12

Yang belum follow, jangan lupa follow yuk.
Setelah kisah ini, aku udah nyiapin satu kisah baru.
Covernya udah jadi.
Ada yang bisa nebak kira-kira ini kisahnya siapa, mungkin?


"Aku bersyukur Bunda nggak balikkan sama Ayah," ucap Samudera.

Eva yang menyadari ucapan putra sulungnya segera mengirim sinyal remaja itu tak melanjutkan perkataannya. Ada Sagara dan Terra. Keduanya sudah memasang telinga dan siap mendengarkan.

"Kalian berdua naik ke atas, ya." Eva memerintahkan kedua anaknya—Sagara dan Terra untuk naik ke lantai atas—kamar mereka. Mereka menggeleng tak setuju, merasa ada hal yang berhak didengar. "Naik, ya. Bunda mau ngomong penting sama Abang."

"Tapi, Bunda ...."

Tak berhasil merayu agar bisa tetap tinggal, akhirnya Sagara dan Terra pun menyerah. Keduanya naik ke lantai atas dan meninggalkan Eva serta Samudera di ruang tengah. Apa sebenarnya yang disembunyikan Bunda dan Abang?

"Bang, kalau di depan adik-adik jangan bahas soal Ayah yang begini, Ayah yang begitu, dong. Bunda mohon."

"Maaf, Bunda."

"Soal kehidupan Ayah yang sekarang, kita sudah sama sekali nggak berhak untuk ikut campur. Ayah berhak mengatur kehidupannya sendiri."

"Tapi, aku ngerasa kalau Ayah mempermainkan Bunda," keluh Samudera. "Ayah ngajak Bunda balikkan, eh sekarang malah sudah punya pacar."

"Abang dengar Bunda dulu! Saat Ayah ngajak Bunda balikkan itu sudah hampir empat bulan yang lalu. Ayah tau kok kalau Bunda nggak mau. Jadi, nggak masalah kalau sekarang Ayah punya hubungan dengan perempuan lain. Itu haknya dia, Bang."

"Ayah terlalu cepat move on dari Bunda," gerutu Samudera. "Padahal cintanya kayak apaan tau. Apa Bunda nggak pernah sadar sifat Ayah yang kayak begini sebelum nikah sama Ayah?"

"Yang Bunda tau, Ayah itu laki-laki yang baik. Itu kenapa Bunda bisa jatuh cinta sama Ayah. Kalau soal sifat Ayah yang berubah, Bunda nggak tau. Lagipula, kalau Bunda nggak nikah sama Ayah, kalian semua nggak akan ada di dunia."

Samudera terdiam. Bunda benar. Jika saja ayah dan bundanya tak bertemu, tak saling jatuh cinta dan menikah, maka ia dan adik-adiknya tak akan pernah terlahir ke dunia. Mereka tak akan pernah tahu bagaimana bangganya mempunyai ibu sekuat dan setegar Eva.

Samudera tak akan pernah membatasi sang Bunda. Jika memang ada laki-laki baik yang punya niatan baik untuk menjalin kedekatan dengan bundanya, ia akan memberikan izin. Tak akan menjadi masalah kalau bundanya ingin menikah lagi. Toh, Bunda juga berhak untuk bahagia, kan?

"Bun, kalau nanti ada orang baik yang mau dekat sama Buna, just go ahead. Aku yang akan kasih pengertian ke Saga dan Terra. Aku pikir mereka juga nggak akan masalah, kok."

"Abang ngomong apaan, sih?" sahut Eva. "Aneh banget omongannya. Bunda sama sekali nggak mikirin ke arah sana. Bunda mau fokus sama kalian bertiga. Bunda mau rawat kalian sampai jadi orang-orang yang sukses."

"Bunda boleh nikah lagi. Kalau memang ada orang yang tepat."

Remaja itu segera meninggalkan sang Bunda dan naik ke lantai atas. Eva masih mengerutkan kening. Apa yang terjadi pada anak sulungnya?

"Si Abang aneh banget, deh."

***

Samudera menatap layar ponselnya. Laman pencarian menampilkan profil dan berita terkini tentang sang Ayah. Saat di ruang tengah tadi—sebelum televisi akhirnya menayangkan berita tentang Tama, remaja itu sudah lebih dulu mengetahui. Itu kenapa Samudera merasa tak kaget, sementara kedua adiknya ribut bukan main.

"Politikus sekaligus anggota dewan Pratama Djayanegara dikabarkan dekat dengan Sevania Handokoputri Menteri Perdagangan. Setelah bercerai, Pratama sempat diduga menjalin hubungan dengan aktris kenamaan, Gladys. Namun, keduanya menampik dan mengatakan kalau mereka hanya berteman. Belum ada statement resmi dari Pratama sendiri tentang kedekatannya dengan Sevania, tapi foto-foto yang sudah beredar cukup menjawab rasa penasaran masyarakat."

Masa bodo! Nggak peduli. Mau pacaran, kek. Mau nikah, kek. Nggak ngurus.

Samudera ingat awal mula karier politik ayahnya dimulai. Awalnya, ia merasa bangga karena ayahnya dikenal banyak orang. Saat musim kampanye kala itu, ia mendesak agar ayahnya berkenan untuk mengajaknya turut serta. Ia ingin melihat secara langsung kecakapan laki-laki yang diidolakannya itu saat tampil berorasi di hadapan orang banyak. Saat itu, ia semakin dibuat kagum, terlebih ketika akhirnya sang Ayah berhasil menduduki kursi parlemen.

Namun, sekarang rasa bangga itu menguap begitu saja. Bahkan, kalau bisa ia ingin sekali menghapus nama keluarga ayahnya dari namanya. Beban saja! Menyandang nama besar Djayanegara sudah tak lagi membuatnya bangga.

Di awal masa tahun ajaran baru, ia menjadi perhatian banyak orang. Keputusannya untuk melanjutkan sekolah di sekolah negeri menjadi perbincangan. Bapaknya nggak ngebiayain mungkin, jadi sekolah di sekolah negeri yang bebas SPP. Bapaknya sibuk sama perempuan lain, anak-anaknya terlantar.

Terserah mereka mau bilang apa. Ia sama sekali tak akan terpengaruh. Baginya, hidup bersama dengan Bunda dan kedua adiknya adalah berkah terbesar dalam hidup. Samudera sama sekali tak menyesali keputusan itu.

Remaja itu tersenyum saat satu pesan masuk. Dari seorang gadis yang berhasil menarik perhatiannya sejak beberapa bulan lalu, Alina. Samudera selalu merasa jantungnya seakan copot tiap kali gadis itu mengiriminya pesan.

Alina
Sam, are you okay?

Samudera
Okay.
Kenapa?

Alina
Gue lihat berita tentang bokap lo di TV.

Samudera

Bukan urusan gue.
N

ggak peduli.
Terserah dia mau ngapain.

Ya. Gadis itu memang begitu perhatian padanya. Di saat teman-teman sekelasnya mungkin mendekatinya karena kasihan, tapi tidak dengan Alina. Di awal pertemanan, gadis itu tak segan membagikan kisahnya. Alina dibesarkan dikeluarga yang sama dengannya, pecah karena perceraian.

Samudera merasa mereka senasib. Yang membuat berbeda adalah Alina harus berpindah tempat tinggal setiap seminggu sekali, seminggu di rumah ayahnya dan seminggu di rumah ibunya.

Alina
Okay.
Sorry, ya.
I feel you.
Gue pernah ngerasain di posisi lo, waktu nyokap gue nikah lagi.

***

Eva sudah menyelesaikan semua pesanan katering makan siang saat Tama tiba-tiba datang ke rumahnya. Laki-laki itu membawa sebuah buket bunga. Tentu saja bukan untuknya. Tama segera menuju ke makam Ayyara setelah menyapanya.

Eva tak ikut bergabung. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Untuk mempersingkat waktu agar semua pesanan tiba tepat waktu, ia membantu Mbak Maryam mengantakan rantangan.

Setibanya di rumah, wanita itu masih mendapati mantan suaminya di tertunduk di makam Ayyara. Kenapa Tama selalu terlihat sesedih itu setiap kali berkunjung? Mungkin hatinya masih dihantui perasaan bersalah yang begitu besar.

"Makan dulu. Masih ada makanan." Eva menyiapkan sebuah piring dan membuka tudung saji. Mungkin memang sudah menjadi takdir Tuhan kalau hampir semua yang dimasak hari ini adalah makanan kesukaan mantan suaminya. "Ada pepes tahu jamur, tumisan brokoli siram ayam, daging empal dan ... sebentar."

"Kamu mau ke mana?" tanya Tama. Eva kembali dan membawa sebuah wadah dari lemari es. "Sambal?"

"Iya. Aku tambahin sambal untuk pesanan makan siang hari ini," sahut wanita itu. "Kamu makan dulu. Sebentar lagi Samudera mungkin pulang. Santai aja."

Tama makan. Eva mencicil menyiapkan bahan-bahan untuk pesanan makan malam. Tangannya bergerak sibuk memotong-motong sayura, tapi wanita itu beberapa kali melihat ke arah sang mantan suami yang terlihat begitu menikmati makan siangnya.

"Kamu nggak ngantor?" tanya Eva.

"Aku baru balik dari Ujung Pandang."

"Oh. Kapan kamu mau kenalin pacar kamu ke anak-anak?"

"Nanti," sahut Tama singkat. "Anak-anak marah?"

"Saga dan Terra kayaknya sempat takut karena sibuk ngebayangin punya ibu tiri. Samudera sih okay aja. Dia orang yang baik, kan?"

"Baik. Kami masih tahap saling mengenal. Itupun dikenalkan teman. Aku nggak tau kalau dia ternyata anak menteri. Kamu sendiri gimana?"

"Apanya?"

"Lagi dekat sama siapa?" tanya Tama. Eva menggeleng. Laki-laki itu rasanya masih belum siap kalau ada orang lain yang mengisi hati mantan istrinya. "Va, apa uang yang aku kirim setiap bulannya kurang sampai kamu harus kerja kayak begini?"

"Itu uangnya anak-anak. Aku nggak berhak pakai. Lagipula, aku enjoy kok ngejalaninnya. Uang hasil usaha aku tabung untuk masa depan mereka."

"Aku masih mampu membiayai kalian semua, Va. Kamu nggak harus kerja keras kayak begini."

"Nggak apa-apa. Aku suka. Itung-itung menjalin relasi."

Tama menghela napas. Rasa pedas sambal buatan Eva yang semula membakar lidahnya sudah tidak terasa lagi. Perutnya kenyang. Sudah lama laki-laki itu tidak merasakan nikmatnya masakan buatan sang mantan istri.

Atmosfer dapur seketika berubah dingin, seakan ada Dementor yang menghisap seluruh kebahagiaan. Samudera sudah pulang. Kelelahan menggowes sepeda membuatnya merasa begitu lapar.

"Sudah pulang, Bang?" ucap Eva. Putranya mengangguk. "Salim dulu sama Ayah."

Samudera mendekat. Tama senang bukan main. Sebuah pertanda baik. Bahkan, ia sudah siap dengan menjulurkan tangannya. Namun, bukannya mencium punggung tangan Tama, remaja itu justru membuka pintu lemari es dan mengeluarkan sebotol air dingin. Dengan berat hati, Tama kembali menarik tangannya. Eva menggeleng tak habis pikir melihat tingkah laku putra sulungnya.

"Bang ...," keluh Eva. "Ada Ayah lho ini."

"Aku mau ke atas ya, Bun. Makan siangnya nunggu Saga dan Terra aja."

"Mereka kan langsung les."

"Ya sudah nanti aja makannya. Belum lapar," sahutnya bohong. Sebelum meninggalkan kedua orang tuanya, Samudera berbalik dan menatap lurus ke arah sang Bunda. Tak peduli dengan keberadaan Tama di sana. "Oh, iya. Bunda dapat salam dari Om Bram. Katanya mau main ke sini minggu depan."

"Om Bram?" gumam Eva pelan.

Om Bram siapa?

Samudera terkekeh geli dan meninggalkan bundanya dengan tanda tanya besar yang bersarang di kepala.

-TO BE CONTINUED-

Depok, 14 Agustus 20022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top