku khawatir waktu itu nggak cukup, tapi untunglah dr. Jane mendengarkan dengan teliti semua "keluhanku". Semua bagian tubuhku yang sakit diperiksa dengan teliti. Dari pemeriksaan fisik, dr. Jane bilang nggak ada yang salah denganku, tapi supaya yakin, beliau minta supaya aku dites darah dan dites swab (waktu itu belum ada COVID). Aku diminta untuk kembali satu minggu kemudian untuk melihat hasilnya. Aku nggak dikasih obat dan diminta menunggu. Bukannya membanding-bandingkan, tapi ini salah satu yang aku puji dari dokter di Australia: mereka nggak cepat-cepat memberi vonis, apalagi obat. Jadi pasien di luar sana harus sabar, nggak bisa dikit-dikit minta obat.

Seminggu kemudian, aku yang was-was menunggu kembali. Dr. Jane membuka hasil beberapa tes milikku di komputernya. Hasil lab di sana digital, hanya bisa diakses dokter yang ditunjuk. Dari sistem akan memberi highlight merah pada hasil tes yang membahayakan, jadi langsung kelihatan (pasien sendiri nggak dikasih hasil print out seperti di sini).

Sambil menunjukkan monitornya padaku, dr. Jane berkata, "Tidak ada tanda merah di semua laporan kamu. Kamu baik-baik saja."

"Kalau begitu," aku jadi tambah bingung. "Aku sakit apa, dok?"

Dan aku ingat betul jawaban dr. Jane. Dia bilang: "Maybe your mind is playing tricks on you. (Mungkin pikiranmu sedang bermain-main denganmu)."

"Tapi bagaimana dengan sakit-sakit aneh itu?"

"Semua hasil tesnya menyatakan kamu sehat walafiat."

Saat itu aku sadar bahwa yang sakit ternyata bukanlah fisikku, tapi mentalku. Dampaknya luar biasa, mental yang sakit juga membawa "gejala-gejala" aneh sampai aku merasakan kesakitan-kesakitan fisik yang tidak bisa dijelaskan itu.

Akhirnya dr. Jane menjadwalkanku dengan "ahli jiwa", seorang psikolog di klinik yang sama. Ini lagi salah satu yang aku puji dari dokter di Australia. Mereka tidak ragu menyebut masalah mental, karena menganggap itu bukanlah sesuatu yang tabu atau mengerikan. Dan mereka juga bekerja sama dengan para psikolog / psikiater untuk membantu pasien-pasien yang secara fisik sehat, tapi mentalnya bermasalah. Aku tahu soal ini karena ada seorang temanku dari Bangladesh yang mendadak lumpuh setelah diputusin pacarnya - betul-betul lumpuh nggak bisa jalan - dan langsung dikirim sama GP-nya ke psikolog. Yang aku suka, aku merasa didiagnosis secara menyeluruh sebagai pasien: fisik dan mentalnya, nggak hanya setengah-setengah di bagian-bagian yang "sakit" saja.

Akhirnya minggu berikutnya aku menghadiri sesi terapiku yang pertama.

Aku disambut oleh seorang wanita muda berkacamata dan berambut keriting. Dia mengenalkan diri dengan nama Michal - dilafalkan Mi-kHAL karena dia orang Yahudi / Jews. (Belakangan aku baru tahu kalau para perawat memanggil Michal dengan Michelle. Duh!) Dia menjelaskan keahliannya dan latar belakang keahliannya. Dia mengaku tidak suka disebut psikolog karena terkesan terlalu "formal" dan lebih memilih disebut "konselor / counselor". Dia juga menegaskan bahwa dr. Jane mengirim aku padanya bukan karena aku gila dan sejenisnya, tapi karena masalah yang kuhadapi - aku ingat betul kata-kata Michal - "what you experience is different to dr. Jane's expertise and more into mine..." (apa yang kamu alami berbeda dengan keahlian dr. Jane dan lebih sesuai dengan keahlianku). 

Sebelum terapi, aku dan Michal sama-sama menandatangani formulir yang menyatakan segala yang aku ucapkan dalam sesi terapi bersifat rahasia dan hanya diketahui Michal kecuali aku melakukan sesuatu yang berpotensi menyakiti diriku sendiri atau orang lain. Michal menjelaskan maksudnya jika aku ternyata punya potensi untuk bunuh diri atau kecenderungan psikopat, dia berhak "membocorkan" percakapanku ke polisi untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Dan sesi terapi itu pun dimulai.

Sesinya sendiri mirip seperti yang sering kulihat di film-film. Aku dan konselorku duduk di dua kursi empuk yang saling berhadapan. Michal menanyaiku bermacam-macam pertanyaan, dan aku menjawabnya. Dia mencatat jawaban-jawabanku. Aku juga diberi kesempatan untuk mencurahkan uneg-uneg. Di akhir sesi yang berlangsung selama satu setengah jam, Michal akan memberi "kesimpulan" dari percakapan kami. Dari sesi pertama itu, aku dijadwalkan untuk delapan sesi terapi setiap minggu, dan bisa dikurangi atau ditambah tergantung perkembangan keadaanku. Diagnosis awalnya adalah aku menderita clinical anxiety, tetapi yang levelnya masih ringan sehingga bisa ditangani lewat konseling. Aku juga didiagnosis punya kepercayaan diri rendah karena sering diejek dan cenderung membanding-bandingkan keadaan.

(Tambahan: aku jadi tahu kalau psikolog dan psikiater itu berbeda, meski dua-duanya sama-sama bekerja di bidang kesehatan mental. Psikiater mempunyai gelar medis DOKTER, jadi bisa meresepkan obat-obatan, dan seringkali membantu kasus-kasus yang lebih parah. Sedangkan psikolog adalah DOKTOR (lulusan S3) di bidang psikologi / filsafat. Dalam menangani pasien, psikolog tidak bisa meresepkan obat, dan metode penanganannya rata-rata berfokus pada terapi perilaku).

Begitulah. Minggu-minggu berikutnya aku mengunjungi Michal untuk curhat. Senang rasanya punya seseorang yang rela menyisihkan satu setengah jam hanya untuk mendengarkan aku. Dan bukan hanya sekedar "mendengarkan", tapi betul-betul menyimak dengan teliti, bahkan sambil mencatat. Singkat cerita, setelah pertemuan keempat, aku tidak lagi datang terapi karena merasa sudah jauh lebih baik.

Aku pun menjadikan anxiety untuk topik skripsi semester akhirku. Dari pemeriksaanku dengan dr. Jane dan Michal, aku jadi tahu kalau mental itu berhubungan erat dengan fisik: mental yang kacau juga dapat mengacaukan fisik. Dr. Jane menjelaskan, gejala sesak napas yang kualami disebut hyperventilation, dan diakibatkan oleh naiknya asam lambung yang dipengaruhi oleh STRES! Kaki dan tangan yang dingin itu adalah dampak dari aliran darah yang tidak lancar, karena saat diserang kepanikan seperti Bo, aku nggak bisa ngapa-ngapain dan lebih memilih berbaring diam atau duduk meringkuk.

Jadi segala gejala-gejala kecemasan yang Bo alami di dalam novel ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadiku. Teknik menghitung satu sampai sepuluh itu juga kupelajari dari dr. Jane dan Michal. Belakangan aku juga dikenalkan pada terapi Cognitive Behavioural Therapy (CBT) dan mindfulness, tapi nggak akan aku jelaskan di sini. Yang membedakan aku dengan Bo adalah, Bo lebih parah. Aku bukan pakar kesehatan mental, tapi aku rasa Bo juga menderita Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), sebuah gangguan mental akibat trauma hebat di masa lalu, jadi ada beberapa masalah sekaligus. Dalam kasus Bo, trauma yang dimaksud adalah kematian ibunya di depan matanya dengan cara tragis, dan perundungan verbal oleh ayahnya dan Beni. Ini murni opini aku, ya. Jangan dijadikan vonis atau diagnosis apa pun.

Sampai di sini, mungkin kalian penasaran, apakah anxiety aku sudah hilang sepenuhnya?

Jawabannya: BELUM. Terkadang aku masih "diserang", misalnya pada situasi yang menyakitkan (salah satunya ketika tahu Teori Tawa nggak menang di lomba penulisan itu). Bedanya adalah sekarang aku sudah tahu cara mengatasinya. Lewat konseling, aku paham bahwa kecemasanku itu berdasar, dan seringkali tidak separah kelihatannya. Saat kalah lomba menulis misalnya, aku merasa duniaku seakan berakhir. Seolah-olah aku jadi penulis gagal. Namun aku mencoba membalik pikiranku dan menganalisis "tingkat keparahan tragedi" tersebut. Aku bertanya pada diriku sendiri: "Karena kamu kalah dalam lomba ini, apa artinya kamu memang penulis yang payah? Apa kamu memang nggak bisa jadi penulis? Apa tulisan-tulisan kamu itu jelek, tidak berbobot dan tidak layak?"

Secara mengejutkan, semua jawaban dari pertanyaan tersebut adalah "tidak" dan "belum tentu." Manusia punya kecenderungan untuk memikirkan opsi yang terburuk (worst case scenario). Dari riset untuk skripsiku, aku tahu kalau ini adalah salah satu sifat "bawaan" dari nenek moyang kita, untuk keperluan survival (bertahan hidup), sama hal nya dengan sifat takut / cemas. Zaman dulu ketika manusia purba hidup dengan berburu hewan-hewan yang lebih besar dan lebih ganas, sikap "memikirkan yang terburuk" ini membantu mereka untuk membuat persiapan yang matang sebelum bertindak. Sekarang ini kita nggak harus berburu mamot atau macan sabertooth untuk makan, tapi seringkali kita dihadapkan pada peristiwa hidup / pengalaman yang "sama berbahayanya" dengan mamot atau macan sabertooth. Dan yang terjadi adalah, kita membiarkan ide-ide "yang terburuk" ini berkembang terlalu liar, sampai-sampai mengambil alih "yang sebetulnya terjadi" alias kebenaran.

Menurut aku menghadapi kebenaran itu penting, seperti yang Bo lakukan. Kebenaran yang aku tahu pasti, bukan apa yang orang lain katakan padaku atau tentang aku. Dan ini selalu jadi kunci untuk melawan rasa cemas itu jika dia datang. Aku mengingatkan diriku sendiri pada kebenarannya, karena di luar kebenaran itu, semuanya adalah tidak benar alias BOHONG. Yang perlu dipercayai adalah kebenaran, seberapa menyakitkannya, seberapa tidak sempurnanya, seberapa itu tidak sesuai kenyataan yang kita harapkan. Misalnya saat ini benar bahwa aku menderita masalah anxiety, tapi bukan berarti aku gila, atau gagal sebagai manusia. Pengalamanku mengajarkan bahwa untuk mengatasi masalah yang "di dalam", kita juga bisa menemukan jalan keluarnya dari dalam; yaitu dengan berpikir positif, tidak melulu membanding-bandingkan dengan orang lain atau dunia, dan terus bergerak maju. Terapi pernapasan satu sampai sepuluh yang kupelajari (dan sering dipraktikan Bo) mengajarkan bahwa ketika "napas" (yang bisa diartikan hidup) kita sedang kacau, tidak semestinya (terlalu cepat, terlalu pendek, tersengal-sengal, sesak, dan sejenisnya), yang harus dilakukan adalah berhenti sejenak, dan bernapas lebih tenang. Slowing down. Hitungan satu sampai sepuluh itu membantu kita untuk tenang. Pernapasan yang tenang akan memengaruhi pikiran, sehingga kita bisa berpikir lebih jernih untuk keadaan, untuk menilai mana kebenaran dan kebohongan, untuk memilih apa yang benar dan apa yang tidak benar.

Jadinya malah kepanjangan. Maaf, ya. Mungkin karena ini adalah novel yang paling personal karena kutulis berdasarkan pengalaman "tidak menyenangkan" yang aku alami.

Akhir kata aku berharap semoga cerita ini tetap bisa menginspirasi, memotivasi sekaligus menghibur teman-teman sekalian. Jika teman-teman merasa sedang stres, putus asa, depresi atau mengalami masalah mental, dengan sangat aku menyarankan teman-teman untuk minta bantuan. Entah itu curhat pada teman yang bisa dipercayai, pada orangtua, pada Tuhan, atau pada psikolog - yang penting adalah, seperti yang Kuma bilang: to let it go. Lepaskanlah beban itu, niscaya semuanya akan lebih ringan dan lebih mudah ditanggung.

See you di novel berikutnya!


Love,

K

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top