21

Iklan sebentar, yaaaa.

Yang mau peluk versi cetaknya Nadia-Abi masih bisa yukkkkk.
Buat yang baru baca, judulnya DIA (OMKU) SUAMIKU.

Kali aja masih ada di antara kalian yang mau peluk versi cetaknya. Nggak bakalan ngecewain deh. Tebeeeeeel banget.

Hub aku, yaaaa. Boleh hit DM.

Mau kasih foto buku aslinya eh susah banget gagal upload terussss. Huhuhuhu.

Atau kalian bisa hub aku di 087775747141 kalau mau pesan, yaa.

Gila bangetttt.

Chapter kemaren kalian pada kenapa, sih?

Kolom komentar penuh dengan caci dan maki.

Huahhahaha.

Kasian Tama, tauuuuuuuk.

Yuklah cusss dibaca.

Semoga syukaaaa!

Siswa kelas 10 memang diwajibkan untuk mengikuti setidaknya satu kegiatan ekskul. Nantinya, nilai keaktifan mereka akan dilampirkan di buku rapor tiap semesternya. Kegiatan ekstrakulikuler juga menjadi wadah di mana siswa bisa belajar untuk berorganisasi, bersosialisasi dan mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya sesuai dengan minat serta bakat yang dimiliki.

Umumnya, setiap anak hanya akan mengikuti maksimal dua ekstrakulikuler. Namun, berbeda dengan Samudera. Remaja itu memborong beberapa ekskul. Kadang, ia baru tiba di rumah beberapa menit sebelum azan magrib berkumandang.

Puncak akumulasi dari semuanya pun terjadi. Terlalu aktif dalam berkegiatan membuat Samudera tumbang dan harus menginap satu minggu di rumah sakit. Bunda tak pernah berhenti mengoceh.

"Iya, Bunda." Samudera gegas membungkam bundanya. Wanita itu berkacak pinggang sambil menatap garang ke arahnya. Putra sulungnya sudah bersiap. Dua teman sekolah menunggu di teras untuk berangkat latihan sepak bola. "Cuma latihan aja. Biar sehat juga."

"Jangan mentang-mentang karena Abang sudah sehat."

"Sudah ya, Bun. Nggak enak sama Yudha dan Mario. Mereka nunggu dari tadi." Samudera merayu sang Bunda. Remaja itu mendaratkan satu kecupan di pipi Eva. "Bye, Bunda."

Eva berjalan cepat mengekor di belakang Samudera. Kedua teman putranya berdiri menyapa. Rasa khawatir membuatnya mau tak mau menitipkan putranya pada Mario dan Yudha.

"Tante titip Sam, ya. Baru sembuh banget dari sakit. Tolong ingatkan dia untuk istirahat. Sam suka ngeyel. Tante cuma nggak mau kalau nanti dia sakit lagi."

"Baik, Tante," sahut Mario dan Yudha serempak.

"Kita jalan dulu, Tante," pamit Yudha. Eva mengangguk. Ketiga remaja itu mengecup punggung tangannya.

"Rotinya dimakan bareng teman-teman ya, Abang!" teriak Eva saat mengingat bekal roti yang dibawakannya untuk sang putra. Ia mewanti-wanti agar Samudera tidak jajan sembarangan. Ia masih trauma tiap kali mengingat kondisi putranya saat itu. Mendengar teriakan sang Bunda, Samudera hanya mengangguk. "Awas aja kalau jajan yang aneh-aneh. Bunda sentil."

Ia masih berdiri di ambang pintu sampai putranya benar-benar tak terlihat. Tak lama, mobil yang dikendarai Pak Rahmat tiba. Dua anaknya yang lain sudah pulang. Eva menyambut Sagara dan Terra. Keduanya terlihat cukup kelelahan.

Eva mengambil alih dua tas bekal makan siang yang ditenteng anak-anaknya. Wanita itu menggandeng keduanya masuk. Sagara dan Terra menjatuhkan diri di sofa ruang tengah. Eva menyodorkan dua gelas air putih.

"Diminum dulu. Bajunya diganti. Setelah ganti baju makan siang. Enak kan hari ini nggak ada jadwal les?" ucap Eva.

"Tapi, tetap capek banget. Kita nggak bisa pindah sekolah ke yang jauh lebih dekat aja, Bunda?" tanya Sagara. Putra keduanya baru saja menandaskan isi gelas dan menciptakan suara sendawa yang lumayan kencang.

Benar juga. Jarak tempuh dari rumah ke sekolah memang jauh. Mereka pasti merasa bosan sepanjang di sepanjang perjalanan.

"Kakak tahan sebentar lagi, ya. Kasihan Terra. Kalau Kakak pindah sekolah sekarang, nanti Terra kesepian. Nanti Bunda yang cari sekolah baru untuk Kakak dan Terra. Biar kalian berdua bisa tetap satu sekolah. Gimana?" tanya Eva. Sagara dan Terra mengangguk setuju. Rentang usia keduanya dua tahun. Setidaknya, harus menunggu sampai akhir tahun ajaran untuk mempersiapkan dokumen kepindahan. Perlukah ia berdiskusi dengan ayah dari anak-anaknya? Rasanya tak perlu. "Ya sudah, sekarang ganti baju. Bunda mau lanjut siap-siap untuk masak, ya."

***

Hari begitu cerah, meskipun tanah masih basah karena sisa air hujan. Semalam hujan lumayan deras. Eva begitu semangat menyambut hari. Saat ini, lever percaya dirinya begitu tinggi. Wanita itu merasa yakin dengan masakannya. Ia akan memenuhi undangan dari pimpinan perusahaan tempat Bu Baskoro bekerja.

Sebelum berangkat, ia meyakinkan kalau tak ada satu pun sample makanan yang tertinggal. Makanan-makanan yang dibawa merupakan permintaan khusus dari sang pimpinan perusahaan. Tak terlalu sulit memang, ia diminta menyediakan nasi liwet lengkap dengan lauk-pauk pendampingnya. Ada tumis baby cumi jagung pipil, ayam bakar bumbu rujak, sayur asem tetelan, tahu tempe goreng, sambal terasi dan lalapan sebagai pelengkapnya. Eva harap masakannya sesuai dengan selera bos besar itu.

"Bilang aja nanti mau ketemu Bu Cintya ya, Mbak Eva. Kalau nanti bilangnya Bu Baskoro nggak akan ada yang kenal."

Eva menunggu dengan perasaan perasaan tak tenang. Padahal, baru lima menit. Rasanya begitu panjang. Resepsionis memintanya menunggu di lobi saat wanita itu menyampaikan maksud kedatangannya, bertemu dengan Bu Cintya. Mencoba mengusir rasa gugup dengan melihat-lihat keadaan sekitar sedikit membantu. Perusahaan ini lumayan besar. Tapi, dari profil perusahaan yang dipelajari sebelumnya, perusahaan ini bergerak di bidang jasa konstruksi. Mereka sudah banyak mendulang sukses dalam pembangunan beberapa mall besar, rumah sakit dan gedung sekolah swasta yang tersebar di kota-kota.

Yang ditunggu akhirnya datang. Irama degup jantungnya semakin berpacu. Bu Cintya menghampirinya dengan napas yang sedikit terengah.

"Maaf, Mbak. Baru selesai rapat. Saya langsung keluar dan turun karena takut Mbak Eva lama nunggu." Bu Cintya melihat semua barang yang Eva bawa. Wanita itu tersenyum. "Sudah siap tempur ya, Mbak. Kita ke atas, yuk! Teman-teman yang lain sudah nunggu. Pak Bos juga. Saya bantu bawa, ya."

Ia kembali diminta menunggu di depan sebuah ruangan. Meeting Room. Bu Cintya masuk ke ruang rapat. Tak lama, pintu ruang rapat terbuka. Bu Cintya melambaikan tangannya dan mempersilakan Eva masuk.

Kurang lebih ada 10 orang di dalam ruangan. Beberapa dari mereka tampak saling berbisik saat Eva masuk. Sayup-sayup ia sempat mendengar nama Tama digaungkan pelan. Biarlah, namanya memang pernah tertempel sebagai istri dari laki-laki itu. Mungkin juga sudah jadi resikonya kalau setiap langkahnya akan selalu dikaitkan dengan mantan suaminya.

"Teman-teman, ini yang namanya Mbak Eva," ucap Bu Cintya memperkenalkan Eva di hadapan teman-teman kantornya. "Seperti yag sudah disampaikan sebelumnya, Mbak Eva yang akan handle soal konsumsi di acara nanti."

"Mbak Eva jauh lebih cantik dari yang ada di TV dan berita di internet," celetuk seseorang. Yang lainnya menimpali dengan anggukkan. "Saya nge-fans banget sama Mbak Eva. Strong."

"Ibu bisa aja," sahut Eva seraya bercanda.

Nasi kotak sudah dibagikan. Namun, belum juga ada yang membuka kemasan. Bu Cintya mengecek ponselnya. Sepertinya seseorang yang dipanggil Pak Bos belum datang.

"Tunggu Pak Bos sebentar, ya. Tadi setelah rapat beliau langsung ke ruangan karena ada tamu penting. Kayaknya belum selesai. Nggak apa-apa kan, Mbak?"

"I—iya, Bu. Santai aja. Saya free, kok. Urusan di rumah sudah diserahkan ke Mbak Maryam."

Lumayan lama semua orang menunggu. Eva pun berbincang dengan Bu Cintya. Wanita itu meminta Eva untuk mulai memanggil dengan namanya, bukan nama suaminya. Eva juga sempat bertanya-tanya soal proyek apa saja yang sedang digarap, untuk sekedar basa-basi sambil membunuh waktu.

Beberapa orang berpamitan untuk ke toilet. Eva pun begitu. Sepertinya tak akan menjadi masalah kalau dirinya pamit sebentar. Toh, yang ditunggu juga tak kunjung menampakkan diri.

"Si Bos lama banget ditungguin nggak kelar-kelar, ih." Eva mendengar keluhan seorang pegawai wanita yang ditemuinya di toilet. Wanita itu tengah mencuci tangan saat dirinya berlalu. "Eh, Mbak Eva. Kami duluan ya, Mbak."

Saat kembali dari toilet. Sepertinya Bos Besar itu belum juga hadir. Belum ada tambahan orang di ruang rapat. Ia pun kembali duduk di sebelah Bu Cintya.

"Masih lama ya, Bu?" tanyanya sungkan. Bu Cintya melirik jam tangannya.

"Sebentar saya ke ruangan Pak Bos dulu ya, Mbak."

Bu Cintya baru akan membuka pintu. Namun, urung karena seseorang di ruang sudah lebih dulu mendorong pintu. Sesosok laki-laki dengan tubuh tegap dibalut setelan jas masuk. Laki-laki itu duduk di tempat duduk paling ujung, di mana ia bisa menatap dengan jelas wajah-wajah semua orang yang ada di hadapanya.

Eva gemetar saat laki-laki itu membuka tutup nasi kotak. Ia memeriksa isi di dalamnya. Semua orang menyaksikan dan belum ada satu pun yang berani membuka. Sampai akhirnya ....

"Kalian semua dari tadi nunggu saya, ya?" ucap laki-laki itu. Semua kompak mengangguk. "Ya ampun. Saya minta maaf. Silakan dimakan. Kalau kalian cocok sama rasanya, kita langsung ambil keputusan."

Eva mengamati mereka yang sedang menikmati makanan buatannya, terutama Pak Bos. Laki-laki itu terlihat begitu menyelami rasa yang hinggap di lidahnya. Ia sama sekali tak mengeluarkan suara. Suap demi suap masuk ke mulutnya, tapi ia sama sekali belum menyuarakan pendapatnya. Eva bagai menghadapi sebuah persidangan penting dalam hidupnya.

"Enak banget, ya," puji seseorang yang duduk di sebelah Bu Cintya. Eva merasa sedikit lega mendengar, meskipun baru satu orang yang menyatakan pendapat.

"Tumis cuminya mantap banget," timpal yang lainnya. "Nggak terlalu pedas. Bisa dinikmati. Bisa request ditambahin petai kan, Mbak Eva?"

"Bi—bisa. Nanti jadi catatan untuk saya."

"Baik." Pak Bos buka suara. Seketika seisi ruangan menjadi sunyi. Laki-laki itu sepertinya sudah menghabiskan nasi kotaknya. "Kayaknya semua orang yang ada di sini suka dengan makanan yang Mbak ...."

"Eva, Pak," sahut Eva. "Nama saya Eva."

"Mbak Eva, kayaknya rekan-rekan suka dengan masakan yang Mbak Eva bawa. Saya pun cocok dengan rasanya. Jadi, kita sepakat pakai katering Mbak Eva untuk acara bulan depan, ya."

Semua orang mengangguk. Eva senang bukan main. Pesanan dalam jumlah besar ini akan menjadi pencapaian baru dalam sejarah usahanya. Ia tak bisa berhenti tersenyum.

Surat kesepakatan ditandatangani kedua belah pihak. Pesanan ditambah setengah dari jumlah awal karena para pegawai diizinkan membawa keluarga. Eva juga diminta untuk menyiapkan snack kerdus dalam jumlah yang sama. Eva merasa tak asing saat membaca sebaris nama di lembar kesepakatan kerjasama. Nama itu pernah dikenalnya, bertahun-tahun yang lalu.

"Semoga kerjasama ini berjalan dengan lancar, Va." Eva tak kunjung menjabat tangan Bos Besar. Fokusnya berkelanan. Ia masih memikirkan nama yang baru saja dibacanya. "Maaf karena tadi belum sempat menyapa. Apa kabar, Va? Lama banget ya kita nggak ketemu."

Mungkinkah laki-laki yang ada di hadapannya seseorang dari masa lalunya? Ah, rasanya tidak mungkin. Keduanya terpisah saat masih di bangku SMA. Namun, bisakah hal seperti ini terjadi?

"Ibram?" sahut Eva ragu. "Ini beneran kamu, Bram?"

Laki-laki itu tak segera menjawab. Namun, senyuman yang tercipta di bibirnya Eva anggap sebagai sebuah jawaban. Setelah sekian lama, sosok itu kembali. Ibram Admajaya.

"Iya, ini aku. Apa kabar, Mantan?"

-TO BE CONTINUED-

DEPOK, 23 AGUSTUS 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top