02 - Temu Rindu
Rasa-rasanya, hujan baru saja tadi mereda. Tapi saat ini langit kembali bergemuruh, suara petir silih bersahutan memekakkan telinga orang-orang yang mendengarkannya. bahkan tidak sedikit orang yang takut akan suara kencang yang keluar dari langit itu. Tapi tidak untuk Florain, ia menyukai hujan sepaket dengan petirnya.
Suatu hari, Radel pernah bertanya kepadanya, "Lo kenapa enggak takut sama suara petir, Flo? Padahal banyak banget orang yang takut banget, apalagi sama suaranya."
Sambil tersenyum, Florain menjawab pertanyaan Radel dengan analogi cinta yang sebenarnya. "Kamu cinta sama Marsha, 'kan? Nah, kalau cinta harus terima baik buruknya juga, bukan? Begitu pun aku menyukai hujan, Del. Hujan itu indah, tapi juga punya sisi buruknya, si petir itu."
Memori tentang hujan, petir dan analogi cinta, membuat ia rindu teman-teman sekolahnya.
"Bah, upami ayeuna kaping sabaraha?" (Bah, kalau hari ini tanggal berapa?) tanya Florain sambil menoleh pada Abah yang sejak tadi fokus mengemudikan mobil colt bak tua yang membawa sayur-sayuran hasil panen dari kebun milik keluarganya di desa untuk dijual di pasar induk kota.
"Ping dalapan, Jang. Kunaon kitu?" (Tanggal delapan, Nak. Kenapan gitu?) Ah, iya hari ini hari pertama tahun ajaran baru. Sepupunya hari ini pun sudah mulai bersekolah. Florain hanya menggelengkan kepala, menjawab pertanyaan dari Abah.
Florain dan Abah saat ini sedang berada di perjalanan pulang dari pasar induk kota untuk kembali ke desa. Jalanan yang saat berangkat tadi sepi, kini mulai memadat karena berbarengan dengan jam pulang sekolah.
Florain menoleh kesana-kemari, ia merasa familiar dengan jalan yang dilaluinya saat ini. Ya, jalanan yang selama tiga tahun sering ia lewati, jalanan yang menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya mencari ilmu di kota, jauh dari keluarga demi meraih masa depan.
Florain adalah anak yang cerdas, hingga akhirnya ia mendapat beasiswa untuknya bersekolah di sekolah swasta elit tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun.
Rute yang berbeda sengaja diambil Abah, ia ingin cucunya berdamai dengan masa lalu. Pria tua itu selalu merasa iba saat melihat Florain berdiam diri, melamun di bawah pohon mangga depan rumahnya. Meski cucunya itu tidak banyak bicara, tapi sebagai orang yang sudah puluhan tahun merasakan pahit dan asamnya kehidupan, ia tahu kalau ada luka dan duka yang bersemayam di hati putra dari anak bungsunya itu.
Ckit!
Tepat di depan gedung sekolah Florain dulu menimba ilmu, Abah mengerem mobil colt bak tuanya secara mendadak saat seorang gadis kecil berlari mengejar seekor kucing yang sedang menyebrang jalan. Untung saja Abah dalam kondisi awas, hingga tidak terjadi sesuatu yang fatal pada gadis kecil itu. Lalu Abah dan Florain turun dari mobil, memastikan kalau anak itu baik-baik saja. Abah membawa anak itu ke tepi jalan, sementara Florain menepikan mobil colt bak agar tidak menghalangi dan mengganggu pengguna jalan lainnya.
"MICHI!" teriak seorang wanita dari arah sebrang saat melihat anak gadis yang nyaris tertabrak itu tengah terduduk sambil menangis di depan colt bak tua sambil ditenangkan seorang pria tua dan seorang pria yang seumuran dengan wanita itu.
Florain menatap ke arah wanita yang berteriak tadi, ia terdiam tidak berkutik, hanya menatap wanita itu yang saat ini berlari ke arah mereka, hendak menuju anak gadis yang masih terisak.
"Marsha," gumam Florain pelan saat wanita yang ia panggil Marsha itu sudah berada di hadapannya.
"Neng, hampura* Abah enggak tau kalau si adek nyebrang."
"Enggak apa-apa, Abah. Aku yang harusnya minta maaf engga bener jagain Michi." Marsha menggendong gadis kecil yang bernama Michi itu. Ia memeluk sambil menenangkan Michi yang masih terisak.
Florain sejak tadi menunduk menghindari Marsha yang bisa saja menyadari keberadaannya. Namun Abah malah menarik tangannya yang membuat Florain mengangkat kepalanya. hal itu membuat Marsha sadar, siapa yang sekarang ada di hadapannya.
"Flo! Kamu, Florain, kan?" Marsha berseru sambil menelisik wajah pria yang ada di hadapannya.
"Bu--" ucapan Florain terpotong seorang pria seumuran dengannya berlari ke arah mereka sambil berseru memanggil Marsha.
"Michi, kamu enggak apa-apa, Nak!" ucap pria itu lalu mengambil Michi dari gendongan Marsha.
"Papa!" tangis Michi semakin kencang saat berada di dekapan ayahnya.
"Cup, cup ... anak Papa hebat, jangan nangis lagi, ya!"
"Del," ucap Marsha menarik ujung baju pria itu. Mereka saling bertatapan lalu Marsha menunjuk Florain melalui matanya.
Pria itu membelalakkan mata, melihat sosok yang selama bertahun-tahun ia cari kini ada di hadapannya.
"Anjing lo, Flo! Kemana aja, hah?" Kesal, senang, haru bercampur aduk dalam perasaan pria itu. "Gue nyari-nyari lo selama ini. Ke semua penjuru kota gue cari keberadaan lo, nanya ke Rumah Singgah. Tapi lo menghilang, gak ada kabar sama sekali. Bahkan gue kira, lo udah mati, Flo!"
"Radel, jangan ngomong kasar depan anak kamu!"
Florain hanya bisa diam, usahanya untuk pergi sekarang sudah tidak bisa. Bahkan Abah sepertinya sengaja membiarkan dirinya terjebak bersama sahabat masa sekolahnya yang saat ini terlihat menahan sesuatu dari dalam dirinya.
~~~
Abah benar-benar meninggalkan Florain, ia pulang ke desa dengan colt bak tuanya sendirian. Sementara Florain, kini berada di dalam sekolah tempatnya dulu menimba ilmu.
"Lu gak usah malu, anak-anak udah pada balik tadi. Tinggal beberapa guru sama pengurus OSIS doang yang lagi eval MOS hari pertama," ucap Radel melihat gelagat sahabatnya yang terlihat tidak nyaman.
"Del, mending anter aku pulang sekarang, sumpah, malu ini. Setelan aku kaya gembel gini astaga!" keluh Florain sambil menatap pakaiannya yang lusuh. Kaos oblong hitam kusam, celana pendek dan sendal jepit, berbanding terbalik dengan Radel yang menggunakan kemeja marun dipadu jeans hitam dan sepatu pantofel. "Kalau enggak pulang juga, anter ke Rumah Singgah, deh, ya!"
Florain selama tiga tahun menempuh pendidikan tinggal di sebuah rumah singgah. Di rumah itu, Florain termasuk anak yang baik dan rajin membantu teman-teman juga pengasuh di rumah singgah, hingga kepergiannya pulang ke desa, membuat orang-orang di rumah singgah sedih dan kehilangan.
"Sayang, di mobil masih ada kemeja aku, kan?" tanya Radel pada Marsha yang berjalan di sebelahnya.
"Del, yang bener aja, badanmu itu tinggi besar. Lah aku, nanti malah keliatan ciga bebegig sawah*"
Radel tertawa keras mendengar ucapan Florain, ia membayangkan bagaimana sahabatnya yang berbadan kecil itu jika memakai pakaian miliknya.
"Papa belicik, telinga Ichi akit!" tegur Michi yang masih digendongan Radel.
~~~
Florain bersama Radel dan Marsha yang menuntun Michi berjalan menyusuri lorong-lorong kenangan di sekolah mereka. Satu dua kali mereka bercerita masa lalu. Florain yang tadi enggan untuk mengelilingi sekolah, mulai terlihat nyaman dan bahkan antusias mengenang kisah masa sekolah mereka.
"Anak-anak JMT gimana kabarnya, Del?" tanya Florain sesaat setelah duduk di kursi kantin sambil beristirahat.
"Hm, ya gitu aja. Sehat mereka, kok. Cuman, ya emang pada sibuk aja. Seharusnya pada ke sini kan ngerayain 50 tahun sekolah." Florain menganggukkan kepalanya, rindu juga ia pada teman-teman satu gengnya dulu.
Lagi-lagi hujan turun, tetesan-tetesan kecil perlahan menjadi besar dan deras.
"Mau ke mana Lo, Flo?" tanya Radel yang melihat Florain tiba-tiba bangkit dari duduknya.
"Mengenang masa lalu!" Florain lalu berlari menuju lapang basket, meninggalkan Radel yang hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Itu anak gak pernah berubah. Kalau hujan pasti kabur ke lapang." Radel tersenyum, begitulah tingkah sahabatnya.
~~~
Bertepatan dengan turunnya hujan, rapat evaluasi para guru dan anggota OSIS selesai. Freya menghela napas bosan, ia belum jadi guru seutuhnya di sekolah, tapi sudah harus mengikuti rapat yang memakan waktu cukup lama, ditambah hujan yang kembali mengguyur membuat dirinya harus menunda waktu pulang.
"Jessi udah pulang dijemput calon suaminya, kemungkinan Radel juga udah pulang. Mau pulang langsung, malas, hujan," keluh Freya sambil menatap ke luar jendela ruang guru.
Satu persatu guru dan anggota OSIS sejak tadi sudah meninggalkan ruangan, berpamitan pada Freya dan dibalas anggukan dan senyum tipis dari perempuan itu.
Keadaan mulai sepi, Freya menguap lalu meregangkan tangannya, ia lalu menatap ke pintu ruang guru yang terbuka lebar. Tiba-tiba seorang gadis kecil melintas, diikuti oleh sepasang orang dewasa di belakang gadis itu.
Langsung saja, Freya bangkit dari duduknya, hendak mengejar tiga orang yang melintas tadi.
"MICHI!" seru Freya membuat Michi dan kedua orang tuanya menoleh. "Aku kira kamu udah pulang, Del."
"Gua nungguin Marsha, dia kangen sekolah katanya, jadi nyusulin ke sini, ditambah tadi ada accident yang bikin kita mesti nunda pulang."
"Hah, kenapa?"
"Michi hampir ketabrak mobil, Fre. Ngejar kucing sampe ke sebrang jalan coba," jawab Marsha sambil menatap Michi yang kini ada di gendongan Freya.
"Waduh, Michi bandel, ya!" Freya mencubit pelan pipi Michi dan membuat gadis itu meringis.
"Akit, Ate!" keluh Michi sambil mengusap-usap pipinya yang tadi dicubit oleh Freya.
"Kalian mau ke mana?" tanya Freya karena arah jalan Radel dan Marsha bukan menuju parkiran.
"Lapangan," jawab Radel singkat yang membuat Freya mengernyitkan keningnya.
Freya akhirnya mengikuti langkah keluarga kecil itu menuju lapang basket. Sayup-sayup terdengar suara pantulan bola basket dengan lantai yang basah. Sejenak ia berpikir, murid gila mana yang hujan sederas ini bermain basket di lapangan terbuka.
Tapi, satu nama tiba-tiba terlintas di kepalanya. Satu-satunya murid gila yang lebih menyukai hujan dari apapun yang ada di bumi. Namun Freya langsung menggelengkan kepalanya, tidak mungkin orang yang ia cari tiba-tiba ada di sekolah ini.
Hingga akhirnya, mereka sampai di lorong samping lapangan. Freya dengan mata kepalanya sendiri melihat orang yang ia cari, ia tunggu dan ia rindukan selama ini. Pemuda yang beranjak dewasa, dengan kaos oblong lusuh, celana pendek dan bertelanjang kaki tengah menikmati hujan sambil memainkan bola basket di tangannya. Freya membenarkan kacamatanya, memastikan kalau yang ia lihat saat ini adalah benar Florain.
"Lo gak salah liat, Fre. Dia pulang," ucap Radel sambil tersenyum. Freya menoleh, menelisik wajah Radel, mencari kebohongan dari wajah temannya itu. "Samperin sana! Nih, sekalian bawa payung. Biar sekalian flashback momen gemes kalian yang bikin orang-orang iri."
Florain terduduk lelah, tidak peduli pantatnya basah oleh air yang menggenang di tempatnya duduk saat ini. Florain merasa fisiknya sudah tidak seperti zaman sekolah dulu, baru saja sebentar bermain, napasnya sudah terengah dan badannya terasa pegal-pegal. Meski begitu, Florain merasa senang setelah sekian lama tidak bermain-main dengan bola basket, mungkin terakhir kali saat ia dan teman-temannya menunggu pembagian surat kelulusan.
Florain menyugar rambutnya yang basah oleh hujan, menatap lurus tiang ring basket yang ada di hadapannya saat ini. Hujan deras yang sejak tadi membasahi tubuhnya mendadak seperti terhalang sesuatu. Florain yang penasaran langsung membalikkan badan lalu menengadahkan kepalanya.
==========
Catatan
*Hampura = Maaf
* Bebegig Sawah = Orang-orangan Sawah
==========
Bandung, 24/08/2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top