18
"Aku nggak mau lagi kalau disuruh pergi sama Ayah."
Kalimat itu yang selalu terngiang di kedua telinga Eva. Setiap kali mengingat kejadian itu, ia selalu dan kembali menyalahkan dirinya. Ia sudah sangat egois.
Tama benar-benar keterlaluan. Ia kembali mengecewakan Eva dan anak-anaknya untuk kesekian kalinya. Eva salah karena sudah mempercayainya. Eva salah karena berpikir kalau laki-laki itu sudah berubah.
Wanita itu sudah tak bisa lagi menyembunyikan penyebab perceraiannya dengan Tama dari kedua anaknya—Sagara dan Terra. Mereka mendengar semuanya dengan begitu jelas. Ayah mereka berselingkuh. Dan parahnya perselingkuhan itu justru terjadi di rumah yang selama belasan tahun dmereka tempati. Ditambah ... saat mereka sekeluarga begitu berharap laki-laki itu akan datang menyusul saat liburan kala itu.
Meskipun begitu, Eva tetap saja merasa bersalah. Anak-anak masih terlalu kecil untuk tahu kenyataan yang terjadi. Namun, mau sampai kapan ia menyembunyikan semuanya?
Sejak malam itu, Eva berjanji dalam hati. Mantan suaminya tak akan pernah diikutsertakan dalam segala hal yang berhubungan dengan anak-anak mereka. Bahkan, gaji Mbak Maryam dan Pak Rahmat pun akan dibayarkannya sendiri dari koceknya. Wanita itu tak akan lagi sudi untuk menerima uang dari sang mantan suami. Ia akan menunjukkan kekuatan seorang ibu yang sebenarnya.
Eva menatap wajah damai Terra yag tertidur pulas di atas ranjang. Gadis kecillnya mendengkur pelan. Terra kelelahan karena begitu padatnya jadwal di sekolah, ditambah les mata pelajaran. Betapa menyedihkannya Terra. Seharusnya, laki-laki yang menjadi cinta pertamanya adalah Tama. Namun, hatinya harus dipatahkan oleh ayah kandungnya sendiri.
Kalau sebelumnya ia begitu berusaha agar anak-anaknya tak membenci ayah mereka, maka saat ini masa bodoh menjadi pilihannya. Eva menyerahkan semua keputusan pada ketiganya. Mereka berhak menentukan bagaimana ketiganya akan bersikap. Jika memang membenci Tama adalah yang terbaik, silakan.
"Maaf karena Adek sudah kehilangan sosok yang seharusnya jadi cinta pertama Adek. Bunda minta maaf."
Air matanya tak mampu lagi ditahan. Satu bulir menetes saat Eva menunduk dan mengecup pipi kiri Terra. Gadis itu sedikit menggeliat sambil bergumam dalam tidurnya. Mungkin apa yang baru saja disampaikan sang Bunda masuk ke mimpinya.
Eva memeriksa saldo terakhir rekeningnya—rekening yang biasanya digunakan untuk menerima dana kiriman dari Tama setiap bulannya. Ia mencatat jumlah yang tersimpan di sana. Mantan suaminya bukanlah tipe laki-laki yang akan begitu saja menerima keputusan. Apalagi kalau keputusan itu bertentangan dengan dirinya. Mungkin Tama akan tetap mengiriminya uang. Namun, Eva tak akan memakai uang-uang itu. Tidak akan.
"Kamu nggak perlu transfer lagi, Tam," gumam Eva saat melihat daftar mutasi. Ada dana masuk. Jumlahnya sama seperti yang mantan suaminya kirimkan setiap bulannya. "Aku nggak akan pakai uang kamu, bahkan kalau kepepet sekalipun."
Eva menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Hati kecilnya masih terasa begitu sakit. Tak masalah kalau dirinya yang disakiti. Namun, masalah besar kalau anak-anaknyalah yang tersakiti.
"Tante Seva bilang katanya aku sama Kakak ganggu dia sama Ayah. Tante Seva bakal jadi ibu tiri kita ya, Bun?"
Kalau memang iya, Eva tak peduli. Sekalipun dirinya mati, ia tak akan pernah membiarkan anak-anaknya berada dalam pengasuhan ibu yang lain selain dirinya. Ia tak akan pernah rela.
***
Eva menutup seluruh akses agar Tama tak bisa dengan mudahnya mendekati anak-anak. Ia meminta Pak Rahmat untuk menunggu sampai mereka pulang sekolah. Bahkan, secara khusus, wanita itu juga meminta pihak sekolah melarang Tama kalau laki-laki itu bersikeras ingin bertemu dengan anak-anaknya.
Usahanya semakin berkembang pesat. Ia patut bersyukur. Eva semakin bertambah serius untuk menjalankan usaha keteringnya. Setiap hari, ada saja orderan yang masuk. Ia tak pernah pilih-pilih. Semua disanggupi.
"Mbak, yang itu segera ditata, ya. Mau diambil dua jam lagi," ucapnya saat melihat sebagian kerdus nasi kotak yang belum terisi. "Saya mau istirahat sebentar. Kepala saya pusing banget. Kalau Abang pulang langsung suruh makan ya, Mbak. Kakak sama Adek ada les sampai sore ini. Saya mau coba tidur dulu."
"Baik, Bu," sahut Mbak Marni. "Mau saya buatin teh hangant, Bu?"
"Boleh. Nanti antar aja ke kamar. Kalau saya sudah tidur, taruh di atas meja yang ada lampu tidurnya. Nanti saya minum."
Kepalanya terasa berputar. Akhir-akhir ini, tidurnya memang tak nyenyak. Eva sering terbangun di malam hari, menangis sepanjang malam dalam diam sampai akhirnya ketiduran.
Ponselnya berdering. Menampilkan nama sang mantan suami di layarnya. Apa sih yang laki-laki itu inginkan? Tak cukupkan ucapannya malam itu?
Ia tak mengacuhkan panggilan itu. Namun, lama-kelamaan cukup mengganggu juga. Bukannya tidur, Eva justru merasa terganggu dengan suara dering ponselnya.
"Kenapa lagi?" Eva terpaksa menjawab panggilan. "Ngapain kamu telepon lagi?"
"Va, kamu nggak bisa begini, dong!" teriak Tama dari sambungan telepon. Eva menghela napasnya. Kepalanya kembali berdenyut. Bahkan, terasa jauh lebih sakit dari sebelumnya. "Saga sama Terra itu juga anakku. Aku ayah mereka. Aku berhak ketemu sama mereka. Kamu nggak bisa begini. Kamu yang bilang kalau nggak akan membatasi pertemuanku sama anak-anak."
"Kamu bilang kayak begini seolah nggak terjadi apa-apa. Kamu itu sudah salah, Tam!" teriak Eva kencang. "Mereka itu anak-anak. Kalau memang kamu mau pacaran, nggak usah ajak mereka!"
"Maksud kamu apa sih, Va?" sahut Tama. Dari nada suaranya, Eva menangkap kalau laki-laki itu belum tahu soal duduk permasalahannya sampai saat ini. Padahal, sudah hampir seminggu berlalu. "Apa maksud kamu?"
"Kamu tanya sama pacar kamu soal apa yang dia bilang ke anak-anak! Tanya ke dia!"
"Seva ... memang dia bilang apa ke Saga dan Terra?"
"Dia bilang kalau mereka itu pengganggu. Pengganggu hubungan kalian. Ngerti?"
"Seva bilang begitu?" sahut Tama lagi. "Nggak mungkin."
"Terserah kamu mau percaya siapa. Yang jelas, aku nggak akan mengizinkan kamu untuk ketemu sama anak-anak, apapun alasannya."
Eva begitu marah. Bisa-bisanya Tama meragukan semua yang diucapkannya. Dan ... bisa-bisanya laki-laki itu bimbang harus percaya dengan siapa.
"Va! Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu!"
"Aku seorang ibu, Tam! Aku yang mengandung dan melahirkan mereka. Siang malam aku begadang jaga mereka. Memastikan kalau tidur mereka nyaman, popok mereka bersih dan nggak kelaparan. Tapi, sekarang mereka justru disia-siakan sama ayahnya sendiri. Kamu seharusnya yang jadi sosok cinta pertamanya Terra. Sadar, Tama! Ya Allah! Sekarang, aku nggak akan ngatur apa yang harus mereka lakukan. Kalau akhirnya mereka semua memilih untuk benci sama kamu, terima aja."
"Va!"
Masa bodoh! Terserah. Eva segera memblokir nomor Tama di ponselnya. Ia tak ingin mantan suaminya itu mengganggu kehidupannya dan anak-anaknya.
***
Tama tak ingat berapa kali dalam sehari ini ia menghela napasnya. Laporan penggunaan kartu kredit dengan nilai yang lumayan terus masuk ke ponselnya. Ia begitu memanjakan sang kekasih. Sevania banyak membeli barang dengan kartu kredit yang dibekalinya.
Tama mengingat perkataan Eva. Laki-laki itu belum sempat menanyakan soal itu langsung pada kekasihnya. Kedua begitu jarang bertemu. Sevania sibuk dengan kegiatannya, sementara Tama sibuk dengan pekerjaan peninjauan proyek di luar kota.
Ia sulit untuk percaya. Yang dirinya tahu, wanita itu cukup memiliki sifat keibuan. Tiap kali Tama bercerita soal akhir pekannya yang dihabiskan bersama Sagara dan Terra, wanita itu terlihat antusias. Bahkan, Sevania pernah mengutarakan ketidaksabarannya untuk bertemu dengan anak-anak Tama.
"Jangan terlalu sering belanja," ucap Tama. "Baju-baju kamu masih banyak yang baru dan belum dipakai."
"Kamu nggak ikhlas beliin aku barang-barang ini?" sahut Sevania kesal. Wanita itu datang berkunjung ke rumah Tama. Laki-laki itu sudah kembali tinggal di rumah di mana keluarganya pernah merasakan titik paling bahagia dan titik paling mengecewakan dalam hidup. "Kalau kamu nggak suka, okay. Nih, aku balikin CC kamu."
"Nggak perlu marah kayak begini. Aku bukannya ngelarang kau belanja. Aku cuma mengingatkan karena kamu sudah terlalu sering buang-buang uang untuk beli barang yang nggak jelas."
"Aku belanja kan juga untuk kamu, Mas. Supaya kamu nggak malu kalau kita jalan bareng. Supaya kamu bisa merasa banggak punya pacar kayak aku."
Tama memilih mengalah. Tangannya meraih kartu kredit dan memasukkannya ke dompet.
"Aku ambil kartu kreditku."
Ia mengamati Sevania yang membongkar seluruh barang belanjaannya. Mencoba satu demi sati pakaian, sepatu dan tas yang dibelinya. Tama hanya bisa mengurus keningnya dengan jari.
"Ada yang mau aku tanyakan ke kamu," ucap Tama. Sevania mengangguk, meskipun masih sibuk mencoba pakaian. "Apa benar kamu bilang ke Saga dan Terra kalau mereka sudah ganggu hubungan kita."
"Ng—nggak. Aku nggak pernah bilang begitu," kilah Sevania. Mendengar jawabannya justru membuat Tama semakin curiga.
"Aku tanya kamu sekali lagi. Apa benar kamu bilang ke mereka kalau mereka sudah ganggu hubungan kita?" Sevania terdiam. "Jawab!"
"A—aku minta maaf, Mas. Aku kesal karena mereka kamu lupa sama aku. Kita sudah jarang ketemu. Cuma weekend satu-satunya kesempatan kita. Tapi, kamu justru sering pergi sama mereka. Aku kesal."
"Astaga, Seva! Aku nggak nyangka kamu setega ini. Mereka itu anak-anakku. Apa yang sudah kamu ucapkan ke meraka jelas keterlaluan. Kamu tau apa yang sekarang terjadi? Eva larang aku untuk ketemu sama mereka."
"Mas, itu bukan akhir dari hidup kamu. Kamu bisa nikahin aku dan kita bisa punya anak. Kamu bisa lupain mereka. Biar mereka sama bundanya. Gimana?"
-TO BE CONTINUED-
DEPOK, 21 AGUSTUS 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top