8
Dengan tubuh lelah Adrian memasuki kamar Sarah lewat tengah malam. Kekasihnya masih membaca buku di atas ranjang. Netra keduanya selintas bersitatap.
"Kok, belum tidur?"
"Kamu sendiri belum pulang, dari pada nanti aku kebangun, terus susah tidur lagi." jawab Sarah sambil membenahi letak kacamatanya.
"Sudah kubilang nggak usah nunggu."
"Lagian belum ngantuk. Kamu dari mana?"
"Baru selesai dari acara Bu Hutama tadi. Baca apa?" tanya Adrian sambil membuka kaos kakinya.
"Biographi Bung Hatta. Tim kami akan mengulas tentangnya untuk acara menjelang tujuh belas Agustus nanti. Aku harus riset duluan, meski nanti ada tim yang akan mengerjakan naskah. Ramai tamu undangannya?"
"Pastilah dia bukan orang baru di dunia pers. Sudah sejak jaman kakeknya dulu. Pergaulannya mereka juga luas. Tidak terbatas pada orang-orang pemerintahan. Juga Dengan pesohor di negeri ini. Aku juga ketemu papi kamu tadi."
"Oh ya? Aku malah sudah dua minggu ini belum ketemu. Sama-sama sibuk. Dan kami selalu ada diacara berbeda. Bagaimana keadaan Mami kamu?"
"Sudah pulang, bukannya sudah kuberitahu kemarin?"
"Kabarnya hari ini maksudku."
"Belum kutanya, tenang saja ada Alana di rumah. Justru aku mau bicara sesuatu yang serius dengan kamu."
"Tentang apa?"
"Apa kamu sudah siap bertemu Mami?"
"Maksudnya?" Sarah sedikit memicingkan mata.
"Aku ingin memperkenalkan kalian."
"Apa nggak terlalu cepat? Kamu yang bilang belum mau menikah, lalu sekarang mau memperkenalkan aku dengan mereka? Aku sudah bilang tidak mau mendengar pertanyaan yang akan menimbulkan masalah besar. Apalagi diburu-buru untuk menikah."
"Hanya sekadar makan malam bersama, aku akan mengingatkan Mami untuk tidak bertanya tentang itu. Jangan khawatir."
"Akan kupikirkan. Tapi ingat aku belum siap menikah. Kamu tahu prioritasku saat ini."
"Aku ingin kalian saling kenal saja."
"Mungkin aku bukan menantu yang diinginkan oleh Mami kamu."
"Dia tidak perlu menginginkan kamu. Cukup aku saja."
"Okey. Mandi dulu, gih, biar tidur habis ini." Ucap Sarah sambil menutup bukunya. Kemudian bangkit untuk mengambil air minum.
***
"Lana bagaimana kabar Mami?"
Suara Adrian di seberang sana terdengar khawatir, membuat kekecewaan Alana sedikit berkurang. Sejak tadi malam ia benar-benar kesal pada Adrian. Tapi mau melampiaskan pada siapa? Jelas tidak berani memarahi kakak iparnya tersebut. Bagaimana kalau nanti pria itu emosi dan malah balik menyerangnya. Sedikit banyak ia tahu karakter putra sulung keluarga Tjakra itu. Setelah mengembuskan nafas panjang akhirnya ia menjawab,
"Masih dirawat."
"Kok, bisa!?" teriakan kakak iparnya kembali terdengar.
"Kenapa nggak bisa, namanya juga orang sakit! Lagian bisa pulang ke rumah bukan berarti sudah sembuh total." jawab Alana ketus. Baru kali ini dia berani menyampaikan kekesalan terhadap Adrian.
"Kapan masuk rumah sakitnya?"
"Hari yang sama waktu kepulangan Mami, malamnya telepon katanya dadanya sesak lagi. Langsung kukirim ambulans." Sengaja Alana tidak bertanya kenapa Adrian meninggalkan Mami sendirian di rumah.
"Kenapa nggak hubungi aku? Papi juga diam saja."
"Aku harus jaga Mami sambil kerja, pasienku banyak, sampai rumah langsung istirahat lalu kembali ke rumah sakit siang harinya. Kalau tentang Papi aku rasa Mas bisa tanya sendiri, masih punya nomornya, kan?" Akhirnya Alana bisa mengontrol suaranya meski kalimat yang terdengar dari mulutnya terdengar pedas. Namun, tidak mungkin melupakan posisi kakak iparnya sebagai anak kandung.
"Kamu menyalahkan aku?"
"Lalu siapa yang harus kusalahkan? Mbak Dewi, pembantu di rumah atau Mas Yudi yang tugasnya jadi satpam merangkap tukang kebun?"
"Lagian kamu kenapa nggak minta perawat, sih, buat menemani? Kamu, kan, dokter masak ngurus begitu saja nggak bisa!" suara Adrian kini meninggi.
Alana menggigit bibir, berusaha menahan emosi. Adrian benar-benar keterlaluan! "Mas, aku kasih tahu posisiku sekarang. Aku bukan anak kandung Mami jadi, nggak bisa ikut campur terlalu dalam. Dulu aku bisa melakukan apapun karena sudah mendapat persetujuan Mas Ben. Aku tinggal tanya dan dia langsung mengarahkan. Sekarang aku hanya kebetulan perempuan beruntung yang menjadi menantunya. Saat pulang dari makam, aku tanya baik-baik, kan? Mas bisa jaga Mami nanti malam? Mas jawab, bisa. Kenyataannya apa? Mas pulang malam dan langsung pergi lagi. Kenapa nggak ngomong sama aku sejak siang. Bilang kalau memang nggak bisa!"
"Kamu menyalahkan aku!?"
"Enggak! Mas itu selalu paling benar. Nggak pernah salah! Aku yang salah! Asal Mas tahu kalau Mami lebih membutuhkan kehadiran Mas Adri daripada aku. Aku cuma membantu menjaganya."
Perempuan itu kemudian meletakkan ponsel di atas meja. Orang di seberang sana memutuskan pembicaraan tanpa mengucapkan salam penutup. Kini ia berusaha mengatur nafas agar tenang kembali. Paham tidak bisa berharap banyak pada Adrian. Mungkin sudah sifat yang dibawa sejak lahir untuk tidak peduli pada siapapun termasuk keluarga. Ia tidak akan menuntut agar kakak tertua suaminya itu berubah lalu memberikan perhatian lebih, karena sebelumnya juga tidak pernah dekat dengan keluarga. Yang bisa ia lakukan adalah tetap menghormati serta menyayangi mertuanya.
Kembali teringat pembicaraan Papi dan Mami tadi malam. Ada rasa sedih yang menggelayut. Menyesal karena belum bisa memberikan cucu pada mereka. Tapi mau bagaimana lagi? menyesal pun tidak ada gunanya. Di saat seperti ini Alana kembali menangis. Ia butuh Ben untuk menenangkan perasaannya. Kenapa semua jadi serba salah? Kalau saja Adrian tidak datang, mungkin ia bisa mengatur semua sendirian. Papi juga tidak akan mengatakan apa-apa karena biasanya juga seperti itu. Ia tahu, bahwa Mami lebih membutuhkan perhatian anak kandungnya dari pada menantunya!
Adrian mungkin tidak terlalu merasa kehilangan karena sejak lama tidak tinggal di rumah. Sibuk bekerja sepanjang hari bahkan diakhir tahun. Tidak ada yang bisa memaksanya pulang. Tapi apa tidak khawatir dengan keadaan Mami? Kenapa justru ia yang orang luar merasa takut kalau ibu mertuanya sakit? Bukan mau mengelak dari tanggung jawab. Hanya saja merasa bahwa Adrian sudah keterlaluan, meninggalkan orang tua sakit sendirian di rumah. Apa keperluan pribadi yang sangat penting itu tidak bisa ditunda sampai Papi pulang? Atau menghubunginya agar bisa membangunkan pembantu.
***
Alana baru saja menyisir rambut. Tadi malam ia yang menjaga Lucia di rumah sakit. Kebetulan juga dinas pagi.
"Kapan mami boleh pulang, Lana?"
"Nanti aku tanya Dokter Mesakh, Mi."
"Mami bosan di sini."
Alana tertawa melihat wajah kesal mertuanya. "Nggak ada orang yang betah di rumah sakit. Tapi kalau harus, gimana, dong? Yang penting Mami benar-benar sembuh dulu. Supaya nggak menginap di sini lagi."
"Mami kangen sama tanaman. Siapa yang urus kalau di sini terus."
"Tenang saja, kemarin anggreknya sudah aku kasih vitamin. Yang lain baru diberi pupuk sama Pak Yudi."
"Syukur, deh. Untung punya anak perempuan seperti kamu. Jadi tidak perlu khawatir."
Ada sebuah pertanyaan dibenak Alana, kenapa Mami tak lagi menyebut nama Adrian. Apakah terlalu kecewa atau sedang marah? Ia juga tak berani menyebut nama itu mengingat percakapan terakhir kedua mertuanya.
"Dress kamu bagus, cocok banget pakai warna kuning."
"Dress lama Mi, beli waktu Mas Ben wisuda dulu."
"Nanti kalau mami sembuh kita belanja, ya. Sudah lama nggak keluar berdua."
"Siap, Mi mau ke mana aja aku antar. Apalagi kalau belanja."
Keduanya tertawa. Lucia tahu bahwa menantunya bermaksud menyenangkan hatinya. Karena selama ini paling susah untuk dibelikannya sesuatu. Ada saja alasannya untuk menolak. Alana mengikat rambut hitam tebalnya menjadi satu. Kemudian membenahi poni yang sudah memanjang. Rasanya setelah ini ia butuh ke salon.
"Mi, nanti kalau keluar rumah sakit kita ke salon, yuk."
"Iya, mami juga butuh perawatan. Kamu?"
"Mau potong rambut."
"Kabari saja waktunya. Pokoknya begitu keluar dari rumah sakit mami mau kita kembali seperti dulu. Lupakan semua."
Alana hanya mengangguk sambil meraih tasnya. Saat sedang pamit dan mencium pipi mertuanya pintu terbuka. Di sana terlihat Adrian berdiri tegak. Merasa tidak nyaman sang menantu segera menyingkir.
"Mi, aku dinas dulu. Mas Adri aku turun, ya,"
Keduanya segera mengangguk. Begitu Alana keluar Adrian melangkah pelan menuju ranjang.
"Mami sudah makan?"
"Sudah."
"Sudah mandi?"
"Sudah juga."
"Mami marah sama aku?"
"Mami nggak punya hak memarahi kamu. Kamu sudah dewasa dan memiliki kehidupan sendiri."
"Aku minta maaf."
"Tidak ada yang harus dimaafkan. Mungkin selama ini mami terlalu berharap kamu bisa seperti Ben. Lupa kalau kalian dua orang yang berbeda."
"Mami tidak berharap aku di sini?"
"Tidak ada orang tua yang tidak mengharapkan anaknya untuk datang."
"Mami berubah."
"Mami dan papi hanya mengikuti kemauan kamu. Beradaptasi dengan keadaan kami yang baru meski sulit. Mungkin harapan kami yang terlalu tinggi sejak kepergian Ben. Mami minta maaf kalau kamu merasa terpaksa untuk pulang. Mulai hari ini kamu bisa melakukan pekerjaan seperti dulu. hubungi kami kalau ada waktu."
Adrian menatap ke arah lain. Ia tidak bisa berkata apapun lagi. Teringat kembali percakapan dengan Ben pagi itu. Bagaimana adiknya sudah mengingatkan. Orang tua mereka memang berpikiran terbuka, tidak suka mempermasalahkan sesuatu. Tapi kenapa justru kini ia merasa bersalah?
"Besok aku akan ke Bali."
"Pergilah, bekerja dengan baik supaya hasilnya juga nanti baik."
"Senin depan aku pulang dan menginap di rumah."
"Tidak usah berjanji, mami tahu kamu sibuk. Sesekali saja kabari ke rumah tentang keadaan kamu. Kami sudah senang sekali."
"Aku ingin mengenalkan seseorang."
"Kekasihmu?"
"Ya,"
"Datanglah kalau begitu. Supaya mami bisa bersiap-siap dan masak."
"Tidak usah repot nanti kita pesan saja."
"Nggak apa-apa, Mami masih sanggup, kok. Kamu tentukan saja waktunya."
"Terima kasih Mi."
Merasa tidak ada yang bisa dibicarakan lagi Adrian pamit pulang. Lucia hanya memberi senyum terbaiknya. Namun, saat sosok itu keluar dari kamar ada kesedihan besar yang menggelayut. Dulu ia tidak percaya kalau orang mengatakan anak perempuan lebih peka berbeda dengan anak laki-laki. Kini ia bisa merasakan, beruntung ada Alana.
***
"Mami sudah bilang setuju?" tanya Carl pada istrinya.
"Sudah, jadi mau bagaimana lagi? Kalau ditolak takut hubungan kita semakin jauh. Kamu tahu bagaimana Adrian kan, hon?"
"Tapi kamu harus siap-siap untuk tidak bertanya tentang hal-hal yang bersifat pribadi."
Kali ini wajah Lucia sedikit berubah. Ada raut kecewa di sana.
"Sudah pasti. Salahku kadang menganggap Adrian adalah Ben. Berharap dia bisa menuruti apa yang kukatakan. Aku lemah, hon. Bagaimana kalau nanti kekasihnya berbeda dengan Alana?"
"Seperti apapun dia nanti, kita harus bertemu dulu baru bisa memberi penilaian. Semoga Alana bisa menerima kehadirannya."
"Kenapa ngomong gitu?"
"Aku takut kalau nanti Alana jadi canggung. Kamu tahu, kan, kalau dia sangat perasa."
"Nanti aku yang bicara dengannya."
Keduanya diam, Carl menggenggam jemari istrinya dengan lembut. Begitu banyak hal yang menghampiri pikiran pria itu. Tentang anaknya yang memiliki pemikiran berbeda.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
26722
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top