4
Adrian tengah memasukkan pakaian ke dalam koper ketika papinya memasuki kamar.
"Kamu jadi pergi?"
"Ya,"
"Sudah pesan tiket?"
"Aku minta asisten yang urus. Lagian ini bukan weekend dan penerbangan ke SG banyak. Kalau nanti tidak ada, tinggal lewat Batam."
Pria tua itu mengembuskan nafas kasar kemudian duduk di atas ranjang sambil menatap keluar jendela.
"Tidak bisakah mencoba untuk memahami mamimu sekali ini saja?"
Adrian menatap sang ayah, ia bisa melihat luka menganga pada netra tua yang menatapnya. "Mami boleh berduka, tapi tidak boleh memanfaatkan kesedihannya untuk merantai kaki anak orang, Pi. Alana berhak untuk menentukan masa depannya."
"Mungkin pikiranmu benar kalau kamu tinggal di Prancis. Tapi ini Indonesia. Menantu tetap menjadi bagian dari keluarga sebelum dia menemukan orang lain. Kalau sampai dia langsung keluar dari rumah, orang akan menganggap bahwa kita tidak menyayanginya. Lagi pula kamu tahu, kan, kalau Alana itu sendirian? Orang tuanya sama-sama sudah menikah lagi dan punya anak. Kedua pasangan baru mereka tidak bisa menerima kehadirannya. Mamimu bahkan lebih sering memperhatikannya. Dia baru menikah enam bulan dan langsung tinggal di rumah dinas. Penghasilannya sebagai dokter umum tidak bisa dikatakan besar, apalagi masih baru. Lalu dia mau tinggal di mana? Mamimu hanya tidak ingin dia merasa terbuang dan sendirian. Yakinlah bahwa untuk kami, Alana sudah seperti anak sendiri."
"Sorry, Pi."
"Papi paham pemikiranmu, tapi sebaiknya kamu juga paham cara orang lain memandang hidup. Kalau boleh, tundalah perjalananmu seperti semula. Hanya menambah beberapa jam saja. Buatmu mungkin tidak berarti, tapi bagi mamimu itu sangat penting. Kita sudah berencana ke makam Ben. Nanti siang kita makan di luar sama-sama. Biar mamimu sedikit terhibur. Papi tahu pekerjaanmu banyak. Tidak mungkin kamu bisa setiap saat menyempatkan diri untuk pulang. Jadi hari ini saja, tolong luangkan waktumu. Papi tidak pernah meminta sesuatu sebelumnya. Tolong pertimbangkan untuk hari ini."
"Mami di mana?"
"Masih menangis di kamar."
Kembali Adrian bimbang. Namun, akhirnya meninggalkan koper yang belum selesai diisi menuju kamar orang tuanya.
***
Keempat orang itu kini menuju makam yang masih merah. Bunga-bunga mulai terlihat layu. Seorang petugas makam segera datang untuk membantu membersihkan. Alana menatap kosong pada nisan yang tertulis nama suaminya. Benjamin Tjakra. Tak sadar ia mulai menangis sambil mengelus nisan. Meski tak ada suara, tapi hatinya berteriak. Kenapa ini harus terjadi? Sebuah tangan milik Mami mengelus rambutnya. Tak ada kata yang terucap dari bibir keduanya.
Adrian memilih memayungi ibu dan adik iparnya. Sementara Papi membenahi bunga yang mereka bawa.
"Kita berdoa dulu, supaya Ben tenang di sana." akhirnya Carl Tjakra membuka suara. Keempatnya kini melipat tangan. Sang ayah memimpin doa yang diamini oleh anak, menantu dan istrinya.
Lama mereka berada di sana hingga Adrian mencoba untuk memecahkan keheningan.
"Sudah siang, kita pulang dulu."
"Sebentar lagi, ya," jawab sang ibu pelan.
Kembali pria itu mengangguk.
"Kamu ingat Dri, kalau Ben sejak dulu suka pesawat?"
"Iya Mi."
"Bahkan pernah rela nggak tidur buar ngerayu kamu. Supaya pesawat mainan yang jadi oleh-oleh Om Jan dikasih ke dia. Seperti biasa kamu mengalah."
"Dan besok paginya Papi ajak aku membeli mainan yang kusukai. Karena nggak tega lihat wajahku kesal sepanjang sarapan."
Keempatnya tertawa. "Ben selalu menginginkan apa yang kamu miliki."
"Cuma waktu SD saja. Karena sesudah itu kesukaan kami berbeda."
"Iya, kalian memang akhirnya memiliki pilihan masing-masing. Bahkan sampai sekarang."
"Dan sampai menikah, Mas Ben nggak pernah lulus menggoreng telur, Mi. Kalau belum mateng, pasti gosong." Alana kini ikut bercerita.
Semua tertawa, Ben memang paling parah kalau disuruh ke dapur." Mami kemudian menimpali,
"Satu-satunya yang dia lulus cuma masak air. Karena itu paling rajin pulang waktu masih di asrama. Mami kira karena dia kangen, nggak tahunya mengeluh kelaparan. Setiap kali pulang ke asrama selalu minta dibawakan makanan kering. Ben, manja." Lanjut Carl.
"Yah, Ben dan Adrian sangat berbeda, Lana. Kalau Adri sejak dulu mami tidak pernah khawatir. Karena dia mandiri. Seandainya kiriman uang bulanan terlambatpun Mami tetap tenang, karena dia pasti masih bisa makan. Entah itu karena kerja serabutan atau gaya hidupnya yang hemat sehingga selalu punya tabungan. Beruntung Ben bisa masuk AU. Jadi semua sudah diatur dan disediakan." Balas Lucia.
Adrian hanya tersenyum. Baru kali ini ia mendengar langsung ibunya memuji. Karena sejak dulu semua hanya tentang Ben dan segala kelebihannya. Atau mungkin ia tidak tahu Mami mengatakan itu pada orang lain setiap kali ia tidak ada? Obrolan berlanjut, tak terasa matahari kian meninggi.
"Sudah panas Mi, kita pulang?" tanya Adrian.
"Ya, sudah hampir jam makan siang."
Keempatnya bangkit. Dan beranjak setelah Mami dan Alana bergantian mencium nisan. Adrian diapit oleh kedua perempuan itu, karena memegang payung. Kali ini kembali ia yang menyetir.
"Kita makan di mana, Mi?"
"Padang aja, papi sudah lama nggak makan di sana." ucap Carl.
"Terserah papi." Balas sang istri.
***
Sore hari, selesai mandi Alana duduk di teras belakang. Kediaman mertuanya kembali sepi, karena Adrian baru saja pergi. Tante Vonny adik dari ibu mertuanya yang tinggal di Jambi menghubungi melalui telepon. Sebelumnya Alana memang cukup dekat dengannya. Hanya saja saat kematian Ben, tantenya itu tidak datang karena cucu pertamanya baru lahir.
"Apa kabar Alana sayang. Maaf kemarin tidak menghubungi. karena Tante pikir kamu pasti sedang sangat berduka."
"Iya Tan sampai sekarang juga masih begitu. Sulit sekali..."
"Pastilah, tidak ada kehilangan yang mudah untuk dilalui. Apalagi hubungan kalian sudah cukup lama."
"Dan sekarang aku mulai berpikir bahwa jadi janda itu susah banget, Tan."
"Pasti, apalagi kalau kita bertemu orang yang tidak peka. Kamu itu bakalan serba salah. Tampil cantik salah, tampil seadanya juga salah. Semua akan jadi bahan omongan orang. Kalau dulu pulang malam karena bekerja orang akan maklum. Sekarang bisa saja banyak yang berkomentar. Apalagi kalau kamu bicara agak lama dengan suami orang. Bisa-bisa istrinya curiga, padahal kamu nggak ngapa-ngapain. Karena itu sebaiknya nggak usah kost. Tinggal saja di rumah mertuamu daripada nanti jadi nggak nyaman. Yang penting, jangan aneh-aneh. Tetap menjadi Alana yang tante kenal dulu. Jalani aktifitasmu, rajin berdoa. Kalau tentang jodoh itu kehendak Tuhan. Yang penting laki-laki itu baik dan mencintaimu."
"Aku belum kepikiran tentang itu, Tan."
"Sekarang memang belum, tapi kelak pasti ada yang menyukaimu."
"Kalau itu terjadi kasihan Mami, nanti sendirian lagi."
"Kalau begitu, satu-satunya cara supaya kamu tetap di rumah dan tidak meninggalkan Lucia adalah menikah dengan Adri."
"Tante, ih."
Tante Vonny tertawa lebar. "Tante cuma becanda, karena sejak Om-mu meninggal tante juga nggak menikah lagi. Padahal masih muda waktu itu, baru 35. Buat tante mending urus anak-anak. Eh, keterusan sampai sekarang. Berbeda dengan kamu, karena kalian belum punya keturunan."
"Aku masih cinta banget sama Mas Ben, Tan. Entah kapan bisa lupa."
"Kamu tidak akan pernah bisa benar-benar melupakannya. Tapi percayalah, rasa kehilangan akan semakin berkurang dan kamu akan menemukan kehidupan yang berbeda. Selama ini selalu ada Ben, kan? Kalian pacaran lama sekali."
"Iya, Tan. Aku terlalu tergantung pada Mas Ben selama ini. Dia nggak pernah ngasih aku kemana-mana sendirian. Sebisa mungkin diantar. Sekarang..."
"Begitu lah hidup. Kita tidak pernah tahu rencana Tuhan dan sampai kapan kita menikmati kebahagiaan. Sekarang tugas kamu yang terberat adalah berdamai dengan keadaan. Itu yang paling penting. Tante doakan semoga kamu bisa cepat pulih, ya."
"Terima kasih tan."
Percakapan malam itu sedikit banyak membekas dalam diri Alana. Sudah beberapa hari terakhir dia hanya mengurung diri di kamar. Tidak berani bertemu dengan siapapun kecuali orang yang ada di rumah. Tidak terbayang jika kelak harus kembali bekerja.
***
Setelah hari ke-tujuh, Alana kembali harus memulai aktifitasnya. Ada banyak keraguan yang muncul. Terutama saat ia memilih kemeja yang akan dikenakan. Beban sebagai janda muda ternyata berat untuk dijalani. Kembali diperhatikannya blus berwarna kuning yang terlihat pas ditubuhnya. Apakah warn aini tidak terlalu cerah?. Apakah tidak terlalu tipis? Takut kalau nanti ada orang yang mengingatkan. Pasti malu sekali.
Sampai di ruang makan, ibu mertuanya sedang menyiapkan sarapan.
"Kamu berangkat jam berapa?"
"Biasa Mi, jam tujuh."
"Kamu bawa mobil Ben?"
"Enggak, mobil itu besar sekali. Aku akan naik taksi saja, lagian dekat."
"Nanti bareng papimu saja. Kalian searah."
"Papi berangkat jam setengah sembilan Mi."
"Mami lupa, atau nanti mami antar saja. Sekalian ke pasar sama Bu Ira. Kamu kepingin makan apa?"
"Terserah Mami saja mau masak apa aku pasti suka. Tapi hari ini aku akan ke kantor sendirian dulu, sekalian belajar Mi."
"Jangan begitu, kamu kurusan. Oh ya, bagaimana dengan surat-surat kematian Ben? Sudah mulai kamu urus?"
"Rencana hari ini Mi."
"Kalau nggak salah dia punya asuransi, kan?"
"Iya,"
"Cepat diurus, supaya selesai. Itu sudah menjadi hak kamu."
"Iya Mi."
Tak ada kalimat lain yang bisa diucapkan. Selesai sarapan, Alana segera berangkat setelah berpamitan. Saat melewati mobil milik Ben, airmatanya kembali tergenang. Baru minggu lalu ia dengan santai masuk ke dalam mobil. Tidak pernah tahu dengan urusan bensin, perawatan, dan area parkir. Semua sudah diselesaikan suaminya. Bergegas perempuan itu melangkah sambil memesan taksi online. Beruntung segera mendapatkan.
***
Adrian baru selesai mandi saat Sarah kekasihnya membuka mata.
"Kok, bangunnya cepat?"
"Hari ini aku akan ke Jakarta."
"Bukannya seharusnya lusa?"
"Mami masuk rumah sakit, mungkin terlalu letih."
"Tumben banget kamu mikirin? Apa karena adik ipar sudah janda?"
"Bukan, Papi menelepon terus sejak tadi malam. Kamu menginap saja kalau masih di sini."
"Aku kemari karena mau bertemu kamu. Memanfaatkan libur yang cuma dua hari. Sekarang kamunya malah pergi."
"Mami masih belum bisa menerima kenyataan."
"Siapapun pasti seperti itu, apalagi ibu yang sudah melahirkan dan membesarkan."
Selesai mengenakan celana jeans Adrian duduk di sofa sambil menatap pemandangan di luar apartemennya. Sarah bangkit kemudian memeluknya dari belakang.
"Aku tahu kamu juga kehilangan. Apa nggak lebih baik ambil cuti atau minimal stay di Jakarta? Toh, semua sudah stabil."
"Aku butuh bekerja untuk bisa keluar dari masalah ini."
"Tapi keluarga sedang membutuhkan kamu."
"Aku juga butuh sendiri. Aku dan Ben bicara banyak waktu pagi hari sebelum dia meninggal. Dan aku merasa terbebani dengan pesan-pesannya."
"Jangan jadikan sebagai beban, mungkin sudah saatnya kamu pulang. Selama ini Ben sudah mengisi rongga kosong dalam keluarga bisa saja sekarang giliran kamu." Bisik Sarah sambil mengecup pipi kekasihnya.
Pria itu tertawa kecil, "Apakah ini pertanda kalau kamu ingin aku tinggal di Jakarta?"
"Enggak juga, kamu tinggal dimanapun hubungan kita akan tetap sama. Buatku LDR-an tidak masalah. Kita sama-sama punya pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan."
"Aku masih bingung. Jakarta bukan rumahku. Kalau boleh memilih aku lebih suka Bali."
"Tapi keluarga kamu berada di sana. Pikirkan itu. Kamu mau kehilangan keluarga sekali lagi? Katakanlah aku perempuan yang sedikit sentimental. Jangan sampai kamu menyesal setelah benar-benar kehilangan."
"Akan kupikirkan, terima kasih."
Sarah kembali masuk ke dalam pelukan kekasihnya.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
8722
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top