20

Yang penasaran. Adrian-Alana sudah tersedia di playstore yaaaaa...

Isi sama dengan di Karya Karsa.

Buat yang sudah menunggu silahkan meluncur.

***

"Kamu sering ngomong sama dia sekarang?"

"Enggak, sih. Tapi pernah dia bilang begitu."

"Di apartemennya cuma kita saja nanti?"

"Iya, kamu nggak keberatan, kan? Dia akan langsung pulang ke rumah. Lagian nggak mungkin nemenin kamu curhat."

"Dia berubah banget ya, Lan. Apa ada seseorang yang membuat dia begitu?"

"Aku nggak tahu, kalau perubahan semakin baik, nggak masalah, kan?"

"Iya, sih."

Alana kini ikut diam. Beruntung Maya sudah tidak sesedih tadi. Ia tahu sahabatnya adalah perempuan yang kuat. Mungkin karena di rumah terlalu banyak nasehat sehingga membuatnya letih. Tak selalu masukan dari orang lain itu layak untuk dipikirkan. Hanya saja kalau dari pihak keluarga sulit untuk mengelak, karena mereka selalu merasa benar. Ia beruntung karena keluarga mertuanya tidak seperti itu. Orang tua kandungnya juga terkesan kurang peduli. Manusia kadang hanya membutuhkan dua telinga untuk mendengar, tidak perlu lagi ditambah mulut yang terus berbicara.

***

Adrian baru saja memasuki bagian dalam rumah. Suasana sepi, ia segera mengetuk kamar orang tuanya.

"Ada apa Dri?"

"Alana menginap di apartemenku, Mi. Maya sedang sedih katanya."

"Iya, tadi sudah telepon mami. Kamu ketemu dia?"

"Ketemulah sekalian aku kasih kunci."

"Dia nggak bawa baju ganti."

"Sudahlah Mi, Alana sudah dewasa. Dia pasti bisa mengatasi segala hal apalagi cuma tentang baju. Kalau alat mandi di apartemenku ada. Tadi sudah kutunjukkan tempatnya."

"Kamu nginap di sini?"

"Jadi mau di mana lagi? Mami mau aku menginap di apartemen bareng dia?" balas Adrian sambil tertawa.

"Kamu itu!"

"Lagian pertanyaannya aneh. Aku ke kamar dulu. Papi bagaimana?"

"Sudah tidur. Kamu sudah makan?"

"Sudah, Mami?"

"Tadi sama papi."

"Ok, selamat malam Mi."

"Malam."

Adrian kemudian beranjak menuju kamarnya. Namun, kali ini ia tidak langsung mandi melainkan berbaring sejenak. Tadi dia bertemu Alana. Entah kenapa, adik iparnya terlihat semakin cantik. Bukan kecantikan sensual yang menggoda melainkan seperti anak remaja yang polos. Bening matanya serta wajah tanpa riasan kecuali lipstick tipis membuat mata pria itu tak bisa berpaling. Rambutnya pun tak pernah diwarnai. Selalu panjang dan hitam alami.

Entahlah mungkin karena biasanya mereka bertemu di rumah, jadi tidak bisa melihat perbedaan yang terlalu besar. Tadi di apartemen saat ia mengijinkan Alana mengggunakan kamarnya. Ada sebuah keinginan untuk tidak pergi dari sana. Bukan untuk menginap lalu tidur bersama, tapi lebih kepada tidak puas hanya menatap wajahnya jika hanya sejenak. Kalau boleh ia ingin menikmati sepanjang malam. Sayang, Maya terlihat terganggu dengan kehadirannya. Hingga akhirnya Adrian memutuskan pergi.

Ia tahu rasa itu sudah ada sejak beberapa bulan lalu. Dimulai ketika mereka pergi ke pesta Putra Om Tommy. Masih terbayang bagaimana cantiknya Alana. Kalau mereka lebih dekat lagi ia ingin memeluk pinggangnya. Tapi jelas tidak mungkin, di sana banyak keluarga besarnya. Kemarin saja sudah mulai ada yang berharap. Adrian hanya tertawa mengingat itu. Mungkin perasaannya sudah berubah, tapi Alana? Tidak sama sekali. Masih memuja Ben sampai sekarang. Tidak membuka diri dan hati pada siapapun. Lalu bagaimana bisa masuk ke sana?

Lama berpikir sendirian dan tak bisa memejamkan mata akhirnya pria itu memutuskan menghubungi adik iparnya. Setidaknya kalau belum tidur, mereka bisa berbagi cerita singkat. Mendengar suaranya saja mungkin bisa membuat lebih tenang. Biar saja Alana tidak tahu tujuan yang sebenarnya. Yang penting ia bisa mengobati rasa rindu yang mulai sering datang.

***

Maya sudah tidur setelah beberapa jam mencurahkan seluruh keresahannya. Kini giliran Alana yang tak bisa memejamkan mata. Ia berpikir, bahwa kadang jalan hidup benar-benar tidak bisa ditebak. Dulu ia sangat yakin bisa bahagia dengan Ben. Tapi semua tak seperti yang diinginkan, hanya sebentar bisa mendampingi suami karena takdir berkata lain. Ia juga pernah sangat yakin kalau Maya akan berbahagia dengan Bayu, tapi kenyataan berbeda. Sahabatnya itu malah putus saat hubungan sudah masuk ke tahap serius.

Maya bercerita tentang banyak hal. Sesuatu yang selama ini disembunyikannya. Bahwa sebenarnya sudah lama merasa ragu, tapi terus menjalani hubungan karena merasa bahwa pasangannya benar-benar calon menantu idaman keluarga. Berusaha menerima perbedaan karena yakin mereka bisa berjalan beriringan. Namun, akhirnya malah menyerah karena masalah yang dihadapi kelak tak hanya Bayu tapi juga keluarganya.

Akhirnya logika berpikir Maya memenangkan pertarungan. Menyerah pada hubungan yang terlalu banyak orang diantara mereka. Ia memilih putus. Awalnya merasa siap, sayang kenyataan berkata lain. Hanya dalam waktu empat bulan mantan kekasihnya menemukan pengganti Maya. Dan kali ini langsung menikah. Keluarga besar sahabatnya marah tanpa mau peduli dengan alasan yang diutarakan. Alana tahu rasa sedih Maya tidak melulu karena patah hati. Sebagian besar adalah rasa dikalahkan. Beruntung masih bisa berpikir waras, dengan tidak membalas mencari kekasih baru dalam waktu cepat. Memilih tetap bekerja seperti biasa seolah tidak terjadi apapun. Semua orang menganggap Maya baik-baik saja. Kecuali Alana tentunya.

Mereka bicara tentang banyak hal. Sebisa mungkin Alana berusaha menjadi pendengar yang baik. Dalam situasi seperti ini sahabatnya pasti sangat labil. Sebuah panggilan memasuki ponselnya, dari Adrian. Tumben! Kakak iparnya itu paling malas kalau harus mengetik pesan. Biasanya jika panggilannya tidak diangkat, maka akan mengirimkan pesan suara. Tapi aneh juga menghubungi sudah hampir tengah malam begini. Namun, karena berpikir sedang meminjam apartemen, Alana mengangkat. Lagi pula takut ada apa-apa dengan mertuanya.

"Halo, belum tidur, Lan?"

"Belum, baru selesai ngobrol sama Maya. Ada apa Mas?"

"Nanya aja, siapa tahu kalian keluar."

"Enggaklah, Maya baru selesai curhat dan nangis. Tumben malam-malam telepon."

"Mami tadi nyuruh aku tanya keadaan kamu. Tapi lupa karena ketiduran, biasalah. Baru saja terbangun dan ingat lagi. Kenapa kamu belum tidur? Kamarnya nggak enak?"

"Bukan, lagi mikir tentang hidup aja. Oh ya, boleh kubereskan kamar Mas Adri?"

"Berantakan banget, ya?" Ada tawa kecil diujung kalimatnya.

"Sedikit, sih."

"Aku jadi malu sama kamu. Akhir-akhir ini memang jarang menginap di sana. Kadang cuma untuk istirahat siang, bangun tidur langsung kerja lagi. Makanya aku minta kamu untuk ganti sprei tadi. Siapa tahu bau keringatku masih ketinggalan."

"Aku yang seharusnya malu. Sudah numpang menginap dikasih kamar utama lagi."

"Nggak apa-apa, dari pada kalian menginap di hotel."

"Papi dan Mami bagaimana?"

"Baik, kamu saja yang terlalu khawatir."

"Mereka sudah seperti orang tua buatku."

"Kalau aku?"

"Apaan, sih, nanyanya?" balas Alana sambil bercanda. Yang ia tidak tahu kalau di seberang sana Adrian tersenyum lebar sambil menahan tawa karena berhasil menggodanya.

"Aku serius."

"Ya, kakak ipar. Memangnya mau dianggap apa?"

"Nggak apa-apa. Memang itu kebenarannya, kan?"

"Kenapa, sih, nanyanya begitu?"

"Memangnya nggak boleh nanya?"

Wajah Alana kini malah memerah. Akhirnya ia buru-buru mengalihkan pembicaraan.

"Mas, buat kalian yang laki-laki kalau putus, kok, gampang banget cari yang baru."

"Pertanyaan ini menyangkut tentang kejadian yang menimpa Maya?"

"Iya."

"Nggak semua, sih. Buat sebagian lelaki, kalau perempuan yang dicintai sudah tidak mau, ya, cari yang lain. Untuk apa memikirkan perempuan yang tidak memikirkan kita?"

"Semudah itu?"

"Kan, sebagian. Menunggu sesuatu yang tidak pasti itu capek banget Lan. Tapi ingat nggak semua begitu. Bisa jadi sebenarnya dia juga patah hati. Terus mikir, sudah lama pacaran tapi nggak jadi menikah. Padahal semua sudah dipersiapkan. Akhirnya begitu ada yang mau diajak nikah, ya, sudah. Buat apa pacaran lama-lama."

"Sesimpel itu? Meski belum kenal pribadinya?"

"Iya, daripada jagain jodoh orang? Mending nikah, sudah jelas menjadi milik sendiri."

"Kalau gagal?"

"Lan, orang mau menikah itu yang pertama harus yakin. Kalau mikir tentang kegagalan terus nggak akan maju. Tapi memang harapan setiap laki-laki itu berbeda terhadap pasangan. Misal, yakin kalau perempuan yang satu ini bakal setia. Nggak susah ngejaganya, diterima baik oleh keluarga. Ya, sudah dinikahi saja. Lagian mau cari yang bagaimana lagi?"

"Kalau Mas Adri kenapa belum menikah?"

"Tuh, kan, pertanyaan kamu mancing-mancing terus."

"Kan, aku penasaran." balas Alana dengan suara manja.

"Kamu ngegemesin kalau begini."

"Gemes sama adik, kan?"

Ada tawa dari seberang sana. "Lihat nantilah, kalau yang itu aku nggak mau janji."

"Mas Adri jawabnya gitu. Ayo jawab pertanyaanku."

"Gimana, ya. Aku terbiasa punya tujuan dalam hidup. Misal selesai mengerjakan ini, tahap selanjutnya aku mau bisa berada pada posisi ini. Jadi segala hal sudah kukalkulasi sedetail mungkin. Aku pernah bilang, jadi Chef itu tidak mudah. Karena tidak ada pendidikan Chef yang membuat orang langsung menduduki jabatan tertinggi. Semua harus berdasarkan pengalaman. Dan kalau tujuanmu adalah karier hal pribadi harus disingkirkan dulu."

"Kenapa? Aku tahu bagaimana repotnya jika harus punya pasangan. Emosi pasti labil banget apalagi jika ketemu yang nggak cocok. Belum lagi kalau punya bayi. Menemani pasangan ke dokter, siap membantunya setiap saat. Mengajak anak bermain dan sebagainya. Kalau itu terjadi pada hidupku, bisa saja karierku yang terhambat. Karena pikiran tidak akan bisa fokus. Aku orang yang terbiasa memiliki target, sekian tahun lagi aku harus berada pada posisi ini. Jadi selalu fokus pada sesuatu yang menjadi prioritasku."

"Tapi banyak juga perempuan di luar sana yang nggak mau punya bayi. Kalian bisa menikah juga, kan?"

"Tetap saja setiap pernikahan akan memiliki masalah dan tanggung jawab sendiri. Dan itu bisa mengganggu konsentrasi. Berapa anak buahku yang gagal karena patah hati atau lagi ribut sama pacarnya? Pekerjaan terbengkalai bahkan jarinya terpotong saat bekerja. Itu jelas akan merugikan diri sendiri. Berapa waktu yang terbuang hanya karena masalah pribadi yang terbawa ke pekerjaan. Seseorang yang memutuskan untuk menikah, harus siap dengan seluruh konsekuensi yang akan terjadi."

"Itu karena Mas belum ketemu yang tepat aja berarti."

"Kalau ketemu juga orangnya belum tentu bisa sepemikiran. Contohnya Sarah, begitu aku meluangkan waktu sedikit untuk Papi dan Mami dia sudah merasa tersingkirkan."

"Terus sekarang dari sisi karier tujuan mana yang belum tercapai?"

"Sedang tidak ada, tapi bisa saja besok atau lusa aku ditawari sebuah posisi bagus di negara lain. Dan jika itu benar-benar menarik akan langsung kuterima. Kalau ada pasangan pasti kita harus diskusi dulu, mempertimbangkan sekolah anak-anak. Bagaimana dengan pekerjaan pasanganku. Kalau cuma aku, tinggal beresin koper lalu terbang."

"Resto?"

"Itu bukan usahaku sendiri, kami patungan dengan teman-teman. Tapi karena kebetulan aku chef, jadi namaku cukup menjual dari sisi marketing. Kecuali yang di Bali, sahamku lebih besar. Karena kepingin di hari tua nanti menghabiskan waktu di sana. Dari tadi kamu nanya aku terus, kamu bagaimana? Sudah mendapat pengganti Ben?"

"Belum." jawab Alana pelan.

"Kenapa? Masih keingat terus?"

"Iya."

"Bagaimana tidak teringat kalau semua kenangan tentang Ben masih melekat pada kamu."

Lama Alana diam. Ada rasa sedih ketika kembali membicarakan tentang almarhum suaminya.

"Hampir seumur hidupku dihabiskan dibawah perlindungan Mas Ben. Satu-satunya teman yang paling setia."

Suara Alana terdengar menyayat. Tak lama isaknya kembali muncul. "Dia memahamiku jauh lebih besar daripada diriku sendiri. Dan sampai saat ini aku tidak bisa membuka hati pada yang lain. Selalu teringat kenangan kami dulu. Dan itu membuatku enggan melangkah. Mas Ben melakukan segala hal yang terbaik untukku."

"Cobalah membuka hati pada yang lain."

***

Happy reading

Maaf untuk typo

24822

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top