5
Alana melangkah menuju ruang rawat inap di rumah sakit tempatnya bekerja. Ini hari kedua ibu mertuanya harus dirawat. Tidak ada yang menjaga di siang hari karena ayah mertuanya juga sudah mulai bekerja. Karena itu disela melakukan pekerjaan ia mampir, meski Mami sudah didampingi seorang perawat. Sebenarnya hari ini ia libur, tadinya berencana untuk mengunjungi makam Ben. Tapi akhirnya batal karena tidak mungkin membiarkan Mami sendirian. Kini ibu mertua yang biasa ceria itu terlihat meringkuk. Tidurnya tak pulas karena beberapa kali masih terisak.
Kembali ia mengembuskan nafas berat. Ada banyak perubahan yang harus mereka lalui. Ia sendiri masih terseok dan berusaha untuk bangkit. Beberapa rekannya menasehati untuk berusaha terlihat lebih tegar. Namun, dalam hati marah ketika terus menerus mendengar kalimat tersebut. Orang lain tidak pernah tahu bagaimana ia berusaha untuk kuat sampai saat ini. Melanjutkan pekerjaan meski sama sekali tidak ingin. Ditengah kenangan akan Ben di kediaman mertuanya. Kalaulah itu rumahnya sendiri, mungkin ia sudah mengubah beberapa bagian agar tak selalu terbayang. Sayang, ia tak punya hak apapun di sana.
"Lana?" Sebuah suara mengejutkannya. Membuat perempuan itu buru-buru menghampiri ranjang.
"Ya, Mi?"
"Kamu datang? Sudah makan?"
"Sudah tadi di bawah Mi."
"Adri belum datang?"
"Belum, mungkin penerbangan sore."
"Tapi jadi datang, kan?"
"Kata Papi, jadi. Sudah berangkat."
Terlihat perempuan paruh baya itu mengembuskan nafas lega.
"Syukurlah, mami takut kalau dia tidak peduli lagi dan tetap sibuk bekerja."
"Kan, Mas Adri memang kerja, Mi."
"Iya, tapi kalau jauh, kan susah. Bagaimana kalau nanti mami meninggal tiba-tiba. Bisa-bisa dia nggak lihat."
Rasanya ada yang aneh dengan ibu mertuanya sejak Ben meninggal. Takut di rumah sendirianlah, takut naik pesawatlah. Dan sekarang takut jauh dari putranya. Bagaimana nanti kalau kakak iparnya tersebut tidak bisa memahami keadaan Mami? Apalagi ia tahu cara berpikir Adri sangat berbeda akibat terlalu lama tinggal sendirian di luar negeri.
"Jangan ngomong begitu, aku nggak mau kehilangan Mami." balasnya. Karena tidak ingin ibu mertuanya bertambah sedih.
"Iya, ada kamu. Tapi Adri, kan, jarang pulang. Kalau dulu ada Ben yang menemani, sekarang? Sejak dulu dia memang susah kalau dinasehati. Sudah Mami bilang tidak usah kerja jauh-jauh. Tapi katanya harus kerja di restoran bagus supaya bisa punya pengalaman. Dia jarang sekali pulang apalagi diakhir tahun. Katanya sibuk karena harus bekerja saat Natal dan pergantian tahun. Bayarannya sangat besar pada saat-saat seperti itu. Semua dia lakukan demi uang. Memang dia berhasil, tapi akhirnya lupa orang tua, lupa keluarga. Bahkan di hari pernikahan kalian dia datang terlambat."
"Kan, Mas Adri sekarang sudah bisa bangun restoran sendiri, Mi. itu hasil kerja kerasnya selama ini. Dia sudah membuktikan kalau apa yang diinginkan sudah tercapai. Kalau semua dipikirin terus yang ada nanti malah tambah sakit. Meski aku kerja di sini, rasanya lebih senang kalau lihat Mami di rumah."
"Mami juga nggak betah di sini, tapi mau bagaimana lagi? capek mikirin Adrian. Sekarang umurnya tiga puluh enam, sudah punya tiga restoran yang dibangun bersama teman-temannya. Mami tahu dia punya uang banyak. Apalagi kalau diminta bekerja untuk kedutaan dan cooperate. Penghasilannya pasti besar sekali. Tapi mau sampai kapan? Punya pacar atau enggak saja kita nggak tahu sampai sekarang."
"Mas Adri akan baik-baik saja, Mi. Dia pasti sudah mempertimbangkan baik dan buruknya. Kalau kehidupan pribadi, mungkin dia ingin menyampaikan pada Mami kalau sudah benar-benar yakin."
"Pemikiranmu sama dengan Papi."
"Nggak usah terlalu mikirin Mas Adri. Yang penting Mami cepat sembuh."
"Lan, kira-kira Adri sudah punya pacar belum, ya?"
Alana hanya menggelengkan kepala. Ia memang pernah mendengar gosip kalau kakak iparnya itu memiliki hubungan dengan Sarah, seorang news anchor yang terkenal cantik dan pintar. Lulusan luar negeri dan berasal dari keluarga terpandang. Tapi ia tidak tahu kebenarannya, karena tidak pernah ada klarifikasi dari keduanya. Jadi bagaimana bisa menjawab pertanyaan ibu mertuanya? Iya kalau gosip itu benar, kalau salah? Bisa-bisa dia diomeli Adrian. Laki-laki berwajah dingin yang kalau bicara ketusnya minta ampun!
***
Suasana ruangan Lucia Tjakra ramai sejak sore. Beberapa kerabat dan teman dekat datang berkunjung. Adrian juga sudah hadir, membuat Alana akhirnya pamit karena sudah malam.
"Mi, aku pulang dulu, ya. Mau mandi."
"Di sini saja dulu. Nanti kalau kemalaman kamu bisa pulang bareng Adri."
"Aku nggak bawa mobil. Mi." balas Adrian.
"Lagian rumah kita nggak jauh dari sini. Aku bisa naik taksi online, mumpung masih jam delapan." balas Alana. Dia tidak enak melihat perubahan pada wajah sang kakak ipar.
"Kamu nginap di mana Dri?"
"Di apartemen Mi."
"Lana nanti sendirian, kamu nginap di rumah saja, ya?"
"Enggak apa-apa, kan, ada yang kerja di sana. Mami tenang saja supaya cepat sembuh." Alana berusaha untuk menenangkan Lucia. Sebenarnya ia juga takut sendirian, tapi lebih takut lagi jika harus semobil dan serumah berdua dengan Adrian. Baginya sosok itu sangat menakutkan. Pada tatapan mata tajam dan banyak tato disekujur tubuh. Belum lagi bulu dibagian dadanya yang terkesan lebat. Lebih mirip seorang mafia daripada Chef. Ia saja sejak dulu sudah mengkerut jika ditatap tajam. Apalagi sekarang? Lebih baik menghindari masalah. Namun, keinginannya itu justru mendapat tentangan dari pria yang sepertinya tengah meneliti aura wajahnya.
"Biar aku antar kamu, lagian ini sudah malam. Tidak baik kalau sendirian malam-malam."
"Aku bisa sendiri, kok, Mas."
"Apa selama ini kamu sering pulang malam sendirian?"
Seketika Alana terdiam. Karena memang tidak pernah! Ben selalu menjemputnya, kalaupun tidak sempat pasti menyuruh salah seorang anak buahnya.
"Kamu siap-siap, kita pulang sekarang. Mumpung papi sudah datang."
Mau tidak mau, Alana menurut. Lima belas menit kemudian keduanya sudah berada di dalam mobil milik ayah mertuanya. Perempuan itu hanya tertunduk.
"Kamu sudah makan?"
"Nanti saja di rumah Mas."
"Sudah malam, pembantu juga pasti sudah istirahat."
"Enggak apa-apa, aku bisa menghangatkan sendiri."
"Kamu yakin?"
Yang ditanya cuma mengangguk. Tak lama kendaraan sudah memasuki halaman rumah. Setelah mengucapkan terima kasih Alana buru-buru turun dan menuju dapur. Sayang, makanan yang tersaji tidak menarik. Akhirnya perempuan itu memilih memasak mie instan sebagai pengganjal perut. Daripada nanti bolak balik naik turun dan menimbulkan suara. Adrian menyusul saat ia tengah menyiapkan sayuran.
"Kamu mau masak apa?"
"Mie rebus Mas."
"Tolong, buatkan aku satu juga."
Seketika tangan yang tadinya lincah tersebut berhenti.
"Kamu kenapa? Belum pernah masak mie instan?"
"Bukan, Mas Adri yakin, aku yang masak?"
"Yakinlah, semua orang pasti lulus masak mie instan. Kamu kira aku nggak pernah makan mie?"
Alana hanya menelan saliva. Lalu bergegas menambah bumbu dan sayuran.
"Pakai telur Mas?"
"Bagaimana biasa kamu masak, buatlah seperti itu." jawab pria tersebut sambil menggulung lengan kemejanya sampai sebatas siku serta melepas kancing kemeja bagian atas. Sehingga kini terlihat lebih santai.
Tak lama kedua mangkuk mie sudah tersaji di meja. Alana memejamkan mata. Takut kalau Adrian protes. Beruntung sampai mie dalam mangkoknya tandas tak ada komentar apapun. Sementara ia kesusahan untuk menelan.
"Sudah berapa lama Ben meninggal?"
"Hampir tiga minggu Mas."
Pria itu hanya menganggukkan kepala.
"Bagaimana Mami selama ini?"
"Sering murung dan menangis."
"Kamu nggak ajak Mami ngobrol?"
"Kalau sedang di rumah saja."
"Kamu biasa makan mie instan malam-malam?"
"Jarang, tadi karena nggak selera, aja."
"Memang sebaiknya begitu meski tidak ada yang salah dengan mie instan. Seperti sekarang kamu menambahkan protein dan serat didalamnya. Bumbunya bisa kamu ganti dan tambahkan sendiri. Tidak perlu memasukkan yang ada dikemasan karena perasanya terlalu banyak. Sayurannya jangan kamu masukkan duluan, tapi belakangan saja, setelah mie. Jadi tingkat kematangannya pas dan kandungan gizinya tidak berubah."
"Tidak enak, ya, mas?"
"Enak, masakan kamu enak. Terima kasih. Aku hanya ingin agar kamu lebih sehat. Lingkar hitam di bawah mata menandakan kurang tidur. Apalagi Mami sedang sakit seperti ini. Besok aku yang buatkan kamu sarapan. Terima kasih atas makan malamnya."
"Sama-sama Mas."Akhirnya Alana bisa tersenyum lega. Siapa yang berani memasak meski cuma mie instan untuk seorang Chef internasional. Jantungnya saja tadi hampir copot.
***
Adrian menatap taman belakang yang berisi anggrek koleksi Mami. Ada kolam renang dengan air biru dan jernih. Jujur, baru sekarang ia memperhatikan seluk beluk rumah ini. Karena dulu palingan menginap satu atau dua malam dalam setahun. Sehingga tidak pernah peduli kalau ibunya bertanya tentang warna cat kamar yang diinginkan. Apalagi setelah memiliki restoran di Jakarta. Ia lebih suka tinggal di apartemen karena praktis. Tidak perlu mengganggu dan diganggu.
Terserah mau pulang dan bangun jam berapa. Tak perlu ditanya dan dinasehati. Sejak berusia tujuh belas tahun ia sudah keluar dari rumah. Kuliah dan akhirnya bekerja. Banyak orang mengira menjadi chef itu mudah. Tapi sebenarnya sangat sulit. Bekerja dibawah tekanan tinggi. Apalagi seorang Executive chef yang memimpin di sebuah hotel atau restoran bintang lima pasti seorang perfeksionis. Yang sangat hapal dengan ukuran potongan sayur dan juga daging. Tidak menoleransi kesalahan sedikitpun. Berat ikan dan juga tipisnya pengirisan. Jangan sampai dua kali ditegur, kalau tidak ingin dipecat. Adalah hal biasa jika terjadi lemparan pisau untuk melampiaskan rasa marah dan kesal.
Belum lagi teriakan 'Hurry up" didengungkan berkali-kali, yang bisa membuat adrenalin meningkat. Tidak ada alasan untuk terlambat karena seluruh waktu sudah dihitung dengan tepat. Karena itu selesai bekerja ia memilih beristirahat untuk mendapatkan tenaga baru keesokan hari. Jangan harap bisa berlama-lama menelepon. Baginya kabar bahwa keluarganya baik-baik saja sudah cukup untuk menenangkan hati. Dan jangan dikira bisa liburan seperti yang dilakukan orang lain.
Kalaulah ada waktu luang Adrian muda lebih suka menambah ilmu. Misal, membaca buku untuk menambah ilmu tentang gastronomy. Ada banyak yang bisa dilakukan selain duduk dan bertelepon. Karena itu ia bingung jika ada karyawan orang Indonesia yang hobi sekali meminta ijin, bahkan untuk hal yang menurutnya tidak terlalu penting. Seperti menghadiri pernikahan sepupu. Memangnya kalau dia tidak hadir pernikahan itu batal? Tidak juga, kan?
Tapi saat ini ia malah membuang waktu, entah untuk apa. Sebenarnya lebih baik menghabiskan waktu sambil bekerja atau melakukan yang lebih berharga. Tapi anehnya, ia terdampar di rumah. Sendirian dan kesepian. Kepergian Ben mau tidak mau mengubah sedikit rencananya. Yang Adrian tidak tahu adalah, ia dan Alana menatap ke arah yang sama tapi dari lantai berbeda, dan keduanya merasakan hal yang sama.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
18722
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top