7

Hai, mau sekalian numpang kasih tau.

Ada Cinta di Jendela Rumah Tetangga CHAPTER 12 dan Ingin Bahagia Chapter 12 sudah bisa dibaca di KARYAKARSA yaaaa.

Update di wattpad lagi nggak?
Update. Tapi bakalan terjadwal. Kalau mau baca lebih dulu ayoook ke sanaaaaaa.

Bukan main! Eva mendapati putranya babak beluk sepulang sekolah. Kemeja kotor, beberapa memar di wajah dan celana sobek di bagian lutut. Tak ada satu kata pun yang diucapkan Samudera. Ia langsung naik ke lantai atas dan membanting pintu kamarnya kencang.

Putra sulungnya mengabaikan panggilannya. Samudera melewatkan makan siang dan mungkin juga makan malam. Eva khawatir. Bertanya pada Pak Rahmat sudah dilakukan, tapi yang ditanya tak tahu. Sesuatu yang buruk pasti terjadi di sekolah.

Membawa nampan berisi makan malam, ia memutuskan untuk menemui sang putra. Berkali-kali mengetuk, tapi tak juga dibukakan. Dua anaknya yang lain turut menyaksikan. Sebelum ketukan terakhir, Eva berteriak dan mengancam Samudera.

"Abang! Buka pintu!" perintahnya tegas. "Kalau kamu masih dia kayak begini, Bunda terpaksa ambil tindakan. Bunda hitung sampai tiga. Satu ...."

"Abang, buka," ucap Sagara. "Aku kan juga mau masuk kamar. Dari tadi dikunci terus."

"Dua ... Ti—"

Suara kunci diputar. Pintu terbuka. Samudera segera kembali berbaring di atas tempat tidurnya dan membelakangi pintu. Eva masuk seorang diri dan meminta Sagara serta Terra pergi.

"Abang ...." Samudera masih saja mengabaikannya. "Ada apa? Kamu pulang babak belur. Nggak ngomong sama sekali. Kenapa? Abang berantem di sekolah?"

Tama mewariskan punggung tegapnya pada putra sulung mereka. Samudera benar-benar mendapatkan semua yang ada di diri ayahnya. Eva mengusap-usap punggung Samudera. Sejak perceraiannya, Samudera menjelma jadi sosok yang tertutup. Biasanya, dia akan dengan semangatnya berbagi kisah, apapun itu.

Eva pikir anaknya butuh waktu. Makanan yang dibawanya pun dibiarkan di atas nakas. Sebelum pergi meninggalkan kamar, ia mengecup puncak kepala Samudera dengan penuh sayang.

"Kalau Abang belum mau cerita, nggak apa-apa. Bunda bawakan makanan, jangan lupa dimakan. Besok kita bicarakan lagi, kalau Abang sudah siap. Apapun masalahnya, cerita sama Bunda. Kita cari solusinya sama-sama. Jangan dipendam sendirian. Bunda sayang Abang. Bunda ke bawah, ya."

Sebelum pintu benar-benar tertutup, Eva memperhatikan punggung yang masih setia membelakanginya itu. Perlahan, punggung itu bergetar. Suara isakkan tipis terdengar. Hatinya terasa pilu. Putranya tak pernah terlihat menangis.

Semua orang sudah siap di meja makan. Sagara dan Terra membuat gaduh dengan saling menggoda satu sama lain. Samudera tetap diam. Padahal, biasanya ia akan mengambil aksi berperan sebagai anak sulung dan memaraahi kedua adiknya agak diam selama sarapan berlangsung.

Eva melirik Samudera. Putranya lebih memilih roti dioles selai nanas daripada bubur ayam yang dimasaknya.

"Cepat habiskan sarapannya. Pak Rahmat sudah siap, tinggal nunggu kalian," uca ketiga p Eva mengingatkan. Jarak rumah ke sekolah lumayan jauh. Waktu tempuh pun akan lama, belum lagi kalau jalanan sudah macet parah. Ia sempat berpikir untuk memindahkan ke sekolah yang baru, tapi urung dilakukan. Samudera akan lulus dalam beberapa bulan ke depan. Selain itu, biaya pendaftaran yang besar pun turun andil sebagai bahan pertimbangan. "Keburu jalanannya macet."

Anak-anak sudah berangkat. Sampai saat ini, belum ada pesanan yang masuk. Sejauh ini, pesan-pesan yang dikirimkan ke nomornya hanya menanyakan price list dan menu makanan yang bisa dipesan.

Rumah akan terasa sepi saat ketiga anaknya sekolah. Mbak Maryam sudah sibuk dengan pekerjaannya—mencuci pakaian. Sementara itu, Eva lebih memilih untuk meluruskan kaki dan menonton televisi, sebelum menyiapkan bahan-bahan untuk memasak makan siang.

Satu notifikasi pesan masuk. Eva tak langsung membuka. Ia mengintip siapa pengirimnya. Dari Tama. Seperti biasanya, laki-laki itu mengabarkan kalau ia sudah mengirimkan uang sekolah untuk ketiga anaknya.

Ayahnya Anak-anak

Aku sudah transfer uang sekolah anak-anak.

Kabari aku kalau kurang.

Mereka sehat, kan?

Eva

Terima kasih.

Kamu bisa tanya ke mereka langsung.

Kamu ayah mereka.

Aku harap kamu nggak lupa kalau punya tiga anak.

Tak ada balasan dari Tama. Eva harap mantan suaminya memikirkan semua yang dikatakannya. Anak-anak tak hanya membutuhkan uangnya. Sejak bercerai sampai sekarang, Tama memang tak pernah datang berkunjung untuk sekedar basa-basi mengecek keadaan anak-anak. Jangankan datang berkunjung, mengirim pesan pun tidak. Sikap Tama semakin membuat Eva berpikir kalau laki-laki itu mungkin sudah bahagia dengan kehidupannya yang baru.

Ponselnya berdering.

"Selamat pagi. Dengan orang tua dari Samudera Biru Djayanegara?"

"Iya. Saya ibunya."

"Maaf sudah mengganggu. Apa Samudera sudah menyampaikan surat undangan untuk hadir di sekolah?"

"Surat?" sahut Eva bingung. Putranya tak mengatakan apapun sejak pulang sekolah kemarin. "Surat apa ya, Bu?"

"Kami sudah menitipkan surat agar Ibu dan Bapak datang ke sekolah hari ini. Samudera terlibat perkelahian dengan beberapa murid."

"Berkelahi?"

"Benar, Bu. Kami sangat menantikan kehadiran Ibu dan Bapak."

***

Di sepanjang perjalanan, Eva tak berhenti berpikir. Apa yang sudah menyulut amarah putranya sampai terlibat perkelahian? Samudera tak akan bertindak tanpa ada sesuatu yang memantik amarahnya.

Wanita itu menantikan kehadiran Tama di depan ruang bimbingan dan konseling. Usai mendapatkan panggilan telepon dari pihak sekolah, Eva segera menelepon Tama. Ia mempunyai firasat kalau apa yang terjadi dengan putranya berhubungan dengan kondisi keluarga mereka sekarang.

"Maaf karena datang terlambat," ucap Tama dengan napas sedikit terengah. Laki-laki itu memang terlihat sedikit berlari saat menghampirinya.

"Lebih baik terlambat daripada kamu nggak datang sama sekali," sahut Eva.

"Ada masalah apa?" tanya Tama.

Eva tak menjawab. Ia masuk ke ruang BK tanpa mengajak Tama. Laki-laki itu berjalan mengekori sang mantan istri. Seorang guru menyambut keduanya. Guru itu mulai menceritakan kronologis kejadian perkelahian yang melibatkan Samudera dan beberapa temannya.

Dugaan Eva benar. Perkelahian itu terjadi karena Samudera berusaha untuk menjaga martabat orang tuanya—Eva. Pihak sekolah mengusulkan agar Eva dan Tama membawa Samudera untuk melakukan sesi konsultasi dengan psikolog anak. Mereka takut ini semua akan mempengaruhi prestasi Samudera. Pun, mengingat ujian kelulusan yang sebentar lagi dilaksanakan. Kalau sampai terjadi lagi, ancaman drop out bisa saja diberikan. Dan itu akan sangat berpengaruh buruk pada Samudera ke depannya. Ia terancam tak bisa mengikuti ujian karena akan sulit mencari sekolah yang mau menerima murid bermasalah.

Samudera yang dengan wajah tertunduk masuk ke ruangan. Eva meminta putranya untuk mendekat. Air matanya mengalir begitu saja. Anak yang dikandung, dilahirkan dan dibesarkan rela berkelahi dengan temannya sendiri demi membelanya.

"Abang sudah tenang sekarang?" tanya Eva dengan nada bergetar. "Kenapa Abang berantem sama teman-teman?"

"Abang ...," panggil Tama pada putranya. Samudera tak mau menengok ke arahnya.

"Semua gara-gara Ayah!" ucap Samudera kencang. Seketika dada remaja itu naik turun cepat. "Kalau Ayah nggak selingkuh, semuanya nggak akan terjadi. Kalau Ayah dan Bunda nggak cerai, orang-orang nggak akan berpikiran buruk tentang Bunda. Semuanya gara-gara Ayah! Semuanya karena Ayah tidur sama perempuan itu!"

"Abang ... Abang. Tenang dulu." Gegas Eva menyambar Samudera dan memeluknya dengan erat. Ia tak mampu kalau harus mendengar jerit pilu putra sulungnya. Begitu menyakitkan. "Sudah. Sudah."

"Biarin, Bunda. Biar sekalian semua orang tau kalau Ayah yang salah. Ayah sudah selingkuh padahal selama ini Bunda selalu jadi istri yang baik."

"Abang ...." Eva bergeleng pelan. Ia berharap anaknya berhenti berucap. Ada beberapa orang yang terlihat berkumpul di luar ruangan. Ia tak ingin apa yang terjadi membaut suasana semakin tak terkendali. "Cukup, Sayang. Please."

Tama berusaha untuk memeluk putranya, tapi ditolak. Jangankan dipeluk, untuk sekedar menatapnya saja Samudera ogah.

"Lebih baik Ayah jaga sikap. Baru cerai tapi sudah gandeng perempuan. Ayah yang gandeng perempuan, tapi Bunda yang jadi bahan candaan. Ayah tau kenapa aku pukul mereka?" ucap Samudera lantang. Telunjuknya tegak menunjuk ke arah Tama. "Mereka bilang kalau Ayah sudah bosan sama Bunda, makanya cari perempuan lain yang jauh lebih muda."

"Abang, Ayah minta maaf," sesal Tama. Ia berusaha untuk meraih tangan Samudera, tapi ditepis. "Dengar penjelasan Ayah dulu."

"Apa penjelasan Ayah bisa kembalikan keluarga kita kayak dulu lagi? Apa semuanya bisa buat Ayyara hidup lagi? Jawab!"

Ruang BK seakan berubah menjadi persidangan masalah keluarga. Samudera terlihat begitu terpukul sekaligus emosi. Rahangnya merngeras. Kedua tangannya terkepal begitu kuat. Luka lebam di wajahnya terlihat biru keunguan.

Terpaksa Eva meminta agar pertemuan diselesaikan. Ia meminta izin untuk membawa putranya pulang lebih awal. Untuk sementara, kemungkinan besar ia akan mencari rekomendasi psikologi anak terbaik untuk membantu putranya. Ia tak ingin masalah ini berkepanjangan dan memberikan dampak buruk bagi perkembangan mental Samudera.

"Va ... aku bisa jelaskan semuanya," ucap Tama sebelum Eva masuk ke mobil. Ia melirik ke arah Samudera dan Sagara yang duduk di mobil. "Tunggu dulu. Perempuan itu ...."

"Aku nggak peduli. Aku nggak mau tau kehidupan kamu yang sekarang. Kita sudah bukan suami istri lagi. Kamu sama sekali nggak berkewajiban untuk berbagi tentang kehidupan pribadi kamu ke aku. Tapi, seenggaknya kamu bisa jaga sikap. Tahan diri kamu. Anak-anak masih belum terbiasa sama keadaan ini. Semuanya berubah begitu cepat. Mereka cuma korban, Tama. Kalau sampai ada apa-apa sama Sam, kamu yang harus tanggung jawab. Demi Tuhan!"

Pintu mobil tertutup. Pak Rahmat melakukan mobil meninggalkan Tama yang masih berdiri terpekur. Memang hanya penyesalan yang kini tersisa.

-To be continued-

Depok, 9 Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top