💐 Chapter 8. Berusaha Melupa 💐

Berjam-jam sudah wanita yang mengenakan baju tidur itu merebahkan badannya. Merenungkan apa saja kebodohan yang telah dilakukan selama satu tahun belakangan ini. Berulang kali dalam batin Ia menyemangati diri sendiri.

aku nggak bisa begini terus. Aku harus bisa ngelupain Dito. Aku pasti akan mendapatkan lelaki yang lebih baik dari dia. Pokoknya aku harus bisa nunjukin. Tanpa dia aku juga bisa bahagia, Tegas Qiara dalam hati.

Dari dalam terdengar suara langkah kaki semakin mendekati pintu kamarnya. Ia bergegas menarik selimut menutupi seluruh badan. Qiara tidak mau terlihat lemah dihadapan orang ia sayangi.

"Ra? Qiara bangun dulu yuk!" ajak wanita yang melahirkannya.

Qiara mengulatkan badan seperti anak bayi yang terbangun dari tidurnya. Ia memindahkan selimut tebal yang menutupi wajahnya di hadapan wanita itu. Ia pura-pura mengucek-ucek mata beberapa detik.

"Kamu belum makan dari tadi pagi. Ini ibu bawain susu strawberry sama makanan kesukaanmu."

"Ayam bakar? Ini ... ibu beli sendiri? Di luar kan lagi hujan , Buk," Qiara merasa bersalah karena telah membuat wanita dihadapannya khawatir.

"Nggak kok, Ra. Ibu tadi pesennya online. Ya udah, kamu makan dulu yah. Ibu mau lanjut masak dulu," jelas Ibu yang hendak bergegas meninggalkan Qiara.

Dari belakang badan wanita berbaju daster panjang. Putri yang dicintainya memeluk dengan erat menahan langkahan kaki.

"Maafin Qiara ya, Buk," ucap Qiara sedih.

Qiara tak mampu menahan bendungan air mata yang ditahannya sedari tadi. Ibu membalikan badannya memeluk erat tubuh yang memiliki raut wajah persis seperti wajahnya. Qiara meluapkan tangis sampai terisak-isak.

Hal yang paling menyakitkan di dunia ini adalah melihat orang yang kita cintai tersakiti, tetapi aku tetap harus menampakan diriku baik-baik saja. Putriku sedang membutuhkan tempat untuk berbagi dan tak mungkin aku ikut terlarut di dalamnya, lirih ibu di dalam hati.

"Kamu berantem lagi sama Dito?" tebak Ibu membaca pikiran putrinya.

"Di-Dito minta aku terima laki-laki lain, Buk," ucap Qiara terbata-bata.

Ibu menarik nafasnya dalam. Ia masih menunggu kelanjutan cerita putrinya.

"Kita duduk dulu yah disini," pintah Ibu menunjuk ke atas kasur.

Perlahan tangisnya mulai mereda.
"Qiara malu, Buk. Sama ibu dan bapak. Qiara juga malu udah ngenalin Dito ke keluarga besar dan temen-temen Qiara. Dito jahat, Buk. Dia nggak mikirin bagaimana Qiara berjuang demi dia buat mendapatkan restu Ibu dan Bapak."

"Restu ibu dan bapak akan selalu ada untuk kebahagiaan kalian, Qiara. Maafin ibu yah. Seandainya ibu tahu akhirnya kaya begini. Ibu nggak akan nyetujuin Dito. Semuanya emang salah ibu dan bapak nggak tegas dengan hubungan kalian dari awal."

"Bang? Anterin adek dong. Udah telat nih. Sinyal lagi jelek nggak bisa pesen ojek online."

"Iya-iya bentar. Abang mati-in komputer dulu," jawab Ken perlahan.

"Buk, Tiara berangkat dulu yah," izin Tiara sambil menyium tangan ibunya di dapur.

"Ken juga ya, Buk," ucap Ken mengikuti adiknya dari belakang.

"Kalian hati-hati yah. Pake mantel! Hujan diluar lagi deras."

"Iya, Buk. Da-da, Ibu. Assalamu'alaikuuum" ucap Tiara manja.

Hujan turun semakin mereda saat mereka sampai di Apotek. Ken mengibas mantelnya dan berteduh di pingggiran teras Apotek.

"Bang? Adek langsung masuk yah. Udah lewat 15 menit," ucap Tiara menempelkan tangan Ken dipipinya.

Qiara sudah datang lebih awal dan sedang sibuk meracik resep yang ditebus beberapa pasien. Semua karyawan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

"Maaf yah. Tadi udah pesen ojek online tapi, nggak dapet, loading terus," jelas Tiara pada seorang temannya.

Tiara mengambil alih pekerjaannya yang beberapa belas menit dibantu temannya tadi. "Syah? Makasih yah. Sini biar aku yang periksa ibunya. Kamu lanjut atur obat-obatan yang baru masuk aja," seru Tiara memasang wajah simpati.

"Oh iya, Kak. Sama-sama ..." Fisyah melangkah ke ruangan obat-obatan keras.

"Saya bersihin tangannya dulu yah, Buk?" ucap Qiara sambil membuka kemasan Alkohol Swab.

Dalam waktu kurang dari 10 detik hasil pemeriksaan asam urat sudah keluar. "Berapa asam urat saya, Mbak?"

"Ibu? Ini asam uratnya tinggi banget. 14, 5. Kalau bangun tidur keram nggak buk tangannya?"

"Iya mbak, kaki-kaki sakit semuanya. Ini malah bengkak semua yang kiri sama kaki kananku."

"Iya, Buk. Tinggi banget ini kadar asam uratnya. Sering makan kacang sama olahan daging yah, Buk?" terka Tiara lembut.

"Iya bener banget, Mbak. Saya suka banget ngemil kacang, bakso apalagi," jawab ibu itu membenarkan tebakan Tiara

Seluruh karyawan bergegas merapikan Apotek. Semua etalase-etalase obat di tutup. Sebagian yang lain menyapu dan mengepel lantai ruangan.

"Tir?" panggil Qiara sambil mencuci tangan di washtafel

"Hmmm. Bentar! Buang sampah dulu," sahut Tiara sambil memasukan tisu ke dalam tempat sampah.

"Aku udah blokir Dito."

"Bagus! Jujur aja ya. Dari awal emang aku nggak setuju kalo kamu sama Dito."

"Kenapa emangnya, Tir?"

"Nggak tau. Aku ngendus aura-aura mistis dari wajahnya," jelas Tiara jahil.

"Hu. Kaya Roy Kiyoshi aja kamu, Tir."

"Emang benerkan? Pokoknya kalo udah ngebahas dia. Pasti kamu nangis-nangis sendiri kaya orang kemasukan."

"Bener juga ya, Tir."

"Eh. Sebenernya hari ini niatnya aku mau nyampein sesuatu ke kamu, Ra. Tapi, gara-gara tadi sibuk banget jadinya nggak sempet deh."

"Soal Resto itu ya, Tir?"

"Bukan. Eh iya. Tapi itu berita gembira pertama. Ada lagi satu."

"Ah. Paling bercanda lagi."

"Seriusan Qiara."

"Berita apaan emangnya, Tir?"

"Hmm. Abang Ke," ucapan Tiara terpotong.

Tiba-tiba dari dalam tas Qiara terdengar dering telpon masuk. Qiara membuka tas dan segera menjawab panggilan.

"Siapa, Ra?"

"Dari Bella."

"Oh oke-oke. Angkat dulu aja."

Qiara berjalan keluar ruangan karena handphonenya kesulitan menangkap sinyal.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #zanara26