2


Adrian menatap langit sore yang bersinar terik dari balik jendela ruang kerjanya. Sebuah berita yang membuatnya tiba-tiba merasa kosong baru saja didengar. Tentang kematian Benjamin adiknya dalam sebuah latihan rutin. Baru dini hari tadi Ben mengantarnya ke bandara. Pertama dan menjadi yang terakhir kali dalam sejarah mereka sebagai saudara kandung. Masih segar dalam ingatan, bagaimana adiknya itu buru-buru keluar kamar saat mendengar ia memanaskan mobil.

"Mas mau berangkat sekarang?"

"Iya, ngejar pesawat pertama."

"Biar kuantar, sekalian aku harus berangkat pagi."

"Kamu tidur sudah terlalu larut semalam. Istirahat saja. Aku bisa sama Tono, supir Papi."

"Enggak, kali ini kuantar, sekalian, mau ngobrol."

Mereka tidak pernah dekat, bagai minyak dan air. Tidak ada yang membuat keduanya terlihat bagai saudara kecuali nama belakang yang sama. Dalam sejarah usia yang baru semalam genap tiga puluh enam tahun, baru kemarin Ben mengantarnya ke bandara. Momen bertambahnya usia itu pula yang membuatnya pulang ke Jakarta. Ketika Papi meminta untuk merayakan di sana dengan alasan sudah lima tahun ia merayakan sendiri. Demikian juga adiknya yang selama ini tinggal di asrama memaksa untuk pulang. Semalam semua menginap di kediaman kedua orang tua mereka.

Adrian bahkan seperti memaksanya untuk pulang ke Jakarta. Ia teringat bagaimana adiknya itu memaksa untuk merayakan ulang tahun di Jakarta. Menghubungi hampir setiap hari. Hingga akhirnya ia menyerah. Saat datang, Ben memeluknya erat padahal mereka baru bertemu enam bulan yang lalu. Mengajaknya mengobrol meski tahu ia sudah begitu letih. Masih teringat, sebagai yang berulang tahun ia yang memasak karena Ben yang meminta. Sempat adiknya itu berkata,

'Kalau bukan karena Mas Adri berulang tahun aku nggak akan pernah makan hasil masakannya. Gajiku nggak cukup untuk bayar makanan ini di restorannya secara langsung. Ternyata beneran enak, kalau besok aku nggak ada, rasanya puas karena sudah mencicipi.'

Ben pasti bercanda. Ia tahu penghasilan adiknya itu mampu membayar makanan di salah satu restorannya. Tapi entah kenapa semua tertawa seakan itu adalah lelucon yang sangat lucu. Ia sendiri tidak menanggapi karena baginya memasak bukan sesuatu yang bisa menjadi bahan candaan. Hanya ada satu hal dalam pikirannya, bahwa semua hasil kerjanya haruslah sempurna. Kembali teringat percakapan saat dalam perjalanan ketika adiknya menyinggung tentang sesuatu yang tadi pagi sempat menyulut emosi, yakni pasangan.

"Mas beneran nggak mau menikah?"

"Aku pernah menjelaskan pada kalian tentang alasannya. Pekerjaanku terlalu menyita waktu. Kasihan anak orang kalau harus terus-terusan memahami dan menerima keterbatasanku membagi waktu."

"Masak mau patah hati terus-terusan?"

"Mungkin aku bukan orang yang beruntung dalam soal asmara."

"Aku senang bisa menikah dengan Alana, Mas. Aku mencintai dia sejak kami masih sekolah dulu. Pacar satu-satunya."

"Kelihatan banget kamu suka sama dia sejak kecil."

"Iya, tapi kami jadian setelah aku masuk Akmil dan dia masih SMU."

"Lagian kamu suka sama anak kecil."

"Aku sayang sama dia sejak dulu mas. Nggak tega melihatnya menangis saat kangen sama orang tuanya. Nggak ada yang membelanya kalau sedang ada yang mem-bully."

"Jangan-jangan kamu tidak bisa membedakan antara rasa sayang dan kasihan."

"Jelas bisa, aku paling nggak suka kalau dia dekat dengan laki-laki lain. Karena itu saat sudah di asrama langsung kutembak saja, beruntung dia mau."

Bagi Adrian pembicaraan pagi tadi sangat tidak bermanfaat. Apalagi jika ada seseorang yang menyinggung pilihan hidupnya untuk tidak menikah. Sekali lagi meski mereka keluarga baginya tetap saja bukan menjadi alasan untuk bertanya tentang urusan pribadi. Masih bersandar pada dinding kaca kembali ia menatap lautan luas di seberang sana. Terngiang kalimat adiknya saat sudah tiba di bandara.

"Mas, aku boleh minta sesuatu?"

"Apa?"

"Kalau aku kenapa-kenapa, mau nggak jagain Alana."

"Kamu aneh, punya istri, kok, minta dijagain sama orang lain."

"Aku serius. Aku sayang banget sama dia, takut kalau nanti dia tidak bahagia atau bertemu dengan pria yang salah."

"Tugas kamu untuk membahagiakannya. Kenapa harus melibatkanku?"

Benjamin diam kemudian menepuk bahunya.

"Aku titip, ya, mas. Titip Papi dan Mami juga. Sering-seringlah pulang, mereka kangen sama Mas."

"Kan, ada kamu?"

Kembali adiknya tersenyum. "Umur siapa yang tahu. Sekarang aku sehat, tapi besok?"

"Itu juga berlaku untukku."

Lama Ben menatapnya sebelum akhirnya berkata. "Aku sayang sama Papi, Mami dan Alana. Aku titip mereka. Mami kadang mengingatkan tentang pernikahan ke Mas Adri karena sayang. Dia takut kalau kelak Mas sendirian dan nggak ada yang mengurus."

"Kalau pun aku menikah, yang pasti bukan karena alasan ada yang mengurus. Itu bukan tujuan dari hidup bersama."

"Papi dan Mami tumbuh di era yang berbeda. Percayalah Mas, mereka ingin kita bahagia. Mereka sering bilang kangen sama Mas. Sejak kuliah di Prancis jarang pulang dengan alasan belajar dan pekerjaan. Sesudah mapan, alasannya sibuk. Mereka sudah tua dan tidak selamanya kita akan memiliki orang tua."

Tadi pagi ia tidak menganggap penting pembicaraan mereka. Bahkan ketika akan beranjak, Ben memeluknya erat dan seperti enggan melepaskan. Masih terngiang bisikannya sebelum pergi.

"Aku sayang dan bangga dengan keberhasilan Mas Adri. Semoga makin sukses ke depannya. Titip Alana kalau aku kenapa-kenapa."

Hingga detik terakhir sebelum Papi menghubungi ia masih bingung dengan kalimat adiknya tadi pagi. Namun, sekarang paham, kenapa Ben menjadi orang yang paling ngotot memintanya pulang saat berulang tahun. Berkali-kali menghubungi meski sebanyak itu pula ia menolak.

***

Turun dari mobil hampir pukul sembilan malam, Adrian tertegun. Papan bunga berisi tulisan turut berduka cita berjejer tepi jalan menuju rumah. Beberapa tenda besar dan kursi-kursi yang penuh terisi memenuhi halaman. Tadi pagi ia meninggalkan rumah ini dalam keadaan sepi. Beberapa kerabat menyambut sambil menyalami. Ia tidak terlalu mengenal mereka tapi tetap menghentikan langkah menerima ucapan berbelasungkawa. Memasuki bagian dalam rumah sebuah peti sudah ada di ruang tengah. Di depannya terdapat sebuah foto Ben mengenakan seragam dinas tengah tersenyum. Maminya tampak termenung dengan mata bengkak, demikian juga Alana. Sementara Papinya segera memeluk bahunya dari samping.

"Ben sudah pergi dan menyelesaikan tugasnya. Dia selalu ingin bertemu kamu akhir-akhir ini. Setiap kali kita ngobrol Ben menyebut nama kamu. Katanya kangen karena jarang bertemu."

Adrian hanya membalas kalimat itu dengan menepuk punggung papinya. Langkahnya kemudian menuju tempat maminya duduk. Perempuan yang telah melahirkannya itu segera merentangkan tangan dan menangis.

"Ben... Mas-mu datang. Mami harus bilang apa?"

Sang anak sulung segera masuk ke dalam pelukan yang dulu selalu dirindukannya. Air mata keduanya mengalir deras.

"Sudah Mi, nanti sakit." Bisik Adrian.

"Ben nggak mungkin pergi. Dia nggak pamit sama mami tadi pagi. Dan dia nggak pernah nggak pamit. Dia selalu cari mami kalau mau keluar." Suara itu terdengar lemah dan bergetar.

Tidak ada kalimat yang bisa keluar dari mulut Adrian. Bagaimana harus menjawab Mami? Mengatakan bahwa manusia akan tetap harus 'pergi'. Itu adalah sebuah kepastian dalam hidup. Tidak ada manusia abadi.

"Ben masih sangat muda, dia punya banyak kesempatan. Kenapa nggak mami saja yang duluan."

Adrian hanya mampu memeluk ibunya erat. Kemudian mencium puncak kepalanya. "Ada aku sekarang. Aku akan jaga Mami." Entah kenapa ia mengucapkan kalimat tersebut. Kalimat-kalimat Ben seakan terngiang kembali ditelinganya. Meski sebelah hatinya tidak yakin bisa menepati janji.

Selesai melepaskan sang ibu, Ben menghampiri Alana. Adik iparnya terlihat kuyu, tatapannya kosong. Ketika mata mereka bertemu, Alana kembali menangis. "Mas..."

Adrian segera memeluknya, "Kamu harus kuat, kita tidak mungkin menolak takdir. Ini sesuatu yang berat buat kita semua."

"Tapi Mas Ben, nggak mungkin—" tangis itu semakin keras.

Tak ada satu kata pun lagi yang bisa diucapkan. Ia hanya bisa memeluk perempuan yang terlihat lemah itu.

'Ben, kenapa kamu menitipkan dua perempuan lemah seperti ini? Aku tidak sekuat itu untuk mendampingi mereka. Kalau kemarin aku yang harus pergi tidak akan ada yang kehilangan seperti sekarang.'

Akhirnya pelukan mereka terlepas saat seseorang menghampiri Alana. Adrian harus memberi waktu untuk pelayat lain. Ia segera naik ke lantai dua untuk meletakkan koper. Selesai mandi kembali turun ke bawah, menemui para tamu lain.

***

Pemakaman Ben akhirnya berlangsung. Begitu banyak rekan dan teman-temannya yang mengantar. Semua berlomba menyebut kebaikan sang adik. Adrian memang kalah jauh sejak dulu. Ia bukan pribadi ramah seperti adiknya. Mereka adalah dua saudara yang memiliki kehidupan bak bumi dan langit. Ben suka berteman, ia lebih sering menyendiri. Ben humoris sementara ia lebih pendiam dan serius. Bagi Adrian bercanda bersama teman sama dengan membuang waktu.

Upacara militer menjadi akhir dari dua hari ini. Papinya masih berdiri tegak sambil memeluk Mami. Sementara ia berdiri di belakang Alana yang wajahnya sudah terlihat memucat. Hingga kemudian tubuh lemah itu terjatuh, pingsan! Ia segera membopong menuju mobil, diiringi Tante Monica, ibu Alana. Dibiarkannya mereka berdua di dalam. Ia sendiri memilih kembali ke pemakaman. Di sana Mami masih mengelus nisan dan foto Ben.

Adrian tahu, semua orang kehilangan. Baginya Ben adalah sosok sempurna. Orang yang baru dikenal tidak akan ada yang menyangka kalau mereka kakak beradik. Ia sudah keluar dari rumah sejak selesai SMU. Kuliah di Le Cordon Bleu, lalu magang dan bekerja di restoran ternama di berbagai negara. Hingga akhirnya memilih menjadi Restauranteur. Selain itu ia juga kerap mengerjakan private dinner yang bersifat komersial untuk kedutaan besar, perusahaan atau grup di sejumlah restoran besar. Hal ini membuatnya sibuk dan jarang pulang. Lama bekerja di luar negeri dan hidup mandiri membuatnya tidak lagi merindukan keluarga. Setiap hari ia sibuk dari pagi hingga tengah malam. Hingga pulang ke rumah hanya saat ada acara penting.

Berbeda dengan Ben yang memang orang rumahan. Meski kadang menghabiskan waktu bersama teman di luar, ia tetap pulang ke rumah. Jam berapa pun itu. Adrian tahu kalau setiap akhir pekan sebelum menikah adiknya akan pulang ke rumah orang tuanya. Bermanja pada Mami minta dimasakkan sesuatu. Sehingga semua orang merindukan kepulangan Ben.

"Dri, bagaimana Alana?"

"Ada maminya di mobil, Pi."

Kembali langkah pria itu mendekati sang ibu kemudian memegang kedua bahunya. "Kita pulang dulu Mi. sudah sore."

Hanya ada anggukan. Adrian segera menuntun sang ibu berjalan berdampingan dengan Papi. Sesaat langkah Mami berhenti lalu menoleh kebelakang.

"Mi, besok kita kemari lagi." bisik Papi.

Kembali Lucia Tjakra mengangguk, membiarkan putra sulung dan suaminya menggenggam jemarinya.

***

Maaf untuk typo

27622

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top