5

"Aku tadi bawa salad, tapi langsug dimasukin kulkas sama bunda. Giliran Jemima bawa cake langsung dipotong." Lapor Kinasih pada Biru, suaminya.

"Kamu sudah kenal bunda dari dulu, kan? Kenapa, sih, hal seperti ini masih dipermasalahkan?"

"Aku cuma mau kasih tahu, kalau kupendam terus sakit hatiku nggak bakalan hilang."

"Terus kalau kamu kasih tahu aku, apakah masalah selesai? Mending kamu tanya langsung ke mami."

Mendengar jawaban itu, sang istri hanya melengos dan meninggalkan suaminya. Biru melirik tajam. Perseteruan bunda dengan istrinya seolah tidak pernah selesai. Dia saja sudah capek. Kadang merasa lebih baik tidak membawa Kinasih jika ada pertemuan. Hanya saja tidak mungkin, ini adalah makan malam rutin karena Bumi pulang. Pria itu tahu bahwa istri dan ibunya memang tidak boleh bertemu. Masih ada kesan ibunya menjaga jarak sampai sekarang. Meski sebenarnya terlihat kalau ibunya sudah banyak mengalah.

"Ayo makan." teriak ayahnya dari ruang tengah.

Semua masuk, sementara Bunda dan Jemima masih membenahi meja makan. Kinasih kembali melengos, dia tidak pernah dilibatkan. Perempuan itu kini segera duduk sambil menunduk. Benar-benar merasa diabaikan. Namun, kalimat berikutnya segera membuat kepalanya tegak.

"Ima, tadi mbakmu bawa salad buah. Tolong ambil di kulkas makanan."

Dengan patuh Jemima melakukan perintah Alea. Mencampur salad dengan saus kemudian membagi ke dalam mangkuk porselen kecil.

"Ima, punyaku sedikit saja." Bumi menyela.

Jemima kembali menurut. Malas kalau membantah Bumi di depan orang banyak, terutama keluarganya. Ini memang tugasnya, melayani seluruh keluarga jika sedang berkumpul. Sejak dulu juga seperti itu. Kini mereka berenam sudah duduk mengelilingi meja makan.

"Aku suka saladnya Mbak Kina, karena ada jellynya." ucap Jemima.

"Mbak belajar dari vidionya Bu Soraya."

"Aku kemarin ketemu waktu acara Mbak. Nggak tahu kalau dia buat beginian juga. Karena kontrak kita untuk produk coklat. Seandainya aku jago masak kayak mbak."

"Kapan lagi kamu masak, Ima. Seharian sudah di luar rumah begitu."

Jemima hanya tertawa. Beruntung Kinasih tidak terlalu cemburu padanya. Meski kadang terkesan seperti itu. Pernah beberapa kali bertemu menantu pertama bunda itu mendiamkannya. Sejauh ini Jemima tidak terlalu ambil pusing. Karena memang tidak ingin merusak keluarga ayah dan bunda. Ia datang hanya sebagai undangan. Hidupnya sudah cukup ribet dengan banyak masalah lain. Bukan tidak tahu kalau menantu sulung itu kerap tidak suka melihat kehadirannya. Baginya tidak masalah, toh, ia memang bukan siapa-siapa. Suatu saat nanti kalau bunda sudah tidak ada, ia juga tidak akan datang kemari lagi.

Selesai makan, semua kembali ke kamar masing-masing. Kecuali Jemima yang sibuk membereskan makanan bersama para pembantu. Di sini hanya ada dua orang yang bertugas di dapur, berbeda dengan rumah Sukabumi. Karena itu Jemima ikut turun tangan. Semua sudah selesai ketika Bumi tiba-tiba menghampiri.

"Lo bisa buatkan salad yang seperti Mbak Kina bawa tadi, nggak?"

"Di kulkas masih ada, ngapain buat lagi?"

"Terlalu manis."

"Kurangin aja susu kental manisnya. Atau dimakan pakai yogurt"

"No, jellynya juga banyak gula. Gue mau tanpa gula. Lo pernah buat?"

"Pernah, tapi bahannya nggak se-premium itu."

"Bahannya ada di dapur bunda nggak?"

"Sepertinya ada kalau buah. Jelly dan lain-lain nggak tahu. Setahu gue bunda jarang simpan yang begituan."

"Kalau gitu gue antar lo ke supermarket, trus tolong buatin."

Jemima membalikkan tubuh sambil melotot, "Ini udah malam, Bumi."

"Kan, ada supermarket yang buka 24 jam."

"Gue mau tidur!"

"Gue bilangin bunda kalau lo nggak mau buatin. Pilih mana, kena omel atau nurut sama gue."

Kesal Jemima menatap wajah yang tidak memiliki rasa bersalah sama sekali itu. Kenapa, sih, kalau sama perempuan lain dia bisa ramah dan selalu tersenyum? Sementara dengannya cuma mau ngomong kalau menginginkan sesuatu?

"Ya, sudah. Gue periksa dulu kulkas bunda."

Meski kesal akhirnya ia mengiakan. Bumi tidak akan peduli, kalau tidak suka pasti dia lapor pada bunda. Meski tidak marah, biasanya bunda akan tetap memintanya melakukan permintaan Bumi. Dasar anak manja! Tak lama keduanya sudah berada dalam mobil menuju supermarket yang tidak jauh dari rumah. Sebelum turun dari mobil, Bumi membuka dompet.

"Ini uangnya." ucap pria itu sambil menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu. "Jangan lupa strawberry, ya."

Meski dengan mata mendelik, Jemima tetap menerima. Tidak mungkin memberikan pria itu makan gratis sementara uangnya entah sebanyak apa. Selesai belanja keduanya kembali ke rumah.

"Ini uang kembalian lo."

"Simpan aja buat anak panti. Besok belikan mereka roti."

Gadis itu hanya diam dan memasukkan uang tersebut ke dalam tas. Sesampai di rumah dengan telaten Jemima memotong buah dan selada. Memasak jelly dengan sedikit gula. Kemudian membuat saus yang terdiri dari campuran yogurt dengan rasa plain dan jus buah. Tidak sampai satu jam semua selesai.

"Terima kasih Jemima cantik. Lo memang selalu hadir disaat-saat yang penting."

Jemima hanya melotot. Jam tidurnya sudah berkurang.

"Gue banyak makan lemak selama di sini. Malas kalau nanti harus terlalu lama masuk trainingcamp untuk kembali latihan fisik. Mending dijaga dari sekarang."

Kembali Jemima hanya menggeleng kepala.

"Lo datang ke acara keluarga lusa?"

"Enggak, gue harus terbang ke Eropa. Dapat bonus dari kantor tahun ini."

"Lo yakin nggak bakal dicari bunda?"

"Gue udah ijin sama bunda."

"Jalan-jalan ke mana?"

"Paris dan Italia."

"Lo boleh pakai apartemen gue kalau mau."

"Thanks. Hotel gue sudah dibayar kantor."

Jemima paling malas jika harus berhadapan dengan Bumi. Apalagi kalau sampai datang ke acara keluarga bunda. Banyak mata menatap tak suka pada kehadirannya. Selama ini gadis itu hanya menyimpan dalam hati. Sekali lagi, menjadi bagian dari penerima donasi itu tidak enak. Seperti kata mami, harus tahu menyampaikan cara berterima kasih. Jangan sampai adik-adik di panti terlantar karena orang lain tidak suka pada sikapnya. Sudah bagus ada yang memperhatikan selama ini. Mami sudah pensiun, sementara banyak adik-adik yang masih duduk di SMU. Beruntung masih banyak yang bersedia mengulurkan tangan. Kalau sampai panti ditutup, kasihan yang masih kecil-kecil. Kebanyakan mereka adalah korban perceraian atau kekerasan. Tidak ada keluarga yang merawat. Bahkan ada yang saat datang belum bisa bicara. Karena itu dia memilih menurut demi adik-adiknya.

***

Kali ini Bumi yang menyetir ketika pulang ke Sukabumi bersama ayahnya. Sementara ibunya sudah lebih dulu pulang.

"Yah, bunda sama Mbak Kina belum baikan juga? Apa bunda nggak capek kalau diam-diaman begitu terus?"

"Mereka ngobrol, kok, setahu ayah. Cuma memang tidak dekat."

"Kayaknya cuma di depan umum. Aku nggak pernah lihat bunda nyuruh atau minta bantuan di dapur. Selalu Ima yang dimintai tolong."

"Bundamu memang menjaga jarak. Takut kalau terlalu terkesan mendikte mbakmu. Tidak ingin ada masalah lagi. Tahu sendiri, Kinasih sering mengadu ke Biru. Kadang masmu protes ke bundamu. Kamu tahu, kan, kalau masmu sering membela istrinya dan menyalahkan bunda? Satu lagi, dulu Biru nggak suka kalau istrinya disuruh-suruh."

"Kasihan bunda."

"Posisi Biru juga terjepit. Sudah tidak usah dipikirkan. Bundamu juga tidak mempermasalahkan lagi."

"Tapi akhirnya bunda jadi mengambil waktu Jemima. Kasihan dia, kadang sudah capek kerja seharian, masih aja mau dipanggil bunda. Ima itu butuh istirahat."

"Kamu memperhatikan sekarang? bukannya kamu juga suka nyuruh-nyuruh dia akhir-akhir ini ayah lihat."

Bumi tertawa. "Cuma suka gangguin dia aja. Seneng lihat dia marah-marah. Kadang aku kasihan lihat Ima sudah capek banget. Tapi salah dia juga karena selalu nurut sama bunda."

"Bundamu butuh teman bicara, dia cocok dengan Jemima karena anaknya penurut. Dulu ayah sempat memintanya untuk program punya anak perempuan, tapi ditolak. Bundamu trauma saat melahirkan."

"Iya tapi Jemima, kan, kerja juga urus panti juga. Bagaimana kalau nanti dia harus menikah dengan orang lain? Aku nggak yakin kalau bunda siap kehilangannya."

"Pernah, kemarin waktu Ima pacaran dengan Dito. Sampai-sampai bundamu sering ngomong, semoga mereka putus."

"Terus?"

"Akhirnya beneran putus, nggak lama setelah kamu putus juga dengan Maria."

"Bunda ada-ada aja. Kasihan Ima kalau begitu. Giliran patah hati ada yang senang."

"Bundamu sebenarnya ingin kamu dekat dengan Jemima."

"Kami tidak pernah saling suka Yah. Bisa nggak berantem aja baru sekarang. Biasanya kalau ketemu dia males banget. Anaknya bawel sama keras kepala."

"Ayah tahu kalau kalian nggak saling suka. Bicaralah pada bundamu kalau kamu sudah memiliki pilihan lain. Jangan sampai nanti kasus Bumi terjadi lagi."

"Aku nggak tahu bagaimana bicara dengan bunda, sensitif banget orangnya."

"Sejak dulu juga bundamu seperti itu. Dia jarang mengungkapkan keinginan, kecuali tentang ingin menjadikan Jemima sebagai menantu. Anak bundamu cuma dua, yang satu sudah menikah. Satu-satu korbannya, ya, kamu."

"Aku nggak akan cocok sama dia."

"Ayah kira juga begitu. Jemima anaknya pintar dan sangat akademis. Berbeda jauh dengan kamu. Ayah masih ingat waktu dia SMP dan sakit thypus. Baru keluar dari rumah sakit langsung ujian di sekolah. Dan semua nilainya tetap 100. Sampai-sampai ayah bilang sama dia, 'tidak usah dipaksa belajar'. Kamu tahu apa jawabannya? Takut nggak bisa dapat beasiswa lagi. Itu memang sekolah bagus dan dia bisa masuk ke sana karena beasiswa. Padahal ayah mau membayari uang sekolahnya. Ima sangat paham dari mana dia berasal dan cara untuk mencapai tujuan. Dia anak yang baik sejak dulu."

"Sementara denganmu, fokus kalian berbeda. Kamu orang lapangan dan selalu cepat dalam mengambil keputusan. Ima pemikir, segala sesuatu dipertimbangkan dulu baik buruknya. Perfeksionis! Dia bisa tidak tidur semalaman karena belajar atau bekerja. Sementara kamu hidup lebih teratur karena pekerjaan menuntut seperti itu. Kalian berasal dari dua kutub yang berlawanan."

"Bantu aku ngomong ke bunda, yah."

"Sudah, tapi bundamu nggak mau dengar. Dia sudah jatuh cinta sama Ima."

"Bisa juga karena kasihan, sejak kecil Ima ditinggal papinya."

"Bisa juga. Dia selalu berusaha menerima kekurangan dan membahagiakan orang lain. Kadang itu membuatnya terluka."

"Ayah pernah bicara seperti ini pada bunda?"

"Tidak, nanti bundamu ngambek. Ayah jadi repot."

"Heran juga ayah bisa bertahan dengan bunda yang manja."

Langit tersenyum kecil. Pria itu mengembuskan nafas pelan. "Karena bundamu menerima ayah apa adanya. Hubungan kami tidak selalu berisi tentang ngambek dan manja."

"Sepertinya semua pasangan seperti itu."

"Tidak semua, ada beberapa hal yang akan tetap disimpan agar tidak ada yang tahu."

"Ayah masih main rahasiaan."

"Karena kamu bertanya, kenapa ayah masih betah sama bundamu yang manja. Bundamu adalah perempuan yang baik. Dan dia mengenal dirinya termasuk kekurangannya. Seperti dengan Kinasih, dia tidak pernah mau dekat bukan karena belum bisa menerima. Tapi takut kalau nanti kalimatnya melukai mbak dan masmu. Takut kalau nanti salah bicara lalu menimbulkan pertengkaran baru. Dengan Ima, karena sudah kenal sejak kecil, dia merasa lebih bebas. Juga ke Bu Rianti. Setidaksukanya pada Kina, bundamu tidak pernah meminta Biru untuk menceraikan istrinya."

Bumi hanya mengangguk. Dia memang jarang mengetahui masalah yang tengah terjadi dalam keluarga. Atau selama ini karena tidak diberitahu jadi tidak mau tahu.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

181024

Maaf ya, tulisannya miring. Saya tidak tahu cara mengembalikannya menjadi tegak di wattpad yang baru. Karena tidak muncul perintahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top