°SEPULUH°

Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.

Ale memasuki Baseball Pen Competition yang digelar di Stadion Internasional Baseball Arena, Jakarta City; seorang diri sebab anak-anak lainnya sudah ada di ruangan ganti bersama pelatih dan para senior. Jika bukan karena ayahnya, mungkin dia tidak akan datang seorang diri. Ale melenguh kesal. Terlihat sekawanan makhluk tak asing dengan dagu terangkat arogan di depan jalannya. Sontak Ale memutar kepalanya jenuh. Pemuda itu segera mempercepat langkahnya, tak ingin berurusan dengan orang-orang tak penting seperti mereka. Namun, tas ransel Ale tiba-tiba saja ditarik oleh salah satu dari mereka, dan siapa lagi jika bukan Nando si kapten kesayangan Tim Galantika 2002 sekolah tetangga.

“Buru-buru banget, mau ke mana?” tanya pemuda itu—Nando—dengan wajah songong.

“Belagu!” cebik Ale tak segan.

“Mau ke mana sih, buru-buru? Takut ketinggalan koloninya?!” tanya Nando sembari mendorong bahu kanan Ale. Terdoronglah Ale beberapa jengkal dari hadapannya. “Sendirian agak takut gitu, ya?”

“Lo ini banyak banget bertingkah, ya?!” balas Ale sewot. “Gua nggak sepengecut lo yang koar-koar barengan. Nggak takut.”

Nando menarik kembali tali ransel Ale, akan tetapi Ale dengan tangkas menepis tangan Nando dari ranselnya. Bola mata Ale yang hitam besar membuat Nando lantas mundur darinya. Tatapan mata elang sedingin salju bulan Desember itu sanggup membuat Nando gemetar.

“Nggak usah ngancam, ya, lo!” sulut Nando dengan sewot. Bibirnya tersungging.

“Ngancam? Nggak salah denger?” Ale mencibir dengan embusan napas panas yang menerpa wajah Nando. “Udah, deh, kita duelnya di lapangan aja, nggak usah ngajak ribut di luar yang bukan arena kita. Kalau lo nggak mau reputasi lo hancur sendiri. Lo tau, gua nggak ada waktu buat ladenin orang kayak lo!” tandas Ale dengan tegas sambil menabrakkan bahunya pada bahu Nando juga anak-anak lainnya.

Nando menganga, mendapati reaksi heroik seorang Ale yang sangat mengangumkan. Pemuda itu mendesis, “GILA! Pumya nyali juga tuh anak! Cabut!” perintahnya dengan geram.

“Anak belaga kayak Ale nggak bisa dibiarin, Bos!” celetuk Hikam sembari menatap kesal. Nando mengangguk dengan bibir dikulum, matanya menatap jenuh.

“Gua nggak akan diam. Tenang aja, musim depan dia nggak akan ada di sini lagi!” ucap Nando memaki angin di depan wajahnya.

Sedang Nando sibuk membicarakan dirinya, Ale berbelok menuju kamar ganti yang sudah disiapkan panitia bersebelahan dengan dua sekolah tetangga lainnya. Kawanannya yang menunggu, menghela napas lega. Pasalnya, akan ada sedikit arahan untuk menghadapi tim Nando. Seperti yang orang tahui, jika softball dan baseball memang terlihat sama. Namun, ada beberapa hal yang beda. Khususnya, bola yang digunakan berbeda. Bola baseball lebih kecil dari bola softball, yang mana kecepatan pukulan akan memperngaruhi kecepatan bolanya juga.

Sebagai seorang batter, Ale haruslah punya ketangkasan, dan ketajam mata juga konsentrasi tinggi. Dan mereka para pitcher juga tak bisa sembarang melempar bola. Jika bola softball bergerak dari bawah ke atas. Baseball sebaliknya pada strike zone. Jika di antara pemukul dan pelempar ataupun pemain bertahan melakukan kesalahan, itu bisa menjadikan sebuah kemungkinan fatal.

Beberapa senior yang datang mulai membuka buku evaluasi. Ale yang tengah mengganti pakaiannya buru-buru duduk, sebab wajah para senior sudah tak kompromi. Fito, yang berdiri kini dia duduk berhadapan dengan seluruh adik asuhnya. Fito menarik kedua sudut bibirnya meski kecut. Begitu juga Dema yang menatap nyalang pada wajah-wajah gugup berbalut takut itu. Keringat mereka sudah berjatuhah bahkan sebelum masuk lapangan. Dema tersenyum miring.

“Gua nggak akan panjang lebar, terutama untuk kalian yang gua peraya. Marino, sebagai seorang pitcher, lo harus fokus, harus paham soal strike zone, ingat lemparan lo itu amat sangat berarti buat tim. Kalau sampai lo ball, otomatis poin untuk tim lawan. Dan, Ale, udah nggak usah basa-basi, yang pasti gua tekankan adalah jangan sampai strike, atau foul ball karena pukulan lo ke belakang. Ingat kuncinya fokus. Kalian runner terhebat. Ingat, selagi bola bisa ditangkap di udara, tangkap itu.”

Setelah mendengarkan penjelasan dan sedikit wejangan dari Fito anak-anak kemudian saling memeluk, sembari berdoa sesuai kepercayaan masing-masing. Selepas itu ada yang latihan melempar bola, mengayun tongkat kayu adapula yang latihan menangkap bola di udara seperti yang Fito ajarkan. Dema membagikan topi dengan bordir benang berwarna silver yang halus bercampur warna light gold. Yang indah bersinar terkena pencahayaan lampu ruangan tersebut.

Sementara anak-anak bisbol tengah latihan, anggota paduan suara pun tengah melatih manajemen napas. Masing-masing dari mereka mulai menyumpal daun telinga dengan ear in monitor untuk mengontrol suara dan musik agar tidak kejar-kejaran ataupun tersilap angin di lapangan. Hira memijat kepalanya yang tiba-tiba saja terasa pusing karena latihan melakukan head voice. Kirara yang melihat Hira duduk memegangi kepalanya lantas membawa air mineral disodorkannya botol itu pada Hira. Senyum di wajah Kirara membuat gadis itu tenang.

“Makasih, Kak,” ucap Hira dengan lirih. Diteguknya setengah dari air bototl tersebut. Punggungnya disandarkan pada dinding. Kirara memegangi tangan Hira dengan erat. Keduanya saling menatap, senyum dilempar satu sama lainnya.

“Aku juga pernah ada di posisi kamu, kepalaku sakit bukan main karena gugup. Tubuh aku sampai kayak orang mandi, saking tegangnya, aku bahkan nggak ingat ... aku harus masuk di bait mana? Oh, itu membuat aku stres. Tapi setiap kali aku memandang teman-teman aku nggak sendiri. Mereka juga gugup seperti aku,” ungkap Kirara dengan lemah lembut. Gadis itu membelai rambut Hira yang tergerai sebahu, Kirara menempelkan stiker berbentuk sakura berwarna merah jambu.

“Itu hadiah dari Kak Reren saat aku berhasil menaklukan rasa gugupku, dan aku percaya Hira bisa.”

Hira memeluk tubuh Kirara yang lenjang semu berisi, harum tubuhnya mengingatkan pada sosok Nanda, seseorang yang tak boleh Hira kecewakan. Karena hari ini kakaknya datang dengan senang hati, bahkan sambil membuat surat izin cuti satu hari demi Hira. Jantung Hira berdebar-debar hebat saat pelatih memasuki ruangan dengan senyum semangat. Memberi tanda bahwa anak-anak harus segera ke lapangan untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya secara bersama-sama setelah latgab antara seluruh sekolah yang berpartisipasi minggu lalu dan Hymne sekolah masing-masing.

Baik Ale dan Hira sama-sama keluar dari ruangan masing-masing. Keduanya saling tersenyum saat menjajaki lorong menuju stadion utama. Lautan penonton yang memenuhi seluruh bangku yang semula kosong, membuat Hira dan Ale gugup. Bulu dikuduk dan tangan semuanya berdiri hingga ingin lari. Terdengar Aaron berseru, Ale langsung menoleh ke belakang. Wajah kawan-kawannya tampak sangat bahagia dan riang tanpa beban, serta wajah pelatih yang sangat percaya padanya. Ale sedikit menunduk, meskipun demikian dia tengah tersenyum lebar.

“Gua pasti bisa, walau ayah sama bunda nggak pernah datang. Setidaknya masih ada orang yang nunggu gua pulang bawa piala,” gumam Ale penuh ambisi.

Kepalanya terangkat lagi, kedua bola matanya menyapu seluruh bangku penonton. Terlihat ada Nanda, ada sang reporter majalah sekolah, anak-anak yang setiap hari mengantre minta tanda tangan, penjaga sekolah dan yang utama adalah keluarga Nando. Yah, keluarga itu tak pernah absen. Tangan Ale terkepal kuat-kuat bersama semangatnya. Ale berdecak, “Nggak boleh sirik, Al. Musim depan, udah nggak akan ada Nando ataupun keluarganya!” monolog Ale meyakinkan.

Seluruh hadirin yang datang berdiri saat layar papan skor menampilkan bendera acara. Tak berselang lama dari sambutan yang diberikan oleh Bapak Ketua Komka, sambutan lainnya diberikan secara bergantian dari para petinggi dan perwakilan sekolah. Tiba saatnya seluruh tim paduan suara gabungan menuju pojok depan lapangan yang sudah diberi tanda biru. Hampir tiga ratus paduan suara berbaris membentuk tangga. Yang tinggi berada di belakang dan yang tidak terlalu tinggi di depan. Hampir enam puluh mikrofon berderet di setiap interval baris.

Ale yang duduk di bangku khusus tim bisbol, dapat melihat Hira di baris ke enam di antara lima puluh siswi setiap barisnya. Dengan kaos putih celana abu-abu senada dari seluruh siswinya. Rambut sebahunya yang dijepit ke belakang telinga, membuat siluet wajahnya begitu memesona.

“Si Hira cantik, ya?” lontar Ralle menoleh pada Ale yang terkesima sejak musik pengiring terdengar ke segela penjuru stadion.

“Emm.” Ale berdeham ringkas.

Sang dirigen mulai menggerakkan tangannya. Bergerak mengalun dengan soulfull dalam setiap baitnya. Bulu kuduk terangkat, saat bagaian refrain dinyanyikan dengan penuh semangat yang bergelora. Pergerakan tangan sang dirigen membuat Ale terhanyut, bahkan seluruh penonton ikut bernyanyi dibuatnya. Ale pun, bibirnya bergerak dengan suara nyaris setipis udara yang bertiup di depannya. Bola dan mata yang tertutup topi tersebut berseri-seri.

Bagian 10. Semalam Ale tidur nyenyak karena mempersiapkan Komka. Ale update pagi, yuhu!
Publikasi 100921
#ExclusiveLovRinz
#ExclusiveWritingChallenge

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top