16
Orang bilang, lima tahun pertama dalam pernikahan adalah masa-masa yang kritis. Jika berhasil melwati, semua dianggap aman. Banyak cobaan yang datang mendera di tahun-tahun awal pernikahan Eva dan Tama. Kesulitan ekonomi, menunggak biaya kuliah, Eva yang terpaksa mengambil cuti kuliah karena harus bekerja demi bisa membantu perekonomian keluarga kecilnya sampai ancaman godaan orang ketiga. Sayangnya, hal terakhir justru datang dari pihak Eva. Beberapa pria yang gagal mendapatkan hatinya mencoba untuk meruntuhkan benteng pertahanan wanita itu. Mereka menjaminkan kehidupan yang nyaman padanya. Namun, Eva tetap bertahan. Ia menaruh kepercayaan penuh pada sang suami, bagaimana keadaanya. Saat itu, ia yakin kalau Tama akan membuatnya selalu bahagia.
Orang bilang, sepuluh tahun pertama dalam pernikahan juga menjadi saat-saat yang rawan. Banyak yang gagal bertahan. Rasa bosan pada pasangan akan timbul. Panggilan 'Sayang' mungkin tidak akan lagi terdengar. Sudah akrab dengan yang namanya pertengkaran. Menganggap pernikahan menghalangi tujuan hidup tertentu. Bahkan, bisa saja berkali-kali mendiskusikan untuk berpisah. Namun, tak berlaku untuk keduanya—Eva dan Tama. Mereka berhasil melauinya dengan mulus. Semakin mengeratkan genggaman tangan dan tak pernah bosan untuk saling memuji.
Ternyata sepuluh tahun keduanya gagal. Istananya runtuh. Cinta yang semula selalu berapi-api, seakan tak pernah padam pun akhirnya mati bagai disiram air. Semuanya porak-poranda. Anak-anak turut menjadi korban. Ya, anak-anak. Ketiga anaknya.
Kalau boleh jujur, Eva merasa bersalah pada kedua anaknya. Ia masih ingat raut wajah Sagara dan Terra saat meninggalkan rumah untuk pergi bersama ayah mereka. Rasa kecewa jelas masih tampak di sana. Ia sudah memaksa keduanya.
Seharusnya ia tak perlu merasa khawatir karena anak-anak akan aman bersama ayah mereka. Namun, wanita itu tak berhenti memandangi jam dinding. Ia juga tak melepaskan ponselnya. Baru saja ia mengirimkan pesan pada Tama. Menanyakan pada sang mantan suami apa yang sedang mereka lakukan dan kapan anak-anak anak diantar pulang.
Ayahnya Anak-anak
Tadi memang mereka ngotot pulang.
Kami sempat bicara di mobil.
Tapi, akhirnya mereka mau setelah aku rayu.
Aku sama anak-anak lagi makan pasta.
Kamu mau?
Aku bisa bungkus untuk kamu sama Abang.
Eva
Bagus kalau begitu.
Jangan boleh minum soda banyak-banyak.
Esnya juga nggak boleh banyak.
Mereka bisa flu.
Nggak usah bungkus untuk aku.
Tapi, kayaknya Abang mau.
Pesan yang kayak biasanya aja.
Kamu masih ingat, kan?
Ayahnya Anak-anak
Masih.
Fettucine Carbonara.
Sebentar lagi kami selasai, aku bakal langsung antar mereka pulang.
Wanita itu merasa lega. Syaraf yang tadinya menegang pun mulai mengendur. Eva tahu niatan Tama. Laki-laki itu hanya ingin kembali dekat dengan anak-anaknya. Ia harap Tama serius dengan usahanya. Pun dengan anak-anak. Eva juga berharap agar mereka bisa kembali dekat dengan ayah mereka, termasuk Samudera.
***
Sejak hari itu, Tama sering meminta izin utuk mengajak anak-anak pergi. Hanya Sagara dan Terra, tidak dengan Samudera. Mau bagaimanapun dirayu, remaja itu tak pernah mau. Tak ada yang berani memaksa. Kalau dipaksa, takut emosinya pecah dan semakin menambah rasa bencinya pada sang Ayah. Eva memenuhi ucapannya. Ia tak membatas pertemuannya dengan anak-anak. Tama bebas menemui mereka, kapanpun.
Tamu jauh datang. Arjuna—kakak laki-laki satu-satunya pulang ke tanah air. Ia pulang bersama dengan anak dan istrinya. Tuntutan pekerjaan tak mengizinkannya pulang saat Eva didera musibah; meninggalnya Ayyara dan perceraian. Sepasang adik kakak itu saling berpelukan melepas rindu yang selama ini tertahan.
Arjuna menyimpan rasa kesal yang begitu mendalam di hatinya. Ia masih ingat betul betapa bahagianya Eva di hari pernikahannya dengan Tama kala itu. Melihat kondisi sang adik yang harus bekerja keras sekarang membuat hatinya teriris.
"Tama rutin kirim uang, Va?" tanyanya pada sang adik. Eva mengangguk. Bagus. Mantan suami adiknya itu tak lepas tanggung jawab. Kalau saja hal itu sampai terjadi, Arjuna tak akan merasa segan untuk memberikan pelajaran. "Dia sering ke sini?"
"Lumayan sering. Nengok anak-anak sekalian makamnya Ayya. Akhir-akhir ini dia juga sering ajak anak-anak pergi."
"Mereka mau?" tanya Arjuna. Laki-laki itu membenarkan posisi duduknya. Menyandarkan bahu ke sofa dan menyilangkan kedua kakinya. Kedua tangannya juga sudah terlipat di dada, tak sabar mendengar jawaban Eva.
"Mau. Awalnya sih nggak mau. Aku kasih pengertian ke mereka. Tama juga coba ngomong ke mereka. Kasihan juga, sih. Dia mau dekat lagi sama anak-anak."
"Salahnya dia sendiri. Semua masalah kan dia yang buat," sahut Arjuna santai. "Aku kan sudah pernah bilang waktu itu, Va. Jangan kasih izin Tama masuk ke politik. Dunia politik itu gelap. Dari mulai senggol-menyenggol, korupsi dan ... perselingkuhan. Kebukti, kan?"
Ah, sudahlah. Eva tak ingin membahas lagi apa yang sudah terjadi. Semuanya percuma juga, kan? Toh, pernikahannya sudah hancur. Tak bisa diselamatkan. Lebih tepatnya, ia tak mau memaksakan diri untuk menyelamatkan pernikahan itu. Menyelamatkan masa depannya dan anak-anak jauh lebih utama.
Wanita itu tahu kalau Arjuna masih merasa kesal dan kecewa. Laki-laki itu tak pernah bisa menyembunyikan emosinya. Berkali-kali mengembuskan napasnya kasar dan memukul-mukulkan telapak tangannya yang terkepal ke udara sudah menjadi ciri khasnya saat marah. Eva tak bisa menahan tawa. Ini sangat lucu.
"Sudah, Mas. Kamu malah kelihatan lucu kalau kayak begini," ucapnya diselingi kekehan. "Orangnya nggak ada di sini. Siapa yang mau kamu pukul?"
"Nanti kalau orangnya ke sini, aku hajar dia."
"Nggak usah. Dia sudah dapat balasannya. Dihajar mau cuma bikin dia kesakitan dan lebam-lebam. Dimusuhin Sam jauh lebih menyiksa."
"Sam? Lho, katanya anak-anak sudah mau jalan-jalan sama dia?" ucap Arjuna. Merasa pembicaraan akan semakin menarik, ia pun segera duduk menghadap Eva. "Sam nggak akur sama ayahnya sendiri?"
Eva mengangguk. Lucunya, anggukkan Eva justru membuat sang Kakak tertawa puas. Ini benar-benar menarik! Padahal, sebeum semua terjadi, Arjuna selalu merasa iri melihat kedekatan Samuderan dan Tama. Ia tidak bisa sedekat itu dengan anak-anaknya karena pekerjaan yang padat. Tama memang pantas mendapatkannya. Setelah semua yang diperbuatnya, mendapatkan pengampunan dengan mudah seharusnya menjadi hal yang tidak mungkin baginya. Arjuna mendukung penuh apa yang dilakukan keponakannya.
"Itu baru keponakanku!" pekiknya bahagia. Senyuman tak kunjung memudar dari kedua bibir Arjuna. "Pulang jam berapa dia? Aku nggak sabar ketemu sama dia."
"Mas, jangan ajarin dia yang nggak-nggak. Kita yang dewasa seharusnya yang kasih contoh," protes Eva. Ia kenal baik siapa kakaknya. Bukan tidak mungkin kalau Arjuna akan membuat anak sulungnya semakin membenci ayahnya, kan?
"Aku nggak sejahat itu, Va. Aku cuma suka caranya Sam. Dia sudah bisa bertindak sesuai keinginan hatinya. Dia nggak harus pura-pura menerima Tama."
"Nggak tau, lah. Aku bingung. Kalau ayahnya datang aja dia langsung naik ke atas. Seakan haram banget lihat muka ayahnya."
"Gimana nggak haram. Kamu sendiri yang kasih tau ke aku kalau dia pernah lihat ayahnya melakukan perbuatan haram secara langsung."
***
"Kalian nggak boleh nyusahin Ayah, ya. Minum esnya nggak boleh banyak-banyak. Bunda sudah siapin obat-obatan kalau dibutuhkan. Bilang Ayah kalau kalian butuh sesuatu."
Sagara dan Terra mengangguk. Tama meminta izin untuk mengajak keduanya menghabiskan liburan akhir pekan. Sebenarnya, keikutsertaan Samudera sagat diharapkan. Namun, percuma.
Sepertinya emang benar kalau keadaan sudah sedikit membaik. Suasana di mobil tak sesunyi sebelumnya. Anak-anak mulai membuka suara. Mereka bertiga membicarakan semua hal. Tama merasa bahagia karena berhasil meluluhkan hati kedua buah hatinya.
"Kakak pindah duduk ke belakang, ya," ucap Tama. Sagara segera mengernyitkan kening. Kenapa harus pindah? Apa akan ada orang lain selain mereka?
"Mau ada orang, Yah?" sahut Sagara. Tama mengangguk. "Siapa?"
"Tante Seva. Kita tunggu dia, ya. Ayah mau kenalin Tante Seva sama kalian berdua."
Sama sekali tak berniat untuk menyahut, Sagara pun berpindah duduk. Sepuluh menit sudah berlalu. Sampai akhirnya, seorang wanita membuka pintu mobil.
"Lama nunggu, ya?" ucapnya. Tama menjawabnya dengan sebuah gelengan. Wanita itu tanpa ragu mengecup kedua pipi Tama. Sama sekali tak mempedulikan dua anak kecil yang sedang menyaksikan. "Oh, ini yang namanya Saga dan Terra? Hai."
"Kakak ... Adek, salim sama Tante Seva," pinta Tama. Laki-laki itu merasa beruntung karena kedua anaknya tak menolak. Sagara dan Terra mengecup punggung tangan sang kekasih. "Anak-anak Ayah pintar banget."
Kebun binatang di daerah Cisarua menjadi pilihan. Anak-anak terlihat begitu menikmati safari siang ini. Hewan-hewan dibiarkan berkeliaran dengan bebas. Tama mengamati keseruan di kursi belakang. Kedua anaknya tengah sibuk mengabadikan momen dengan ponsel. Andai Samudera ikut bergabung, maka kebahagiaannya sempurna sudah.
"Kakak, fotoin aku pas zebranya madep sini, dong!" pinta Terra. Seekor zebra mulai mendekati jendela mobil. "Kak! Fotoin! Cepat keburu pergi!"
Gelak tawa terdengar renyah dari kursi belakang. Sagara dan Terra begitu antusias. Tama pun mengemudi dengan perasaan yang ikut bahagia.
Mereka menyaksikan berbagai macam pertunjukkan. Tama juga menyewa dua ekor gajah untuk mereka tumpangi agar bisa berkeliling di sekitar kebun binatang. Sevania memilih untuk menunggu. Cuaca begitu panas. Tak ingin riasannya luntur, katanya. Padahal, Tama ingin agar wanita itu bisa lebih mengakrabkan diri dengan kedua anaknya.
Matahari sudah semakin meninggi. Mereka memutuskan untuk makan siang di pujasera terbesar yang ada di sini. Usai memesankan makanan, laki-laki berpamitan ke toilet, meninggalkan Sevania bersama dengan kedua anaknya.
"Kalian bisa nggak jangan terlalu sering minta ayah kalian untuk ngajak pergi?" ucap Sevania. Nada suaranya memang terdengar lembut, tapi sukses membuat Sagara dan Terra yang duduk di hadapannya langsung melongo. "Bisa? Gara-gara kalian berdua, Tante nggak bisa menghabiskan waktu sama ayah kalian. Mas Tama itu sibuk kalau hari kerja, jadi kami cuma bisa ketemu di weekend. Eh, sekarang weekend malah lebih sering pergi sama kalian berdua. Ganggu banget."
"Bukan kami yang ajak pergi," sanggah Sagara. Terra pun ikut mengangguk. "Tapi, Ayah yang minta ke Bunda supaya bisa ajak kami pergi. Kami juga nggak tau kalau Tante ikut hari ini. Kalau tau, mendingan di rumah. Iya kan, Dek?"
"Iya."
"Selesai makan, terserah kalian mau ke mana. Jangan ganggu Tante sama Ayah. Paham?" Sevania menangkap kedatangan Tama. Ia berbisik pelan."Diam."
"Makanan belum ada yang datang?" tanya Tama karena mendapati meja yang masih kosong. Sevania mengangguk. "Kalian sudah lapar, ya?"
Benar saja. Usai makan siang, Sevania sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Tama. Sagara dan Terra yang berjalan di belakang mereka berdua hanya bisa menyaksikan dengan perasaan geli. Keduanya ingin sekali memisahkan diri.
Tama dan Sevania begitu larut dengan suasana. Laki-laki itu tak menyadari kalau kedua anaknya sudah tak ada di dekatnya. Ia terus saja berjalan menuruti keinginan wanita yang tengah bermanja padanya.
"Kak, kita mau ke mana?" tanya Terra. "Mau pulang aja?"
"Kakak nggak suka sama pacarnya Ayah."
"Iya. Aku juga, Kak. Kenapa Tante Seva ngomong kayak begitu ke kita? Ayah juga nggak nyariin kita. Padahal, kita sudah pergi dari tadi."
"Sudah. Nggak usah dipikirin. Dek, Ayah itu lagi jatuh cinta. Kita sudah nggak dianggap."
-TO BE CONTINUED-
Depok, 19 Agustus 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top