°SEMBILAN BELAS°
Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
[Play this]
Babak penyisihan delapan besar Baseball Pen Competition.
Ale mengembuskan napasnya yang berat agak serak ke udara saat seluruh stadion memandangi dirinya penuh harap, seperti lazimnya mereka menaruh penilaian bahwa Ale adalah ujung tombak sekolah yang gemilang. Demikian beratnya perasaan itu, tetapi, Ale tetap merasa bahwa itu patut dirinya perjuangkan untuk apa yang dirinya mau dan inginkan, yang selama ini orang-orang tahui tentang dirinya.
Ale memukulkan ujung tongkat kayunya ke tanah, lekas memperbaiki posisi dirinya berdiri seperti Ale biasanya. Bola mata cokelat gelap hampir mendekati warna hitam itu membulat, lalu memicing sampura pada bola yang berada di balik sarung tangan cokelat bertali putih di hadapannya. Ale menarik napas sebanyak mungkin, mengisi kekosongan bilik-bilik parunya. Bola melesat membentuk garis curve yang cantik. Dengan sebuah ayunan sederhana, permukaan kedua benda tumpul tersebut menghasilkan lambungan nun jauh ke bangku penonton.
Seluruhnya menjadi gaduh, hampir tak ada yang tutup mulut saat bola itu melambung, mencetak kalimat home run yang bersinar terang pada papan skor. Ale dengan langkah bebas dari ketegangan melewati pada jajaran pemain fielder Orion Jatim 2000 yang mengamati dirinya. Beberapa tampak mendecih tak suka, lainnya ada yang tersenyum mengakui. Di bangku penonton hanya ada tim majalah sekolah, para siswi yang langganan acara Komka dan penjaga sekolah. Tidak ada Hira, sebab hampir beberapa hari sejak pingsan di sekolah, Hira harus dirawat inap dan menjalani ablasi seperti terakhir kali di enam bulan lalu. Sepi, tetapi Ale tetap menikmati kemenangan ini. Menampar Nando dan kawanannya yang kalah dari tim Ganutara Bdg 1987. Setidaknya, cukup membuat Ale merasa lepas dari cekikan manusia terkutuk seperti mereka yang tak ada bedanya jadi pengecut yang dangkal ilmunya.
Ale merebahkan tubuhnya di ruang ganti bersama beberapa anak lainnya yang juga cukup kelelahan. Pasalnya anak Ganutara tidak bisa dianggap remeh, meski ada di posisi enam tetapi kekuatannya setara dengan tim Basebali Kuta 1999 yang berada di posisi tiga, nyaris berbeda satu poin dengan Bantarious di posisi dua, dan Orion Jatim 2000 hebat di posisi empat. Ale meraih ponselnya, sebuah pesan gambar dari Hira membuat dirinya tersenyum, sambil bangkit dari rebahannya. Dipandangi wajah Hira oleh Ale, wajah pucat lemah itu membuat Ale nyeri hati. Namun, Ale tak ingin menyerah seperti yang Dema katakan, ada Hira yang selalu menunggu senyum dari bibirnya.
“Minum, minum!” panggil Ralle, pemuda itu membagikan minuman dingin pada rekannya yang sudah kering kerontang termasuk Ale.
“Le, dicari Leoni, ada Refka juga di depan. Katanya mau ngobrolin sesuatu,” timpal Jeriko yang aktif di UKS merangkap juga sebagai left fielder di tim bisbol.
Ale mengganti pakaiannya yang sudah banjir keringat dengan kaos putih berlogo Bantarious yang biasa dipakai dalaman. Pemuda itu berdiri di depan dua manusia paling tebar pesona di sekolah. Ale mendelik pada Leoni dengan keki. “Ada apa?” tanya Ale sewot.
“Nih, air madu hitam murni. Kata Hira lo suka minum ini sehabis tanding.” Leoni menyodorkan tempat minum berwarna abu gelap dengan tali pegangan berwarna hitam pada Ale. Namun, pemuda itu hanya memandang tawar, pandangan mata tidak ramah itu membuat Leoni menghentakkan kakinya.
“Lo ada apa nyari gua, Ref?” lontar Ale pada pemuda yang memandangnya risi. Tangan Ale terlipat di dada, senyum remeh yang masam itu membuat Refla tersinggung dibuatnya.
“Hira dirawat di mana?”
“Hira lagi terapi, dia butuh waktu buat sendiri. Nggak usah ganggu dia, lo kirim makanan juga nggak akan dia makan.”
Ale membalik tubuhnya kembali ke kamar ganti, menyisakan Leoni dan Refka yang menganga mendapati perlakuan Ale yang cuek bebek. Leoni menoleh pada Refla, gadis itu berdecak dan Refka pun ikut berdecak kesal.
“Sok ganteng!” ujar keduanya kompak.
Pertandingan demi pertandingan dilakoni para tim unggul. Delapan nama tim sekolah tertera di papan pengumuman. Nama Bantarious berada di posisi dua tidak bergeser dan tidak tergeser. Seperti yang Ale selalu inginkan dan banggakan.
Jam menunjukkan pukul empat sore, tim pulang bersama meski lagi-lagi Ale absen makan bersama. Ale diantar kakak Radian pulang dengan mobil antiknya. Sepanjang perjalanan Ale terkantuk-kantuk, bahkan sampai tak sadar meneteskan air liurnya. Ale terbangun saat mobil sampai di kediamannya. Ale pamit undur diri, berpuluh kali mengatakan terima kasih karena Fadel, kakak dari Radian memberinya sedikit bekal jajan dan makan untuk hari ini dan esok.
Ale memasuki rumah, ayahnya tertidur dengan wajah merah seperi biasanya. Bau alkohol menyeruak ke indera Ale, membuat pemuda itu meringis pusing ada sedikit mual juga karena mencium baunya yang kuat. Dan, Ale jijik milihat bekas muntah sang ayah. Namun, karena sudah kewajiban rasa lelah pun Ale abaikan. Pemuda itu bergegas ke dapur, membawa peralatan bersih-bersih. Hampir setengah jam dirinya membereskan rumah sampai selesai mandi dan makan.
Ale merebahkan tubuhnya di kasur. Merasakan bahunya yang gilu bukan main. Apalagi saat tadi mengangkat ember berisi air kotor dan lap pel. Ale mematikan lampu kamarnya. Memejamkan mata sembari ditemani lagu dari Linkin Park bertajuk A Place for My Head. Napasnya mengalun lembut membawa sukmanya ke dalam bunga mimpi yang kelam nan sunyi. Dingin yang menyentuh jengkal-jengkal kulitnya membuat Ale meringkuk bagai janin kedinginan. Tangannya tanpa sadar memeluk diri, ada air mata yang timbul di kedua sudut matanya. Sementara bibirnya bergetar meloloskan isak tangis yang hampa.
“Onadio?!”
Kaki kecil itu berlari menghampiri, taman kecil dari taman kanak-kanak yang dipenuhi warna pelangi itu membuat kaki kecil tersebut berlari semakin kencang menggapainya. Pelukan hangat itu mendarat di tubuh kecilnya.
“Onadio kesayangan kakek.”
“Aku lebih senang dipanggil Ale, Kakek, kan tau itu!” protesnya dengan bibir manyun.
“Hira benar-benar menjagamu dengan baik.” Belaian lembut membuat rambut Ale kecil kusut. Bangunan taman kanak-kanak di depan Ale berdiri tegak nan megah. Seorang gadis kecil berlari ke arah kedua pria tersebut. “Tuh, cinta pertama Ale. Hari ini cantik sekali pakai bandana bunga,” ujar Kakek dengan senyum.
Hira memeluk tubuh kakek Ale, kemudian memegangi tangan Ale dengan erat. Kakek membawa dua anak berusia delapan tahun tersebut di kedua tangannya. Namun, tangan itu tiba-tiba saja terlepas saat dua orang yang begitu Ale sayangi bertengkar hebat.
“Lagi pula siapa yang mau menyekolahkan anak itu di TK milik ayahmu, Tian? Mereka pasti takut anaknya kamu lecehkan! Dan aku juga nggak sudi jadi istri kamu lagi!”
Sebuah tamparan mendarat di pipi wanita itu. Tangan kakek langusng menutupi kelopak mata Ale dan Hira.
“Aku nggak sudi jadi menantu di rumah ini lagi. Mengurus kakek tua cacat yang bongkok, kadang cerewet jika soal rumah. Sekarang anak yang di banggakannya malah menjadi berita hangat di media tentang pelecehan sampai menghamili anak gadis orang. Kamu pikir aku masih mau terima kamu, Tian?”
“Cukup!” Suara Kakek terdengar menggelegar, meredam pertengkaran antara ayah dan ibunya. Ale kecil memegang tangan Hira dengan erat.
Air mata jatuh di pipinya. Ale terbangun sembari terengah-engah, tubuhnya banjir keringat dan wajahnya banjir air mata. Ale memeluk tubuhnya. Sementara ayahnya tertidur pulas di sofa berselimut kain tipis. Ale membenamkan wajahnya ke dalam lutut. Tubuhnya menggigil, kepalanya sakit bukan main. Benaknya terus digenangi perasaan sakit hati. Harusnya Ale tidak pernah pulang sore itu, harusnya Ale mengajak kakek bermain bersama Hira memukul bandul yang selalu jadi tempat latihan bisbol. Harusnya Ale tidak pernah menjadi dewasa, atau lebih baik harusnya ayah yang mati hari itu bukan kakek atau bunda. Atau malah sebaliknya, harusnya ayah dan bunda yang mati.
Ale terus dihantui kejadian itu. Hari-hari setelah pertengkaran itu kakek jadi murung. Kelopak matanya terus terkatup sembari menikmati petang. Tak pernah lagi ada obrolan di antara seisi rumah. Ale ingat saat kakek duduk menunduk dengan hidung berdarah yang sudah menghitam karena kering, dan tubuhnya membiru, tak ada rasa nadi yang berdenyut, suara jantung yang memburu detaknya. Atensi itu lepas di usia hampir tujuh puluh lebih.
“Harusnya bapak mati saja karena sudah sepuh. Tidak becus mendidik keluarga. Malah sibuk dengan sekolah kecil itu. Membiayai anak-anak orang. Keluarga ini hampir sekarat karena tuduhan itu. Dan Tian juga bersalah, dia masih bebas dari para polisi karena bapak menjaganya dengan kekayaan yang bapak punya. Tapi apa sekarang yang terjadi? Pembangunan TK itu tidak kunjung selesai dan kita semua bangkrut!”
“Berhenti, Bunda! Aku muak!”
Ale menampar wajahnya sendiri, menarik-narik rambutnya dalam sepi sendiri. “Aku jemu, keluar dari ingatanku sekarang! Keluar!” teriak Ale hingga membangunkan ayahnya, yang kemudian terlelap lagi menyambung mimpi.
Bab 19. Duh, lagunya candu, pas banget sama Ale. Kalian boleh denger lagu lain untuk menemani kisah ini. Ale suka dengar lagu dari berbagai jenis, kok. Vutvut, semoga lagi-lagi kusampaikan setiap kesedihan dan kesannya juga pesan moral dalam cerita ini membawa positive vibes untuk kita semua.
Publikasi 190821
#ExclusiveLovRinz
#ExclusiveWiringChallenge
#LovRinzWritingChalle
#ExclusiveLovRinz
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top