15

Tok tok tok
Aku mau anter katering, nih.

Yang belom follow yuk follow. Setelah ini selesai, aku ada kisah lagi. Nggak sabar mau bikinnya. Huwaaaaaa.

Sepertinya penolakkan Eva terdengar percuma di telinga kedua orang tuanya. Mereka bilang, kenalan dulu. Kan sudah kenal. Harus apa lagi? Ya kenalan lagi biar lebih dekat. Masalah kemungkinan homoseksual, kedua orang tuanya berani menjamin. Dia normal, Eva! Doyan perempuan, kok. Tahu dari mana?

Wanita itu tak bisa denga bebasnya menampakkan betapa malas dirinya saat kedua orang tuanya datang ke rumah membawa serta Si Fadli-fadli itu. Penampilannya saja jelas membuat Eva merasa ciut. Dua tanda titik kehitaman di kening menandakan betapa taatnya laki-laki itu pada Tuhan. Eva berusaha menelisik, mencari kemungkinan kelainan orientasi seksual. Namun, terlihat normal-normal saja.

Fadli datang bersama Budiman dan Riantii. Laki-laki itu menceritakan latar belakang keluarganya, yang sebenarnya sudah Eva ketahui dari lama. Keluarganya terpandang karena sosok Pak Haji Mustafa terkenal sebagai ulama setempat. Dan ... kenyataan kalau beliau memiliki 4 orang istri.

Laki-laki berkemeja itu adalah anak dari istri pertama. Menempuh pendidikan di luar negeri. Memperdalam ilmu bisnis sekaligus agama agar bisa membantu meng-handle bisnis keluarganya yang menjual sajadah import kualitas baik sampai yang terbaik.

"Kalau boleh tau, kenapa Mas Fadli belum nikah?" tanya Eva penasaran. Laki-laki itu tersenyum. "Kalau saya lihat, kayaknya Mas sudah mapan lahir dan batin."

"Belum dapat jodoh terbaik pilihan Allah. Abah juga sudah coba berkali-kali menjodohkan, tapi kalau memang belum waktunya ... ya susah."

Anak-anak sengaja diikutsertakan. Mereka harus tahu siapa sosok yang diperkenalkan Kakek dan Nenek pada Bunda. Samudera terlihat baik-baik saja, tapi tidak dengan Sagara dan Terra. Sepertinya mereka belum bisa menerima kehadiran laki-laki lain di hidup sang Bunda.

"Ini anak-anak saya," ucap Eva seraya mengenalkan ketiga anaknya pada Fadli.

Laki-laki itu mengangguk dan melempar senyum pada ketiganya. Kedua matanya hilang saat tersenyum. Tak menampik, ia memang tampan. Berkat darah keturunan Arab yang didapatnya dari Pak Haji Mustafa. Hidungnya mancung. Janggutnya ditumbuhi rambut sepanjang sekitar 3 cm.

"Saya langsung saja ya, Eva. Usia saya dan Eva sudah sangat matang. Sudah bukan saatnya untuk kita pacar-pacaran layaknya anak SMA. Apa Eva siap kalau langsung menikah?"

Eva kaget bukan main. Kedua matanya terbelalak sempurna, seolah siap untuk melompat keluar. Menikah? Apa-apaan ini? Pembahasan soal menikah tak ada saat kedua orang tuanya mengajukan ide konyol perkenalan ini. Katanya kenalan dulu?

Wanita itu menatap kesal ke arah Budiman dan Rianti. Keduanya memasang raut wajah seakan tidak tahu-menahu. Ia dijebak.

"Maaf ya, Mas Fadli. Saya di-briefing-nya bukan untuk langsung nikah, nih. Kayaknya ada salah paham. Pernikahan saya yang 15 tahun baru aja gagal, rasanya masih susah untuk saya memikirkan ke arah sana. Kalau kenalan aja dulu gimana?"

"Kita kan sudah saling kenal, Eva. Meskipun baru beberapa kali ketemu. Niatan baik nggak boleh ditunda-tunda."

Rasanya ingin teriak sekencang yang ia bisa. Trauma akan perceraian masih tersisa. Bagaimana mungkin ia bisa kembali menikah semudah ini, setelah semua yang terjadi?

"Maaf, saya nggak bisa, Mas. Mungkin, prinsip kita sudah beda dari awal. Baiknya memang jangan dipaksakan. Saya takut gagal lagi kalau dipaksakan nantinya."

"Soal cinta bisa tumbuh setelah menikah. Eva nggak perlu takut dengan anak-anak Eva. Saya akan membiayai mereka, meskipun sebenarnya bukanlah kewajiban ayah sambung untuk membiayai anak-anak bawaan dari istri."

"Oh, nggak usah khawatir. Saya paham itu. Saya masih mampu kok untuk membiayai mereka."

"Jadi, Eva setuju?" tanya Fadli.

"Nggak."

Pertemuan berakhir tak memuaskan. Eva menyimpan kesal di dadanya. Kedua orang tuanya pun jadi serba salah. Ia sama sekali tak mempermasalahkan pernyataan laki-laki itu yang katanya tak wajib membiayai ketiga anaknya. Demi apapun Eva sama sekali tak peduli. Selagi ia masih bisa bekerja dan menghasilkan uang, anak-anak menjadi urusannya.

Fadli semakin menguatkan keputusanEva untuk tak kembali menikah. Menghabiskan sisa hidup hanya dengan ketiga anaknya pun tak akan menjadi masalah. Pengalaman membuktikan kalau sampai kapan pun tidak ada yang namanya mantan anak, kan?

***

Seiring berjalannya waktu, pesanan yang semakin bertambah membuatnya harus mencari tenaga tambahan. Mbak Maryam berusaha membantu untuk mengajak saudara, tapi tak ada hasil. Eva pun meminta petunjuk dari ketua RT setempat. Kebetulan, di sekitar kompleks ada perkampungan. Mencari dua orang ibu dari sana mungkin akan jadi jalan keluarnya.

"Pak, kalau cari orang yang bisa bantu masak di mana, ya? Kalau bisa sih memang yang sudah biasa masak besar. Saya butuh tenaga tambahan untuk bantu pegang pesanan," ucap Eva pada Pak RT.

"Nanti saya coba bantu carikan ya, Bu Eva. Sepertinya sih ada."

Eva beruntung karena dua orang wanita yang siap membantunya masih ada hubungan dengan Pak RT. Setiap harinya, mereka akan membantu. Mereka digaji, makan selama bekerja dan juga dibawakan lauk, jika masih ada sisa.

Selain menerima katering makan siang dan makan malam, kini usaha Eva juga menerima pesanan nasi kotak untuk beragam acara. Saat ini, ia dan para pegawai tengah sibuk mengerjakan nasi kotak pesanan Bu Widodo untuk acara tasyakuran kenaikan jabatan suaminya.

"Masih ada waktu. Ibu-ibu makan dulu," ucap Eva. "Nanti pulang bawa lauk, ya. Untuk orang rumah."

"Iya, Bu."

Ia sibuk memeriksa semua pesanan. Memastikan kelengkapan adalah hal terpenting. Ia tak mau pelanggannya merasa kecewa.

Ponselnya berdering. Sebuah panggilan telepon dari Tama. Mantan suaminya meminta Eva mengabarkan pada anak-anak untuk bersiap. Laki-laki itu akan mengajak ketiganya jalan-jalan.

Eva merasa ragu, tapi ia tetap menemui anak-anak dan menyampaikan pesan ayah mereka. Samudera jelas menolak. Ia tak ingin, apapun itu alasannya. Sementara Sagara dan Terra terlihat bimbang.

"Kakak sama Adek aja yang ikut Ayah, ya," ucapnya. Keduanya masih terdiam. "Ayah mau ajak kalian jalan-jalan. Ayah kangen sama kalian."

"Tapi, Abang nggak ikut," sahut Sagara seraya melirik ke arah Samudera. Eva mengembuskan napas.

"Abang nggak ikut. Next time Abang pasti ikut," kata Eva. "Kali ini kalian dulu yang ikut Ayah."

"Bunda! Nggak mau!"Samudera membantah tegas ucapan sang Bunda.

"Sekarang, Kakak sama Adek siap-siap. Ayah sudah di jalan. Sebentar lagi sampai sini."

Dalam waktu setengah jam, Tama pun tiba. Laki-laki itu terlihat tak sabar untuk bisa menghabiskan waktu bersama anak-anaknya. Ia menelan kekecewaan saat hanya mendapati Sagara dan Terra yang sudah siap. Samudera tak menunjukkan batang hidungnya.

Ia memandang ke sekitar. Remaja itu tak ditemukan. Ia berharap besar kalau anak sulungnya mau ikut bergabung. Cara ini adalah upaya yang dilakukannya untuk memperbaiki hubungan dengan anak-anaknya.

"Abang nggak ikut, Va?" tanyanya pada Eva. Wanita itu menjawabnya dengan sebuah anggukkan. Tama mengangguk kecewa. "Kenapa susah banget untuk bisa berdamai dengan dia. Aku melakukan ini supaya bisa kembali dekat."

"Nggak bisa cepat, Tam. Aku kan sudah bilang ke kamu. Seharusnya kamu bersyukur karena Saga dan Terra masih mau aku suruh untuk pergi. Sebenarnya, mereka juga nggak mau karena Abang nggak ikut. Kamu mau bawa mereka ke mana?"

"Jalan ke mall, paling. Mau ajak mereka makan di restoran. Sudah lama banget nggak ajak mereka jalan-jalan."

"Ya sudah. Aku titip mereka sama kamu. Kamu pulangin mereka ke sini, kan?"

"Kenapa?" sahut Tama.

"Aku nggak bawain mereka baju ganti kalau kamu mau ajak mereka nginap di rumah Bapak dan Ibu. Lagipula, belum tentu juga Saga sama Terra mau."

"Aku antar mereka setelah selesai jalan, ya."

"Iya. Enjoy your time."

***

Selama perjalanan, Sagara dan Terra lebih memilih untuk diam. Kalaupun, bicaa itupun hanya seperlunya. Perjalanan dari rumah ke mall terasa begitu sunyi. Padahal, biasanya keduanya akan berceloteh tak berhenti bagai burung kontes.

Sebuah mall besar di selatan Jakarta menjadi tujuan. Tama tak bosan berusaha untuk mengakrabkan diri kembali dengan kedua anaknya. Terra menolak digandeng, sementara Sagara berjalan beberapa langkah di depan.

"Makan es krim dulu, mau?" tanya Tama. Keduanya menggeleng. Laki-laki itu menghela napas. "Ya sudah, Kakak sama Adek mau apa? Ayah belikan."

"Mau pulang," ucap Terra.

"Adek, Ayah mohon. Ayah cuma mau menghabiskan waktu sama kalian. Mumpung Ayah libur." Tama sudah berlutut di hadapan putri kecilnya. Ditatapnya kedua manik yang didapat Terra dari bundanya. "Boleh, ya? Nanti Ayah pasti antar kalian pulang ke rumah."

Tama mengajak keduanya duduk di sebuah bangku yang memang disediakan pihak mall untuk para pengunjung yang kelelahan. Namun, keduanya menolak. Mereka ngotot agar Tama segera mengantar pulang.

"Ayah ke mana aja selama ini?" ucap Sagara membuka suara. Ia duduk di kursi depan, sementara Terra di kursi penumpang belakang.

"Kak, Ayah kan sering datang ke rumah tengok kalian," sahut Tama lirih. "Kalian tau itu."

"Ayah sibuk pacaran sama Tante itu? Tante itu yang bikin Ayah sama Bunda cerai?" Tama terdiam mendengar sederet pertanyaan yang dilontarkan anak keduanya. Eva benar. Sampai saat ini, hanya Samudera yang tahu penyebab perceraiannya dengan Eva.

"Kak ... bukan begitu. Sekarang, Ayah dan Tante Sevania memang sedang menjalin hubungan. Tapi, bukan berarti Ayah lupa sama kalian. Ayah masih ...."

"Bayarin sekolah kita setiap bulannya?" sela Sagara. Ia sama sekali tak memberikan kesempatan Tama untuk melanjutkan ucapannya. "Ayah, kita tuh nggak cuma butuh uangnya Ayah. Gimana kalau nanti Ayah sama Tante itu nikah, terus punya anak. Bisa aja kan kalau kita dilupain. Kita tuh masih punya ayah nggak, sih?"

-TO BE CONTINUED-

DEPOK, 17 AGUSTUS 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top