11

Halooooo.

Aku datang.

Aku mau ingetin. Kalau aku updatet jam lima sore, jangan ditunggu besok paginya yaaa.

Aku bakal update jam lima sore lagi atau sebelum jam lima sore hari berikutnya.

Peraturannya begitu soalnya heheheheh.

Oh iyaaa, mau sekalian kasih tau.

Untuk yang ngikutin kisahnya DIANDRA-DAMAR (INGIN BAHAGIA), nggak penasaran ya kalian?

Ada sesuatu yang terjadi sama mereka berdua.

Shhhht, yang sudah baca nggak usah SPOILER. Heheheh

Sudah ada bab 12 dan 13 di KARYAKARSA lhoooo.

Ketik aja Miss Dandelion, yaaaak. 

Di sana, kalian bisa kasih dukungan ke aku berupa beli bab dan kasih tips juga boleh hehhehehe

Semoga rejeki kalian semua dilancarkan dan limpahkan. Aamiin.

Yuk cus yang mau baca duluan segera ke sana.

Usaha kateringnya mulai dikenal. Perlahan, banyak pesanan yang datang. Memang bukan pesanan dalam jumlah yang besar, tapi setidaknya bisa dimanfaatkannya untuk menambah jam terbang. Kompleks tempat tinggalnya banyak dihuni oleh pasangan suami istri yang sibuk bekerja. Sudah beberapa minggu ini Eva diminta mengantarkan makanan setiap harinya, saat makan siang dan makan malam. Pembayaran akan dilakukan setiap akhir bulan.

Sepuluh set rantang berisikan menu makan siang sudah siap dikirim ke rumah para pelanggannya. Mbak Maryam yang akan melakukan tugas ini. Biasanya, saat tidak sibuk setelah pulang sekolah, Samudera akan membantu mengantar pesanan makan malam. Putra sulungnya mengantar sebagian rantang.

Menu makan siang hari ini adalah sayur lodeh, tumis teri kacang tanah, tumis buncis bakso, perkedel jagung dan pepes ayam. Eva ta pernah lupa untuk memastikan makanan apa yang bisa dan tidak bisa dimakan pelanggannya. Sejauh ini, tak ada yang mempunyai alergi terhadap bahan makanan tertentu. Hal itu jelas memudahkan pekerjaannya.

Menghindari bosan, ia selalu meng-update menu makanan setiap harinya. Info menu pun dikirimnya sehari sebelum. Tak ada keluhan. Mereka cocok dengan selera masakannya.

"Mbak," panggilnya pada wanita yang sudah sepuluh tahun lebih bekerja dengannya.

"Ya, Bu?"

"Yang dua rantang diantar ke rumahnya Pak Yohanes. Beliau WA saya semalam dan minta porsi tambahan karena orang tuanya baru datang dari Kupang semalam. Jangan sampai salah ,ya. Nanti Mbak Mar bingung kok masih sisa satu rantang."

"Baik, Bu."

Untuk memenuhi kebutuhan bahan masakan, Eva sudah menjalin kerja sama dengan pedagang sayur keliling di komplek. Setiap harinya, semua bahan akan diantar. Ia hanya tinggal menelepon untuk pesanan kees okan harinya.

Sambil sedikit meregangkan otot-otot pinggangnya, Eva mulai menyiapkan bahan untuk menu makan malam. Ikan bawal laut bakar bumbu rujak, tumis kangkung terasi, sayur asem tetelan sapi, tahu tempe goreng dan lalapan sebagai pelengkapnya. Ikan-ikan sudah dimarinasi dan disimpan di lemari es.

Samudera pulang saat Eva masih sibuk mengupas kulit labu siam. Belum berganti pakaian, remaja itu lebih memilih untuk membantu bundanya. Ia mendudukkan dirinya di lantai, seperti yang dilakukan Eva.

"Abang mau ngapain?" tanya Eva.

"Mau bantu Bunda, lah."

"Ganti bajunya dulu!" perintah Eva. "Ini banyak getahnya. Kalau sampai kena ke seragam nggak bisa hilang nodanya. Ganti baju dulu, baru boleh bantu Bunda."

Tak sampai lima menit, Samudera kembali dengan baju rumahannya. Eva merasa bangga karena putranya tak pernah malu untuk membantunya. Sebelum perceraian, kehidupan ketiga anaknya dimanjakan dengan kemewahan yang Tama berikan. Semua serba tersedia.

Awalnya, mereka memang sempat mengeluh, terutama Sagara dan Terra. Setelah diberi penjelasan, keduanya mengerti. Lagipula, Eva tak ingin anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang manja. Mereka juga perlu tahu kalau setidaknya harus bekerja dan punya uang yang banyak untuk bisa merasakan kehidupan yang enak.

"Abang nggak makan dulu?" tanyanya. Samudera menggeleng. "Bekalnya dihabisin nggak?"

"Habis," jawab putranya singkat.

"Kotak makannya dibawa?" tanya Eva lagi. Samudera mengangguk sambil memetik kacang panjang. "Awas aja kalau sampai hilang."

"Bunda lebih sayang kotak makan daripada anaknya," gerutu Samudera yang membuat Eva tertawa.

"Nggak begitu, Abang. Bunda cuma mau anak-anak Bunda menjaga tanggung jawabnya. Saga sama Terra juga Bunda giniin, kok."

"Ayah selalu kirim WA," ucap Samudera. Eva sontak mendelik menatapnya. "Setiap hari."

"Ya dibalas, dong."

"Malas."

***

Tenaga tambahan—Sagara dan Terra datang. Pekerjaan selesai lebih cepat. Mereka makan siang bersama. Samudera langsung naik ke lantai atas, sementara Sagara pergi les. Ia menatap layar ponsel yang menampilkan ruang obrolannya dengan Tama. Pesan terakhir yang dikirimkannya pada sang Ayah adalah saat Tama tak kunjung datang di liburan kala itu. Setelahnya, ia tak pernah lagi menyambung komunikasi dengan laki-laki itu.

Samudera risih melihat deretan pesan-pesan yang dikirim Tama padanya. Setiap hari Tama selalu mencoba untuk mengajaknya bicara. Menanyakan kabar, sudah makan atau belum, bagaimana keseharian di sekolah dan mengirim foto-foto masa lalu saat keluarganya masih utuh. U-T-U-H.

Remaja itu mendengkus kesal. Baru saja sang ayah mengirimi pesan. Beberapa foto masa kecilnya yang ia yakini Tama jepret dari album foto keluarga memenuhi galeri ponselnya. Samudera teringat akan sebuah kenangan saat melihat salah satu foto, di mana Tama mengajaknya dan Sagara bermain di sebuah taman bermain. Tanpa sadar ia pun tersenyum, tapi senyuman itu tak bertahan lama. Satu pesan kembali Tama kirimkan padanya.

Ayah

Abang, nggak mau balas pesan-pesan Ayah, ya?

Nggak apa-apa.

Ayah ngerti Abang masih marah sama Ayah.

Ayah nggak akan bosan untuk minta maaf.

Ayah minta maaf ya, Bang.

Seperti biasanya. Ia hanya akan membuka dan membaca pesan-pesan itu, tanpa berniat sama sekali untuk membalasnya. Samudera tak mengerti kenapa hatinya begitu sulit untuk memaafkan Tama.

Sebelumnya, setiap kali butuh sesuatu, ingin makan sesuatu bahkan meminta oleh-oleh saat Tama dalam perjalanan dinas luar, Samudera tak pernah segan untuk menhubungi ayahnya. Namun, untuk saat ini dan waktu yang tak bisa ditentukan dinding pemisah itu semakin menjulang tinggi. Dinding yang dibuatnya semakin tak tergapai.

"Abang," panggil Terra. Samudera segera menyimpan ponselnya. "Abang lagi apa?"

"Nggak lagi apa-apa. Kamu kenapa, Dek?"

Gadis kecil itu tak segera menjawab. Terra mendekat dan duduk tepat di sebelahnya. Kepalanya bersandar di bahu kuat milik sang kakak pertama.

"Kamu kenapa?" tanya Samudera lagi. "Ada masalah di sekolah?"

"Nggak ada."

"Jangan bohong."

"Benar. Aku nggak bohong."rg

Samudera begitu menyayangi adik-adiknya, terutama Terra. Ia begitu menjaga gadis kecil itu. Tak pernah membiarkan, apalagi membuatnya menangis. Ia mengusap rambut sebahu Terra yang tergerai. Remaja itu yakin ada beban yang mengganggu di kepala Terra.

"Bang, tadi di sekolah aku sempat ngobrol sama teman-teman yang ayah dan bundanya juga pisah. Aku iseng tanya karena penasaran."

"Kamu tanya apa?" sahut Samudera.

"Aku tanya mereka nyaman tinggal sama siapa, ayah atau bundanya. Jawaban mereka beda-beda. Ada yang bilang enak tinggal sama bundanya, ada juga yang bilang enak tinggal sama ayahnya."

"Terus, masalahnya ada di mana? Kamu nggak nyaman tinggal sama Bunda? Kamu mau ikut Ayah?" Terra sontak menggeleng tegas.

"Abang sedih nggak Bunda sama Ayah pisah?" tanya Terra. Saat ini, kedua manik cokelat tua itu tengah menatap Samudera lekat. "Abang sedih nggak?"

"Nggak ada anak yang nggak sedih orang tuanya pisah, Terra Naraya Djayanegara. Pertanyaan kamu aneh-aneh aja. Tapi, kalau memang pisah itu jalan terbaik ya mau gimana lagi, kan? Abang lebih nggak mau lihat Bunda sedih terus setiap harinya."

"Emang kenapa sih Ayah sama Bunda sampai harus pisah? Mereka berantem gara-gara apa? Karena Ayya meninggal?"

Ayah tidur sama perempuan lain di kamar orang tua kita, Terra!

Samudera terdiam. Batinnya menjerit. Selama ini, rahasia itu ia simpan rapat dari kedua adiknya. Yang Sagara dan Terra tahu, ayah dan bundanya berpisah karena kepergian Ayyara.

"Abang nggak tau apa penyebabnya," ucap Samudera bohong. "Yang penting, sekarang Bunda sudah nggak sedih lagi. Kalau bisa, kita jangan sampai bikin Bunda sedih. Bisa, kan?"

"Bisa, Bang. Satu lagi, Bang."

"Apa?"

"Bunda bakal nikah lagi nggak ya, Bang? Kalau Bunda nikah lagi, berarti kita punya ayah baru ya, Bang?"

Samudera lupa akan hal itu. Ayah baru.

***

Akhir pekan, ini seisi rumah sibuk membantu mengerjakan pesanan. Selain mengerjakan katering makanan harian, Eva mendapatkan satu pesanan khusus. Keluarga Pak William—tetangga sebelah rumahnya memesan satu tumpeng nasi kuning berukurang besar yang lengkap dengan lauk-pauk pendampingnya. Untuk acara makan malam keluarga, katanya.

Eva berkacak pinggang sambil menghela napas saat melihat masih banyak pekerjaan yang harus dikerjakan. Ketiga anaknya dan Pak Rahmat pun tak luput membantu. Mbak Maryam sibuk menanak nasi kuning di dapur.

"Mana dulu yang harus dikerjain, ya?" gumamnya. Pesanan katering makan malam harus diantar sebelum jam enam sore. Eva melirik jam dinding. Masih ada waktu. "Abang, kupas telurnya jangan sampai ada yang bocel, ya."

"Iya, Bunda."

Semuanya selesai tepat waktu. Anak-anak dan Pak Rahmat mengantar katering makan malam, sementara dirinya dan Mbak Mar masih harus menyelesaikan olahan lauk untuk pelengkap tumpeng. Nasi tumpeng sudah dicetak dan harus ditutup agar tidak mengering.

Mengerjakan tumpeng dibantu anak-anak adalah hal yang menurut Eva begitu mengasyikkan. Mereka tertawa dan sesekali berdebat saat meletakkan pugasan. Ia tak bisa nemanpik kenyataan kalau prahara rumah tangga yang terjadi justru membuat mereka semakin merekatkan diri satu sama lain.

"Terima kasih banyak, Bu Eva. Tumpengnya bagus sekali," puji Bu William saat ia mengantar tumpeng dibantu Mbak Maryam dan Pak Rahmat. "Saya sekalian mau izin. Maaf kalau nanti agak berisik. Kebetulan ada acara kebaktian di sini. Teman-teman gereja kami mau datang."

"Oh, nggak apa-apa, Ibu. Silakan."

"Takut Bu Eva dan keluarga terganggu."

"Nggak, Bu. Sama sekali nggak," sahutnya sambil tersenyum.

"Terima kasih sekali lagi. Saya sudah transfer pembayarannya ya, Bu. Tolong dicek."

Eva pulang. Ketiga anaknya ada di ruang tengah. Televisi menyala. Raut wajah mereka tampak begitu kecewa, terutama Sagara dan Terra. Samudera terlihat santai.

"Kalian kenapa?" tanyanya.

"Di berita artis-artis tadi ada Ayah, Bunda," lapor putra keduanya. Terra mengangguk. Eva melirik ke arah Samudera, tapi putranya terlihat masa bodoh dan sibuk dengan ponselnya.

"Ayah kenapa? Beritanya bilang apa?"

"Ayah punya pacar."

-to be continued-

Depok, 13 Agustus 2022

Maapin baru update.

Seharian aku mager banget huhuhuhu.

Maapin yaaaak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top