24

Jemima menutup kain gorden ke arah kediaman Langit. Ia tidak ingin terlihat sedang resah. Sejak tadi sudah berusaha untuk berkonsentrasi pada angka-angka yang ada di depannya, tapi sayang gagal total. Sama sekali tidak menyangka kalau pada akhirnya  mengambil keputusan ini. Menikah dengan Bumi? Kembali perempuan itu memejamkan mata. Apa nanti kata orang? Jujur ia tidak siap. Semua terjadi begitu cepat. Alangkah sesak ketika takdir mempermainkan. Gadis itu menggelengkan kepala, ini bukan takdir melainkan pilihan. Ia sudah memilih dan tidak ada jalan untuk keluar.

Berusaha mengumpulkan sisa-sisa kekuatan, akhirnya pekerjaannya selesai. Tinggal mengirim  laporan. Dengan tubuh lesu Jemima beranjak dari kursi. Melangkah pelan menuruni tangga. Tubuhnya terasa kaku, batuk dan pilek mulai menyerang. Sebuah pertanda agar ia beristirahat setelah beberapa hari terakhir membiarkan hidupnya jungkir balik bagai roller coaster. Beberapa orang yang berpapasan menatap penuh tanya. Tidak biasanya ia seperti ini, hanya mengangguk ketika disapa. Biasanya Jemima adalah sosok ramah yang akan membalas sapaan setiap yang menegur kemudian bertanya tentang kabar lawan bicara. 

Pikirannya tertuju pada acara sore ini. Jantungnya berdebar lebih kencang. Kebohongan besar akan dimulai. Meski terdengar sangat menyedihkan. Ia tidak ingin bersikap egois dengan memenangkan keinginan sendiri. Biar saja, toh,  nanti Bumi yang bicara. Palingan seluruh keluarga hanya mengkonfirmasi. Setelah itu mungkin semua orang akan tersenyum lega, dan ia harus pura-pura terlihat bahagia.

Setiba di rumah, ternyata mami sudah datang dan sedang berbincang dengan bunda dan ayah. Ada Biru juga hadir, mungkin Bumi mengundang mereka semua. Jemima yang  batuk akhirnya ikut duduk.

“Ima batuk, nak?  Sudah minum obat?” tanya Alea.

Kini perhatian tulus itu akan selalu menjadi miliknya. Bukankah hidup penuh dengan kompromi? “Belum Bun. Sebentar lagi aja minum jeruk lemon dicampur madu. Kecapekan aja mungkin juga karena cuaca.”

“Tadi bunda sudah bicara dengan ayahmu. Supaya kamu fokus di sini saja. Masmu Biru akan kembali pegang Darma Lautan.”

“Terima kasih.”

“Atau karena tadi pagi kamu nyetir sendiri kemari?” Mami menimpali.

“Nggak juga, memang daya tahan tubuhku sedang rendah.”

“Kamu kecapekan, habis ini cuti saja, ya?” ucap Alea lembut sambil menepuk pelan punggungnya. Jemima hanya mengangguk.

“Bumi kenapa, sih, ngumpulin kita di sini? Sekarang orangnya malah belum muncul.” ujar Biru.

“Lagi nge-gym di lantai dua. Sebentar lagi juga turun.” jawab Alea.

“Aku istirahat sebentar Mi.”

“Iya, mau mami temani? Atau kamu mau dipijat>”

“Nggak usah. Aku bisa sendiri.”

Kembali Jemima bangkit lalu melangkah tertatih. Rasanya tidak ingin berhadapan dengan mereka semua. Ia bingung bagaimana caranya memulai kebohongan besar dan bersandiwara. Entah sampai kapan nanti. Menaiki lantai dua terdengar suara Bumi sedang berbincang dengan teman-temannya di belahan benua lain mungkin sudah selesai berolahraga sore. Tertawa seolah tidak ada beban. Jauh berbeda dengannya yang harus memikirkan banyak hal. Untuk pertama kali Jemima menyesal dengan kehidupannya. Seumur hidup harus berkorban untuk orang lain. Bahkan kini masa depannya sendiri. 

Tanpa mengganti pakaian ia langsung berbaring dan menarik selimut. Sambil memeluk guling matanya mulai terpejam. Tubuhnya terasa kaku. Batuk kembali menyerang.

Jangan sakit Ima, kuat…kuat…kuat. Banyak kebahagiaan orang yang bergantung pada kamu. Lupakan semua Ima. Ini yang terbaik.

Masih terdengar tawa keras Bumi. Sementara ia menangis sendirian di kamar. Keputusan sudah diambil tidak ada celah untuk menyesal. Semua harus dijalani.

***

Bumi menatap Jemima yang baru keluar dari kamar. “Lo, kenapa?”

“Flu, kayaknya.”

“Minum vitamin. Gue punya, mau?”

“Boleh.”

Pria itu kembali ke kamarnya kemudian kembali lalu menyerahkan dua botol vitamin. “Lo simpan aja sekalian buat jaga-jaga. Cuaca memang lagi kurang bagus.”

“Lo yang undang mami dan Mas Bi?”

“Iya, kita harus bicara pada mereka, kan?”

“Lo nggak merasa ini akan jadi beban?”

“Jangan semua lo pikirin. Nanti malah sakit. Dijalani saja. Waktu akan menjawab apakah pilihan kita ini sudah benar atau salah.”

“Gue masih bingung.”

“Tidak ada yang bisa menjamin sebuah kehidupan akan baik-baik saja di masa depan. Meskipun  menikah dengan orang yang lo cintai. Banyak teman gue, pacaran menggebu-gebu bahkan sampai 5 tahun. Jalan-jalan keliling dunia bareng. Menikah cuma setahun dengan alasan nggak cocok. Ayah dan bunda cuma ketemu dalam hitungan bulan kemudian menikah langgeng sampai sekarang. Jadi tidak ada yang pasti di dunia ini. Semua tergantung pada usaha kita berdua.”

“Lo yang akan ngomong, kan?”

“Iya, lo tenang aja.”

Keduanya turun. Semua sudah menunggu di ruang makan. Jemima duduk diantara mami dan bundanya.

“Sudah baikan?” tanya Rianti.

“Belum Mi.”

“Kamu makan dulu, habis itu minum obat.”

“Tadi sudah dikasih vitamin sama Mas Bumi.”

“Kalau begitu minum setelah makan.”

Dengan lemah Jemima mengangguk. Perempuan itu ikut makan malam. Selesai semua Bumi mendehem. 

“Aku mau bicara dengan ayah, bunda dan Tante Rianti.”

Alea yang masih menghidangkan buah untuk Langit tertegun.

“Ada apa? Kamu mau membicarakan tentang liburan?”

“Bukan Bun. Aku dan Jemima ingin menyampaikan hal penting.”

Semua orang menatap keduanya bergantian penasaran. “Kalian kenapa?” tanya Langit yang langsung menegakkan tubuh.

Bumi mengembuskan nafas sepelan mungkin Lalu menatap kedua orang tuanya dan Rianti.

“Aku dan Jemima sepakat untuk menikah.”

Semua orang diam terpaku. Tidak ada yang berani bicara. Wajah mereka seakan tidak percaya. Tatapan itu kemudian beralih pada Jemima. Beruntung akhirnya ia terbatuk, jadi tidak perlu terlihat jengah.

“Serius?” tanya Alea dan Rianti bersamaan.

“Ya,”

“Kalian kapan bicaranya?” tanya Alea.

“Sudah beberapa kali. Aku nggak perlu bilang bunda kalau ketemu dengan Ima, kan?”

“Kalian yakin?” Kali ini Langit yang bertanya.

“Kalau kami sudah sepakat, artinya kami benar-benar yakin.”

“Kalian merasa terpaksa?” kembali Alea bertanya.

“Bunda selama ini selalu berusaha menjodohkan kami. Lalu sekarang ketika kami bilang mau menikah, kenapa jadi tidak yakin?” jawab Bumi dengan ringan. Seolah tidak punya beban sama sekali.

“Yakin mau langsung menikah? Nggak mau pacaran dulu? Kamu bagaimana Ima?” tanya Biru. Pria itu masih tidak yakin dengan keputusan adiknya. Ini terlalu tiba-tiba.

“Kami sepakat untuk memulai.” Entah kenapa ia seolah tidak memiliki beban sama sekali. Dalam hati Jemima bertanya, kenapa kini ia terlihat begitu serius?

“Kalian mau langsung menikah?” kembali pertanyaan yang sama keluar dari bibir Alea.

Bumi segera menjawab, “Ya. kami sudah kenal lama. Lalu mau ngapain lagi? Nunggu tahun depan? Atau dua tahun lagi? Jangan sampai dipertengahan tahun bunda memaksa kami untuk menikah. Itu tidak akan bisa. Kontrakku tidak mengijinkan  cuti dari sirkuit.”

“Buat ayah tidak masalah kalau kalian mau menunggu. Tidak usah terburu-buru. Apa yang kamu kejar?” kembali Langit melontarkan pertanyaan.

“Aku tidak akan punya waktu kecuali diantara Desember sampai awal Februari, Yah. Kalau mau menunggu harus tahun depan. Aku, sih, tidak masalah. Tapi apa pun bisa terjadi dalam kurun waktu selama itu. Jangan salahkan kami berdua nanti. Lagi pula kami sudah lama saling mengenal walaupun tidak pacaran. Aku tidak akan melukai Ima.”

Alea menatap Jemima dengan serius. “Kamu mau menikah dengan Bumi?”

“Kami sudah sepakat Mi.”

Kali ini Alea  langsung memeluk Jemima. “Bunda sama sekali nggak percaya, tapi senang mendengarnya. Kamu akan tetap jadi anak bunda.” Alea kemudian menatap Rianti, “Kita besanan Ti.”

Keduanya kini memeluk Jemima yang sedang bingung dengan sandiwara yang ia mainkan. Meski hampir semua yang hadir masih tidak percaya dengan keputusan mereka, terlihat semua mendukung dan bahagia. Terutama Langit dan Alea. Sisa waktu makan malam digunakan untuk membahas rencana pernikahan. Hingga akhirnya Jemima pamit untuk tidur.

Gadis itu hanya  berbaring gelisah di kamar sepanjang sisa malam. Tidak bisa tidur membuatnya menatap langit gelap yang diselimuti kabut. Desember selalu menyisakan kisah tersendiri. Tentang hujan yang kerap datang sepanjang malam. Kalau tidak ada masalah ini sudah bisa dipastikan kalau ia dengan mudah terlelap. Ditatapnya tanah pertanian di kejauhan. Beberapa lampu menerangi jalan setapak. Kepalanya tidak berhenti berpikir. Mencoba membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Hari ini ia sudah merantai kakinya sendiri tanpa paksaan siapa pun. Seperti ini kah hidup yang sesungguhnya? Ponselnya berdenting.

Lo belum tidur? Kenapa gordennya dibiarkan terbuka?

Pesan dari Bumi membuatnya tersadar bahwa ia bukan satu-satunya yang tidak tidur malam ini.

Lo tahu dari mana?

Barusan minum sama Mas Bi, di gazebo Om Wanto.

Hujan-hujan gini?

Gue lagi nemenin orang patah hati. Lo kenapa belum tidur?

Nggak apa-apa.

Kalau mau ngomong, gue ada di sofa depan kamar lo.

Nggak enak nanti ketahuan bunda atau mami. Besok saja.

Ya sudah. Jangan lupa diminum vitaminnya.

Ok, tq

Ha!? Jangan lupa minum vitamin? Kalimat itu kembali terngiang. Apa nggak salah? Mimpi apa hingga seorang Bumi tiba-tiba jadi perhatian? Ada apa dengannya? Apa sejak tadi pria itu memperhatikan kamarnya? Kenapa malam ini malah bertambah masalah yang masuk ke kepalanya? Tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi besok. Bagaimana harus mempersiapkan pernikahan? Ia tidak memiliki keinginan apa-apa untuk menjalani itu. Adakah calon pengantin sepertinya? Mungkin jutaan perempuan ingin berada pada posisinya sekarang. Teringat Rosa teman dekatnya dulu yang rela tidak masuk kantor hanya demi melihat Bumi dari dekat.

Entah kenapa, kini dipelupuk matanya terbayang wajah pria itu. Selama ini ia memang tidak terlalu mengenalnya juga tidak pernah berpikir tentangnya. Juga tidak tertarik untuk mengetahui apa yang dilakukannya. Bagi Jemima, Bumi hanyalah sosok yang sangat jauh. Mereka kerap bertemu, tetapi tetap berada dalam ruang pikiran yang berbeda. Bumi  selalu mengganggu ketenangan dan kebahagiaannya. Lalu sekarang tiba-tiba pria itu akan menjadi suaminya? 

Satu hal yang dipahami Jemima saat ini adalah, betapa tidak menyenangkan menjadi orang dewasa. Perjalanan hidupnya mengharuskan untuk selalu mengambil keputusan yang sulit. Terbayang bagaimana pernikahan akan berlangsung. Sampai saat ini ia belum bicara dengan Bumi, apa yang harus dilakukan nanti? Akankah pria itu mengijinkannya tetap  tinggal di Jakarta? Apakah pernikahan ini akan mengubah banyak hal dalam hidupnya? Tidak ingin berpikir lebih banyak lagi akhirnya Jemima keluar kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul 04.15.  Begitu pintu terbuka, terlihat Bumi yang sedang duduk dan terkejut menatapnya.

 
***

Happy reading

Maaf untuk typo

13125

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top