6

Alana turun dari lantai dua. Berencana ke makam sebelum siang. Hari ini akan dinas sore hingga merasa masih punya waktu. Apalagi ada kakak iparnya yang mungkin akan ke rumah sakit lebih dulu. Adrian tengah menata sarapan saat menatapnya yang kali ini mengenakan kulot dan kaos.

"Kamu nggak kerja?"

"Dinas sore, menggantikan teman Mas."

"Ada rencana lain?"

"Mau ke makam Mas Ben dulu."

Adrian hanya menelan saliva.

"Naik apa?"

"Taksi."

"Kenapa nggak pakai mobil Ben?"

"Terlalu besar, aku susah parkir."

Adrian menyadari kalau adik iparnya memang termasuk bertubuh mungil.

"Selesai sarapan kuantar kamu."

"Aku terlalu merepotkan Mas Adri."

"Tidak sama sekali. Oh, ya, kita pakai mobil Ben, ya, mobil papa sudah diantar ke rumah sakit tadi pagi. Sesekali mobil itu harus digunakan."

Alana hanya mengangguk. Kini perempuan itu mencoba menikmati sarapan yang terasa berbeda dari biasanya. Ada roti dan juga buah-buahan.

"Aku tidak punya kendaraan di sini."

"Mas pakai saja mobil Mas Ben."

"Kenapa tidak kamu jual saja lalu belikan kendaraan yang sesuai untuk kamu. Daripada mobil itu menganggur?"

Terdengar embusan nafas kesal dari bibir perempuan itu. "Biar saja dulu. Aku masih ingin memiliki kenangan tentangnya."

Keduanya kembali menekuni sarapan. Selesai semua mereka beranjak menuju garasi. Untuk pertama kali setelah Ben meninggal, Alana kembali memasuki mobil. Aromanya masih sama. Perempuan itu menarik selembar tisyu lalu menghapus air mata yang mengalir tanpa bisa dicegah. Rasanya seperti masih ada Ben di sana. Terbayang kebiasaan-kebiasaan suaminya saat menyetir. Sayang kini yang disebelahnya adalah sosok berbeda. Sepanjang jalan keduanya cuma diam. Alana membeli beberapa ikat bunga lalu melangkah menuju makam Ben. Adrian mengiringi dari samping.

"Kapan terakhir kemari?"

"Empat hari lalu."

Keduanya kini berjongkok. Alana mengganti bunga dalam vas dengan yang baru. Rasanya waktu berlalu begitu cepat.

"Apa rencana kamu setelah ini, Lana?"

"Tidak tahu, hanya menjalani hari."

"Maaf, kamu tidak memiliki keinginan untuk mandiri? Maksudku, kamu masih muda."

"Mas keberatan aku tinggal bersama Mami dan Papi?"

"Tidak sama sekali, bukan begitu maksudku." Pria itu terlihat serba salah. "Mami belum bisa melupakan Ben, Dia bisa saja mengurungmu untuk memuaskan egonya. Bahwa masih ada bagian dari Ben yang tertinggal. Sementara kamu memiliki kehidupan dan masa depan sendiri."

"Aku nggak masalah Mas. Sejak dulu juga dekat dengan Mami. Bahkan ketika Eyang meninggal, Mami yang sering menengokku di kost. Mengajak menginap kalau akhir pekan. Apalagi setelah Mas Ben lolos Akmil. Ijinkan aku untuk tetap menyayangi Mami. Kasihan Mami, belum siap kehilangan Mas Ben. Meski aku juga berada pada posisi yang sama."

"Orang tuamu?"

Alana berusaha tersenyum. "Mereka bercerai dan sudah punya keluarga masing-masing. Punya anak juga dengan pasangan baru mereka. Tapi masih membiayaiku saat kuliah dulu. Mami dan Papi Mas sangat baik, mereka memberi kasih sayang yang tidak pernah kudapat. Sekaranglah saatnya aku bisa membalas kebaikan mereka."

"Bagaimana kalau kelak kamu menemukan orang lain?"

"Enggaklah Mas, aku lebih senang seperti sekarang. Punya mertua serasa orang tua. Biar aku menjadi anak buat mereka. Kalaupun nanti menikah, belum tentu punya suami sebaik Mas Ben dan mertua seperti mereka. Kalau Mami mau punya cucu, kan, masih ada Mas Adri." Alana berusaha untuk tersenyum.

"Kamu tidak pernah program dengan Ben? Sorry maksudku, apa tidak pernah membekukan sperma, misal?"

Alana tertawa miris. Terdengar menyayat ditelinga Adrian. "Kami tinggal di Indonesia Mas, nggak akan kepikiran untuk melakukan itu."

"Aku lupa."

"Sudah siang, Mas mau ke mana?"

"Cuma ke rumah sakit, lalu ke Resto karena ada meeting. Kamu?"

"Nemenin Mami juga. Nanti aku dinas sore."

"Kalau begitu aku ke tempat lain saja dulu. Nanti malam baru ke rumah sakit. Ada beberapa janji yang harus segera kulakukan. Kamu tidak mau ambil spesialis?"

"Enggak, biayanya mahal. Aku nggak punya uang sebanyak itu."

"Asuransi Ben?"

"Nilainya memang besar, tapi tidak cukup. Masih kutabung, siapa tahu suatu saat nanti terkumpul."

Adrian yang tersenyum. Kini ia mulai paham kenapa Ben memilih Alana. Selain terkesan polos, cara berpikirnya juga sederhana. Tidak memanfaatkan posisinya untuk mengambil keuntungan. Meski yakin perempuan di samping Alana sangat pintar. Padahal kalau mau, Papi pasti dengan senang hati akan membiayainya. Perempuan seperti ini memang cocok untuk adiknya.

"Mas Adri kenapa?"

"Tidak, cuma sedang berpikir tentang rencana hari ini."

"Tapi tetap lihat Mami, kan?"

"Pasti." jawab pria itu tegas.

***

Adrian memasuki apartemen milik kekasihnya Sarah. Tempat yang biasa dikunjungi saat di Jakarta. Sejak dulu, rumah memang bukan tempatnya untuk pulang. Jika tidak di apartemennya pasti menginap di sini. Sarah menyambutnya dengan ciuman, perempuan itu masih mengenakan handuk keluar dari kamar mandi.

"Dari mana?"

"Tadi ke rumah sakit lihat Mami. Ada Alana yang jaga. Aku ke resto sebentar, lalu kemari."

"Jadwal kamu sudah padat?" tanya kekasihnya sambil melangkah ke kamar dan tanpa ragu melepaskan handuk di depan Adrian lalu mulai mengenakan pakaian dalam.

"Belum, tapi mulai minggu depan sudah normal. Jadwal u mempersiapkan private dinner untuk beberapa orang sudah masuk."

"Kamu masih jadi juri? Kudengar sudah mulai persiapan untuk session yang baru."

"Sudah, tapi pihakku masih menego honor."

"Wajarlah, kehadiran kamu selalu ditunggu oleh penonton. Rating acara itu juga naik setelah kamu masuk, kan? Nama kamu akan menghasilkan angka buat mereka. Bagaimana dengan adik ipar kamu?"

"Baik, dia dan Mami masih sama-sama belum move on. Hanya saja, karena masih muda Alana terlihat tegar. Lagipula dia seorang dokter yang terbiasa aktif. Jadi memang lebih terlihat tegar. Berbeda dengan Mami yang selalu di rumah."

"Aku sempat melihat liputan teman sebelum diedit saat kematian adik kamu. Istrinya cantik banget meski tanpa make up."

"Setahuku Alana memang lebih suka tampil sederhana dan polos. Tapi nggak tahu juga, sih. Jarang ketemu dia sebelumnya."

"Perempuan dengan tipenya pasti jadi inceran para laki-laki dari keluarga baik-baik."

"Kenapa begitu?"

"Yang pertama, profesi dokter adalah calon menantu idaman seluruh keluarga di Indonesia."

"Tahu dari mana?"

"Setiap kumpul keluarga, profesi dokter adalah yang langsung diterima oleh para tetua. Kalau yang lain, misal guru. Orang akan berpikir berapa gajinya? Kalau seperti aku, orang akan bertanya bisa masak nggak dia? Padahal tidak semua permepuan bisa masak. Tapi dokter memang dianggap lebih sempurna meski tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Semua akan memaklumi."

Adrian hanya tertawa kecil, Sarah melanjutkan.

"Yang kedua dia cantik, sopan, dan punya masa depan cerah. Idaman setiap pria dengan usia diatas 30-an. Dan yang terakhir belum punya anak, sehingga orang akan dengan mudah masuk dalam kehidupannya. Seandainya punya anak sambungpun, tidak perlu banyak yang adaptasi. Berbeda kalau dia punya anak. Seandainya menikah dengan pria yang belum punya anak, dia masih muda. Jadi kesempatan itu terbuka."

"Analisa kamu sepertinya ditujukan padaku."

"Enggak sama sekali."

Adrian kemudian berdiri sambil memasangkan resleting kekasihnya yang tengah mengenakan dres. "Kamu cemburu?"

"Aku kenal kamu, dia bukan tipemu."

"Dia tipe Ben dan kedua orang tuaku."

"Ngomong-ngomong kamu tidak berniat mengenalkanku pada mereka?"

"Aku sudah pernah bertanya, kamu bilang malas, nanti ditanya kapan menikah. Lupa?"

"Enggak, sih, tapi memang benar menikah belum menjadi prioritasku saat ini. Ketemu Mami kamu yang tipenya tradisional pasti itu menjadi pertanyaan pertama. Apalagi sekarang adik kamu sudah nggak ada, belum punya cucu lagi. Bisa-bisa langsung ditunjukkan dokter obyn terbaik."

Pria itu kini tertawa. Ia suka pada Sarah karena hal yang sekarang. Terbuka membicarakan apa saja. Tidak ada yang tabu bagi mereka. Sama-sama dewasa dan tahu apa yang menjadi prioritas dalam hidup.

"Kapan mulai aktif?"

"Minggu ini."

"Kita akan jarang ketemu kalau begitu."

"Ya, kamu sudah siap?"

"Sudah, nanti aku dandan di mobil saja. Kamu antar aku?"

"Iya, aku bawa mobil Ben."

"Istrinya?"

"Nggak berani bawa. Kebesaran katanya."

"Manja sekali dia."

"Ben dan Mami yang membentuknya seperti itu."

"Sepertinya kamu sudah mengenalnya dengan baik."

"Enggak juga. Hanya karena ngobrol beberapa kali."

Keduanya lantas turun menuju basement. Seperti biasa Adrian menyetir dengan pelan agar tidak mengganggu Sarah yang tengah memulas wajah. Kekasihnya adalah perempuan multi tastking. Bisa melakukan apa saja dan di mana saja. Mandiri sekaligus pemberani. Sarah bukan keturunan sembarangan. Ayahnya adalah pengacara ternama dan ibunya menjadi Dekan di sebuah universitas negeri. Lama tinggal di luar negeri membuat cara berpikirnya juga berbeda dengan perempuan kebanyakan.

"Nanti malam kamu nginap ditempatku?" tanya Sarah.

Belum sempat menjawab, ponsel Adrian berbunyi. Sarah meraih ponsel kekasihnya yang terletak di atas dashboard.

"Dari Alana."

"Jawab saja."

"Aku nggak enak." jawab kekasihnya sambil menekan tombol hijau lalu mengaktifkan speaker.

"Ya, Alana?"

"Dokter bilang Mami sudah boleh pulang. Papi ada pertemuan mungkin pulang diatas jam delapan. Mas bisa jemput?"

"Aku sedang menghadiri pertemuan."

Hening sebentar, akhirnya kembali terdengar jawaban. "Ya sudah biar aku yang antar pulang. Tapi Mas bisa pulang sore, kan? Karena aku dinas malam. Maksudku supaya Mami ada yang nemenin."

"Bisa, kamu pulang saja dengan Mami dulu."

Sambungan terputus.

"Kenapa nggak langsung jemput mami kamu saja?"

"Jauh, muter. Mending aku antar kamu dulu, nanti terlambat."

"Terima kasih. Nanti malam jadi nginap?"

"Kamu pulang jam berapa?"

"Sekitar jam sepuluh."

"Kujemput kalau begitu sekalian nginap."

"Aku jadi nggak enak sama mami kamu."

"Dia nggak akan tahu kalau aku pergi. Nanti aku pinjam mobil Papi."

"Kenapa nggak beli mobil ini saja?"

"Nggak dijual sama yang punya. Lagian aku nggak butuh-butuh amat. Ini bukan mobil murah."

"Tapi adik kamu yang tentara bisa beli. Lebih keren dia berarti."

"Palingan dibelikan Papi."

"Kamu enggak pernah minta?"

"Kalau bisa beli sendiri ngapain minta? Aku buka anak kecil yang senang merepotkan orang tua."

"Iya, sih. Aku setuju. Orang tua bukan tempat untuk meminta. Kerja keras lalu hasilnya bisa beli segala sesuatu sesuai kemampuan."

Adrian kembali tertawa. Cara berpikir mereka tidak jauh berbeda. Karena itu hubungan keduanya bisa awet selama hampir tiga tahun. Tak terasa keduanya sudah sampai.


***

Happy reading

Maaf untuk typo

21722

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top