Kakak dan Adik?

      Hari ini adalah hari pertama Ayla bersekolah dengan pakaian putih abu. Semangatnya seolah mendidih untuk hari ini, jauh-jauh hari dia mempersiapkan segala sesuatu, dari yang sangat penting seperti buku dan alat tulis, hingga yang tidak terlalu penting seperti jepit dan ikat rambut. Baginya, hari ini adalah salah satu hari bersejarah dalam hidupnya. Kata orang, SMA adalah waktu yang tepat untuk mengukir banyak cerita indah, dan itu lah yang ingin dibuktikan Ayla.

       Aku menunggu di depan rumahnya, di temani Si Putih tentunya, motor kesayanganku. Duduk di sebuah kursi kayu berwarna coklat. Sekarang sudah pukul 06.35. Sudah berulang kali aku membuka handphone untuk menghilangkan rasa bosan, sedangkan yang kutunggu belum juga keluar.

    "Ayok, kak. Aku udah siap" suaranya berhasil mengalihkan pandanganku. Aku menatapnya dari ujung kaki hingga ujung kepala, cantik sekali, sungguh. Pakaiannya rapih, rambut sebahunya tergerai indah dihiasi jepitan kupu-kupu berwarna biru muda, kaki kecilnya dipakaikan sepatu hitam dengan kaos kaki putih, sambil menggendong tas yang juga berwarna biru, senyuman manisnya siap membuat siapapun yang melihatnya terpesona dengan kecantikannya.

    "Jadi kita mau berangkat kapan, Kak?" suaranya memecahkan lamunanku.

    "Ga ada yang lupa kan, Ay?" aku melangkah menghampiri si putih.

    "Ga ada deh, kayaknya" jawabnya ragu.
   Aku membuka bagasi dan menyodorkan helm biru yang biasa dia pakai. Dia yang sedang mengingat-ingat apa saja yang perlu dia bawa hanya menatap helm yang ku berikan.

     "Harus banget pake helm, Kak? Gimana kalo rambut Ayla nanti rusak" pertanyaan retoris ini tak ku jawab, aku tersenyum dan langsung memakaikan helm itu di kepalanya tanpa peduli wajah cemberut yang menghiasi wajahnya.

    "Biar?"

    "Safety" jawabnya terpaksa. "Pintar!" ucapku sambil memakai helm dan menyalakan mesin motorku, di ikuti dia yang juga menaiki motor. Si putih siap membawa kami melesat menuju sekolah.

   "Neng, bekal nya ketinggalan!" teriak Bi Narsih dari dalam rumah yang membuat aku dan Ayla menoleh ke arah pintu. Ayla berlari mengambil bekal yang sudah dibawa Bi Narsih ke teras rumah, berpamitan, lalu kembali menaiki motorku. Aku menggeleng melihat gadis pelupa ini, tersenyum pada Bi Narsih, lalu berangkat menuju sekolah.

     Hari ini aku dan Ayla mulai bersekolah di sekolah yang sama, kelas yang berbeda tentunya. Gerbang sekolah yang bertulis kan SMAN 2 GARUT sudah di penuhi oleh para peserta didik, disambut oleh senyuman para anggota OSIS/MPK yang berdiam di dekat gerbang untuk menyemangati para peserta didik baru. Aku memarkirkan motorku di dekat mushola laki-laki yang tepat berada di sebelah kiri parkiran agar nanti tak kesulitan saat mengeluarkan motor pada jam pulang. Saat melihat spion, aku menangkap Ayla sedang berhati-hati membuka helm agar rambutnya tetap rapih, aku tertawa geli melihatnya. Tanpa sadar, tanganku menyentuh rambutnya, membantu merapihkan rambut dan letak jepit kupu-kupu yang miring tergeser helm. "Makasi, Kak" ucapnya sambil menyimpan helm di kiri spion.

     Kami berjalan menuju kelas X MIPA 8, melewati beberapa ruang kelas, UKS, lapangan, juga koperasi.

   "Kelas kakak di sana, XII MIPA 5" Aku menunjuk kelas dekat ruang piket yang sudah terlewati. "Terus kakak sekarang mau kemana?" Ayla menghentikan langkahnya kebingungan. "Mau nganter kamu sampe ke kelas, sampe dapet tempat duduk, dan sampe ada temen" jawabku sambil menatap entah kemana. Ayla mengerutkan kening keheranan, tapi juga tersenyum kecil mendengar ucapanku.

  "Aku udah gede, Kak. Aku bisa cari temen sendiri" katanya mencoba meyakinkanku.

"Ya udah, kakak anter sampe depan kelas aja, ya?" Sepertinya dia tak keberatan dengan penawaranku yang ini. Kami lanjut berjalan menuju kelas Ayla yang terhalang satu gedung dan lapangan dari kelasku. 

      Ternyata Ayla bukan orang yang pertama datang, dikelasnya sudah ada beberapa orang yang ribut mencari tempat duduk dan mencari teman duduk. Ayla tersenyum dan berlari memasuki kelasnya. Dari luar, aku melihat jendela yang memperlihatkan Ayla sedang mengajak bicara seorang gadis cantik berkulit putih. Entah apa yang Ayla bicarakan, sepertinya mereka sepakat untuk duduk bersama. Dari dalam Ayla menangkapku sedang memperhatikannya, mengisyaratkan dengan tangannya agar aku segera pergi. Baiklah, aku pergi setelah memastikan bahwa dia akan baik-baik saja.

       Setelah upacara pengibaran bendera, jarang sekali hari pertama sekolah di isi dengan kegiatan belajar mengajar, biasanya hanya di isi dengan kegiatan bersih-bersih ruang kelas, begitupun hari ini. Hampir seluruh kelas membersihkan kelasnya, sebagian menyapu, mengepel, mengelap kaca jendela, merapihkan letak meja, sebagian lagi hanya menonton di luar kelas, dan aku termasuk yang menonton. Malas sekali rasanya untuk membantu, toh sudah ku selesaikan tugasku, yang tidak lain dan tidak bukan hanya mengambil air dengan ember hitam berukuran sedang. Sisanya, biar kaum hawa di kelasku yang membereskan.

     Lapangan di penuhi oleh para peserta didik baru yang sedang dikenalkan dengan seluruh guru dan staf tata usaha. MPLS ( Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah ) dimulai dari hari ini sampai hari jum'at nanti, ini adalah suatu keuntungan bagi siswa sepertiku, guru yang entah sedang sibuk melakukan apa jadi banyak yang tidak masuk kelas, tentu saja para siswa menyesuaikan keadaan dengan bolak-balik ke kantin, malas-malasan di kelas, atau sekedar menonton para peserta didik baru yang sedang di jemur dibawah teriknya matahari. Mereka duduk di setiap tepi lapang, membiarkan sang MC memberi instruksi untuk apa yang harus mereka lakukan sekarang dan selanjutnya. Mataku tertuju pada gadis dengan nametag besar berwarna abu bertuliskan 'Ayla Dinara Pranaya Siap Mengikuti MPLS' di dadanya. Semangat sekali gadis ini mengikuti setiap kegiatan, meski keringat tak pernah pergi dari pelipisnya, Ayla tetap mengikuti seluruh kegiatan dengan tertib dan semangat. Kata panitia MPLS yang juga temanku, kegiatan hari ini untuk para peserta MPLS hanya pengenalan terhadap SMAN 2 Garut, yang mencakup pengenalan terhadap budaya-budaya positif, para guru dan staf TU, juga termasuk school tour, yakni berkeliling menyusuri setiap sudut gedung di sekolah ini.

     Para peserta MPLS ini di bagi menjadi beberapa kelompok untuk melakukan setiap kegiatan. Sekarang adalah kegiatan yang kutunggu, dari jauh kulihat kelompok Ayla yang dituntun oleh dua panitia berjalan menuju kelasku. Aku berdiam dipintu kelas, menyandarkan badanku pada bagian samping pintu. Sidqie dan Rifky juga berada disampingku, menunggu untuk menjahili setiap peserta didik wanita yang melewati kelas kami. Dari tadi, aku hanya sibuk memandangi Ayla yang hendak melewati kelasku. Aku tersenyum hangat kepadanya, tentu saja dia juga tersenyum tak kalah hangat kepadaku. Dia melanjutkan langkahnya mengikuti panitia yang mengajaknya berkeliling ke area aula bawah.

    "Hey kamu, kesini dulu atuh, mampir" ucap Sidqie setiap ada siswi yang melewatinya. Dengan kedipan genitnya, Sidqie seolah berhasil membuat beberapa siswa menoleh dan tersenyum ke arahnya. "Senyum heula atuh" Rifky menimpali sambil tersenyum tak kalah genit. Aku tak bisa menahan tawa melihat kelakuan mereka berdua.

    "Oh mau mereka mampir?"
     Kami sontak menoleh ke sumber suara, lembut sekali suaranya, tapi nada bicaranya sangat mengerikan. Ternyata dari samping kelas, Nadhira sedang menatap sinis ke arah kami. Aku dan Rifky kompak mengangkat tangan dan mundur ke dalam kelas untuk menghindari pertengkaran sepasang kekasih ini. Kami hanya tertawa geli melihat Sidqie yang sibuk bernegosiasi untuk mendapat maaf dari Nadhira.

********

   "Masuk dulu, kak?" ucap Ayla tak bisa menyembunyikan wajah lelahnya.

   "Cape banget, ya?" pertanyaan retoris ini tiba-tiba keluar dari mulutku.

   "Yaa..Lumayan" jawab Ayla sambil memegang dan meregangkan leher dengan tangannya.

"Ya udah, masuk gih. Mandi, makan,  terus istirahat, badan kamu udah bau asem tuh" godaku sambil mendekatkan hidungku pada badannya.

    "Ih apaan sih, kak. Garing tau!" protesnya  tak terima. Aku tertawa kecil melihat wajah lelahnya yang masih bisa tersenyum.

       Sekarang sudah pukul 16.23, jam pulang sekolah sekaligus jam bubaran pabrik dekat perumahan Ayla. Sore-sore begini jalanan macet sekali, perut juga sudah mengeluh meminta asupan setelah berbagai aktivitas di sekolah. Ayla terlihat lelah sekali dengan hari pertamanya ini, belum terbiasa pastinya. "Kak Langit masuk dulu aja, kita makan bareng masakan Bi Narsih yang paling enak se-Garut." Dia mengedipkan satu matanya ke arahku. Aduh, tau saja perut ini menggerutu meminta makan, tawarannya sangat sulit di tolak, tapi apa daya? sore ini rumah Ayla dinaungi awan gelap. Aku tidak ingin ketika makan nanti, aku malah terjebak hujan dan tak bisa pulang.

     "Makan sendiri dulu ya, Ay. Kakak makan dirumah aja, takut keburu hujan" tanganku bergerak mengacak-acak rambut sebahunya yang sudah tak serapih pagi tadi. Terpaksa aku menolak tawaran menarik ini. Ayla tidak protes, seperti menikmati sentuhan tanganku pada kepalanya, dia hanya memasang wajah cemberut sambil mengangguk-angguk tanda memaklumi.

     "Nanti malem kesini ya, kak? banyak yang mau aku ceritain." matanya memelas gemas, dan aku menyetujuinya.

      Aku lalu berpamitan, membawa si putih ke arah rumahku. Oh iya, rumahku di sebrang SMPN 1 Leles, dan rumah Ayla di Perumahan Griya. Tidak terlalu jauh memang, mungkin hanya perlu sepenuh sampai lima belas menit, itupun jika tidak macet. Dan sekolah kami bersebelahan dengan SMPN 1 Leles. Sebenarnya, aku tidak perlu memakai motorku untuk kesekolah, toh jaraknya dekat sekali, tapi untuk menjemput Ayla memang perlu motor, tidak terlalu jauh memang, tapi akan lebih baik menggunakan motor. Jika kalian bertanya-tanya jarak rumahku dan Ayla, lihat saja di aplikasi Google Maps, aku malas menjelaskan.

        Sesampainya dirumah, langsung saja kuajak tubuh ini menyentuh air untuk mandi. Setelahnya, ku beri makan cacing di perutku dengan tempe geprek sambal ijo masakan Bunda, nikmat sekali. Bunda dan ayah sedang berkunjung ke rumah Om Dani, makanya sekarang aku hanya sendiri di rumah. Sedari pulang sekolah, handphone di saku-ku berisik sekali, entah chat dari siapa yang memenuhi layar kuncinya, aku menahan untuk tidak membukanya sampai makanan penuh nikmat ini habis.

        Kubawa piring di wastafel, mencucinya, lalu menyimpannya ditempat biasa. Aku kembali ke ruang tengah dan membuka handphone yang sudah berisik sedari tadi.

Langit, gimana hari pertama Ayla sekolah?

Dia semangat nggak?

Ada senior yang jahatin dia nggak?

Dia nakal nggak?

Eh Ayla pasti jadi anak baik, ga mungkin nakal, yakan?

Nitip, jagain dia ya, Langit😊!

Ada cowok yang deketin dia nggak sih?😥

Dia udah dapet temen belum?

Jangan sampe dia kecapean!!

Udah pulang?

Kalian baik-baik aja kan?!!

Langit, Tolong temenin dia dulu..

Kakak baru bisa pulang besok
    

    Pantas saja suara notifikasi sering sekali berbunyi, setiap setengah jam sekali nomor ini mengirimiku pesan. Tak disuruh pun aku akan menjaga Ayla dengan sepenuh hatiku, ini semua kulakukan demi diriku sendiri. Aku menjawab setiap pertanyaan dengan detail, menceritakan tentang seluruh kegiatan yang dilalui adiknya, adikku juga tentunya. Baiklah, ku ralat, Aku menceritakan setiap kegiatan yang di lalui adik kami dengan penuh semangat. Kepulanganmu sangat ditunggu, segeralah pulang, Kak.

     Benar saja, hujan turun tak lama setelah aku sampai ke rumah, dan ini adalah hujan deras pertama setelah sekian lama musim kemarau menemani tanah Garut. Tapi aku ingin hujan segera reda, aku tak mau membatalkan niatku untuk mendengarkan seluruh cerita Ayla tentang hari ini. Dari luar suara klakson mobil ayah mulai terdengar, aku bergegas keluar untuk membuka gerbang rumah yang kututup rapat sewaktu pulang tadi. Setelah memarkirkan mobil di bagasi, bunda menghampiriku dan protes karena aku tidak memakai payung saat membuka gerbang, padahal hanya berjarak sekitar lima belas langkah dari pintu rumah, tapi ceramah yang keluar panjang sekali. Ayah bergegas mengajak bunda ke kamar setelah melihat ke arahku, pengertian sekali ayah ini, mungkin ayah juga tidak mau berlama-lama mendengar suara bunda yang berbicara monolog. Saat tangan kanan ayah merangkul bunda untuk ke kamar, tangan kirinya memberiku acungan jempol di belakang tubuhnya, sungguh pengertian.

     Aku kembali membuka handphone, menekan beberapa tombol sampai akhirnya kutekan tombol untuk menelpon Ayla. Berdering lama sekali, tapi tak kunjung ada jawaban, aku mencoba kembali untuk menghubunginya, masih saja tak ada jawaban. Anak ini sedang apa, sih? padahal dia tau bahwa aku benci khawatir, dengan pikiran yang tetap berusaha tenang, aku kembali menghubunginya, beberapa saat baru ada jawaban. Huftt bikin panik saja.

   "Den Langit, Neng Ayla nya sedang hujan- hujanan" kenapa malah suara Bi Narsih? bilang kalau Ayla hujan-hujanan pula, aduh anak ini. Sontak ku matikan telpon, untung saja hujan sudah agak reda, segera kupakai jaket berwarna hitam andalanku, mengeluarkan motor dari bagasi tanpa menyalakan mesinnya memang butuh tenaga ekstra, tapi kalau tidak begini, bunda pasti memperpanjang tema ceramahnya. Setelah berhasil keluar gerbang tanpa ketahuan bunda, aku menyalakan mesin motor dan melesat pergi, menerjang gerimis dengan si putih tentunya.

     Benar saja, saat sampai ke rumah Ayla, aku melihat gadis yang sudah basah kuyup itu sedang menerima handuk dan teh hangat yang di berikan Bi Narsih. Untung saja gerbang rumah Ayla bisa kubuka sendiri, aku segera memarkirkan motor dan berlari menghampiri Ayla dan Bi Narsih. Ingin sekali aku memarahi anak yang main hujan-hujanan di waktu menjelang maghrib ini.

        Ayla menatapku keheranan, mungkin karena aku datang lebih awal. Bi Narsih cepat mengerti dan langsung masuk rumah setelah melihat kedatanganku. "Cepet ganti baju!" perintahku datar, yang diajak bicara segera mengikuti instruksi dengan wajah malas. Aku menunggu di sofa ruang tengah, sambil menonton televisi yang menayangkan drakor kesukaan Ayla. Tak berapa lama, Ayla ikut duduk di sampingku, tentu saja dengan pakaian kering dan rambut yang sudah disisir.

  "Kamu tau kan besok masih harus sekolah, tau juga kan besok Kak Dhika balik? kenapa malah hujan-hujanan, sih Ay?. Tadi katanya cape, tapi malah main hujan, telpon dari kakak juga ngga diangkat, tau kan kakak benci khawatir? gimana kalo kamu sakit, terus ga bisa ikut kegiatan MPLS besok? gimana kalo Kak Dhika ma--"

   "Kak, cuma sekali kok. Lagian kan ini sama aja kayak mandi, ga akan sampe sakit, percaya deh. Kalo soal telpon tadi kan aku udah nyuruh Bi Narsih buat jawab telpon kakak, jadi udah, ya kak? jangan marah lagi, please" wajah memelasnya memang tak pernah gagal membuatku luluh. Aku menarik nafas panjang, rasa khawatir ini masih belum bisa hilang, yang  dikhawatirkan malah tenang-tenang saja.

    "Makan dulu gih, belum makan, kan?"

    "Udah, kak. Aman" jawabnya santai.

   Perlahan aku mulai tenang, meski masih kesal jika memikirkan sikap ceroboh Ayla yang tidak memikirkan kesehatannya sendiri. Kami lalu melanjutkan menonton drakor kesukaan Ayla dengan fokus, pahaku jadi bantal tidur Ayla sekarang. Sesekali aku mengusap rambut halusnya, ini memang kebiasaan kami, dari dulu Ayla suka sekali jika kepalanya diusap oleh orang-orang yang dia anggap dekat, nyaman sekali, katanya.

    "Kak.." suaranya memecah keheningan.

    "Kenapa?" jawabku sambil mengunyah kacang goreng yang menemani kami menonton.

    "Hp kakak geter" ucapnya datar dengan mata yang masih fokus menatap layar televisi. Aku segera beranjak meninggalkan Ayla ke meja makan, merogoh saku dan mendapati lima panggilan tak terjawab, apa drakor memang sedahsyat ini sampai ada panggilan saja aku tidak menyadarinya. Dengan cepat aku menghubungi nomor yang panggilannya tak sempat ku jawab.

    "Lagi sibuk, ya?" pelan sekali suaranya.

    "Maaf, Al. Hp aku disilent. Udah kangen berat, ya?" tanyaku mencoba mencairkan suasana.

   "Langit, aku lagi dirumah Nadhira, kalo kamu ga sibuk, aku boleh minta tolong buat anter aku pulang ngga?, tapi kalo kamu ga bisa, gapapa kok, aku bisa-"

  "Aku bisa, tunggu bentar, aku berangkat sekarang" kataku yakin.

      Aku kembali berjalan menuju ruang tengah, mendekati sofa dan melihat adik kecilku sedang tertidur pulas di sofa, wajah lelahnya membuatku tak tega untuk mengajaknya keluar dari mimpinya, kasian sekali jika kubangunkan hanya untuk menyuruhnya pindah ke kamar, toh dia terlihat sangat nyaman tidur di sofa yang cukup besar ini. Sebelum pergi, aku minta tolong pada Bi Narsih untuk mengambilkan selimut berukuran sedang, ku tutupi tubuh Ayla dengan kain tebal itu, membiarkan dia terlelap ditemani televisi yang masih menyala. Untung saja hujan sudah berhenti sejak tadi, sekarang aku bisa meninggalkannya dengan tenang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top