8

"Abang masuk kamar dan langsung ganti bajunya. Bunda tunggu di ruang tengah. Bunda mau bicara sama Abang."

Samudera dan Sagara menurut. Keduanya menaiki anak tangga ke lantai atas. Sementara itu, Eva menyandarkan tubuhnya di sofa ruang tengah. Kepalanya sedikit pusing. Ia pikir masalahnya selesai setelah bercerai dengan Tama, tapi justru melahirkan masalah baru.

Sebenarnya, perceraian adalah keputusan terbertat yang pernah Eva buat seumur hidupnya. Awalnya, ia ingin sekali mempertahankan mahligai itu dan mengesampingkan perasaannya. Bisa saja wanita itu berpura-pura seolah tak pernah mengetahui kecurangan yang Tama buat. Eva pikir ia bisa bertahan hidup di dalam pernikahan itu demi anak-anaknya. Namun, ternyata ia tak sekuat itu.

Eva menyesal telah menelepon mantan suaminya dan meminta untuk datang ke sekolah memenuhi undangan. Kehadiran Tama membuat emosi putranya pecah. Ia tak mendapati sorot cinta di mata Samudera saat menatap Tama. Padahal, sebelum prahara menerpa Samudera begitu dekat dengan ayahnya. Hanya ada kebencian di dua manik mata yang sama seperti milik Tama.

Samudera menyusuri anak tangga dan menghampiri Eva di ruang tengah. Dilihatnya sang Bunda yang memejamkan mata dan sesekali menghela napas. Bunda adalah segala-galanya untuknya. Bahkan, ia rela melakukan apapun agar wanita yang sudah melahirkannya ke dunia itu tidak bersedih.

"Bunda ...," panggilnya pelan. Perlahan, Eva membuka kedua matanya.

"Sini. Duduk di sebelah Bunda." Eva menepuk sisi kosong sofa di sebelahnya. Samudera menurut. "Abang kenapa?"

"Aku benci Ayah," jawab Samudera singkat. "Aku benci kenapa dia harus jadi ayahku."

"Abang!" bentak Eva kencang. Putranya seketika tersentak. Wanita itu terbilang sangat jarang membentak anak-anaknya. Setiap mereka berbuat salah, sebisa mungkin ia menasihati dengan cara yang halus. "Abang nggak boleh ngomong begitu. Biar gimanapun, Ayah itu ayahnya Abang."

"Tapi, Ayah sudah buat Bunda sedih. Aku nggak suka itu, Bunda. Ayah juga sudah buat Bunda jadi bahan candaan teman-teman di sekolah. Aku nggak suka," ucap Samudera dengan isakan yang mulai terdengar lolos dari mulutnya. "Semuanya gara-gara Ayah."

"Abang, dengar Bunda. Mau sampai kapan Abang terus menyalahkan Ayah untuk semua yang terjadi? Selama ini, Abang selalu bilang kalau Ayah yang salah. Tapi, Abang nggak pernah menyalahkan Bunda. Bunda juga belum tentu benar. Mungkin kekurangan Bunda yang buat Ayah melakukan itu semua."

"Nggak, Bunda. Bunda sama sekali nggak ada salah. Aku berani sumpah kalau Bunda itu wanita terbaik yang pernah aku kenal seumur hidupku. Bunda selalu mengutamakan keluarga. Aku tau gimana cintanya Bunda ke Ayah. Bunda selalu kasih yang terbaik ke Ayah."

"Bunda mau bilang terima kasih karena Abang sudah menjaga nama baik Bunda di depan teman-teman, meskipun cara yang Abang pakai salah. Bunda minta maaf karena nggak bisa menghadirkan keluarga yang lengkap untuk kalian bertiga. Karena perpisahan kami, kalian hidup di keluarga yang terpecah belah. Bunda ngerti banget kalau ini semua berat, terutama untuk Abang, Saga dan Terra. Seharusnya kalian bisa hidup bahagia di bawah pengasuhan orang tua yang lengkap. Tapi ...."

Samudera seketika langsung merangsek ke dalam dekapan hangat Eva. Ibu dan anak itu hanyut dalam suasana yang begitu emosional. Keduanya sama-sama menangis menumpahkan segala macam sesak yang selama ini menggunung dan terpendam di hati.

Saat di rasa beban di hati sedikit berkurang, Eva mengurai pelukan. Ditatapnya sang putra lamat-lamat. Ia mengecup kening, kedua mata, hidung, kedua pipi dan dagu putera sulungnya.

"Abang itu fotokopiannya Ayah. Abang mirip banget sama Ayah. Matanya, hidungnya ... semuanya. Abang itu terlalu cinta sama Ayah. Mungkin Ayah memang bersalah, tapi kalau Abang terus menyimpan benci, hidup Abang nggak akan pernah tenang."

"Bunda ...."

"Dengar Bunda dulu. Waktu Abang lahir, Ayah bahagia banget. Ayah rela begadang srndirian karena Abang melek sepanjang malam. Abang mau kan maafin Ayah?"

Samudera tak menjawab. Melihat respons yang diberikan putranya, Eva tak akan mendesak. Biarlah waktu yang membimbing hati remaja itu ke depannya.

"Abang tau nggak?" ucap Eva. Samudera terlihat fokus mendengarkan. "Bunda nggak pernah menyesal nikah sama Ayah. Kenapa? Karena Bunda dikasih empat anak yang luar biasa hebatnya. Kalian yang buat Bunda kuat sampai detik ini."

"Bunda, aku minta maaf."

"Iya. Bunda maafin. Abang juga harus janji satu hal. Abang sudah semakin besar. Belajar untuk lebih menjaga emosi. Sebelum bertundak, dipikirkan dulu akibatnya."

"Iya, Bunda."

"Satu lagi. Bunda kangen Abang yang kayak dulu. Bunda kangen Abang yang selalu punya cerita setiap pulang sekolah. Saga dan Terra juga kangen sama Abang. Iya kan, Saga?" ucap Eva sambil melirik ke balik badan Samudera. Anak keduanya duduk memperhatikan perbincangan keduanya sedari tadi di anak tangga. "Sini. Peluk Abang."

Sagara berlari menghampiri kakak dan bundanya. Kini, ketiganya saling berpelukan. Berjanji untuk selalu ada satu sama lain dan saling menguatkan tak peduli bagaimanapun keadaannya.

"Kasian Terra nggak dipeluk," celetuk Sagara yang membuat Eva dan Samudera tertawa. "Nanti pelukannya diulang kalau Terra sudah pulang ya, Bunda."

"Iya, Sayang. Bisa ngambek adik kalian kalau nggak diajak."

***

Sebenarnya malas mencari tahu. Namun, rasa penasaran membuatnya mengalahkan akal sehat. Jari-jarinya bergerak lincalincah mengetik kata kunci di mesin pencarian. Mengetik nama panjang sang mantan suami dengan beberapa penambahan kata yang mungkin akan mempermudah pencarian.

Berita terbaru kehidupan pribadi Pratama Djayanegara

Eva mengerjap tak percaya menatap beberapa foto yang tersaji di layar laptopnya. Tama tengah merangkul dengan begitu mesra pinggang seorang wanita. Namun, itu bukan Regina—wanita yang menodai ranjangnya bersama Tama. Yang Eva tahu, wanita itu adalah seorang aktris kenamaan yang namanya sedang naik daun, Gladys.

Kayaknya foto ini yang dimaksud Abang.

Ke mana perginya Regina? Seharusnya perpisahan mereka memberikan keduanya keleluasaan untuk bisa tampil dengan bebas di muka umum. Ah sudahlah. Eva tak merasa begitu tertarik untuk mengetahui kehidupan pribadi Tama saat ini. Baginya, semua yang berhubungan dengan Tama sudah tak lagi menjadi hak dan kewajibannya setelah palu persidangan diketuk.

Saat sendirian, entah kenapa bayang-bayang saat hidup bahagia bersama mantan suaminya selalu hadir mengganggu pikiran. Saat laki-laki itu menyatakan cinta, saat melamar, mengucap akad, bahkan saat menghujamnya begitu kuat di atas ranjang. Eva menghirup sebanyak mungkin oksigen agar kedua paru-parunya terisi. Napasnya sesak, terutama setiap kali mengingat betapa perkasanya Tama saat menggagahinya. Namun, semua bayang kebahagiaan itu lenyap seketika saat adegan di mana Tama memeluk wanita lain selain dirinya di atas ranjang dalam keadaan tanpa busana.

Hari sudah larut. Dengan cardigan rajutnya, Eva berjalan keluar kamar. Ia membuka pintu belakang. Sebuah gundukan di bawah rimbunnya pohon mangga di taman belakang rumah menjadi tujuannya. Sama sekali tak ada rasa takut, meskipun ia hanya seorang diri.

Wanita itu berjongkok setelah mengucap salam pada mendiang putri bungsunya. Makam Ayyara rapih, walaupun tak berbingkaikan keramik. Diusapnya batu nisan putrinya dengan penuh sayang.

"Maaf Bunda nggak bawa bunga untuk Ayya. Nanti Bunda belikan, ya. Kamu lagi apa di sana, Nak? Bunda rindu. Kenapa nggak pernah muncul di mimpi Bunda? Bunda mau peluk Ayya."

Andai saja semua baik-baik saja. Mungkin, saat ini ia sedang sangat menikmati kembali perannya sebagai seorang ibu. Ia akan kembali terbangun di tengah malam demi memastikan perut Ayyara kenyang. Namun, itu artinya akan bertambah satu anak yang harus merasakan pedihnya menjadi korban dari perpisahan kedua orang tuanya.

"Bunda masuk rumah dulu, ya."

Kehidupan kembali berjalan seperti biasanya. Samudera menerima usulan Eva untuk membuat janji temu konsultasi dengan seorang psikolog anak yang direkomendasikan oleh pihak sekolah. Eva bisa sedikit merasa tenang.

Serombongan ibu-ibu sosialita membuat Eva terkejut. Mereka adalah istri-istri dari para petinggi partai yang mengusung Tama menjadi anggota dewan. Sebelumnya, ia memang tergabung di group chat dengan yang lainnya. Namun, setelah resmi bercerai dan menganggap tak ada lagi yang bisa dilakukannya mengingat sudah tak berstatus sebagai Nyonya Pratama Djayanegara, Eva berpamitan untuk meninggalkan group chat.

"Ya ampun. Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?" tanya Eva.

"Kejutan untuk kamu."

Di hadapannya sudah berjejer buah tangan yang dibawakan khusus untuknya. Eva gegas berlari ke dapur dan meminta Mbak Maryam untuk membuatkan minuman. Oh, iya! Memesan beberapa menu makanan dari restoran jangan sampai lupa.

Beberapa dari mereka terlihat menatapnya penuh prihatin. Ya, mau bagaimana lagi. Sekarang dirinya memanglah seorang janda beranak tiga.

"Kamu sehat kan, Va?"

"Alhamdulillah, Bu. Saya bisa sekuat ini karena anak-anak."

"Maaf karena baru sempat berkunjung," ucap Bu Janice—istri Pak Arnold. "Kami pikir kamu tinggal di rumah kalian karena yang saya tau sekarang Tama tinggal di rumah orang tuanya."

"Nggak lah, Bu. Meskipun rumah itu banyak kasih kenangan tentang jatuh bangunnya kami, tapi di rumah itu juga saya menyaksikan semuanya."

"Sudahlah, Va. Yang sudah berlalu, biarlah berlalu. Aku yakin suatu saat nanti Tama akan benar-benar menyesal karena sudah melepas kamu."

"Jadi, kesibukkan kamu sekarang apa, Va?" tanya Bu Sisca. "Tama rutin kirim uang, kan?"

"Iya, Bu. Kebetulan saya sedang merintis usaha. Belum jalan karena memang belum punya pelanggan."

"Usaha apa?" sahut Bu Vina.

"Katering, Bu."

"Kami bisa jadi pelanggan pertama kamu. Kebetulan bulan depan ada kumpul rutin bulanan di kediaman Bu Fatma. Iya kan, Bu?"

"Benar, Va. Kamu bisa kalau handle makanannya?"

"Bi—bisa, Bu. Bisa."

Eva tersenyum bahagia. Memang benar merintis usaha dibutuhkan kesabaran yang ekstra. Ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan bagus ini. Mengenal mereka selama beberapa tahun terakhir membuatnya paham bagaimana sifat dan selera mereka. Mereka juga bukan tipe orang-orang yang mempermasalahkan soal harga. Semoga ini menjadi langkah awal yang baik untuknya.

-to be continued-

Depok, 10 Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top