8
Azka : "Apa yang kamu lakukan?"
Jemima : "Mengabaikan. Kita tidak tahu bagaimana kondisi keuangan orang lain disaat yang berbeda. Bisa saja sebenarnya dia ingin membantu, tapi sedang tidak punya uang. Meski sebaiknya menyampaikan dengan jujur akan lebih enak buat kami. Kami juga paham dan tidak memaksa. Prinsip mami, jangan sampai kita mengemis. Percaya saja Tuhan pasti mencukupkan. Beruntungnya tak lama kemudian ada kelompok lain yang memberikan bantuan sejumlah yang kami perlukan. Tuhan selalu mencukupkan."
Azka tersenyum lebar sambil tetap menatap lawan bicaranya. Terlihat sekali dia sangat mengagumi perempuan itu.
Azka : "Kapan kamu punya waktu untuk diri sendiri."
Jemima : "Setiap hari selalu ada. Saya tidak menjadikan ini sebagai beban atau tali yang mengikat kaki. Saya hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk diri sendiri dan itu sudah lebih dari cukup."
Azka : "Pernah putus asa mengurus panti asuhan?"
Jemima : "Pernah. Kadang terpikir, sampai kapan saya bisa membesarkan mereka. Atau ketika keuangan kami menipis."
Azka : "Apa yang kamu lakukan?"
Jemima : "Berdoa. Kembali lagi Tuhan pasti punya cara untuk mencukupkan."
Azka : "Apakah bantuan setiap hari datang?"
Jemima : "Seperti yang saya katakan, donasi akan banyak ketika menjelang hari raya keagamaan. Kadang gudang beras kami sampai penuh dan lebih untuk dimakan. Padahal disaat yang sama misal, kami butuh uang untuk membayar SPP anak-anak atau membeli buku. Solusinya adalah kami jual lagi beras dan mie instan yang diberikan."
Azka : "Saya catat ini, kalau mau memberi donasi sebaiknya bertanya dulu apa yang sedang benar-benar dibutuhkan."
Jemima : "Kita tidak bisa membatasi orang lain Mas Azka, tapi sebaiknya memang seperti itu. Karena kadang bisa jadi kaos kaki anak-anak sudah bolong semua sementara stok perlengkapan sekolah menumpuk."
Keduanya tertawa.
Azka : "Kita kembali ke pembicaraan tentang kamu yang bekerja. Kadang pasti sudah letih ketika pulang bekerja. Lalu setiba di panti anak-anak datang untuk mengeluh. Apa yang kamu lakukan?"
Jemima : "Seperti yang saya katakan tadi. saya minta ijin untuk beristirahat sebentar. Selama 30 menit itu saya menyiapkan diri untuk mengalihkan pikiran dari kantor ke rumah. Biasanya setelah istirahat dan mandi, mood saya membaik. Poinnya adalah, kita yang dewasa memang harus bisa lebih peka. Kalau bukan pada kami, ke mana lagi mereka bisa bicara?"
Azka : "Saya senang sekali dengan pembicaraan kita hari ini. Benar-benar membuka wawasan. Bumi ini akan indah jika ada banyak orang seperti kamu. Bahwa panti asuhan bukan hanya sekedar tempat tinggal, tetapi juga tempat mendidik dan menyiapkan masa depan seorang anak. Apa yang kalian lakukan bila anak-anak tersebut sudah lulus SMU."
Jemima : "Mereka harus keluar dari panti ketika sudah lulus SMU. Biasanya kita menyarankan untuk mencari pekerjaan dulu. Kadang kami bantu juga, atau dibantu donatur yang memiliki lapangan pekerjaan. Sebagian malah bisa menabung dan kuliah lagi. Bagi kami mereka bisa mandiri dan mencintai kehidupannya sudah lebih dari cukup. Kalau bisa lebih baik lagi itu adalah bonus dari kerja keras mereka."
Azka : "Kalian tetap memantau mereka?"
Jemima : "Tidak terlalu, kami menganggap mereka sudah dewasa. Hanya saja sesekali kami tetap menghubungi, bertanya tentang kabar mereka. Supaya mereka tidak merasa sendirian di dunia. Manusia adalah makhluk sosial, yang butuh rasa nyaman dan diperhatikan oleh orang lain."
Azka : "Terima kasih Jemima, senang bertemu kamu. Pembicaraan kita kali ini pasti menginspirasi banyak orang diluar sana. Sebenarnya masih banyak yang ingin saya tanyakan, tapi waktu kita memang sangat terbatas. Keep contact ya. Suatu saat nanti saya akan berkunjung ke tempat kalian. Kita bisa berbincang lagi. Saya bahagia sekali hari ini."
Jemima : "Sama-sama Mas Azka. Senang bertemu juga."
Keduanya berdiri dan saling bersalaman. Lampu studio kini mulai padam satu persatu. Azka segera mencium kedua belah pipi Jemima.
Azka : "Sukses terus dalam pekerjaan kamu."
Jemima : "Doa yang sama buat Mas Azka dan seluruh tim."
Lampu ruangan mulai dipadamkan satu persatu. Seseorang segera melepas clip on dari gaun Jemima. Kembali gadis itu masuk ke ruang rias. Melepas gaun dan menghapus make up. Ia cukup terkejut ketika seseorang menghampiri dan memberikan beberapa lembar kertas yang harus ditandatangani. Angka yang tertera di sana sangat jauh dari apa yang ia perkirakan. Rosa benar, ia dibayar tinggi untuk wawancara ini.
"Setelah ini pihak kami akan mentransfer mbak."
"Terima kasih banyak."
"Sama-sama."
Dengan langkah ringan, Jemima keluar dari studio tersebut. Terbayang bisa membayar uang ujian dan SPP beberapa adiknya nanti. Kadang rejeki tidak tahu dari mana datangnya.
***
"Ima, besok malam kita makan malam bareng di rumah Cipete, ya. Masmu Bumi mau pulang."
"Kok, cepat, Bun?"
"Harus masuk training camp dulu katanya."
"Sama siapa aja, Bun?"
"Cuma ditambah kamu aja. Pulang kantor, ya, sayang?"
"Okay, siap. Aku bawa apa, Bun?"
"Tumis bunga pepaya aja. Bumi suka itu."
"Nanti aku langsung minta mami belanja kalau gitu. Sudah dulu ya, bun?"
Jemima mengembuskan nafas lega. Akhirnya si Bum-bum pergi juga. Selama pria itu masih ada di Indonesia jangan harap hidupnya akan tenang. Mulai dari hari Minggu harus membantu bunda di dapur untuk menyiapkan makanannya. Sampai pada acara keluarga dadakan. Lagian bunda paling aneh, sudah tahu dia tidak suka pada Bumi, masih aja mendekat-dekatkan. Tidak semudah itu mengubah perasaan orang. Karena itu keesokan harinya sepulang dari kantor ia segera meluncur ke kediaman keluarga Langit.
Ternyata baru dia yang datang. Bunda menyambut dengan senyum lebar.
"Ima sayang, bunda kangen nak. Kamu nggak pernah menginap di Sukabumi lagi?"
Bunda mulai drama. Sejak dulu bunda memang begitu. Bahkan sejak Jemima kecil sering berkata pada mami ingin merawatnya. Sayangnya ide itu ditolak mentah-mentah oleh mami, karena ia adalah anak satu-satunya.
"Bunda aja yang jarang ke Jakarta? Aku ada kesibukan baru, sejak wawancara kemarin."
"Iya, kata Bumi kamu sekarang terkenal. Akunmu centang biru."
"Berlebihan dia. Memang, sih, sejak wawancara banyak yang mau tahu tentang aku dan follow di Instagram. Ada juga yang meng-endorse. Lumayanlah Bun, untuk adik-adik."
"Bunda senang mendengarnya, tapi kamu jadi sibuk nggak ada waktu."
"Makanya bunda sering-sering ke Jakarta. Jadi aku bisa main kalau pulang kantor."
"Sebenarnya kepingin, cuma di sana nggak ada yang jaga ayahmu. Tahu sendiri dia paling malas kalau disuruh sendirian. Bisa-bisa nggak makan seharian karena nggak ditemenin bunda."
"Sweet banget, sih, Bun? Atau bunda yang kangen kalau jauh dari ayah."
"Nanti kalau ayahmu diambil orang bagaimana? Lagian karena ada Bumi bunda jadi harus masak tiap hari. Sekalian jaga dietnya. Ayahmu dan Bumi nggak akan makan kalau bukan bunda atau mamimu yang masak. Mereka sama manjanya. Setelah ini masmu sudah pergi, sesekali nginap di sana kalau libur."
Bunda benar, anak-anak dan suaminya semua manja-manja. Padahal apa bedanya masakan orang luar dengan masakan bunda? Apalagi kalau cuma sehari atau dua hari.
Takut mengecewakan bunda akhirnya ia berkata, "Aku belum bisa Bun. Sabtu Minggu kupakai buat ngurusin adik-adik di panti. Tapi nanti kucoba cari waktu, ya?"
"Ya sudah kalau begitu. Bunda ganti pakaian dulu. Kamu langsung aja ke dapur. Tinggal mempersiapkan, kok. Masmu Biru dan Mbakmu Kina juga sudah di jalan."
Tidak ingin berdebat lagi ia segera beranjak ke dapur. Ternyata di sana sudah ada Bumi yang sedang meminum es timun.
"Eh, ibu peri Indonesia sudah datang." Pria itu langsung menggodanya.
Ibu peri adalah nama yang diberikan Azka, dan kini melekat erat padanya. Sebenarnya Jemima merasa jengah dipanggil seperti itu. Namun, merasa tidak bisa menghentikan media, meski beberapa kali ia sudah menyampaikan.
"Lo bisa diem nggak, sih? Sebel banget gue dipanggil begitu."
"Kan, sekarang nama lo emang udah jadi ibu peri Ima. Masih beruntung orang di luar sana nggak tahu lo siapa. Nggak cocok lo jadi ibu peri. Cocoknya jadi malaikat, tapi malaikat maut."
"Bum,, gue capek baru pulang kantor." Kali ini Jemima benar-benar merasa letih dan tidak ingin berdebat.
"Tumben lo kehabisan energi."
"Capek dikejar-kejar orang trus diajakin foto."
"Jangan semua dilayani. Yang posisinya di dekat lo aja."
"Susah, mereka mendesak gitu. Gue jadi nggak bebas."
"Ya, pastilah. Sambil jalan aja. Lo lihat vidio gue."
"Lo enak, ada yang melindungi, nah, gue sendirian. Kadang buat mau makan aja susah."
"Memang nggak enak. Tapi lo, kan, udah dibayar untuk itu. Sudah konsekuensi, lama-lama juga terbiasa."
Jemima hanya memutar mata. Bumi melanjutkan minumnya. Perempuan itu segera menyalin tumis bunga pepaya ke dalam mangkok. Bumi langsung mengambil sendok dan memakan sesuap.
"Ini enak banget, pasti bukan masakan elo. Masakan lo nggak akan pernah seenak ini."
"Kalau udah tahu nggak usah komentar."
"Lo marah?"
"Enggak, kenapa?"
"Baru nyadar aja perempuan yang disebut ibu peri ternyata nggak bisa masak."
"Gue bisa masak, tapi bukan buat elo. Nggak penting banget omongannya."
"Gue pulang lusa."
"Hubungannya sama gue, apa?"
"Bunda ngomong lagi tadi malam."
"Ngomong apa?"
"Tentang mau jodohin lo ama gue."
"Trus jawaban lo?"
"Gue masih mau berkarier. Nggak bisa menikah kalau masih seperti ini. Lo tahu hidup gue dari sirkuit ke sirkuit. Lagian lo bukan tipe gue. Jadi nanti kalau bunda nanya, gue harap lo punya jawaban yang tepat. Lo pasti jago ngasih alasan."
"Lo kira gue juaranya tukang bohong. Gue bukan lo."
"Ima, gue tahu kita nggak bakalan cocok. Jadi tolong jangan kasih harapan ke bunda."
"Maksud lo gue ngasih harapan, apa? Selama ini gue nggak pernah ngebahas lo. Gue datang karena emang disuruh atau kangen sama bunda. Nggak ada hubungannya sama lo, jadi tolong jangan kegeeran."
"Ya, dengan cara jangan sering kemari! Jadi bunda bisa bedain antar lo si Jemima dengan calon menantu favorit bunda. Lo sadar nggak selama ini sudah membuat bunda berharap banyak?"
"Tinggal lo tolak aja, kan, selesai? Ngapain ngomong panjang lebar. Gue bukan orang yang suka ngasih harapan, apalagi tentang lo."
"Kalau bunda semudah itu gue nggak perlu ngomong sama lo."
"Makanya kalau nggak mampu nggak usah pakai acara nyuruh gue."
"Lo pasti tahu caranya bicara dengan bunda."
"Gue nggak bisa nolak dia, lo tahu itu."
"Lo suka gue?"
***
Happy reading
Maaf untuk typo
91124
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top