2
"Mbak Mar sudah masak makanan kesukaan kamu. Dimakan dulu," bujuk Tama pada sang istri. Eva yang bungkam terus menggeleng. "Kamu boleh diemin dan nggak ngajak aku ngomong. Tapi, please. Ada anak kita di perut kamu, Va. Dia butuh makan."
Ketakutan Eva menjadi kenyataan. Rasa mual yang ia rasakan menjadi salah satu gejala kehamilan yang muncul. Ia dinyatakan tengah mengandung anak keempatnya. Bukannya tak merasa bahagia dan bersyukur dengan kehamilan itu. Eva bingung! Kenapa bayi itu hadir di saat rumah tangganya berada di ambang kehancuran?
Keadaannya membuat rencananya untuk bercerai dengan suami tertunda, atau mungkin terancam batal. Pengetahuannya akan agama memang tak begitu sempurna. Namun, wanita itu paham tak akan baik bagi seorang istri yang tengah mengandung menggugat cerai suaminya.
"Kamu boleh pergi. Taruh makanannya di sana," ucapnya datar. Eva yang semula bersandar di kepala ranjang pun memilih untuk kembali merebahkan tubuh. Ia mendengar helaan napas berat suaminya. "Aku mau istirahat."
"Va, semua bisa diperbaiki!" ujar Tama dengan nada sedikit kencang.
"Apa yang mau diperbaiki, Tam? Rumah tangga kita? Rumah tangga kita bukan bahan uji coba. Kita nggak lagi main rumah-rumahan. Ini juga bukan sayur yang keasinan terus bisa ditambahin air biar enak lagi. Kamu yang sudah buat ini semua rusak. Terus, sekarang dengan gampangnya bilang kalau semua bisa diperbaiki. Jangan konyol lah, Tama."
"Perceraian bukan satu-satunya jalan, apalagi sekarang kamu lagi hamil."
"Aku mohon. Saat ini, aku lagi nggak mau bahas masalah apapun soal rumah tangga kita. Seenggaknya, tolong kasih aku waktu untuk berpikir. Aku nggak bisa janjikan apapun. Tapi, semoga yang terjadi nanti itu yang terbaik untuk kita semua."
Tama menyerah. Ditaruhnya makanan di atas nakas. Sang istri memunggunginya. Tak lama, ia pun pergi.
Selama ini ia terlalu terlena. Ia pikir Tama yang begitu mencintainya dan senantiasa menjadikannya sebagai ratu di rumah tangga membuatnya menjadi wanita yang sempurna. Kebahagiaan yang selama ini dirasakannya sama sekali tak pernah membuatnya berpikir kalau suaminya akan tega berkhianat. Angan-angan hidup menua bersama dan menyaksikan anak-anaknya menjemput bahagia pun sirna.
Di balik selimut, tangannya mengusap perutnya yang masih rata. Dirinya diliputi perasaan bersalah yang teramat besar pada janinnya. Mungkinkah anak itu akan tumbuh besar di keluarga yang pecah belah nantinya?
Bunda harus gimana, Sayang?
OoO
Sekuat apapun Eva menolak, suaminya tak pernah gentar. Setiap harinya, selama sepekan ini sebelum berangkat ke kantor Tama selalu menyempatkan diri untuk menyuapinya sarapan. Laki-laki itu juga tak segan membantu Eva membersihkan diri. Apa yang dilakukan Tama seolah menjadi bukti penebusan semua kesalahannya.
Eva tak bisa dengan mudahnya percaya. Ia tak ingin jatuh di lubang yang sama. Selama hampir satu bulan ini, ia masih berusaha mempelajari dan mengamati sikap sang suami. Jangan sampai salah mengambil keputusan.
Yang dirinya tahu dari ketiga anaknya Tama sudah ada di rumah sebelum magrib. Bahkan, suaminya itu sudah mulai jarang pergi dinas ke luar kota. Tama yang sebelumnya sangat sibuk secara perlahan mulai kembali ke sosok laki-laki yang begitu mencintai keluarganya di atas segalanya.
"Ayah sudah pulang?" tanya Eva pada Sagara—putra keduanya. Sagara mengangguk. "Sekarang ada di mana?"
"Lagi main sama Terra. Ayah pulang bawa mainan untuk Terra."
"Abang di mana?"
"Abang ada di kamar. Abang bilang lagi banyak PR, jadi nggak mau diganggu dulu."
"Bunda minta maaf karena belum sepenuhnya sehat," ucap Eva. "Semoga kalian bertiga nggak marah."
"Bunda sama Ayah nggak jadi cerai?" tanya Sagara yang spontan membuat Eva bingung. "Abang bilang kalau Bunda sama Ayah cerai, kita semua ikut Bunda. Nggak mau ikut Ayah."
"Abang ada bilang apa ke Kakak?" tanya Eva.
"Nggak ada, Bun. Abang cuma bilang kalau Bunda dan Ayah berantem."
"Waktu kita pulang dari Bandung?" Saga mengendikkan bahunya. "Abang nggak bilang apa-apa?"
"Nggak, Bun. Abang suruh kita nggak boleh keluar kamar. Terra disuruh kunci kamar. Abang juga kunci kamar kita. Ada apa, Bun?"
"Nggak ada apa-apa."
Pintu kamar diketuk. Tama masuk dengan sebuah paperbag berlogo merk terkenal di genggamannya. Dihampirnya sang istri dan tak lupa menyematkan sebuah kecupan di puncak kepalanya.
"Aku ke kamar ya, Bun," ucap Sagara. Eva mengangguk.
Anaknya berlalu begitu saja tanpa menyapa Tama yang baru masuk. Tama hanya bisa mengembuskan napas. Dihampirinya Eva dan duduk di sisi ranjang.
"Gimana keadaan kamu?" tanya Tama. "Masih mual?"
"Lumayan," sahut Eva singkat.
"Ada titipan dari istrinya Pak Arnold."
Sejak Tama aktif di dunia politik, Eva memang senantiasa mendampinginya saat datang ke setiap acara. Secara tak langsung, ia pun akrab dengan sesama istri penggiat partai di mana sang suami bernaung. Namun, Eva sering merasa tak satu frekuensi dengan mereka yang terlalu heboh diimbangi dengan gaya hidup yang hedonis.
Dintipnya isi paperbag. Eva yakin harga barang di dalamnya sangat mahal. Kemasannya terlihat begitu elegan dan berkelas.
"Itu hadiah untuk kamu. Aku cerita ke Pak Arnold kalau kamu lagi hamil. Istrinya dekat sama kamu, jadi beliau titip itu. Kamu belum kasih tau ke beliau?" Eva mengangguk. Tama mulai memijit telapak kaki Eva. "Aku pijit, ya."
"Tam ...," ucap Eva. Suaminya yang sedang serius memijat telapak kakinya pun mendongak menatap ke arahnya. Wanita itu tak yakin dengan apa yang akan diucapkannya sebentar lagi. "Ada yang mau aku bicarakan sama kamu."
"Kamu mau bicara apa? Kalau itu soal perceraian, lebih baik jangan. Kita masih bisa bahas hal lain," sahut Tama.
"Kalau nggak ada satu pun dari kita yang bahas, masalah nggak akan selesai," timpal Eva. "Aku sudah mempertimbangkan semuanya. Aku memikirkan anak-anak. Benar-benar karena mereka dan bayi yang aku kandung. Aku memutuskan untuk membatalkan rencana gugatan cerai."
Binar bahagia tampak di kedua mata Tama. Angin segar berembus kencang. Senyuman terbit di kedua bibirnya.
"Kamu serius, Va?" tanya Tama.
"Anak-anak yang menjadi pertimbangan terbesarku. Sebenarnya sulit, mengingat apa yang sudah kamu lakukan. Tapi, aku nggak bisa tiap kali harus membayangkan mereka yang tumbuh tanpa figur ayah. Terlebih anak ini. Kalau aku tetap egois dan mantap bercerai sama kamu, dia akan tumbuh di keluarga yang pecah."
"Apa ini berarti kamu kasih aku kesempatan?" tanya Tama. Eva mengangguk. Laki-laki yang sedang berbahagia itu tak berhenti mengecupi tangan istrinya. "Terima kasih, Va. Terima kasih. Aku nggak akan mengecewakan kamu."
"Tapi ... aku harap kamu bisa terima keputusan ini. Aku kasih kamu kesempatan untuk bisa membuktikan ucapan kamu. Buktikan ke anak-anak. Buktikan ke mereka kalau kamu ayah terbaik. Sembuhkan sakit hati mereka, terutama Sam. Kamu tau apa yang dia bilang ke aku?" ucap Eva. Tama menggeleng. "Dia benci kamu. Kamu sudah melukai perasaan anak kita. Dan satu lagi ... maaf aku nggak bisa sekamar lagi sama kamu. Aku masih belum bisa terima apa yang sudah terjadi. Tolong pecat dia."
Tama menatap Eva serius.
"Pecat perempuan itu. Kalau kamu mau semuanya kembali baik, jangan pernah ciptakan celah sekecil apapun."
OoO
Keluarganya memang terlihat baik-baik saja, seakan masalah tak pernah mendera. Eva melihat sang suami yang berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan anak-anak mereka. Si Kecil Terra mungkin memang belum mengerti seberat apa masalah yang menimpa kedua orang tuanya, tapi Samudera dan Sagara sedikit banyak paham. Tama berusaha untuk mendekatkan diri kembali dengan kedua jagoannya.
Terlihat dengan sangat jelas bagaimana penolakkan yang diberikan Samudera dan Sagara tiap kali ayahnya mendekat. Kedua adik kakak itu memang sangat kompak. Biarkan waktu yang menjawab dan mengembalikan semua keadaannya.
Sosok family man itu kembali. Eva harap suaminya tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan. Eva harap kehadiran bayi yang menghuni rahimnya bisa sepenuhnya membawa Tama kembali pada keluarga mereka. Ia juga berharap kalau Tama tak lagi berpikiran untuk menggadaikan kebahagiaan keluarga.
"Kamu tidur, ya. Kamu harus banyak istirahat dan tidur yang cukup," ucap Tama. Eva mengangguk.
"Kamu nggak tidur?" sahunya.
"Aku masih harus urus pekerjaan. Lusa aku mau dinas ke Padang untuk memantau proyek jembatan." Eva ber-oh ria. "Selamat malam."
"Jangan begadang terlalu larut. Umur kamu sudah nggak muda lagi. Kamu harus tetap sehat untuk bisa lihat anak-anak sampai besar nantinya."
"Iya." Tama mengangguk, mengecup kening sang istri dan perut Eva yang sudah mulai membesar, membenarkan selimut serta tak lupa mematikan lampu kamar. "Selamat malam. Tidur yang nyenyak, ya. Love you."
Lidahnya kelu untuk sekedar membalas kata cinta yang Tama ucapkan. Benar apa yang orang bilang. Jangan terlalu mencintai sesuatu. Eva terlalu mencintai Tama seakan berpikir kalau laki-laki itu akan selalu membahagiakannya sampai maut memisahkan.
Hari sudah semakin larut. Tidurnya sama sekali tak nyenyak. Ia kelaparan. Nafsu makannya perlahan sudah kembali seiring bertambahnya usia kehamilan. Ia butuh sesuatu untuk mengganjal perutnya.
Dengan begitu hati-hati, ia berjalan menuruni anak tangga. Lampu di seluruh ruangan sudah dimatikan. Eva melangkah masuk ke dapur. Diperiksanya lemari es. Sebuah apel dan segelas susu sepertinya akan cukup untuk meredam rasa laparnya.
Sayup-sayup ia mendengar suara sang suami yang tengah berbincang dengan seseorang di sambungan telepon. Eva berjalan mendekati pintu ruang kerja Tama yang sedikit terbuka. Ia berharap apa yang didengarnya salah. Sungguh.
"Kamu sabar, lah. Aku nggak bisa gegabah. Eva sedang hamil. Aku nggak mau sampai ada apa-apa sama dia dan anakku. Iya, aku paham. Aku minta maaf karena terkesan mengabaikan kamu. Beberapa bulan lagi anakku lahir."
Ya Tuhan.
Eva yag terkejut gegas membungkam mulut dengan telapak tangannya. Pertunjukkan apa lagi ini, Ya Tuhan? Drama apa yang sebenarnya sedang dimainkan sang suami?
Tubuhnya kaku di balik pintu ruang kerja Tama. Rasanya ingin sekali menggebrak pintu, menerobos masuk dan mencaci laki-laki itu. Kepercayaan yang ia berikan kembali dirusak.
"Sejak awal aku sudah kasih tau kamu resikonya. Aku sudah berumah tangga, tapi kamu bilang itu nggak masalah. Ya sekarang harus diterima konsekuensinya berhubungan dengan suami orang. Aku bilang ke istriku kalau lusa ada dinas ke Padang. Iya, aku ke apartemen kamu. Kita punya waktu beberapa hari untuk ketemu."
Eva yang masih sangat terkejut dengan apa yang disaksikannya tak sengaja membuat suara. Sebelum Tama menyadari kehadirannya, buru-buru ia kembali naik dan masuk ke kamarnya. Tubuhnya luruh bersandar di balik pintu. Seketika penyesalan karena sudah memberi suaminya kesempatan kedua pun muncul.
Ini benar-benar konyol! Eva pikir Tama sudah benar-benar kembali padanya dan anak-anak. Apa yag harus ia lakukan?
to be continued
Depok, 4 Agustus 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top