°SEBELAS°

Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.

Lebih kurang ada tiga puluh sekolah yang mengirim pasukan perang mereka. Beberapa di antaranya Galantika 2002, Antisadrah 1999, juga Jkt Bantarious 1997 yang diketuai Ale dan kawan-kawannya.


Nando menyapu pandangannya, kedua bola matanya yang terus menyalakan pedarnya tak menangkap keberadaan Ale bersama anak-anak Bantarious, hanya mendapati Gelang sang 2nd base tim Antisadrah 1999 bersama kawanannya. Anak-anak Bantarious seakan ditelan keramaian stadion. Terlebih saat nama sekolah Ale berada di ururan ke 12 dalam kompetisi ini. Bukan sebagai juara, lebih pada urutan bermain. Jika juara, jelas Bantarious selalu menduduki peringkat lima teratas bersama Antisadrah.

“Lo jangan sampai lupa pas si Ale berhasil membobol pertahanan, teriak nama bokapnya sekencang mungkin. Supaya ilang tuh sifat sombongnya!” ucap Nando dengan senyum jijik.

“Halah, si Ale itu emang nggak ada apa-apa dibanding lo, Bos!” cibir Hikam ikutan merasa jijik. “Kalahnya cuma hal sepele, emang cundang garis keras. Nggak profesional.”

“Makanya jangan sampai dia maju ke musim depan. Kalian harus kompak!” seru Nando menghasut seluruh teman-temannya, bahkan yang sedang melamun pun dihasutnya untuk berseru mengejek Ale.

Sementara anak-anak Galantika sibuk menggunjing Ale, merendahkan kemampuannya; Ale di penjuru stadion tengah mendengarkan musik dari Shawn Mendes ft. Khalid bertajuk Youth. Bagi Ale, lagu itu begitu menyentuh hatinya. Tak peduli bagaimana sakitnya saat dibuang, saat tak diacuhkan. Yang Ale percayai hingga kini hanyalah hal kecil. Ayah dan bunda tak bisa mengambil impiannya. Mimpi tentang sembilan innings yang dihadiahi home run hasil pukulannya.

Cap hitam dengan sedikit gradasi biru dongker berbordir silver sedikit sentuhan light gold bertengger di kepala Ale. Embusan angin yang panas, dengan euforia yang lebih ramai dari tahun baru membuat Ale tersenyum. Teringat saat itu, hadiah pertama dari sang kakek yang meninggal dunia akibat kanker getah bening. Sebuah tongkat kayu sepanjang empat puluh dua inci atau setara dengan 1100mm, dilengkapi bola karet putih gading dengan benang merah yang hampir koyak sebab sudah dimakan usia.

Kata mendiang kakek saat Ale berusia delapan tahun, hidup itu seperti permainan bisbol. Pertama, memukul bola, bersama harapan sebuah lambungan jauh berbuah home run. Manusia terlahir, bertahan hingga akhirnya menemui ajal. Tahapannya seperti base satu hingga base tiga menuju home plate. Selepas lahir tumbuh kanak, selepas masa itu beranjak remaja setelah remaja maka akan dewasa lalu tua dan kembali ke alam sana. Begitu kakeknya sangat menyukai permainan itu.

Nasihat terakhirnya.

Kakek selalu mengajarkan Ale banyak hal salah satunya, tetap memandang wajah langit meski bulan tak ada. Mengajarkan bagaimana cara melempar. Dan lemparan pertama Ale yang diajarkannya, nyaris membuat kaca rumah dinas pak lurah pecah. Sejak saat itu Ale menyukai lemparan, dan olahraga tolak peluru juga bisbol. Dengan melempar, merasa jauh lebih baik setiap waktunya. Ale juga bisa menyalurkan setiap kekesalannya, rasa marah dan bencinya.

Ale pun selalu jatuh cinta pada pendaratannya. Bagianya, hidup dan bisbol itu terikat. Seperti yang selalu Ale selalu tanamkan dalam diri. Bahwasanya setiap manusia yang tinggal, mereka pun sanggup hidup di dunia setelah kelahirannya. Seperti bola yang dilempar, kemudian melambung jauh dan mendarat setelah lemparannya. Memang, semua itu tak sesederhana kelihatannya. Tetapi, Ale tetap jatuh cinta pada hidupnya.

Terlihat Hira berjalan dengan senyum lebar, dirinya kini sudah berganti pakaian dengan seragam khas paduan suara sekolah. Kemeja biru laut, dengan logo paduan suara berbenang hitam, dan sedikit arsir putih. Nyaris senada dengan seragam tim Ale yang didominasi warna dongker dan silver juga light gold. Hira menyodorkan sebuah tumblr berwarna greentea berisi air madu murni dengan potongan daun min.

“Nih, buatmu. Kak Nanda yang buat.” Hira ikut duduk di sebelah Ale yang masih mendengarkan musik. “Kamu gugup, Al?” tanya Hira, saat Ale membuka penyumpal telinganya dan segera dimasukkan ke tas. “Aku sedikit,” imbuhnya.

“Seperti biasanya. Setiap kali ada lo, gua nggak pernah gugup. Cuma takut aja … takut kalah pamor,” canda Ale mengikut lengan Hira manja.

“Kata kakek, Ale itu hebat, jadi Hira nggak mungkin ngalahin pamor Ale. Kamu kan, nomor satu.” Hira mengusap topi yang pemuda itu kenakan.

Leoni memandangi Hira dan Ale dari kejauhan. Seperti yang selalu terjadi, anak itu tak pernah suka jika melihat kedua sahabat itu berdekatan. Leoni mengeriting bibirnya komat-kamit. Merasa diawasi, Ale langsung menoleh mendapati Leoni tersenyum miring. Ale melirik Hira, kedua ekor matanya bicara. Akan tetapi Hira memilih untuk tidak berkomentar.

“Lama-lama gua risi sama sikap Leoni. Kenapa sih, dia harus ikutan jadi tim inti Komka? Bukannya kemarin protes karena nggak bisa nyanyi?” tanya Ale dengan napas sewot.

“Dia minta kak Reren, dan pelatih buat masukin dia ke daftar suara alto. Kebetulan kita kekurangan anak-anak alto,” jelas Hira tersenyum simpul.

“Orang nggak bisa nyanyi, ikutan paduan suara. Nggak banget!” gerutuk Ale sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

Anak-anak Antisadrah 1999 berjalan ke arah koridor tempat Ale dan Hira duduk di penjuru. Key, Gelang dan Astra melambaikan tangan pada Ale, secara mereka pernah satu tim kualifikasi sebelum masuk Komka dua tahun lalu saat masih duduk di bangku putih biru. Dan, hebatnya pula urutan tim mereka berada di peringkat runner-up dan second runner-up.

Le?!” sapa Astra yang langsung memeluk tubuh Ale dengan erat.

“Astaga, anak-anak Antisadrah makin kece-kece badai, ya?” puji Ale sembari tertawa. Mereka saling berjabat tangan, tak perduli dengan almamater masing-masing.

“Kalian main di urutan berapa?” tanya Key mengangkat kedua alis matanya sembari mengerling menggoda Ale.

“Nggak sesuai harapan. Malah dapat anak-anak Jkt Heroes 1999. Kan inginnya maju bareng Galantika.” Ale berkacak pinggang, bibirnya tersungging keki. Namun, bola matanya menatap remeh.

“Malah kita yang dapat nama Nando,” timpal Gelang tidak suka. Ada senyum jijik tatkala mengucapkan nama Nando dan anak-anak Galantika yang amat identik dengan label arogan, dan tong kosong nyaring bunyinya.

“Siap bertarung pakai skill, ya? Bukan pakai mulut apalagi pakai ngehasut,” lontar Astra dengan tatapan mata mantap.

Ale dan anak-anak tersebut tertawa nikmat. Sementara itu, Hira hanya diam menyimak apa yang sahabatnya bicarakan. Ale begitu bahagia, lepas dari beban. Meski dalam setiap kedip matanya ada rasa takut dan gugup.

Hira pamit saat pelatih mengirimi pesan, buru-buru Hira menuju ruangan latihan lagi. Anak-anak paduan suara tengah bersiap, melakukan berbagai latihan. Meski tim sekolah akan main pukul dua siang. Sebab, seluruh tim akan main tiga innings sama rata dengan satu ball juga strike. Kalaupun naik enam sampai sembilan innings hal itu kondisional. Berbeda dengan semi final, ataupun final seluruh tim yang lolos babak ini benar-benar akan main sesuai dengan peraturan. Benar-benar main tiga ball, tiga strike.

“Semangat, Le. Kita harus main, nih!” tandas Key bersama lainnya.

Good luck!” seru Ale sembari mengepalkan tangan di udara. Setelah melihat kawanan Key berlalu Ale kembali duduk.

Jam menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh. Masih banyak waktu tersisa, dan pelatih juga tidak terlalu memforsir anak-anak untuk berpikir keras menghadapi lawan.

Sementara itu, Aaron, Radian, Ralle, Marino dan anak-anak lainnya yang duduk di bangku timur tengah menyaksikan pertandingan antara Baselist 2004 dengan Ganutara Bdg 1987, di innings ke dua mereka skor keduanya imbang. Mereka berseru, saat salah seorang pemukul membuat home run membawa empat temannya ke home plate dengan skor dua lawan enam.

Jam menunjukkan pukul sembilan lima belas Hira tengah memandang pantulan wajahnya di cermin. Kamar mandi cukup ramai, banyak anak pom-pom sekolah tetangga yang berdandan dengan cantik. Hira membenahi rambutnya yang tergerai. Tangannya membubuhkan lipbalm pada bibirnya. Hira mendesis, merabai kulit bibirnya tersebut.

“Kering banget, ih,” decaknya sebal. Tangannya bergerak mengusap-usap permukaan pipi. “Padahal udah pakai pelembab kulit, tapi masih aja kusam,” gumam Hira sembari memicingkan kedua bola matanya.

Air mengucur ke permukaan tangan Hira, genangan air tersebut dibasuhkan ke wajahnya. Seluruh riasan di wajah Hira luntur. Dengan tisu wajah, Hira menyeka basah di wajahnya. Mengulangi prosesi bersoleknya. Dari mulai pelembab, perona pipi dan lipbalm. Hira tersenyum seringai. Merasa tidak nyaman, pasalnya wajah gadis itu masih terlihat kusam.

“Ah, udahlah. Buat apa juga tampil cantik. Toh, Ale tetap nggak akan lihat aku di bangku penonton. Fokusnya dia pasti buat Bantarious. Nggak apa-apa, deh.” Hira menenangkan dirinya. Keluarlah gadis itu dari kamar mandi. Sudah banyak orang yang berdatangan secara bergantian menghias diri, membicarakan tim kebanggaannya, sampai membahas Ale yang tetap jadi Bintang Bantarious dan Komka setiap tahunnya.

“Eh, Ra! Ditunggu Ale, tuh!” panggil Ralle yang terlihat berlari ke dalam ruangan tempat Bantarious istirahat.

Hira langsung bergegas.


Bagian 11. Jangan lupa putar lagu Youth SM ft Khalid. Nah, beberapa hari Ava terkena flu. Malam cuma bisa ngetik 500-700 kata, subuh hari baru sambung nulis. Makanya Ale update pagi ehehe. Semoga nggak ada typo, ya.

Publikasi 110921
#exclusivelovrinz
#lovrinzwritingchallenge

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top