3


Alana membuka mata pagi harinya. Semua terasa berbeda. Tak ada lagi yang berbaring disampingnya. Mengucapkan selamat pagi lalu mengecup lembut keningnya. Bertanya tentang rencana hari ini, atau meminta dimasakkan sesuatu. Tak ada lagi pelukan erat menjelang tidur selesai berbincang tentang kegiatan satu hari. Semua sudah hilang dan takkan kembali lagi. Ia tidak pernah bermimpi akan mengalami ini. Dalam bayangannya dulu, pernikahan mereka akan berlangsung lama. Punya anak-anak lalu menua bersama. Kembali air mata menetes tanpa bisa dicegah.

Ia sengaja tidak mengganti sprei dan apapun yang ada di kamar. Ingin lebih lama merasakan 'kehadiran' Ben. Bahkan tadi malam ia tidur berselimutkan handuk yang dipakai suaminya sebelum pergi. Cukup bisa menenangkan hatinya yang hancur, saat menyadari masih ada aroma yang tertinggal. Padahal dulu ia yang paling marah kalau handuk tidak segera diletakkan di keranjang pakaian kotor. Tapi suaminya tak peduli, malah tertawa ketika melihatnya mengomel.

Perempuan itu kemudian duduk tapi kepalanya terasa pusing. Sehingga kembali merebahkan tubuh karena merasa tidak sanggup. Kali ini seluruh ilmu kedokteran yang dimiliki tak lagi berguna. Ia bahkan tidak mengingat satupun jenis obat yang bisa mengurangi rasa sakit kepalanya. Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan. Pintu terbuka, dan ada sosok ibu mertuanya yang kini masuk ke dalam kamar. Sesuatu yang tidak pernah terjadi semenjak mereka menikah.

"Alana, sarapan dulu, sayang."

Perempuan yang selama ini dianggapnya sebagai ibu kandung. Menyayangi tanpa peduli kalau ia tak pernah tinggal di rahimnya kini masuk. Seorang ibu yang selalu menganggapnya sebagai anugerah di rumah ini. Kapankah semua akan berakhir? Ia takkan punya hak lagi untuk tinggal di sini dan menikmati semua karena kepergian Ben.

"Lana kenapa?"

"Enggak apa-apa, Mi. Kepala Lana pusing."

"Kamu kebanyakan menangis. Sarapannya mami antar ke kamar aja, ya."

"Nggak usah, aku mandi aja dulu. Mungkin lebih segeran nanti."

"Atau Mami panggil dokter saja dulu. Supaya kamu diperiksa. Sudah berapa malam kurang tidur."

"Enggak usah, nanti aku telfon teman saja untuk bawakan obat."

"Kalau begitu mami turun dulu mengambil teh. Kamu di sini saja."

Kini Alana mengangguk. Ia benar-benar tak sanggup berdiri.

***

Adrian baru saja selesai memasak sop ayam dengan beberapa bumbu yang menurutnya bisa menambah stamina. Pria itu menyadari bahwa keluarganya tengah butuh nutrisi agar bisa kembali beraktifitas. Meski suasana hati mereka jelas tidak bisa diobati oleh makanan yang dimasaknya. Segera pria itu menyajikan pada kedua orang tuanya.

"Dri, buatkan satu mangkok lagi untuk Alana."

Pria itu membuatkan. Menaruh bumbu tambahan ke dalam sebuah piring kecil lalu menyerahkan pada seorang asisten rumah tangga untuk mengantar ke kamar adik iparnya.

"Alana kenapa Mi?"

"Badannya hangat, wajahnya pucat. Tadi katanya pusing. Sudah mami bilang untuk panggil dokter, tapi katanya nanti ada temannya yang akan mengantar obat."

Adrian segera meletakkan sendok lalu meminum air putihnya.

"Kamu kenapa?" tanya Carl Tjakra, ayahnya.

"Tidak, cuma mau minum."

"Kamu banyak pekerjaan?" tanya sang ibu.

"Selalu ada pekerjaan, Mi. Aku akan di sini sampai besok."

"Kok, cepat sekali." Giliran Lucia Tjakra yang terlihat kecewa.

"Ada banyak pekerjaan."

"Kalau sedang di Jakarta kamu bisa menginap di sini, kan?"

"Akan kuusahakan."

"Mami tahu kamu sudah mapan. Punya apartemen sendiri dan penghasilan besar. Tapi, nggak ada salahnya kalau sesekali mampir." Kini air mata mulai menetes di pipi halus itu.

"Mi," sang suami menggneggam erat tangannya seolah memberi kekuatan. "Adri sudah dewasa, dia pasti punya kesibukan sendiri."

"Tapi kita nggak tahu kapan dia bisa datang lagi. Rumah akan semakin sepi."

"Mami lanjutkan saja makannya. Nanti sakit." Adrian seolah menasehati. Ia memang tidak pandai membujuk seperti Ben. Tak bisa bersikap manis meski pada orang terdekat.

"Mami mau lihat Alana dulu."

Kedua laki-laki itu kini diam. Membiarkan Lucia beranjak dari meja makan.

"Maaf, mamimu selalu seperti itu. Dia sangat kehilangan. Mungkin setelah ini dia akan semakin protektif sama kamu."

"Aku paham."

"Dia juga yang paling takut kalau Alana sakit."

"Aku tahu."

"Kalau kamu harus bekerja, pergilah. Ada papi yang di sini."

"Kalau ada waktu main ke Bali, Pi."

"Kamu saja enggak tahu kapan di sana."

"Minggu pertama aku di SG, lanjut ke Jakarta dan dua minggu terakhir di Bali. Selalu seperti itu kecuali sedang ada kegiatan lain." Pria itu berusaha menyampaikan rutinitasnya. Meski terasa sulit. Ia tak pernah seperti ini, biasanya tidak terlalu peduli jika ada orang lain bertanya. Dan merasa bahwa orang lain tidak berkepentingan untuk mengetahui jadwalnya kecuali asisten pribadi yang mengatur seluruh perjalanan dan kegiatan.

"Kepergian Ben sangat berat untuk mamimu dan Alana. Semoga mereka cepat pulih."

"Ya,"

Keduanya kini kembali diam. Meja makan semakin sepi. Hanya ada denting sendok. Selebihnya, senyap.

"Papi kapan mulai ngantor?"

"Minggu depan. Sedang ambil cuti."

Kembali tak ada suara. Adrian meletakkan sendoknya sambil menatap sang ayah yang tertunduk. Hingga akhirnya pria tua yang sejak kemarin terlihat tegar itu menangis. Bahunya bergetar hebat tapi berusaha menahan suara. Adrian segera pindah lalu menyerahkan beberapa lembar tisyu. Memijat bahu Carl pelan. Ia kini paham arti sebuah kehilangan. Tidak ada yang bisa disalahkan. Tak lama sang ayah menarik nafas panjang sambil menepuk lengan putra tertuanya.

"Semua akan baik-baik saja."

Keduanya kini mengangguk. Meski sama-sama menyadari bahwa kalimat itu hanyalah sekadar penghibur. Ingatan akan Ben akan abadi.

***

Seorang rekan di rumah sakit memeriksa Alana.

"Tekanan darah kamu naik, tidak pernah seperti ini, kan? Kurang tidur?"

"Iya."

Sang teman menatap wajahnya yang masih terlihat pucat.

"Aku tahu perasaan kamu. Kami orang luar hanya bisa mengucapkan kata sabar. Tapi kamu yang menjalani pasti merasa berat. Lan, kamu masih muda. Ingat, ada pekerjaan yang menunggu."

"Aku bisa menyembuhkan orang, tapi gagal mengobati suamiku sendiri." Alana kembali menangis.

"Kamu bukan gagal. Itu kecelakaan pesawat. Dan kamu tidak ada di sana. Aku paham kalau kamu merasa bersalah, tapi semua berada diluar perkiraan kita. Ben dan timnya juga pasti sudah memeriksa seluruh bagian mesin sebelum pesawat itu dinyatakan layak terbang. Kita cuma boleh berencana, Lan. Tuhan yang menentukan."

"Ya, kamu benar."

"Kamu boleh cerita ke aku tentang seluruh ketakutan dan kecemasan. Jangan dipendam sendiri. Ingat, kami semua menunggu kehadiran kamu di rumah sakit."

"Terima kasih May."

"Aku pergi dulu, kamu minum obatnya. Jangan sampai drop. Kasihan mertua kamu. Nggak lihat sudah berapa kali dia datang kemari sementara aku belum tiga puluh menit di sini? Dia sayang sama kamu. Setidaknya kuatlah untuk orang-orang yang menyayangi kamu."

Alana kembali mengangguk. Hingga akhirnya Maya pamit. Tak seperti biasa, ia tetap tinggal dan membiarkan tamunya pergi. Kembali Alana berbaring sambil menatap foto pernikahan. Di sana ia tersenyum bahagia. Masih terbayang saat pengambilan foto itu. Bagaimana Ben menatap penuh cinta dan menjadi bahan olokan tim fotografer. Kini semua tinggal kenangan tatapan itu sudah pergi untuk selamanya. Kembali Renata memejamkan mata.

***

Keesokan paginya, Alana turun setelah mandi. Hari ini ia merasa lebih baik. Tidak tega jika ibu mertuanya naik ke atas terus menerus. Tak disangka sudah ada Adrian sedang menyiapkan sarapan di dapur.

"Pagi mas."

Pria itu menoleh sekilas. "Pagi, kamu sudah baikan?"

"Sudah, terima kasih sop ayamnya kemarin."

"Sama-sama."

Pria itu kembali sibuk menyiapkan roti panggang didepannya.

"Ada yang bisa kubantu?"

"Kalau mau kamu boleh membelah jeruk saja."

Perempuan itu mengangguk patuh. Kemudian melaksanakan perintah dengan baik. Meski sebenarnya tak nyaman, karena pria yang ada didekatnya adalah seorang chef ternama. Sebelum ini, Alana bahkan lebih sering melihat di televisi. Ketika teman-temannya berkata betapa manly-nya kakak laki-laki suaminya tersebut. ia hanya bisa diam, karena memang tidak mengenal secara dekat. Sejak dulu Adrian adalah sosok misterius baginya. Jarang tersenyum dan selalu menjaga jarak dengan siapapun.

"Sudah selesai mas."

"Terima kasih. Kamu panggil Papi dan Mami saja. Supaya kita sarapan bareng."

Alana segera beranjak untuk memanggil kedua mertuanya. Saat kembali di meja makan telah tersaji sarapan yang sangat menggiurkan dan ditata cantik seperti di restoran. Selesai doa makan yang dipimpin Carl, mereka sibuk dengan sarapan masing-masing. Wajah-wajah yang berkumpul masih terlihat berduka namun, sudah lebih baik.

"Kamu pulang jam berapa?" tanya Mami.

"Pesawat malam, kenapa, Mi?" tanya Adrian.

"Syukurlah masih lama. Kita ke makam Ben dulu?"

"Boleh, aku mau pamit sekalian."

Kembali Lucia meletakkan sendoknya.

"Dilanjutkan dulu sarapannya, Mi."

Perempuan paruh baya itu hanya mengangguk.

"Setelah itu, Alana mau ke rumah dinas dulu, Mi. sekalian beres-beres."

"Kamu mau pindah?"

"Ya, Mas Ben sudah tidak ada. aku harus keluar dari sana."

"Pindah kemari saja. Lagian kalau kamu sendirian nanti nggak ada yang urus."

Alana tertunduk, ragu untuk menjawab.

"Jangan sungkan, kamu akan tetap menjadi anak kami sampai kapanpun."

Kini giliran Adrian menjawab. "Mi, beri kesempatan Alana untuk berpikir yang terbaik bagi dirinya sendiri. Jangan sampai dia merasa terpaksa."

Kalimat itu bagai sebuah tamparan bagi sang ibu. Ia menatap putra sulungnya tak suka. "Kamu mau membiarkan Alana sendirian di luar sana? Kamu nggak tahu kalau selama ini dia tidak punya tempat tinggal? Mau membiarkannya kost sementara di rumah kita banyak kamar?"

Adrian terdiam mendengar suara dengan nada tinggi itu. Kalau sudah seperti ini, tidak akan ada yang berani bicara lagi. Tadinya bermaksud baik. Jangan sampai adik iparnya merasa bingung.

"Kamu terlalu lama tinggal sendirian sehingga tidak paham akan nilai dan arti sebuah keluarga!"

Selesai mengucapkan kalimat tersebut, Lucia segera meninggalkan ruang makan. Meninggalkan ketiga orang itu yang terdiam.

"Jangan diambil hati omongan mamimu."

Adrian hanya mengangguk kemudian meletakkan serbet di atas meja.

"Aku pamit, Pi. Pulang sekarang saja."

"Katanya mau ke tempat Ben dulu."

"Lain kali saja. Minggu depan aku ke Jakarta. Nanti sekalian mampir." Pria itu kemudian menatap adik iparnya yang tertunduk. "Aku pamit. Kalau kamu butuh sesuatu, hubungi aku. Kamu menyimpan nomorku?"

Alana menggeleng!

***

Happy reading

Maaf untuk typo

4722

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top